LAPORAN
PENELITIAN TERAPAN KAJIAN STRATEGIS NASIONAL
AGAMA, NEGARA, DAN MASYARAKAT
Tokoh Agama di Tengah Politik Identitas Warga Kota
Tim Peneliti:
Dr. A. Bakir Ihsan : Koordinator Dr. Cucu Nurhayati, M.Si : Anggota
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN)
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LP2M) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian yang berjudul “Agama, Negara, dan Masyarakat, Tokoh Agama di Tengah Politik Identitas Warga Kota”, merupakan laporan akhir pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Dr. A. Bakir Ihsan, dan telah memenuhi ketentuan dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen), LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 September 2020 Peneliti,
DR. A. BAKIR IHSAN NIP. 19720412 200312 1 002 Mengetahui;
Kepala Pusat, Ketua Lembaga,
Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen) Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DR. IMAM SUBCHI, MA DR. JAJANG JAHRONI, MA
NIP. 196708102000031001 NIP. 196706121994031006
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini;
Nama : Dr. A. Bakir Ihsan
Jabatan : Dosen
Unit Kerja : Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat : Jl. Kertamukti No. 5, Pisangan Barat, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
dengan ini menyatakan bahwa:
1. Judul penelitian “Agama, Negara, dan Masyarakat, Tokoh Agama di Tengah Politik Identitas Warga Kota” merupakan karya orisinal saya.
2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian dari laporan penelitian saya merupakan karya orang lain dan/atau plagiasi, maka saya akan bertanggung jawab untuk mengembalikan 100% dana hibah penelitian yang telah saya terima, dan siap mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 tahun berturut-turut.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 8 September 2020 Yang Menyatakan,
DR. A. BAKIR IHSAN NIP. 19720412 200312 1 002
ABSTRAK
Judul: “Agama, Negara, dan Masyarakat, Tokoh Agama di Tengah Politik Identitas Warga Kota”
Agama dan negara merupakan dua entitas yang identik dengan kuasanya masing- masing. Karena itu, tidak jarang keduanya bisa berkolaborasi, tidak jarang pula berkonfrontasi. Di negara modern, agama memiliki peran dalam lingkup yang beragam. Di negara yang menganut sistem sekuler, agama sebagai bagian dari tata nilai personal yang diyakini dan dijalankan pada ranah privat. Sementara di negara teokratik, agama menjadi penentu yang mewarnai keseluruhan institusi negara. Sebagian negara ada yang menempatkan agama sebagai kekuatan penting bagi transformasi warganya yang sangat kental dengan ajaran agamanya. Negara memberikan ruang ekspresi agama pada ranah publik terkait keyakinan yang bisa menggerakkan warga secara konstruktif bagi perjalanan negara. Inilah yang oleh Jose Casanova (2012) disebut sebagai agama publik. Agama publik hadir sebagai bagian dari kehidupan masyarakat tanpa melampaui peran negara, namun negara “terbantu” oleh gerak konstruktif agama. Di Indonesia, secara historis, agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan pembentukan negara bangsa.
Bahkan di dalam ideologi dan konstitusi negara, agama sebagai manifestasi dari ketuhanan ditempatkan sebagai landasan bagi tercapainya kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa. Dalam konteks ini, Indonesia disebut sebagai negara kebangsaan berketuhanan (religious nation-state) yang berbasis pada apa yang Mark Juergensmeyer menyebutnya sebagai religious nationalism (1996).
Dalam beragam posisinya, agama tetap menjadi bagian penting dalam diskursus sosial politik, terlebih di Indonesia dengan kehadiran agama yang khas dalam kehidupan warganya. Paling tidak ada tiga kelompok dalam melihat agama dan negara di Indonesia.
Pertama, kelompok yang menganggap Indonesia memberikan ruang yang sangat lapang bagi institusionalisasi agama melalui berbagai peraturan dan lembaga yang berdimensi agama sebagai konsekuensi dari keniscayaan sejarah. Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agama (baca; Islam) karena agama punya sumbangsih besar dalam perjuangan tegaknya republik ini, karena itu agama tidak bisa dilepaskan dari negara. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa keterlibatan agama dalam ruang publik, termasuk kebijakan negara merupakan konsekuensi dari proses politik dalam sistem demokrasi yang memberi ruang bagi akomodasi beragam kepentingan, termasuk agama yang kental dalam kehidupan warga negara. Kehadiran agama di ruang publik bersifat relatif dan temporal, tergantung pada sistem yang berlaku. Ketiga, kelompok yang menganggap agama sebagai bagian (subordinat) dari negara yang sama dengan elemen lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Agama merupakan keyakinan personal yang menggerakkan sikap dan perilaku pribadi pemeluknya. Negara punya otoritas untuk mengatur seluruh dimensi kehidupan masyarakat secara setara tanpa adanya dominasi keyakinan tertentu karena dapat mendiskriminasi keyakinan lainnya. Semua agama memiliki posisi yang sama sebagai sebuah keyakinan yang dijalankan secara personal oleh pemeluknya.
