• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI ISLAM DI INDONESIA

N/A
N/A
Rahman Nahu

Academic year: 2024

Membagikan "TRADISI ISLAM DI INDONESIA "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI ISLAM DI INDONESIA

a. Pengertian Tradisi Islam

Secara epistimologi kata budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi berarti akal, kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan, sedangkan Daya memiliki arti ikhtiar, usaha atau muslihat. Dengan demikian secara singkat dan sederhana, sebagaimana dipahami secara umum, kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Salah satu bagian dari budaya adalah tradisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat atau juga penilaian atau anggapanbahwa cara- cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Terminologi tradisi, yang berasal dari kata bahasa Inggris tradition, sering juga disamakan dengan lafadz bahasa Arab ‘adah. Term ini dipergunakan untuk menunjuk desain atau pola perilaku dan kegiatan tertentu dalam bidangnya masing-masing yang sering dilakukan oleh masyarakat.1

Manusia dalam kehidupannya akan senantiasa mengadakan proses interaksi dan proses sosial lainnya, sehingga tumbuh norma-norma kelompok dan akhirnya melembaga sehingga tampil struktur sosial dalam himpunan kelompok tersebut. Norma- norma yang dihasilkan dari hasil karya, cipta dan karsa manusia ini senantiasa dilakukan secara berulang-ulang dan cendrung untuk diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya, untuk kemudian menjadi sebuah tradisi yang melekat erat dalam kehidupan mereka.

Namun, perlu juga ditegaskan di sini bahwa agama bukanlah kebudayaan maupun tradisi, karena agama itu diciptakan Tuhan, bukan hasil olah pikir dan karya manusia.

Tetapi kelompok-kelompok orang beragama membentuk kebudayaan dan juga tradisi mereka masing-masing sebab mereka mempunyai budi daya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupannya.2

Tradisi Islam merupakan hasil dari dari proses dinamika perkembangan agama tersebut dalam ikut serta mengatur pemeluknya dan dalam melakukan kehidupan sehari- hari. Tradisi Islam lebih dominan mengarah pada peraturan yang sangat ringan terhadap pemeluknya dan selalu tidak memaksa terhadap ketidak mampuan pemeluknya. Beda halnya dengan tradisi lokal yang awalnya bukan berasal dari Islam walaupun walaupun pada tarafnya perjalanan mengalami asimilasi dengan Islam itu sendiri.

1 Buhori, Islam dan Tradisi Lokal Nusantara. (Al Maslahah . 2007 ) Vol 13 No 2 pg 232 2 Ibid., pg 233

(2)

b. Proses Terbentuknya Tradisi Islam di Indonesia

Dalam catatan sejarah diketahui, bahwa masuknya Islam Nusantara melalui poses mission sacre yaitu proses dakwah bi alhal yang dibawakan oleh para muballigh sekaligus sebagai pedagang. Proses tersebut awal mulanya dilakukan secara individual.

Mereka mempraktekkan tradisi Islam dengan meng gunakan pakaian bersih dan memelihara kebersihan badan, pakaian dan tempat tinggal serta rumah-rumah ibadahnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka ber gaul dengan mereka menampakkan sikap seder hana, dengan tutur kata yang baik, dan sikap sopan sesuai dengan tuntutan akhlak al- karimah, jujur, suka menolong, terutama ikut memberi kan pengobatanpengobatan ter hadap orang yang sakit, suka menolong orang yang di timpa kecelakaan tanpa pamrih.

Para Muballigh mengajarkan hidup yang baik, pemeliharaan kebersihan, hidup hormat- menghormati, tolong menolong, hidup bermasyarakat, menya ya ngi alam dan tumbuh- tumbuhan, memahami makna alam sekitar, melakukan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada pencipta, serta me laku kan amal baik dan meng hindari per buatan jahat, agar mereka mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan yang abadi di kampung akhirat. Sikap seperti itu menjadi daya tarik bagi penduduk pribumi yang saat itu memeluk agama Hindu atau Budha. Mereka tertarik akan kepribadian kaum Muslim, sehingga mereka melihat adanya cahaya iman pada kaum Muslim itu dan menarik mereka untuk memeluk Islam. Dengan demikian, penguasa menilai, ajaranajaran Islam tidak mengganggu stabilitas pemerintahan, bahkan ikut mempererat persatuan. Meski demikian, Islam belumlah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Barulah pada kedatangan Walisongo, Islam di Nusantara berkembang pesat hingga menjadi agama yang dianut sebagian besar penduduk pribumi.3

