Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia pada hakekatnya terbagi menjadi 3 kategori, yaitu Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren, dan Urusan Pemerintahan Umum.38. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyelenggarakan sendiri atau mendelegasikan kekuasaannya kepada instansi vertikal di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi. Badan vertikal adalah badan pemerintah kementerian dan/atau nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak dilimpahkan kepada daerah pemerintahan sendiri di daerah tertentu sehubungan dengan dekonsentrasi, sehingga pembentukan badan vertikal memerlukan persetujuan gubernur sebagai wakilnya. pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Urusan kenegaraan hendaknya dibedakan menjadi urusan kenegaraan yang berkaitan dengan pelayanan esensial dan urusan kenegaraan yang tidak berkaitan dengan pelayanan esensial. UU No. 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah mengutamakan penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagai pedoman standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.41.
Urusan pemerintahan umum yang dimaksud adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/walikota di wilayah kerjanya masing-masing dan dibantu oleh instansi vertikal.
Tinjauan Otonomi Desa
Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas antar penyelenggara negara di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, keadilan, keistimewaan dan kekhasan, potensi dan keberagaman daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. peraturan. Dalam melaksanakan hal tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri, dan Bupati/Walikota bertanggung jawab kepada Menteri melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B ayat 2) yang dimaksud dengan kesatuan masyarakat hukum adat (rehchtsgmeenschap) berdasarkan hukum atau adat istiadat adat, seperti desa, nagar, dll. Hukum adalah suatu kesatuan masyarakat yang bersifat teritorial atau genealogis yang mempunyai kekayaan tersendiri, mempunyai warga negara yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lainnya, serta dapat berfungsi secara internal maupun eksternal sebagai suatu kesatuan hukum (badan hukum) yang berdiri sendiri dan mempunyai pemerintahan sendiri. .
Kesatuan masyarakat hukum tidak sekedar diakui, tetapi dihormati, pengakuan dan penghormatan tersebut diberikan sepanjang masyarakat hukum dan hak-hak tradisional tersebut masih benar-benar ada dan berfungsi serta sesuai dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. Asas mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus (Pasal 18 B ayat 1) Ketentuan ini mendukung keberadaan berbagai satuan pemerintahan yang khusus atau khusus (baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa). Meskipun pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya terdapat dalam pasal ini (Pasal 18 B ayat 2), namun karena susunan kata diubah atau frasa pokok “Hak-hak Adat” dihilangkan, maka pengakuan dan penghormatan tersebut Pasal 18 B mengandung makna selain pengakuan dan penghormatan pada Pasal 18 B sebelum dilakukan perubahan.
Kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu kesatuan organisasi masyarakat hukum adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat itu sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasi itu, kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri diperlukan agar tetap eksis. Suatu masyarakat mungkin masih hidup dalam arti warganya belum mati, namun tradisi hukum adatnya tidak lagi dipraktikkan atau diketahui, baik secara teori maupun praktik. Dalam suatu komunitas bisa juga terjadi bahwa penghuninya adalah orang baru atau seringkali pendatang.
Namun, tradisi-tradisi common law, meskipun tidak lagi dipraktikkan, masih tercatat dalam catatan sejarah dan buku teks, yang suatu saat mungkin akan dipraktikkan kembali.43.
Perkembangan Pengaturan Desa Dari Masa Ke Masa
Desa Pada Masa Pemerintah Kolonial dan Masa Pendudukan Jepang Pada masa kekuasaan VOC, perhatian terhadap pemerintahan desa
Lebih mudah dan lebih menguntungkan bagi VOC jika hanya berurusan dengan raja dan bupati, selain jumlah mereka yang lebih sedikit, mereka juga dapat mengendalikan kepala desa secara efektif.47. Penguasa VOC sebenarnya tidak memperdulikan berbagai pemerintahan desa, meskipun mereka menggunakan pemerintahan desa sebagai alat untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya desa. VOC menggunakan pemerintahan desa, khususnya kepala desa, sebagai alat yang efektif dalam menegaskan kekuasaannya, karena masyarakat desa sangat menghormati pemimpinnya sendiri.
