• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Ilmu Negara

N/A
N/A
Tgk Alhadi

Academic year: 2025

Membagikan "Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Ilmu Negara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ILMU NEGARA

“TEORI DAN PRINSIP HAK ASASI MANUSIA (HAM)”

Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Ilmu Negara

Di susun oleh:

Riski Selamat LetLet 1220240009 Alhadi Busairi 1220240010 Alifia Naila Virgi 1220240032

DOSEN PENGEMPU: Dr. Damrah Mamang, SH., MH.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...ii

KATA PENGANTAR...iii

BAB I... iv

PENDAHULUAN... iv

A. Latar Belakang... iv

B. Rumusan Masalah...vi

C. Tujuan Penulisan... vi

BAB II... 1

PEMBAHASAN...1

A. Teori-Teori Hak Asasi Manusia (HAM)...1

B. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)...3

C. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Ilmu Negara...6

BAB III... 10

PENUTUP... 10

A. Kesimpulan... 10

B. Saran... 11

DAFTAR PUSTAKA... 14

ii

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini yang berjudul “Teori dan Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)” dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai konsep dasar, teori, dan prinsip-prinsip HAM yang menjadi fondasi dalam menjamin martabat serta hak-hak dasar setiap individu.

Hak Asasi Manusia adalah isu yang sangat relevan dan terus menjadi perhatian di berbagai aspek kehidupan, baik dalam skala nasional maupun internasional. Melalui makalah ini, penulis mencoba menguraikan teori-teori mendasar yang melatarbelakangi HAM serta prinsip-prinsip universal yang menjadi pedoman dalam penegakan dan perlindungan HAM di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan arahan berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna menyempurnakan isi makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sebagai tambahan wawasan dan menjadi referensi dalam memahami lebih jauh tentang teori dan prinsip HAM.

iii

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Membicarakan hak asasi manusia (HAM) berarti membicarakan dimensi totalitas kehidupan manusia. HAM ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut memperoleh apresiasi secara positif. Hanya saja, regulasi dibutuhkan agar kepentingan dan kehendak yang sesekali “meledak” sebagai konsekuensi kehidupan manusia patut dikedepankan.1 Namun, persoalan HAM dapat dipahami bukanlah semata berada dalam wilayah hukum. HAM adalah dimensi dari totalitas kehidupan manusia. Menelaah keadaan HAM sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauhmana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada kemanusiaan.2 Banyak pertanyaan yang muncul berkaitan dengan eksistensi dan hakikat HAM.

Misalnya, apakah yang dimaksud dengan HAM? Darimana HAM berasal? Apakah HAM dapat dihapuskan? Apakah semua HAM sederajat? Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut dibutuhkan pemahaman mengenai HAM berdasarkan suatu kerangka teori.

Sebuah teori bisa berfungsi sebagai suatu alat analisis yang memungkinkan pertanyaan seputar HAM yang kerap kali diajukan dan jawaban tentatif bisa saja terjadi. Teori memungkinkan dibangunnya suatu paradigma yang memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai hak. Teori juga menyumbangkan suatu model yang bisa dipakai untuk mengukur hak-hak yang diandaikan tersebut. Teori menyediakan mekanisme yang bisa dipakai untuk menetapkan dengan benar batas hak-hak yang eksistensinya telah disepakati.3

Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi daripada negara dan yang

1 Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo,

dkk., Fiqh HAM, (Malang: Setara Press, 2015), h. 35

2 Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 14.

3 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 2.

iv

(5)

sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.4 Untuk semakin memahami konsep dasar tentang HAM, menarik mengkaji empat teori yang dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, yaitu teori hak-hak alami, teori positivisme, teori relativisme kultural, dan doktrin Marxis, yang akan penulis sajikan dalam bab pembahasan.

Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM internasional, maka akan terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional (general principles of law) yang juga merupakan salah satu sumber hukum internasional yang utama (primer), di samping perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary international law), yurisprudensi dan doktrin.5

Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum hukum internasional diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan (acceptance) dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional. Dengan demikian, prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada kenyataannya, hal itu kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, misalnya perjanjian internasional.6 Rhona K.M. Smith menyebutkan bahwa prinsip hak asasi manusia ada tiga, yaitu, kesetaraan, non- diskriminasi, dan kewajiban positif setiap negara, yang akan dikaji lebih lanjut dalam bab pembahasan beserta dengan teori-teori HAM.