Dalam historiografi ada kehadiran Walisongo Apalagi dalam catatan historiografi, kehadiran Walisongo diasumsikan sebagai tokoh waliyullah sekaligus tokoh waliyul amri, yaitu sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah yang terpelihara dari kemaksiatan (waliyul lah), dan juga sebagai orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum kaum muslimin, pemimpin masyarakat, yang berwenang menentukan dan memutuskan urusan masyarakat, baik dalam bidang keduniawian. Kehadiran Walisongo yang secara bijak membangun teologi Islam dengan wayang tanpa menyinggung masyarakat pribumi yang notabenenya beragama Hindu-Budha pada saat itu.4

Melalui wayang inilah Walisongo memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Lebih jauh, kesenian rakyat tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai peng ganti dari teologi Hindu. Hingga saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-kisah dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang merupakan bagian dari Hindu. Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur nilai-nilai Islam dalam plot cerita pewayangan. Namun, prinsipnya yang diadopsi Walisogo hanya instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan kemudian memasukkan nilai-nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu-

3 Taufiq Bilfaqih, Islam Nusantara (Journal Aqlam, 2016), Vol 2, No 1 pg 60 4 Ibid., pg 61

(3)

Budha yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah Shada” yang asal nya berarti “jimat kali maha usada” yang ber nuansa teologi Hindu menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”. Frase yang terakhir merupakan pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term tersebut untuk mem personifikasikan senjata terampuh bagi manusia.

Hanya saja, jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan Rasul-Nya.5

Islam Nusantara ini memiliki karakteristik-karakteristik yang khas sehingga membedakan dengan karakteristik-karakteristik Islam kawasan lainnya, khususnya Islam Timur Tengah yang banyak mempengaruhi Islam di berbagai belahan bumi ini. Wilayah Nusantara memiliki sejumlah keunikan yang berbeda dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan tradisi peradaban.6 Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya dapat diterima masyarakat Nusantara, tetapi juga layak mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya, yakni rahmatan li al-‘alamin. Pesan rahmatan li al-‘alamin ini menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah yang moderat, toleran, cinta damai, dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul; Islam yang membina, bukan menghina; Islam yang memakai hati, bukan memaki-maki; Islam yang mengajak tobat, bukan menghujat; dan Islam yang memberi pemahaman, bukan memaksakan. Semenjak awal, Islam Indonesia memiliki corak dan tipologi tersendiri, yaitu Islam yang ramah dan moderat dan merupakan Islam garis tengah yang menganut landasan ideologi dan filosofis moderat Arus besar yang diwakili NU dan Muhammadiyah telah menjadi merek paten bagi gerakan Islam moderat, modern, terbuka, inklusif, dan konstruktif.7

Proses islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan panjang. Penerimaan Islam penduduk pribumi, secara bertahap menyebabkan Islam terintegrasi dengan tradisi, norma dan cara hidup keseharian penduduk lokal Perjumpaan keduanya menyebabkan terjadinya proses saling mengambil dan memberi (take and give) antara ajaran Islam yang baru datang dengan tradisi lokal yang telah lama mengakar di masyarakat. Akhirnya, Islam dan tradisi lokal itu bertemu dengan masyarakat secara individual maupun kolektif, tanpa bisa diklasifikasikan secara jelas mana yang Islam dan mana produk lokal, sehingga tradisi itu berkembang, diwariskan dan ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. 8Adanya perjumpaan Islam dengan tradisi lokal itulah yang

5 Ibid., pg 61

6 Mujamil Qomar, Islam Nusantara (Journal El Harakah, 2015) Vol 7 No 2 pg 204 7 Ibid., pg 205

8 Ibid., pg 206

(4)

menjadi penyebab utama proses saling menyesuaikan. Kehadiran Islam secara damai mempengaruhi akulturasi budaya antara budaya lokal dengan Islam. Budaya itu kemudian menjadi ciri khas budaya masyarakat Islam Indonesia.9

c. Pengertian Seni Budaya Lokal

Ada beragam kebudayaan di Indonesia, baik kebudayaan yang bersifat lokal maupun nasional. Budaya bangsa Indonesia ada kalanya warisan dari kebiasaan atau tradisi nenek moyang terdahulu, ada kalanya berasal dari budaya asli atau suku masing- masing, dan ada juga kebudayaan yang telah dianut berasal dari ajaran agama Islam, karena didalamnya terdapat

nilai-nilai Islami seperti wayang, sekaten, dan kasidah serta hadrah.