47 Ni'matul huda. Peraturan perundang-undangan pemerintahan desa dalam Konstitusi Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga masa reformasi. Setara Pers. Malang. 2015. hal. 36. Berdasarkan konstitusi Kerajaan Belanda tahun 1848, diundangkan Indische Staatregeling yang mulai berlaku pada tanggal 2 September 1854 (Staatblad 1854 No: jo. 1) dalam hukum tata negara Hindia Belanda, ketentuan mengenai desa adat atau bumi putera hanya diatur dalam satu pasal yaitu pasal 128 yang terdiri dari 6 ayat. Desa bumi putera diperbolehkan memilih sendiri kepala desa dan anggota pemerintahan desa, dengan persetujuan penguasa.
Kemudian diubah dengan S.38/618 jo 625. Kepala kampung Bumi Putera diberi hak mengurus rumah tangganya berdasarkan peraturan yang dibuat oleh gubernur jenderal, pemerintah daerah, dan pemerintahan penduduk atau otonom yang ditunjuk dengan peraturan adalah, dianggap S.41-356. Bagi daerah perkotaan yang telah mempunyai dewan tersebut, maka hak Desa Bumi Putera tidak berlaku, karena di kota tersebut banyak terdapat penduduk Eropa atau warga negara lain yang tidak dapat tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi penduduk asli.49. Sedikitnya peraturan Pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Dasar Hindia Belanda Tahun 1894 menunjukkan betapa kecilnya perhatian Pemerintah Kolonial Belanda terhadap kehidupan Pemerintahan Desa.
Dan baru pada awal abad ke-20, seiring dengan munculnya “politik etis”, perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa semakin besar, sehingga dikeluarkanlah berbagai peraturan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Yang pertama pada tahun 1906, yaitu Inlandsche Gemeente Ordonantie tanggal 1 Mei 1906 (Staat Blaad 1906 No. 83) hanya berlaku untuk. Dalam peraturan tersebut, salah satu ketentuan yang menonjol adalah terkait kuatnya kedudukan hukum adat dan kolektivitas pemerintah desa.
Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pemerintahan Desa selain Kepala Desa diserahkan kepada adat setempat (pasal 2 ayat 2) sedangkan pemilihan pengesahan Kepala Desa dilakukan oleh penduduk melalui peraturan berdasarkan pasal 71 IS ( pasal 71 IS) 2 ayat 1). Sebuah peraturan khusus yang disebut De Islandsche Gement Ordonantieini (sering disingkat IGO 1906) diundangkan dalam stbl 1906 No. 83 yang dimaksudkan untuk mengatur pengurusan kepentingan dalam negeri masyarakat hukum adat pedesaan di Pulau Jawa dan Madura, tidak termasuk desa-desa di kawasan Vorstenlanden dan di berbagai wilayah Tanah Hak di Lembah Cimanuk yang belum ditebus menjadi Tanah Negara dan tidak dikecualikan, adalah tidak termasuk dalam hal yang diatur dalam Undang-undang ini. Dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai berbagai desa di Bumi Putera, terlihat ada tiga ciri penting kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam pengaturan Pemerintahan Desa: 55.
Desa di Era Pemerintahan Orde Baru
Pemerintahan desa merupakan bagian dari kewenangan negara dan merupakan penegak akhir atas keputusan yang diambil atau ditetapkan, namun desa tidak mempunyai akses untuk mengambil keputusan tersebut. Selain desa, terdapat juga wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah yang langsung berada di bawah pimpinan camat yang disebut dengan kecamatan yang dapat dibentuk di ibu kota negara, ibu kota provinsi, kabupaten. ibu kota, kotamadya, kota administratif, dan kota-kota lain dalam artian kecamatan ini juga merupakan suatu wilayah yang dihuni oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah yang langsung berada di bawah camat, namun camat tidak mempunyai hak untuk mengurus keluarganya. .
