• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of POLEMIK PESANGON DALAM PERSPEKTIF UU OMNIBUS LAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of POLEMIK PESANGON DALAM PERSPEKTIF UU OMNIBUS LAW"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

362 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01602 7 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

POLEMIK PESANGON DALAM PERSPEKTIF UU OMNIBUS LAW

Elvira Fitriyani Pakpahan, Nilam Permata Daeli, Evelyne, Heriyanti Universitas Prima Indonesia

Jl. Sampul No.3, Sei Putih Bar., Kec. Medan Petisah, Kota Medan Email: [email protected]

Disubmit: 31-08-2021 | Direview: 18-11-2021 | Diterima: 03-06-2022

Abstract

This paper aims to assist in providing understanding to both entrepreneurs and workers or workers, as well as the general public that the Omnibus Law which is considered detrimental to each party was formed by the government with several other alternatives that can be used to deal with problems that arise in the scope of work, and can help the country in improving its economy, one of which is by attracting the attention of foreign investors to be interested in investing in this country. This research is uses qualitative methods through qualitative descriptive procedures. The Omnibus Law itself can be good news for the general public because it can be a solution to severance pay cases for workers who are victims of termination of employment.

Keywords: Job Creation Law; Omnibus Law; Severance Pay.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membantu dalam memberikan pemahaman baik kepada para pengusaha maupun buruh atau pekerja, serta masyarakat umum bahwa UU Omnibus Law yang dianggap merugikan masing-masing pihak dibentuk pemerintah dengan beberapa alternatif lain yang dapat digunakan untuk menanggani permasalahan yang timbul di lingkup pekerjaan, serta dapat membantu negara dalam memperbaiki perekonomiannya, salah satunya adalah dengan cara menarik perhatian para investor asing agar tertarik untuk berinvestasi di negeri ini.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif secara deskriptif kualitatif. UU Omnibus Law ini sendiri dapat jadi kabar baik untuk masyarakat, sebab dapat menjadi pemecahan dari perkara pesangon untuk buruh yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja.

Kata kunci: Omnibus Law; Pesangon; UU Cipta Kerja.

(2)

Pendahuluan

UU Omnibus Law menguntungkan jika dinilai dari segi waktu dan biaya, tetapi terjadi banyak penolakan1. Penolakan terjadi sejak Januari 2017 silam, dimana Presiden Republik Indonesia ke – 7 yaitu Bapak Ir. H. Joko Widodo mengumumkan Paket Reformasi Hukum Jilid II, sebagai kelanjutan dari Paket Reformasi Jilid I. Paket Jilid II berfokus pada banyak hal, salah satunya merupakan penyusunan regulasi2. Penyusunan itu digunakan sebagai pendukung keputusan Presiden untuk kemudahan berinvestasi dan melakukan usaha. Dalam Kebijakan Paket Jilid II tersebut Presiden Joko Widodo mencetuskan akan mengajukan RUU Cipta Kerja.3 UU ini sendiri menyita perhatian pemerintah untuk mewujudkan tujuannya, yaitu untuk memperjelas peraturan Indonesia yang tumpang tindih birokrasi dan regulasi, dan besar harapan bahwa UU ini bisa memberikan manfaat yang berguna untuk masyarakat, serta dapat membuat investor asing berminat untuk menanam modal di Negara kita.

Secara terminologi, berbagai literatur mengatakan bahwa Omnibus diambil dari kata Latin, yang berarti “menyeluruh”4. Selain

1 Tomy Michael, “Bentuk Pemerintahan Perspektif Omnibus Law”, Jurnal Ius Constituendum Vol. 5 No. 1, (April 2020): 161.

2 Bayu Dwi Anggono, “Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan UU: Peluang Adopsi dan Tantangannya Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal RechtsVinding Vol. 9 No. 1, (April 2020): 18.

3 Yhannu Setyawan, “RUU Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 7 No. 1, (Maret 2020):

151-152.

4 Dhaniswara K. Harjono, “Konsep Omnibus Law Ditinjau dari UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Hukum Vol. 6 No. 2, (Agustus 2020): 99.

5 Firman Adi Candra, “Kritisi Omnibus Law Dalam Perspektif Toleran Dalam Khilafiyah”, Jurnal Res Justitia Vol. 1 No. 1, (Januari 2021): 71.

itu arti dari omnibus law adalah UU yang secara menyeluruh memperbaiki beragam UU supaya mengarah pada masalah yang rumit pada suatu negara.