Seni budaya lokal yang bernafaskan Islam adalah segala kesenian yang berkembang di daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.

Islam adalah agama yang paling sempurna. Ajaran yang terdapat dalam agama Islam mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya dan juga hubungan manusia dengan manusia. Hubungan-hubungan tersebut diatur dalam fikih ibadah dan muamalah.

Dalam penyebarab agama Islam di Indonesia, kedudukan seni dan budaya mempunyai peran yang cukup penting didalamnya. Berkaitan dengan itu, maka tidak aneh para Ulama’ zaman dahulu begitu luas pengetahuannya. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu seni dan budaya.

Hubungan Islam dengan seni dapat pula dilihat dari teks-teks klsik yang dikaji secara mendalam. Misalnya di dunia pesantren tradisional, kisah-kisah tentang para nabi dan para sahabatnya, pelajaran tentang halal haram dan keimanan dilantunkan dalam nadoman. Lirik-lirik nadhoman itu sendiri ditulis dalam bentuk puisi.

Para wali, seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga berperan besar dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Mereka mampu mengubah bentuk-bentuk warisan Hindu menjadi bentuk-bentuk seni baru bermuatan Islam. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati sebagai contoh adalah perintis penulisan puisi suluk atau tasawuf, yang pengaruhnya besr bagi perkembangan sastra.

Islam di kawasan Kepulauan Nusantara sesungguhnya telah merefleksikan bagaimana Islam sebagai ajaran Samawi dan pranata keagamaan, disebarkan dan disosialisasikan di Nusantara. Sosialisasi tersebut telah menggunakan cara-cara damai dan memanfaatkan sumber daya kultur lokal sebagai media komunikasi yang efektif.10

d. Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam

Para Seniman muslim zaman dahulu telah banyak menghaslkan karya seni yang bernafaskan Islam, khususnya dalam sastra, seni rupa, music, seni suara dan teater.

9 Ibid., pg 207

10 Ika Setiani DKK, Pendidikan Agama Islam SMP Kelas IX . ( Jakarta : Swadaya Murni, 2010) pg 148

(5)

1. Wayang

Kesenian wayang di Nusantara merupakan hasil karya seorang Ulama’ yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga, wayang dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah menyebarkan agama Islam di Nusantara. Masyarakat Jawa Tengah menganggap kesenian wayang bukan sembarang kesenian, melainkan wayang mengandung nilai filosofi religious dan pendidikan. Kelengkapan yang menyertai pementasan wayang adalah seperangkat gamelan dan gending-gending Jawa.

Wayang kulit didaerah Jawa digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam, di tanah pasundan Wayang Gole sangat memasyarakat, terutama cerita Mahabarata dan Ramayana dari Hindu dimodifikasi untuk mengajak ketauhidan. Setelah Islam dating, banyak cerita yang diubah karena Islam tidak mengenal wilayah Trimurti dan sistem hirariki kedewaan yang menempatkan para dewa sebagai pelaksana perintah Tuhan saja dan bukan sebagai Tuhan. Untuk itu, disusunlah cerita-cerita baru bernafaskan Islami, seperti lakon Dewaruci, Jimat Kalimasada, dan lakon-lakon wahyu. Bahkan, dijumpai silsilah baru tokoh-tokoh wayang yang sama sekali berbeda dengan silsilah asli Hindu. Hal itu bertujuan untuk menundukkan cerita Islam diatas cerita wayang yang masih bersifat Hinduistis.