Ketiga pandangan tersebut menempatkan agama sebagai realitas yang signifikan dalam kehidupan negara, sehingga perlu penyikapan yang jelas dalam memposisikan agama dalam konteks negara bangsa, khususnya di era reformasi. Bagi masyarakat yang terdidik dan rasional, relasi agama dan negara sejatinya sudah jelas terbaca. Negara
tetaplah menjadi kekuatan yang ingin memastikan semua agama dapat mengaktualisasikan dirinya melalui gerak profetis penganutnya bagi kepentingan kemajuan negara. Namun faktanya, agama dan negara di era reformasi tetap menyisakan tanda tanya, termasuk di lingkungan masyarakat kota yang notabene secara pendidikan lebih maju, akses informasi lebih mudah, dan secara ekonomi relatif lebih baik dibandingkan dengan warga desa.
Menurut Gerry Van Klinken (2014) ada kecenderungan arus balik warga kota yang cenderung lebih konservatif atau dalam bahasa Martin Van Bruinessen (2013) sebagai kembalinya konservatisme (conservative turn) beriringan dengan laju kebebasan di Indonesia. Karena itu, menjadi menarik untuk ditelaah fenomena arus balik konservatisme di kalangan warga kota yang notabene lebih rasional, lebih beragam, dan tingkat pendidikan lebih bagus.
Melalui pendekatan kualitatif dengan penekanan pada wawancara mendalam (depth interview) terhadap beberapa tokoh agama di Jakarta tergambar adanya keragaman sudut pandang dalam melihat politik identitas. Tokoh agama menjadi penting untuk melihat pergerakan dakwah dan pemikirannya terkait politik identitas karena eksistensinya diyakini memiliki daya influencers rerhadap jamaah atau anggota pengajiannya. Karena itu, tokoh agama yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah mereka yang memiliki lembaga atau organisasi dengan program yang dirancang secara sistemik.
Dari hasil analisis terhadap data wawancara dan dokumen terkait terbaca bahwa di antara tokoh agama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat adanya kecenderungan politik identitas. Mereka menganggap bahwa identitas keagamaan merupakan sebuah keniscayaan dan tidak bisa dinegasikan. Namun identitas tersebut harus diaktualisasikan dalam konteks kebangsaan. Islam sebagai agama merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik kebangsaan. Politik merupakan sebuah kemestian yang harus dijalankan oleh umat Islam sebagai manifestasi dari misi rahmatan lil ‘alamin. Mereka menganggap bahwa politik identitas merupakan blow up atas kepentingan politik kekuasaan demi meraih dukungan suara. Namun demikian, politik identitas bisa muncul karena adanya dua faktor, yaitu faktor ketidakadilan, ketimpangan, kesenjangan, dan beragam bentuk kekecewaan, dan adanya ruang kebebasan menyampaikan aspirasi. Kedua faktor tersebut menjadi landasan bagi bergeraknya politik identitas keagamaan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Mencuatnya politik identitas keagamaan tersebut lebih sebagai ekspresi kepentingan politik kelompok tertentu dengan jubah agama. Keterlibatan warga dalam gerakan identitas keagamaan membuktikan bahwa formulasi pemahaman keagamaan masyarakat bersifat integratif, yaitu menempatkan seluruh persoalan kehidupan sebagai persoalan agama, tanpa adanya diferensiasi antara ranah agama sebagai ajaran Tuhan dan ranah kehidupan yang diproduksi oleh umat manusia, termasuk masalah politik.