UU Cipta Kerja dapat diartikan sebagai peraturan yang mengandung beragam topik atau masalah. Bryan A Garner mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Black Law Dictionary Ninth Edition” yakni:

“Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes”5.

Maksudnya UU ini menyangkut beragam tujuan atau kejadian sekalian, serta mempunyai beragam maksud. Oleh sebab itu, kerangka peraturan yang telah terkenal pada tahun 1840, adalah peraturan yang mempunyai sifat merata, serta komprehensif, tiada bergantung ke suatu kekuasaan pemerintahan saja.

Konsep mengenai UU Cipta Kerja memiliki pengertian yang berlainan di setiap negara, misalnya saja, Amerika Omnibus Law mengandung arti sendiri, yakni suatu program penyusunan peraturan yang mengandung satu atau lebih permasalahan yang nyata, serta sedikit permasalahan yang sudah disatukan

(3)

jadi suatu UU6.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa UU ini merupakan peraturan yang mencakup bermacam-macam inti peraturan7. Omnibus Law sendiri adalah konstitusi yang baru disahkan di Indonesia. Undang-Undang tersebut umumnya juga disebut dengan UU sapu jagat, hal ini dikarenakan di dalam UU ini dapat mengganti beberapa peraturan UU dalam satu peraturan8, selain itu istilah ini dimaksudkan untuk mengubah, menghapus ataupun menarik beberapa UU lainnya, serta UU ini diharapkan dapat menyederhanakan beberapa peraturan yang kurang sesuai dengan kebutuhan negara serta beberapa aturan yang dapat merugikan negara. Tidak hanya itu UU tersebut dijadikan tujuan untuk mencabut sebagian peraturan yang sekiranya kurang cocok untuk mengikuti pertumbuhan era serta menimbulkan kerugian untuk negara.

Pengesahan UU ini juga yang membuat penulis tertarik untuk membahas jurnal dengan judul “Polemik Pesangon Dalam Perspektif UU Omnibus Law”. Hal ini dikarenakan penulis yang menempatkan diri sebagai pengusaha juga sangat ingin tahu mengenai alasan pemerintah mengesahkan UU Omnibus Law di tengah banyaknya kerusuhan dan kontroversi yang dituai akibat dari pengesahan UU tersebut, terutama di

6 Adhi Putra Satria, “Sibernetika Talcott Parsons: Suatu Analisis Terhadap Pelaksanaan Omnibus Law dalam Pembentukan UU Cipta Lapangan Kerja di Indonesia”, Jurnal Indonesian State Law Review Vol. 2 No. 2, (April 2020): 111-112.

7 Bayu Jati Jatmika, “Asas Hukum Sebagai Pengobat Hukum; Implikasi Omnibus Law”, Jurnal Audit dan Akuntasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura Vol. 9, No. 1, (2020): 71-83.

8 Adhi Setyo Prabowo, “Politik Hukum Omnibus Law”, Jurnal Pamator Vol. 13 No. 1, (April 2020): 4.

9 Agropustaka, “Daftar Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”. https://www.agropustaka.id/

regulasi/daftar-undang-undang-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja/.

kalangan pekerja. Omnibus Law sendiri mencakup berbagai peraturan, salah satunya mengenai pesangon karyawan akibat PHK.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis akan fokus pada pembahasan pesangon terhadap karyawan yang telah di PHK

UU Cipta Kerja dalam konteks Omnibus Law, mengandung arti bahwa “Satu UU yang mengendalikan berbagai masalah”, dimana terdapat 79 UU yang berisi 1.244 pasal dan kemudian akan disederhanakan kedalam 174 pasal serta 15 bab dan mengarah pada 11 gugus pada UU baru yang salah satunya mengatur tentang ketenagakerjaan. Gugus ini meliputi:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20049 mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 mengenai Jamsostek

3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional

4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2002 mengenai Serikat Pekerja

Berdasarkan pembahasan tersebut, kasus yang hendak dibahas oleh penulis pada jurnal ini yaitu:

1. Apa saja perubahan peraturan UUK Nomor 13 Tahun 2003 di Omnibus Law dalam gugus ketenagakerjaan, khususnya

(4)

mengenai pesangon buruh atau pekerja setelah mengalami PHK?