2. Selawatan

Selawatan adalah sebuah ritual pembacaan bait-bait kalimat yang dilafadzkan dengan setengah bernyanyi dan suara melengking. Dibarengi dengan tabuhan rebana dan gendang sebagai alat musiknya. Kalimat yang dibacakan adalah petuah atau petunjuk yang diambil dari kitab Islam kejawen. Ritual ini dilakukan untuk orang yang mempunyai hajatan.

Adapun ciri khas Selawatan, yaitu sebagai berikut - Penggunaan rebana/terbang

- Adanya puji-pujian dalam bahasa Arab - Susunan nadanya bernafaskan Islam11 3. Kasidah

Kasidah berasal dari bahasa Arab ”Qasidah” , artinya puisi yang berisi lebih dari empat belas bait. Kasidah merupakan jenis seni suara yang bernafaskan Islam. Lagu- lagu yang dinyanyikan berisikan unsur dakwah Islamiyah dan nasehat-nasehat yang sesuai ajaran Islam. Lagu-lagu kasidah biasanya dibawakan dengan irama gembira dan di iringi rebana.

Rebana pada awalnya adalah instrument yang mengiringi lagu-lagu keagamaan, seperti pujian terhadap Allah Swt, Shalawatan atau syair-syair Arab. Karena fungsi yang dimainkan itulah alat ini disebut rebana. Rebana berasal dari kata Robbana yang berarti wahai Tuhan kami (semua bentuk pujian kepada Allah Swt).

11 Ibid., hlm 149

(6)

Kasidah biasanya dibawakan oleh sebuah grup yang terdiri atas sepuluh hingga dua puluh orang. Mereka membawakan lagu-lagu tersebut dengan berdiri dan berpakaian kerudung atau kebaya panjang. Dalam pelaksanaannya ditunjuk seorang sebagai vokalis. Anggota yang lain juga berperan sebagai penyanyi dalam syair-syair yang dinyayikan dengan koor.

Kesenian kasidah mulai tumbuh seiring berkembangnya kesenian tradisional Islam yag ada di tengah masyarakat Indonesia, seperti dzikir dan sholawatan. Lagu- lagu yang berasal dari dzikir dan shalawat itu biasanya disajikan dalam acara-acara perayaan, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, atau Pernikahan. Masuknya lagu-lagu Arab Modern ke Indonesia membuat seniman Islam Indonesia memadukan antara kesenian tradisional dan lagu-lagu tersebut. Dari sinilah muncul kesenian kasidah. Kasidah mulai popular sekitar tahun 1960-an dan sejak itu mulai berkembang secara luas bahkan sudah mulai tampil dalam acara televise.

Perkembangan kesenian kasidah didasari adanya kesepakatan ulama-ulama hukum Islam bahwa seni adalah mubah (boleh). Mereka berpendapat bahwa pemanfaatan seni suara yang dimasukan untuk tujuan kebaikan dan disajikan secara baik, hukumnya boleh. Dengan demikian, hal tersebut tidak melanggar aturan-aturan agama. Bahkan, merupakan anjuran jika kesenian itu bertujuan untuk dakwah. Sejak itu muncul lah grup-grup kasidah di Indonesia, seperti Nasida Ria, Nida Ria, dan El Hawa.

4. Hadrah

Hadrah adalah suatu kesenian dalam bentuk seni tari dan nyanyian yang bernafaskan Islam. Lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang berisi ajaran Islam. Sedangkan musiknya menggunakan rebana dan ganjring. Hadrah biasanya dipentaskan dalam acara syukuran atas kelahiran anak, khitanan, pernikahan, atau hal- hal yang berkaitan dengan kegiatan Islami. Selain kesenian syair-syair yang dilantunkan, dalam hadrah juga berisi nasihat-nasihat atau piwulang luhur.

Dalam beberapa acara, seperti khitanan dan pernikahan hadrah biasanya diselenggarakan dalam bentuk arak-arakan. Oleh karena itu, hadrah merupakan hiburan untuk menyemarakkan upacara yang sedang berlangsung, seperti pernikahan, khitanan, atau hajatan lainnya. Tarian itu bertujuan untuk memeriahkan jalannya upacara.12 5. Tari Zapin

Tari Zapin dapat kita temukan di Riau. Tari ini diiringi irama gambus, yang diperagakan oleh laki-laki yang berpasangan dengan mengenakan sarung, kemeja, kopiah hitam dan songket, dan ikat kepala lacak/destar. Tari ini dipentaskan pada saat upacara pernikahan, khitanan, dan hari Raya Islam.