Namun di sisi lain, terjadi paradoksalitas ketika pemahaman integratif tersebut tidak berbanding lurus dengan pengelompokan identitas keagamaan, yaitu adanya sekat antara umat Islam itu sendiri bahkan cenderung saling menegasi. Sejatinya paradigma integrative menghadirkan kolektivitas dalam keseluruhan aktualisasi ajaran Islam, termasuk dalam politik. Di sini terlihat adanya politik identitas keagamaan sebagai bentuk lain dari politisasi agama yang menurut padangan para tokoh dalam penelitian ini bertentangan dengan misi agung Islam yang ramah dan penuh rahmah. Pandangan para tokoh dalam penelitian ini tidak hanya berhenti pada sebuah idealisasi ajaran, namun juga dipraktikkan dalam berbagai kesempatan dalam beragam bentuk kegiatan, seperti pengajian, pendidikan, pelatihan, dan advokasi untuk memastikan proses penguatan pemahaman keislaman yang inklusif dan moderat. Para tokoh agama mengakui bahwa ada problem dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti korupsi dan kesenjangan sosial, termasuk kecenderungan elitisme politik yang apabila tidak diurai dan diselesaikan oleh pemerintah
secara bijak bisa menjadi pemantik bagi mengerasnya gerakan identitas keagamaan dengan beragam ekspresi dan dampaknya. Para tokoh agama mengakui bahwa perannya di tengah kecenderungan politik identitas di kalangan masyarakat yang secara pendidikan relatif baik, menjadi tantangan tersendiri dalam penguatan pemahaman keagamaan yang inklusif yang memberi ruh bagi terjalinnya harmoni dalam kehidupan masyarakat kota yang majemuk sebagai implementasi dari misi profetis rahmatan lil ‘alamin. Namun tantangan tersebut akan terasa ringan, apabila semua elemen, termasuk pemerintah dan seluruh kekuatan masyarakat, berkelindan dalam kerja kebangsaan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan yang massif dan sinergis.
Keyword: Politik identitas, identitas politik, relasi agama dan negara, demokrasi, kontestasi, Pilgub DKI Jakarta, warga kota, masyarakat urban.
KATA PENGANTAR
Agama dan negara merepresentasikan kuasa dalam kehidupan umat manusia.
Agama merepresentasikan kuasa langit (Tuhan) dan negara simbol kuasa bumi (manusia). Tak jarang keduanya berkontestasi dalam hegemoni tahta, sering pula bersinergi dalam kolaborasi budaya. Negara yang menempatkan agama sebagai bagian penting dalam kehidupan warganya melahirkan relasi yang tidak sederhana. Negara dengan orientasi modernisasinya menempatkan agama sebagai kekuatan dalam beragam simbiosis baik mutualis, komensalis, maupun parasit.
Relasi agama dan negara semakin menemukan ruang ekspresinya di alam demokrasi yang memungkinkan keterlibatan kaum agamawan (tokoh agama) dalam politik. Tokoh agama bukan lagi sekadar representasi tempat ibadah atau lembaga pendidikan agama. Bahkan pada titik tertentu, ia menjadi bagian penting dalam penentuan akumulasi kuasa dan upaya implementasi janji-janji dalam kontestasi demokrasi. Negara memiliki kepentingan terhadap eksistensi kaum agamawan sebagai proxy dalam menyapa umat yang sekaligus warga negara. Di sinilah agama dan negara berkelindan dalam kehidupan sosial politik dengan batas ruang yang sejatinya tegas, terlebih di tengah masyarakat urban yang tingkat stratifikasi sosialnya lebih jelas.
Masyarakat Jakarta merupakan potret sosial yang paling jelas memperlihatkan ciri masyarakat kota (urban). Paling tidak tata kelola kehidupan yang terjadi terdiferensiasi sebagaimana alur modernisasi. Hal ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan dan akses informasi yang lebih lapang dinikmati masyarakat Jakarta dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Namun di sisi lain, muncul kecenderungan kolektivisme dan komunalisme dalam hal keberagamaan. Dalam kasus Pilkada dan beberapa kasus lainnya, isu agama menjadi kekuatan yang mampu mendobrak diferensiasi warga.
Warga Jakarta mudah dimobilisasi dan digerakkan oleh isu agama dan berpangku pada sosok (tokoh) yang sejatinya dalam masyarakat modern lebih mandiri. Di sinilah paradoksalitas terjadi. Diferensiasi dan rasionalitas warga Jakarta runtuh oleh isu keagamaan (primordial) yang berbalut politik yang kemudian diidentifikasi sebagai politik identitas.
Politik identitas sejatinya merupakan gerakan yang memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu karena terancam oleh kecenderungan kepentingan mainstream.
Karena itu, politik identitas biasanya dilakukan oleh kelompok minoritas baik secara suku, budaya, agama, etnis, maupun lainnya yang aspirasinya terabaikan dalam langgam politik negara. Karena itu, politik identitas dimainkan untuk menarik dukungan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama dan bisa memengaruhi kebijakan.
Namun dalam perkembangannya, politik identitas sebagai sebuah gerakan perlawanan berhadapan dengan kepentingan lain yang juga berpangku pada identitas primordial, sehingga memicu terjadinya konflik.