Prinsip-prinsip tersebut telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat dihampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Berkaca dari berbagai prinsip yang dimiliki oleh HAM secara konvensional, Islam dengan prinsip HAM pun mengatur beberapa hak yang relevan dengan dunia Barat, namun dengan berbasis pada

4 Lihat Jerome J. Shestack, “Jurisprudence of Human Rights”, dalam Theodor Meron, (Ed.), “Human Rights in International Law Legal and Policy Issues”, (New York: Oxford University Press, 1992), h. 76, dalam Andrey Sujatmoko, “Sejarah, Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, dipresentasikan pada “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Universitas Oslo-Norwegia, pada tanggal 12-13 Maret 2009 diHoteSantikaPremiere, Yogyakarta.

5 Andrey Sujatmoko, Sejarah, “Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, h. 9.

6 Andrey Sujatmoko, “Sejarah, Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, h. 9.

v

(6)

ketauhidan, ketaqwaan, dan penyerahan diri kepada Allah untuk menghormati harkat dan martabat manusia.7

Kerangka berpikir mengenai suatu hal tidak akan tercipta jika tidak mengetahui dasar dan landasannya. Begitu juga dengan kerangka berpikir untuk memahami masalah HAM.

Oleh sebab itu, teori-teori dan prinsip- prinsip HAM adalah suatu landasan untuk menciptakan suatu kerangka teori yang akan bertransformasi menjadi kerangka berpikir untuk menjawab seluruh permasalahan mengenai HAM.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dasar belakang di atas, maka rumusan masalah yang sesuai adalah sebagai berikut?

1. Apa teori-teori HAM yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis?

2. Apa prinsip-prinsip HAM yang dikemukakan oleh Rhona K.M. Smith?

3. Apa prinsip-prinsip HAM dalam Ilmu Negara?

C. Tujuan Penulisan

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini adalah:

1. Untuk mengetahui teori-teori HAM yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis.

2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip HAM yang dikemukakan oleh Rhona K.M.

Smith.

3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip HAM yang ada dalam Ilmu Negara.

7 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 53.

vi

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Teori-Teori Hak Asasi Manusia (HAM)

Menurut Todung Mulya Lubis 8, ada empat teori HAM yang sering dibahas dalam berbagai kesempatan yang berkaitan dengan disiplin keilmuan yang didalamnya ada unsur- unsur mengenai HAM, yaitu:

1. Teori Hak-hak Alami (Natural Rights Theory)

HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human right are rights that belong to all human beings at all times and all places by virtue of being born as human beings).9

Teori kodrati mengenai hak (natural rights theory) yang menjadi asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia bermula dari teori hukum kodrati (natural rights theory). Teori ini dapat dirunut kembali jauh ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.10 Selanjutnya, ada Hugo de Groot (nama latinnya: Grotius), seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, yang mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang theistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaissans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.11

Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad ke-19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu diantara penentang teori hak-hak

8 Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights; Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966- 1990, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 14-25, dalam Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM &

RANHAM Indonesia’, h. 273-274. Lihat juga dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 31-35.

9 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32

10 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.

11 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.

vii

(8)

kodrati.12 Tetapi, penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang fisuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya.13

2. Teori Positivisme (Positivist Theory)

Teori ini berpandangan bahwa karena hak harus tertuang dalam hukum yang rill, maka dipandang sebagai hak melalui adanya jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws, and contracts). Teori atau mazhab positivisme ini memperkuat serangan dan penolakan kalangan utilitarian, dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat.

Ia tidak datang dari “alam” ataupun “moral”14

3. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)

Teori ini merupakan salah satu bentuk anti-tesis dari teori hak- hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan bahwa hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural (cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human beings at all times in all placeswould be the rights of desocialized and deculturized beings.15

4. Doktrin Marxis (Marxist Doctrine and Human Rights)

Doktrin marxis menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber seluruh hak (repositiory of all rights). 16Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II.