6. Tari Seudati

12 Ibid., hlm 150

(7)

Tari Seudati berasal dari Aceh yang umumnya diperankan oleh laki-laki dengan menari dan membuat bunyi tabuhan dengan alat music tubuh mereka sendiri, sewaktu menepuk tangan, dada, sisi tubuh menggetarkan jari-jarinya.

7. Santriswaran

Santriswaran adalah grup musik dengan alat rebana, gendang, dan kemanak.

Nadanya mengikuti nada gamelan. Syair-syairnya memuat ajaran-ajaran Islam dan budaya Jawa yang disisipi dengan shalawat Nabi. Santriswaran dikembangkan oleh seniman keraton Surakarta.

8. Tari Menak

Tari Menak diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX raja Yogyakarta.

Tari Menak mirip wayang orang, tetapi tari menak diambil dari serat menak. Cerita menak berbahasa Jawa atau Sunda yang disadur dari bahasa Parsi.

9. Suluk

Suluk adalah tulisan dalam bahasa Jawa maupun Arab yang berisi pandangan hidup orang Jawa. Adapun serat wirid adalah tulisan pujangga Jawa yang berisi bacaan- bacaan, baik Jawa maupun Arab yang di baca berulang-ulang.13

e. Tradisi dan Upacara Adat yang Bernafaskan Islam

Tradisi dan adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat terhadap animisme, Hindu dan Budha. Kemudian setelah Islam datang tradisi dan upacara adat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Berikut ini contoh-contoh upacara adat yang bernafaskan Islam yang berkembang dibeberapa wilayah di Indonesia.

1) Halal Bi Halal

Halal bi halal adalah sebuah tradisi yang hanya ada di Indonesia yang kemudian telah menjadi tardisi di Negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih saying.

Halal bi halal adalah acara maaf-maafan pada hari Lebaran. Hari raya Lebaran adalah salah satu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai godaan. Pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa.

2) Grebeg Besar

Di Kabupaten Demak kegiatan Grebeg Besar diselenggarakan secara rutin dalam rangka memelihara kebudayaan leluhur. Kegiatan tersebut mampu membangkitkan semangat dan kebanggaan warga Kabupaten Demak, karena pada saat itu, terpancar kejayaan Kerajaan Demak pada masa lalu. Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak bisa terlepas dari perjuangan para wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan KAlijaga yang diakui sebagai tokoh besar yang berpengaruh dalam sejarah Kabupaten Demak.

13 Ibid., hlm 151

(8)

Grebeg Besar adalah kirab pusaka peninggalan Kerajaan Demak dari Pendapa Kabupaten Demak menuju makam Sunan Kalijaga di Desa Kadilangu.

Tradisi Grebeg Besar pada awalnya tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha, semula ada empat Grebeg Besar, yaitu Grebeg Maulud, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, Grebeg Besar. Kegiatan yang masih berlangsung adalah Grebeg Besar yang sampai sekarang masih menjadi bagian tradisi. Sementara itu, diluar Kabupaten Demak juga dikenal perayaan sejenis, seperti di kota Solo, Yogyakarta, dan Cirebon, dengan latar belakang sejarah masing-masing daerah yang berbeda, tetapi pada intinya adalah bentuk penghargaan terhadapa para pendahulu yang telah berjasa kepada daerah ini.14

3) Upacara Bancakan

Bancakan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman “pembagian” terhadap kenikmatan kekuasaan dan kekayaan, maksudnya supaya terhindar dari konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil. Upacara Bancakan sering digunakan dalam acara bagi waris, sisa hasil usaha, dan keuntungan perusahaan.

4) Upacara Selametan

Selamatan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersaam yng bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan berangkat naik haji ke tanah suci, keberangakatan anak yang mau sekolah ke luar daerah dan lain-lain.

5) Upacara Mauludan

Upacara Mauludan adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad saw yang umumnya diisi dengan berbagai acara dan nama tersendiri, misalnya di Keraton Yogyakarta, Surakarta, Cirebon menyelenggarakan sekaten dan Grebeg Maulud yang diisi dengan mengarak sedekah raja berupa makanan dari kediaman raja ke masjid Agung lalu diberikan kepada rakyat.