Peminggiran politik terhadap kelompok minoritas tidak sepenuhnya berdasarkan politik identitas, tetapi lebih pada kepentingan kelompok yang beragam di dalamnya dengan mengkonstruksi identitas sebagai alat picu. Terlebih di negara yang struktur masyarakatnya plural seperti Indonesia, sejatinya sulit untuk memilah secara tegas berdasarkan identitas. Perkembangan waktu memungkin terjadinya akulturasi yang mencarikan kebekuan etnisitas dan kesukuan. Identitas sebagai sesuai yang given bisa menjadi bencana bagi kelompok tertentu yang secara politik masuk dalam kategori
minoritas. Keberadaannya cenderung terpinggirkan karena dianggap tidak memiliki modal bagi bargaining kepentingan. Apabila realitas ini yang berkembang, maka ruang bagi terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal akan terus tersedia. Padahal faktanya identitas sosial sebagai sebuah realitas yang tak terelakkan merupakan bagian yang bisa dikelola bersama dalam kehidupan sosial yang beragam.
Problem menempatkan identitas sebagai realitas tak terelakkan sering berhadapan dengan kepentingan politik yang mengobarkan identitas sekaligus menebalkan dinding dan sekat sosial. Identitas hanya menguntungkan mayoritas dan merugikan kelompok minoritas ketika ditempatkan sebagai ajang kontestasi untuk merebut kekuasaan yang sejatinya harus melayani semua. Terlebih di era modernisasi yang merupakan antitesis dari komunalitas yang berpusat, identitas sejatinya lebur dalam distribusi dan diferensiasi profesi. Konsepsi ideal ini tampaknya belum sepenuhnya terjadi di tengah masyarakat kota yang merupakan realitas ideal dalam arus besar modernisasi dan demokrasi yang mengedepankan equality (kesetaraan).
Buku ini mencoba mencari tahu bagaimana proses potret paradoksal warga Jakarta tersebut terjadi. Apa yang menyebabkan politik identitas mudah terakumulasi dalam masyarakat yang secara kalkulasi konsepsi lebih rasional dan independen.
Bagaimana tokoh agama menjadi begitu penting dalam merekonstruksi pemikiran keagamaan dan politik yang secara substansi sejatinya memiliki ruang tersendiri.
Apakah kehadiran tokoh agama karena isu yang berbalut agama atau memang ada sumbangsih yang diulurkan oleh tokoh agama untuk menggerakkan warga terkait politik keagamaan. Puncaknya pada bagaimana tokoh agama mendefinisikan agama dalam konteks kehidupan modern yang berlandaskan pada sistem demokrasi.
Peran tokoh agama menjadi menarik dilihat karena faktanya gerakan sosial yang berlangsung di Indonesia, khususnya di Jakarta sebagai ibu kota negara memunculkan tokoh-tokoh penting yang mampu menggerakkan massa dalam beragam aktivitas, mulai dari kegiatan sosial-budaya seperti pengajian sampai “politik jalanan” yang menjadi influenser bagi tumbuhnya opini dan aksi yang sejenis. Dengan melihat fenomena yang terjadi di Jakarta, maka dapat ditemukan sebuah peta perspektif tokoh agama dalam pengembangan paham keagamaan di kalangan masyarakat. Berdasarkan gerakan yang mengkristal pada sosok atau tokoh membuktikan bahwa independensi warga kota tidak sepenuhnya terjadi dalam kasus gerakan sosial keagamaan. Sebagai sebuah gerakan keberadaan tokoh lebih terkait pada struktur gerakan yang memungkinkan adanya sosok sentral. Namun dalam gerakan keagamaan yang cair, kecenderung munculnya tokoh relatif kuat karena ketokohannya bukan sekadar berlabel sosial, tapi juga keagamaan.
Tokoh agama tidak sekadar memiliki kemampuan manajerial tapi juga spiritual. Dua lapis legitimasi ini memungkinkan ketokohan yang lebih legitimatif. Salah satu contoh adalah keberadaan Habib Rizieq pasca gerakan 212 yang walaupun sosoknya tidak hadir di Jakarta, tetap menjadi epicentrum gerakan dengan beragam legitimasi teologis yang dibangun oleh jamaahnya.
Buku ini membedah eksistensi tokoh agama dengan beragam kegiatan keagamaan yang dijalankan di Jakarta. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk melihat sisi lain dari mainstream ketokohan yang terbangun selama ini. Tokoh yang hadir dalam buku ini adalah mereka yang secara intensif dan istikamah membimbing jamaah, memimpin lembaga pendidikan, aktif di organisasi keagamaan, dengan pola pandang sosial keagamaan yang beragam, khususnya dalam merespons fenomena keagamaan warga kota. Dengan telaah tersebut, diharapkan tersaji sebuah monografi sederhana tentang tokoh agama (Islam) dalam memerankan fungsinya bagi pengembangan pemahaman
keagamaan jamaah dan potret ideal yang diharapkan dari proses pendidikan yang dilakukan.