Desa di Era Pemerintahan Reformasi
Penyelenggaraan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi nasional, sehingga terjamin keharmonisan hubungan antara pusat dan daerah, serta antar daerah. Pemberlakuan otonomi daerah harus semakin meningkatkan otonomi daerah otonom, sehingga tidak ada lagi wilayah administratif yang berada di wilayah kabupaten dan kota. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi lembaga legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif pengawas maupun sebagai fungsi anggaran atau penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelaksanaan asas desentralisasi ditempatkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administratif untuk pelaksanaan kekuasaan pemerintahan tertentu yang diserahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Prinsip pelaksanaan tugas bantuan tidak hanya dimungkinkan dari pemerintah ke daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah hingga desa, baik dari segi pembiayaan, sarana dan prasarana. Kekurangan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang berkaitan dengan peraturan desa juga merupakan bagian dari UU No.
Nagari Dan Pemerintahan Nagari Dalam Pemerintahan Daerah 1. Pemerintahan Nagari
Perkembangan Pemerintahan Nagari Sebelum Dan Setelah Kemerdekaan
Kumpulan suku-suku ini membentuk suatu nagari, yang menurut tradisi, Nagari baampek suku (nagari empat suku) artinya suatu nagari terdiri dari sedikitnya empat suku. Artinya, struktur asli berdasarkan hak asal usul yang istimewa menunjukkan bahwa suatu nagari akan mempunyai ciri-ciri genealogis (keturunan) dan wilayah/wilayah yang jelas dan khas. Pada mulanya Nagari di Minangkabau dapat dikatakan hanya sekedar pemerintahan adat yang bermula dari pemerintahan adat yang dilebur menjadi pemerintahan Nagari.
Pada masa kolonial, pemerintahan Nagari selain berfungsi sebagai pemerintahan tradisional juga dipengaruhi oleh penjajah dalam upaya mempertahankan kepentingannya. Penguasa kolonial berusaha mengerahkan pengaruhnya dan berusaha memanfaatkan pemerintahan Nagari untuk memperoleh keuntungan dari wilayah jajahan. Pada masa penjajahan baik Belanda maupun Jepang, Nagari diakui secara hukum pokok sebagaimana tercantum dalam Pasal 71 RR (Regerigs Reglement) atau Pasal 128 IS (Indische Staatsregeling) dan Peraturan Pemerintah Jepang No.1 Tahun 1942 dan Peraturan Osamu Seirei no. 27 Tahun 1942.
Hilangnya Nagari sebagai satuan pemerintahan Nagari menjadi tingkat pemerintahan yang paling rendah dan prinsip integrasi satuan pemerintahan Nagari juga hilang. Akibatnya, para pemuka adat tidak diberikan kedudukan untuk memerintah wilayahnya, dalam hal ini adalah cucu, anak, dan keponakannya. Pemerintahan Orde Baru berakhir pada tahun 1988, pemerintah mengeluarkan kebijakan desentralisasi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Alhasil Sumbar ingin kembali ke Nagari, untuk memantapkan tekad kembali ke Nagari, pemerintah Sumbar mengeluarkan Peraturan Daerah No. Dalam pembukaan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa sistem pemerintahan Nagari dinilai efektif dalam menciptakan ketahanan agama dan budaya berdasarkan tradisi dan tradisi sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000, setiap kabupaten yaitu 8 kabupaten (kecuali kabupaten Mentawai) mulai awal tahun 2001 menetapkan peraturan daerah yang berkaitan dengan pemerintahan Nagari.
Jumlah total nagari di Sumbar saat ini sebanyak 648 nagari yang tersebar di 11 kabupaten yaitu Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Sijunjung, Dharmasraya, Padang Pariaman, Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota, Pasaman dan Pasaman Barat.65 Untuk administratif Daerah kota-kota seperti Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok dan Sawahlunto, sistem pemerintahan terendah berbentuk kelurahan dan desa.
Struktur Organisasi Nagari di Pasaman Barat 66