2. Apa yang menjadi pertimbangan pemerintah sehingga memutuskan untuk menggunakan Omnibus Law sebagai acuan dalam pemberian pesangon kepada karyawan yang terdampak PHK?

Metodologi yang dipakai untuk membuat riset ini adalah dengan metode kualitatif, yaitu informasi serta penyajiaannya meggunakan tata cara deskriptif kualitatif, yakni tata cara riset yang dipakai guna memecahkan dan menyelesaikan sesuatu permasalahan yang sedang berjalan ataupun terjalin dengan cara menggambarkan, menjelaskan, mendeskripsikan dan menganalisis kondisi suatu permasalahan dari sudut pandang penulis. Peneliti memakai informasi yang bersumber dari peraturan perundang- undangan, serta hasil karya dari kalangan hukum yang sebelumnya telah dipelajari.

Pengkajian ini didasarkan atas norma-norma yang terdapat pada aturan perundang-undangan yang dilakukan dengan mengambarkan dengan nyata mengenai kompabilitas pelaksanaan rancangan Omnibus Law pada konstitusi Indonesia.

Pembahasan

A. Perubahan Peraturan UUK Nomor 13 Tahun 2003 di Omnibus Law dalam Gugus Ketenagakerjaan, Khususnya Mengenai Pesangon Buruh atau Pekerja

10 Adea Suci Adara, Kontroversi Omnibus Law Cipta Kerja dalam Perspektif Utilitarianisme, (Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2019): 4.

Meski terjadi banyaknya konflik di Indonesia, pemerintah tetap bersikeras untuk mengesahkan UU Omnibus Law, khususnya untuk klaster UU Cipta Kerja, yang diharapkan pemerintah dapat menyelesaikan banyaknya permasalahan di lingkungan kerja khusunya mengenai pesangon karyawan yang menjadi korban PHK10.

Pada Omnibus law terdapat beberapa pasal yang menuai kontroversi, salah satunya adalah sebagai berikut:

Dalam pasal 156 UUK mengatur mengenai uang penggantian hak ataupun pesangon yang sepatutnya diberikan kepada karyawan sebagaimana diartikan pada ayat 1 yaitu:

a. Hak cuti yang belum habis masanya serta belum dipakai;

b. Uang transportasi bagi karyawan beserta keluarga ditempat dimana karyawan bekerja;

c. Maksimal pesangon untuk karyawan yang dikenai PHK dapat mencapai 32 kali upah pekerja sebagaimana diatur dalam UUK kontrak kerja, peraturan perusahaan atau hal-hal lain sebagaimana tertera pada kontrak kerja.

Sanksi Jaminan Pensiun Pasal 167 ayat 5 UUK menyatakan: Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja atau buruh yang mengalami PHK, karena usia pensiun pada program penisun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja atau buruh uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan pada pasal 156 ayat 2, uang penghargaan masa kerja 1

(5)

kali ketentuan pada pasal 156 ayat 3 dan uang pengantian hak sesuai ketentuan pada pasal 156 ayat 4.

UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja atau buruh dalam program pensiun yang sebelumnya tertuang dalam pasal 184 UUK yang menyatakan: “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 167 ayat 5, dikenakan sanksi pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 dan paling banyak Rp500.000.000.00”

Berikut 10 hal yang mendasari terjadinya PHK oleh UU Cipta Kerja yang dilakukan oleh Perusahaan, yakni sebagai berikut:

1) Melasksanakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, serta pemisahan perusahaan.

2) Terjadinya Efisiensi

3) Dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang

4) Melakukan perbuatan yang merugikan pekerja

5) Karyawan mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui 12 bulan.

6) Karyawan tidak datang selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi bukti sah, dan telah dipanggil pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis

7) Saat karyawan melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut 8) Karyawan tidak melakukan kewajibannya

selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana

9) Karyawan memasuki usia pensiun;

10) Saat karyawan meninggal dunia.

Dibawah ini rincian uang pesangon yang akan diterima karyawan berdasarkan UUK Nomor 13 Tahun 2003, pasal 156:

1) Jika terjadi PHK, pengusaha harus memberikan pesangon ataupun imbalan masa kerja serta kompensasi atas hak yang sepatutnya didapat.