Para tokoh agama dalam buku ini tersebar di lima wilayah di Jakarta, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat dengan latar belakang organisasi keagamaan yang beragam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun organisasi sosial keagamaan lainnya. Keragaman narasumber ini diharapkan bisa memunculkan potret sinergis dalam penguatan peran tokoh agama bagi kehidupan masyarakat sebagai umat sekaligus warga negara.
Semua data yang tersaji dalam penelitian ini merupakan akumulasi dari partisipasi berbagai pihak. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua partisipan, terutama para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara mendalam di tengah kesibukan sebagai tokoh masyarakat. Terima kasih juga untuk staf peneliti, Bayu Eko Prasetyo, S. Sos dan Malik Akbar Gaung, S. Sos, yang sangat membantu dalam pencarian data dan wawancara di tengah waktu dan situasi yang terbatas karena Covid-19 di Jakarta. Untuk semua pihak yang telah ikut berperan, khususnya Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga penelitian ini bisa terlaksana, kami mengucapkan terima kasih, semoga manfaat dapat dirasakan oleh pembaca.
Jakarta, Agustus 2020
ABI - CN
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Identifikasi Masalah ... 4
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ……… 9
E. Tujuan Penelitian ……… 10
F. Manfaat Penelitian ……… 10
G. Sistematika Pembahasan ……… 10
BAB II : POLITIK IDENTITAS; SEBUAH KERANGKA TEORI ………... 13
A. Kerangka Teori ... 13
1. Monografi Politik ………... 13
2. Identitas Politik ………... 14
3. Politik Identitas ………... 15
4. Agama, Etnis, dan Kebangsaan ……….. 17
B. Literature Review ... 19
BAB III : TOKOH AGAMA DI JAKARTA; PENDEKATAN METODOLOGI PENELITIAN 22 A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22
B. Setting (Latar) Penelitian ... 22
C. Metode Penelitian ... 23
D. Teknik Pengumpulan Data ... 24
E. Prosedur Pengolahan Data ... 26
F. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 26
G. Teknik Analisis Data ... 27
BAB VI : POTRET SOSIO-POLITIK WARGA JAKARTA 28 A. Identitas Sosial Warga Kota ……….. 28
B. Stratifikasi Sosial dan Rasionalitas Politik ……….. 34
C. Dinamika Sosial Politik DKI Jakarta ……….. 40
BAB V : TOKOH AGAMA DAN POLITIK IDENTITAS
WARGA KOTA ……….. 45
A. Dinamika Politik Identitas ……….. 46
B. Politik Agama ……….. 56
1. Perspektif Tokoh Agama ……….. 56
2. Pendekatan Media Sosial ……….. 67
C. Signifikansi Peran Tokoh Agama ……….. 72
D. Negara dalam Ekspektasi dan Solusi …….…………. 80
BAB VI : PENUTUP ... 86
A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 88
C. Rekomendasi ... 89
DAFTAR PUSTAKA ………... 91
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
1.1. Pandangan Tokoh Agama tentang Negara Bangsa ………. 4
1.2. Peta Persepsi Ulama tentang Negara-Bangsa ……….. 5
1.3. 10 Kota dengan Indeks Toleran Terendah 2018 ………. 7
1.4. Capaian Indonesia dalam Political Rights dan Civil Liberty 2020 ... 8
1.5. Perkembangan Civil Liberty di Indonesia 1999-2019 ... 9
4.1. Peta Wilayah DKI Jakarta ………. 30
4.2. Jumlah Penduduk Menurut Agama di DKI Jakarta ………. 33
4.3. Pembacaan Risalah Jakarta ... 34
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI : Daerah Khusus Ibukota
DPD : Dewan Perwakilan Daerah DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah GDP : Gross Demostic Product
GNPF : Gerakan Nasional Pengawal Fatwa HTI : Hizbut Tahrir Indonesia
IDI : Ikatan Dokter Indonesia KPU : Komisi Pemilihan Umum KUB : Kerukunan Umat Beragama MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat MUI : Majelis Ulama Indonesia
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
PartyID : Party Identification
PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PDB : Produk Domestik Bruto
Persis : Persatuan Islam
PGRI : Persatuan Guru Republik Indonesia Pilgub : Pemilihan Gubernur
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah Pilpres : Pemilihan Presiden
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
SARA : Suku, Agama, Ras, Antargolongan UUD : Undang-Undang Dasar