12 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.

13 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.

14 John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), (Cambridge: Cambridge University, 1995), first published, 1832, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 33.

15 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

16 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

viii

(9)

Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional.17 Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi, membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati. Hal ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945, segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu.18

Kemunculan teori hak-hak kodrati sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak- hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang telah diajukan John Locke). Kandungan hak dalam hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan, belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.19

B. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)

Sesuai dengan dikemukakan oleh Rhona K. M. Smith, bahwa ada tiga prinsip dalam HAM, yaitu:

1. Prinsip Kesetaraan (Equality)

Kesetaraaan dianggap sebagai prinsip hak asasi manusia yang sangat fundamental. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama , dan dimana pasa situasi berbeda dengan sedikit perdebatan diperlakukan secara berbeda. Kesetaraan juga dianggap sebagai prasyarat mutlak dalam negara demokrasi. Kesetaraan di depan hukum, kesetaraan kesempatan, kesetaraan akses dalam pendidikan, kesetaraan

17 David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Sejarah, dalam Peter Davies (Ed.), Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 1-30, dalam Rhona K. M.

Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

18 Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.

Dikutip dari Preamble Piagam PBB, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

19 Rhona K. M. Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

ix

(10)

dalam mengakses peradilan yang fair dan lain-lain merupakan hal penting dalam hak asasi manusia.20

Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda dan diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun standar hak asasi manusia telah meningkat. Oleh karena itu, penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.

Perkembangan gagasan hak asasi manusia memunculkan terminologi baru, yaitu diskriminasi positif (affirmative action). Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memerlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu yang tidak terwakili, seperti adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.

Contoh lain, dapat berupa mengizinkan perempuan untuk diterima dibanding laki- laki dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar, hanya dengan alasan lebih banyak laki-laki yang melamar dilowongan pekerjaan tersebut. Beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan kebijakan- kebijakan yang membuat mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang non-adat lainnyadalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Pasal 4 CEDAW dan 2 CERD adalah contohnya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tindakan afirmatif hanya dapat digunakan dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai. Namun, ketika kesetaraan telah tercapai. Maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan lagi.21

2. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)

Pelarangan terhadap diskriminasi atau non-diskriminasi adalah salah satu bagian dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama atau setara.

Prinsip ini kemudian menjadi sangat penting dalam hak asasi manusia. Dalam hal ini, diskriminasi memiliki dua bentuk, yaitu:

a. Diskriminasi langsung, yaitu ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung diperlakukan secara berbeda dari pada lainnya (less favourable).

20 Eva Brems, Human Rights: Universality and Diversity, (London: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), h. 14, dalam Eko Riyadi, dkk.,Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36.

21 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37.

x

(11)

b. Diskriminasi tidak langsung, yaitu ketika dampak praktis dari hukum dan atau kebijakan merupakan bentuk diskriminasi walaupun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan jelas mempengaruhi lebih kepada perempuan daripada kepada laki-laki.

Pemahaman diskriminasi kemudian meluas dengan dimunculkannya indikator diskriminasi yaitu berbasis pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agana, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau kebangsaan, kepemilikan atas suatu benda (property), status kelahiran atau status lainnya. Semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur, dan cacat tubuh.22

3. Prinsip Kewajiban Positif Setiap Negara

Prinsip kewajiban positif negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.

Menurut hukum hak asasi internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Untuk kebebasan berekspresi, sebuah negara boleh memberikan kebebasan dan sedikit memberikan pembatasan.

Untuk hak hidup, negara tidak boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajib membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dapat diterima oleh negara. Karena alasan inilah, negara membuat aturan hukum melawan pembunuhan untuk mencegah aktor non negara (non state actor) melanggar hak untuk hidup. Sebagai persyaratan utama, negara harus bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup, bukan bersikap pasif.23

Menurut Manfred Nowak, ada empat prinsip HAM, yaitu universal (universality), tak terbagi (indivisibility), saling bergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated).24 Prinsip tak terbagi dimaknai dengan semua hak asasi manusia adalah sama-sama penting dan oleh karenanya tidak diperbolehkan

22 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM,

h. 37-38. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC).