Upacara Maulud pertama kali diadakan oleh Shalehuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M) dengan tujuan untuk menyebarkan kembali semangat kaum muslimin dalam berjuang membela Islam. Upacara Maulud sampai sekarang oleh sebagian masyarakat masih terus dilaksanakan. Upacara ini dipimpin oleh seorang ulama atau pemimpin agama didaerah tersebut. Pelaksanaan upacara maulud diperingati pada tanggal 11 dan 12 Rabiul awwal. Untuk Cirebon, pelaksanaan upacara Maulud ini diringi dengan berziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan di Sumatera Barat mereka mengunjungi makam Syekh Burhanuddin. Mereka melakukan kunjungan ke makam para wali dan ulama- ulama besar ini karena mereka berpendapat bahwa ulama itu adalah pewaris para Nabi.

Di Solo dan Yogyakarta Maulud ini disebut dengan sekaten atau grebeg maulud.

Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain (dua kalimat syahadat). Upacara

14 Ibid., hlm 152

(9)

ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta dalam rangka mengajak masyarakat untuk mengikuti dan memeluk agama Islam.

Acara puncak peringatan Sekaten ditandai dengan Grebeg Mauludan yang diadakan pada tanggal 12 (tepat di hari ulang tahun Nabi Muhammad saw) mulai jam 8.00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis , sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah- buahan serta berbagai macam sayuran akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan,, gunungan masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau lading agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.15

6) Upacara 1 Syura

Sebagian masyarakat bangsa Indonesia masih banyak yang memperingati 1 Syura.

1 Syura dipandang sebagai sacral oleh sebagian masyarakat bangsa Indonesia.

Kebanyakan dari mereka mengharapkan untuk ngalap berkah (menerima berkah) dari hari besar suci ini. Mereka berpuasa selama 24 jam dan tidak tidur semalam suntuk dan ada pula yang melakukan meditasi dengan khusyuk, tapi ini ditentang oleh Islam karena tidak ada dalil naqli yang memerintahkan hal tersebut, itu hanya tradisi untuk menarik wisatawan mancanegara.

7) Dugderan

Dugderan adalah sebuah upacara di kota Semarang yang diadakan untuk menandai bahwa bulan puasa telah datang. Pada zaman dahulu, dugderan merupakan saran informasi Pemerintah Kota Semarang kepada masyarakatnya tentang datangnya bulan Ramadhan. Dugderan dilaksanakan tepat 2 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan derr.

Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merah putih, drumband, pasukan pakaian adat

“Bhinneka Tunggal Ika”, meriam, warak ngendok dan berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri khas acara ini adalah Warak ngendok sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga kulit sisik emas visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna-warni. Acara ini dimulai dari jam 08.00 sampai dengan Maghrib di hari yang sama juag diselenggarakan festival Warak dan Jipin Blantenan.16

8) Selikuran

15 Ibid., hlm 153 16 Ibid., hlm 154

(10)

Upacara Selikuran dilakukan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta setiap tanggal 21 Ramadhan yang bertujuan untuk menyambut malam lailatul qodar.

Acara ini merupakan tradisi Keraton Surakarta Hadiningrat dan masyarakat Solo yang dilakukan setiap malam ke-21 di bulan Ramadhan. Tradisi itu digelar untuk menyongsong Lailatul Qadar. Malem Selikuran ditandai dengan kirab seribu tumpeng. Kirab diawali dari halaman Pagelaran Keraton Surakarta, berjalan menyusuri jalan Slamet Riyadi dan berakhir di Taman Sriwedari Solo.

Upacara “Malem Selikuran” ini merupakan bentuk ucapan syukur kepada Yang Mahakuasa serta sebagai wujud permohonan atas keselamatan. Selain itu, kegiatan ini juga sebagai salah satu bentuk upaya pelestarian budaya Jawa.

f. Apresiasi terhadap Seni Budaya Loakl dan Upacara Adat yang Bernafaskan Islam

Seni budaya lokal dan upacara adat yang bernafaskan Islam sudah muncul dan tumbuh sejak masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara. Seni budaya lokal yang bernafaskan Islam tersebut adalah hasil para juru dakwah di masa lalu yang kreatif, para juru dakwah mencari akal agar masyarakat yang sebelumnya masih kuat memegang adat dan budaya, beralih ke agama Islam tanpa menyinggung perasaan adat dan budaya sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha.