23 Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM,

h. 37-38. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC).

24 Manfred Nowak, Introduction, dalam Eko Riyadi, dkk., Mengurai Kompleksitas,h. 27, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 35.

xi

(12)

mengeluarkan hak-hak tertentu atau kategori hak tertentu dari bagiannya. Prinsip universal dan prinsip tak terbagi dianggap sebagai dua prinsip kudus atau suci paling penting (the most important sacred principle). Dua-duanya menjadi slogan utama dalam ulang tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kelima puluh, yaitu semua hak asasi manusia untuk semua manusia (all human rights for all). Juga ditegaskan i dalam Pasal 5 Deklarasi Wina tentang program aksi yang berbunyi bahwa semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi, saling bergantung, dan saling terkait (all human rights are universal, indivisible, interdependent and interrelated).25

C. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Ilmu Negara

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan prinsip mendasar dalam ilmu negara karena melibatkan pengakuan terhadap martabat dan hak-hak yang melekat pada setiap individu.

Dalam konteks ilmu negara, prinsip-prinsip HAM memberikan dasar normatif bagi pembentukan hukum, tata kelola pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi negara untuk melindungi dan memajukan hak-hak warga negara. Berikut adalah uraian lengkap mengenai prinsip-prinsip HAM dalam ilmu negara, dilengkapi dengan catatan kaki dalam bahasa Indonesia.

1. Prinsip Universalitas

Prinsip ini menyatakan bahwa HAM berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali, di mana pun mereka berada. Universalitas menunjukkan bahwa hak-hak ini melekat secara alamiah pada manusia sejak lahir, terlepas dari perbedaan ras, agama, kebangsaan, atau status sosial.

Konsep ini pertama kali ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, yang menyatakan bahwa "semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak-hak mereka." Dalam konteks ilmu negara, prinsip universalitas mengharuskan negara untuk mengakui dan menghormati HAM sebagai norma yang berlaku secara global.26

2. Prinsip Non-Diskriminasi

Prinsip ini menegaskan bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk menikmati hak asasi mereka tanpa perlakuan diskriminatif berdasarkan faktor seperti ras, agama, gender, bahasa, atau pandangan politik.

25 Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36. Lihat Pasal 5 Deklarasi Wina.

26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 1, 1948.

xii

(13)

Di Indonesia, prinsip ini diatur dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif." Prinsip ini juga menjadi dasar dalam berbagai perjanjian internasional, seperti International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD).27

3. Prinsip Tidak Dapat Dicabut (Inalienable Rights)

Hak asasi manusia bersifat melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun, termasuk oleh negara. Hak-hak ini tetap ada meskipun individu berada dalam keadaan tertentu, seperti menjadi tahanan.

Namun, beberapa hak dapat dibatasi secara sementara dalam keadaan darurat nasional, tetapi hak-hak absolut seperti hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan tetap harus dijamin. Prinsip ini tercermin dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.28

4. Prinsip Keterkaitan dan Ketergantungan

Prinsip ini menegaskan bahwa semua hak asasi manusia saling terkait dan saling bergantung. Hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Misalnya, hak atas pendidikan (hak sosial) berkontribusi pada kemampuan individu untuk menikmati hak politik, seperti hak untuk memilih dalam pemilu.29 Dalam ilmu negara, prinsip ini menuntut pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang holistik sehingga semua hak dapat diwujudkan secara bersama- sama.

5. Prinsip Tanggung Jawab Negara

Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Tanggung jawab ini mencakup tiga aspek utama:

1) Menghormati: Negara tidak boleh melanggar HAM.

2) Melindungi: Negara harus mencegah pelanggaran HAM oleh pihak ketiga.

27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (2).

28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (1).

29 Deklarasi Wina dan Program Aksi, Bagian I, Paragraf 5, 1993.

xiii

(14)

3) Memenuhi: Negara wajib mengambil langkah aktif untuk menjamin hak-hak dasar terpenuhi.

Dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Prinsip ini menjadi dasar pengaturan hukum nasional yang berorientasi pada perlindungan HAM.30

6. Prinsip Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum

Prinsip ini memastikan bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan setara di hadapan hukum. Konsep ini sering disebut dengan istilah rule of law, yang berarti bahwa hukum harus berlaku sama untuk semua orang, tanpa diskriminasi.

Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan." Prinsip ini menjadi landasan bagi sistem hukum yang adil dan tidak diskriminatif.31

7. Prinsip Partisipasi

Prinsip partisipasi menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Hak ini mencakup kebebasan berpendapat, berserikat, dan berpartisipasi dalam proses politik seperti pemilihan umum.

Dalam ilmu negara, prinsip ini merupakan elemen penting dalam demokrasi, di mana rakyat dianggap sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat."32

Prinsip-prinsip HAM dalam ilmu negara menjadi fondasi bagi pembentukan sistem hukum dan tata kelola pemerintahan yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, negara dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati hak-haknya secara penuh.

Prinsip-prinsip ini juga menjadi pengingat bagi negara untuk menjalankan kekuasaannya secara bertanggung jawab demi kesejahteraan rakyat.

30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (4).

31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (1).

32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).

xiv

(15)

xv

(16)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1. Ada empat teori HAM seperti yang disebutkan oleh Todung Mulya Lubis, yaitu teori hak-hak alami (natural rights theory), teori positivisme (positivist theory), teori relativitas budaya (cultural relativist theory), dan doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Teori hak-hak alami adalah teori yang memiliki pandangan bahwa HAM adalah hak yang murni didapat oleh seluruh manusia sebagai suatu penghormatan atau sebagai takdirnya menjadi manusia. Teori positivisme adalah teori yang berpendapat bahwa hak harus tertuang dalam wujud yang nyata, misalnya dalam bentuk peraturan atau jaminan konstitusi. Selanjutnya, teori relativitas budaya adalah teori dengan pandangan bahwa hak itu adalah bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi kultural terhadap dimensi kultural yang lain. Merupakan anti-tesis dari teori hak-hak alami. Doktrin Marxis adalah doktrin yang menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber seluruh hak.

2. Psinsip-psinsip HAM yang dikemukan oleh Rhona K. M. Smith ada tiga, yaitu prinsip kesetaraan (equlity), prinsip non-diskriminasi (non- discrimination), dan prinsip kewajiban positif setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Kesetaraan dimaknai sebagai perlakuan yang setara, dimana pada situasi yang sama harus diperlakukan dengan sama, dan dimana pada situasi yang berbeda dengan sedikit perdebatan diperlakukan secara berbeda. Ini adalah prinsip HAM yang sangat fundamental. Sedangkan makna dari prinsip non-diskriminasi adalah bagian dari prinsip kesetaraan. Artinya, jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan). Terkahir, prinsip kewajiban positif setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu, maksudnya bahwa negara diasumsikan memiliki kewaajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak- hak dan kebebasan-kebebasan dengan membuat suatu aturan hukum dan mengambil langkah-langkah guna melindungi secara positif hak-hak dan kebebsan-kebebasan yang diterima oleh negara.

3. HAM menjadi landasan utama dalam pembentukan negara. Negara dibentuk untuk melindungi dan menjamin hak-hak dasar manusia, seperti kebebasan, kesetaraan,

xvi

(17)

dan keamanan. Konsep ini tercermin dalam kontrak sosial di mana individu menyerahkan sebagian kebebasan kepada negara demi perlindungan hak-hak mereka.

Dalam ilmu negara, negara dianggap sebagai institusi yang memiliki kewajiban utama untuk melindungi HAM warganya. Tugas ini mencakup penegakan hukum, pemberian keadilan, dan perlindungan terhadap ancaman baik dari dalam maupun luar negara. HAM bersifat universal, artinya berlaku bagi semua manusia tanpa memandang kebangsaan, ras, agama, atau status sosial. Namun, dalam penerapannya, prinsip HAM dapat disesuaikan dengan konteks budaya, sosial, dan hukum suatu negara (relativitas HAM). Meskipun negara memiliki kedaulatan, HAM membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Konsep ini menegaskan bahwa kedaulatan negara harus sejalan dengan penghormatan terhadap HAM.