Dalam menjalankan ajaran Islam terkadang seseorang memiliki tradisi atau kebiasaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Tradisi tersebut berupa upacara adat yang dilakukan secara turun temurun sehingga membudaya ke lapisan masyarakat. Tradisi merupakan bagian dari khazanah budaya bangsa yang hendaknya kita lestarikan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Sebagaimana kita ketahui, budaya lokal menyimpan banyak pesan, yang sudah tentu mudah dicerna dan dipahami. Pesan-pesan yang disampaikan itu juga, membuat para warga saling mengerti, memahami, dan taat kepada norm-norma, seperti norma adat maupun norma agama.Kita perlu menghargai dan melestarikan seni budaya adat yang bernafaskan Islam, sepanjang tidak membawa dampak negative bagi aqidah keislaman dan tidak mengakibatkan syirik, serta penyimpangan ajaran.17

NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi budaya mengakomodir nilai- nilai tradisi masyarakat lokal. Khususnya upaya para ulama Jawa (kiai) untuk mempertahankan tradisi -kebudayaan Islam- lokal yang diresepsi menjadi bagian dari pengembangan pengamalan ajaran Islam di Indonesia khususnya dan di dunia Islam pada cakupan yang lebih luas.Corak tradisonalitas yang melekat pada NU membawa implikasi sosiologis bahwa NU memberi ruang yang luas untuk berkembangnya tradisi (budaya) lokal, seperti ziarah kubur (khususnya ke makam para wali (ualiyd), tahlilan (doa bersama untuk orang mati), pembacaan shalawat al-Barjanzi, shalawatan (hadrah), kenduri, dan tradisi-tradisi lokal lainnya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa, khususnya melalui pesantren sebagai basis kultural NU. Kaum nahdliyyin (warga

17 Ibid., hlm 155

(11)

NU) dan mereka yang mengikuti mazhab Sunni sangat longgar dalam menerima bentuk- bentuk budaya masyarakat lokal, sehingga NU memiliki khazanah budaya yang sangat kaya. Sebut saja misalnya seni hadrah dan jamaah shalawatan yang bermunculan di berbagai daerah basis massa NU, group-group nasyid, dan sebagainya menunjukkan kreativitas budaya warga NU.18

18 Ahmad Arifi, Mengembangkan Islam dengan Lokal Wisdom (Journal El Harakah, 2008) Vol 10 No 2 pg 141

Referensi

Dokumen terkait

Ekspresi-ekspresi ritual dalam praktik sekarang ini juga tampak ada nuansa yang dapat dilihat, yaitu perpaduan antara unsur-unsur Islam dengan budaya lokal. Contoh

Masjid dapat menjadi arena strategi dakwah kultural karena dakwah model ini menggunakan pendekatan kepada budaya lokal, kultur masyarakat, serta nilai- nilai yang

Sehingga, relevansi tradisi Nyeliwer Wengi dengan ajaran Islam mengandung sebuah makna akulturasi budaya Jawa ( Lokal ) dan ajaran Islam yaitu nilai-nilai Islam telah

Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri terdapat juru-juru dakwah yang menyebarkan Islam di lingkungannya, antara lain : Dato'ri Bandang menyebarkan agama Islam di

Kaligrafi dengan menggunakan Huruf Arab di Indonesia menjadi seni yang benar-benar baru karena tidak berpijak pada bentuk seni tradisi lokal dari

Demikianlah, dengan menampilkan serangkaian pameran besar seni rupa bernafaskan Islam di Indonesia dalam rangka Festival Istiqlal pada tahun 1991 diharapkan dapat

Titik penting perkembangan praktik seni rupa modern yang bernafaskan Islam Indonesia, secara spesifik dan konseptual dicoba ditawarkan secara terbuka, pada kegiatan

Para wali menggunakan pendekatan budaya melalui masyarakat dengan cara menyerap tradisi atau seni budaya lokal seperti wayang, gamelan, tembang Jawa yang dipadukan dengan ajaran agama