Prinsip-prinsip HAM harus diintegrasikan dalam sistem hukum dan pemerintahan negara. Konstitusi sering kali menjadi instrumen utama untuk menjamin penghormatan dan perlindungan HAM. Perlakuan terhadap HAM menjadi indikator penting dari tingkat peradaban suatu negara. Negara yang menghormati HAM dianggap lebih maju dan beradab.

B. Saran

1. Teori HAM sering dikritik karena menekankan universalitas yang terkadang mengabaikan nilai-nilai lokal dan budaya. Dalam praktiknya, HAM sering dijadikan alat politik oleh negara-negara besar untuk menekan negara lain, meskipun HAM diakui secara global, pelanggaran HAM tetap terjadi karena lemahnya penegakan hukum di banyak negara. Pada teori hak alami dianggap terlalu abstrak karena tidak ada standar objektif yang mengatur apa yang disebut sebagai hak alami karena bersifat kodrati, hak-hak ini sulit untuk diterapkan jika tidak dilegalkan dalam sistem hukum positif. Dan beberapa pihak dapat mengklaim hak tertentu sebagai "alami" untuk mendukung agenda tertentu tanpa dasar yang jelas. Pada teori hak Positivisme teori ini hanya mengakui hak yang telah diatur dalam hukum positif, sehingga HAM bisa diabaikan jika tidak diakui oleh suatu negara. Jika negara memiliki sistem hukum represif, HAM akan mudah dilanggar karena hukum dirancang untuk mendukung kekuasaan. Teori hak Relativisme Budaya dapat digunakan untuk membenarkan praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip universal HAM, seperti diskriminasi gender atau hukuman yang

xvii

(18)

tidak manusiawi. Dalam beberapa kasus, relativisme budaya telah digunakan untuk melegitimasi ketidakadilan, seperti pernikahan anak atau sistem kasta. Teori Doktrin Martabat sering dianggap terlalu abstrak dan sulit diukur secara objektif dalam penerapannya karena sifatnya yang moral dan filosofis, sulit untuk menegakkan doktrin martabat dalam sistem hukum atau politik.

2. Prinsip-prinsip HAM seringkali sulit diterapkan secara efektif karena perbedaan budaya, kapasitas negara, dan konflik kepentingan. Beberapa prinsip mendapatkan perhatian lebih dibandingkan yang lain, menciptakan kesenjangan dalam pelaksanaan HAM secara menyeluruh. Pada prinsip kesetaraan (equality) kesetaraan formal sering hanya terlihat di atas kertas, tanpa memperhatikan ketimpangan struktural yang ada dan upaya menciptakan kesetaraan sering menghadapi hambatan dalam pembagian sumber daya yang adil, terutama di negara berkembang. Prinsip Non-Diskriminasi (Discrimination) Prinsip ini sering diterapkan secara selektif; misalnya, diskriminasi berbasis ras atau gender mendapat perhatian lebih dibandingkan diskriminasi berbasis kelas sosial atau orientasi seksual di beberapa negara. Meskipun prinsip non-diskriminasi diakui, diskriminasi sistemik seperti segregasi ekonomi atau politik masih sulit diatasi, beberapa budaya atau agama menganggap praktik tertentu sebagai bagian dari tradisi, meskipun bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi. Prinsip Kewajiban Positif sering kali menimbulkan perdebatan tentang sejauh mana negara harus terlibat, terutama dalam isu kontroversial seperti hak kesehatan reproduksi atau hak kelompok minoritas. Pemerintah dapat menggunakan kewajiban positif sebagai alasan untuk meningkatkan kontrol atas masyarakat, dengan dalih melindungi HAM.

3. HAM sering kali diartikan secara berbeda oleh berbagai budaya dan sistem politik.

Menggunakan HAM sebagai landasan utama bisa menimbulkan konflik interpretasi, terutama dalam masyarakat yang multikultural, jika HAM menjadi landasan utama, negara mungkin terlalu fokus pada hak individu tanpa memperhatikan kewajiban kolektif, seperti menjaga keamanan dan kestabilan nasional. Banyak negara modern, seperti Inggris, Tiongkok, atau Jepang, tidak didirikan atas dasar HAM, melainkan atas dasar kekuasaan, tradisi, atau agama.

Negara-negara kolonial yang memperkenalkan HAM sering kali melanggar prinsip itu sendiri dengan menjajah wilayah lain. Pembentukan negara memerlukan keseimbangan antara perlindungan HAM dan pemenuhan kebutuhan kolektif,

xviii

(19)

seperti pertahanan, pembangunan ekonomi, dan ketertiban sosial. Sebelum menjadikan HAM sebagai landasan utama, negara harus membangun institusi yang kuat untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak tersebut HAM bisa diterapkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan negara. Negara dapat fokus pada hak-hak dasar seperti kehidupan, kebebasan, dan keamanan di tahap awal, sebelum memperluas ke hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya dan Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam proses legislasi untuk memastikan nilai-nilai lokal tidak bertentangan dengan HAM.

xix

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 274, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, (Malang: Setara Press, 2015), h. 35

Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), h.

14.

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti, 1994), h. 2.

Lihat Jerome J. Shestack, “Jurisprudence of Human Rights”, dalam Theodor Meron, (Ed.),

“Human Rights in International Law Legal and Policy Issues”, (New York: Oxford University Press, 1992), h. 76, dalam Andrey Sujatmoko, “Sejarah, Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, dipresentasikan pada “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Universitas Oslo- Norwegia, pada tanggal 12-13 Maret 2009 diHoteSantikaPremiere, Yogyakarta.

Andrey Sujatmoko, Sejarah, “Teori, Prinsip, dan Kontroversi HAM”, Makalah, h. 9.

Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights; Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 14-25, dalam Majda El-Muhtaj, ‘HAM, DUHAM & RANHAM Indonesia’, h. 273-274. Lihat juga dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 31-35.

Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32

Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 12, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 32.

John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), (Cambridge:

Cambridge University, 1995), first published, 1832, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 33.

Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

xx

(21)

David Weissbrodt, “Hak-hak Asasi Manusia: Tinjauan dari Perspektif Sejarah, dalam Peter Davies (Ed.), Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 1-30, dalam Rhona K. M. Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak- hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”. Dikutip dari Preamble Piagam PBB, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

Rhona K. M. Smith, dkk., h. 14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 34.

Eva Brems, Human Rights: Universality and Diversity, (London: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), h. 14, dalam Eko Riyadi, dkk.,Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, h.

14, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36.

Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37.

Rhona K. M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi, h. 39-40, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 37-38. Lihat Pasal 1 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CRC).

Manfred Nowak, Introduction, dalam Eko Riyadi, dkk., Mengurai Kompleksitas,h. 27, dalam Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 35.

Mujaid Kumkelo, dkk., Fiqh HAM, h. 36. Lihat Pasal 5 Deklarasi Wina.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 1, 1948.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (2).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (1).

Deklarasi Wina dan Program Aksi, Bagian I, Paragraf 5, 1993.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28I Ayat (4).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (1).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2)

xxi

(22)

xxii

Referensi

Dokumen terkait

PENGAPLIKASIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) dan DEMOKRASI di INDONESIA1. Pengaplikasian HAM

Dengan semakin berkembang- nya konsep HAM sampai pada implementasinya membuat persoalan yang berhubungan dengan pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM dalam

Di dalam buku ini pada BAB I menjelaskan istilah,pengertian,teori, dan prinsip dari HAM dan didalam buku ini cukup jelas penejalsan dari arti HAM itu sendiri yang

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau tindakan individu atau sekelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja mapun tidak disengaja, atau karena kelalaian yang

39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

 Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

Temuan dari penelitian ini adalah banyaknya prinsipi- prinsip HAM yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada namun juga masih banyak ditemukan potensi

Makalah ini membahas tentang Pancasila sebagai Sistem