2) Pesangon dimaksudkan dalam ayat 1 diberikan dengan ketentuan sekurang- kurangnya harus memenuhi syarat, sebagai berikut:

a. Bekerja > 1 tahun, menerima pesangon sebesar satu bulan gaji b. Bekerja satu tahun ataupun lebih,

namun < dua tahun, menerima pesangon dua bulan gaji

c. Bekerja dua tahun ataupun lebih, namun < 3 tahun, menerima pesangon 3 bulan gaji

d. Bekerja 3 tahun ataupun lebih, namun < 4 tahun, menerima pesangon 4 bulan gaji

e. Bekerja 4 tahun ataupun lebih,

(6)

namun < 5 tahun, menerima pesangon 5 bulan gaji

f. Bekerja 5 tahun ataupun lebih, namun < 6 tahun, menerima pesangon 6 bulan gaji

g. Bekerja 6 tahun ataupun lebih, namun < 7 tahun, menerima pesangon 7 bulan gaji

h. Bekerja 7 tahun ataupun lebih, namun < 8 tahun, menerima pesangon 8 bulan gaji

i. Bekerja 8 tahun ataupun lebih, menerima pesangon 9 bulan gaji11 Sedangkan pesangon akan diberikan kepada karyawan berdasarkan Undang- Undang Cipta Kerja yang diatur yakni:

1) Bila terkena PHK, pengusaha berkewajiban memberikan pesangon dan/ataupun uang penghargaan selama bekerja serta uang penggantian hak yang sepatutnya didapat.

2) Pesangon diberikan maksimal sesuai aturan pada ayat 1 sebagai berikut:

a. Bekerja < 1 tahun, menerima uang pesangon sebesar sebesar 1 bulan gaji

b. Bekerja 1 tahun ataupun lebih, namun < 2 tahun, menerima uang pesangon sebesar 2 bulan gaji

c. Bekerja 2 tahun ataupun lebih , namun < 3 tahun, menerima pesangon sebesar 3 bulan gaji

d. Bekerja 3 tahun ataupun lebih , namun < 4 tahun, menerima

11 Dipna Videlia Putsanra, “Poin-Poin isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal Pesangon Upah” https://tirto id/poin-poin-isi-uu-cipta-kerja-omnibus-law-soal-pesangon-hingga-upah-f5EK, diakses 07 Oktober 2020

pesangon sebesar 4 bulan gaji

e. Bekerja 4 tahun ataupun lebih , namun < 5 tahun, menerima pesangon sebesar 5 bulan gaji

f. Bekerja 5 tahun ataupun lebih , namun < 6 tahun, menerima pesangon sebesar 6 bulan gaji

g. Bekerja 6 tahun ataupun lebih , namun < 7 tahun, menerima pesangon sebesar 7 bulan gaji

h. Bekerja 7 tahun ataupun lebih , namun < 8 tahun, menerima pesangon sebesar 8 bulan gaji

Pasal ini dapat membuat karyawan menjadi rugi, karena pada UUK No.13 Tahun 2003 pasal 156, pesangon diatur dengan kata

“paling sedikit”, sementara pada Undang- Undang Cipta Kerja, diatur pesangon dengan kata “paling banyak”. Undang-Undang Ketenagakerjaan mengurus paling sedikit pesangon dari yang di dapatkan karyawan, sementara Undang-Undang Cipta Kerja mengurus mengenai paling banyak pesangon dari yang akan didapatkan karyawan.

Sementara untuk uang penghargaan masa kerja, adapula yang akan didapat oleh para karyawan atau buruh ialah:

a. Masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi < 6 tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 2 bulan upah

b. Masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi < 9 tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 3 bulan upah

c. Masa kerja 9 tahun atau lebih, tetapi < 12

(7)

tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 4 bulan upah

d. Masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi < 15 tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 5 bulan upah

e. Masa kerja 15 tahun atau lebih, tetapi < 18 tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 6 bulan upah

f. Masa kerja 18 tahun atau lebih, tetapi < 21 tahun, menerimakan uang penghargaan sebesar 7 bulan upah

g. Masa kerja 21 tahun atau lebih, tetapi

< 24 tahun, menerimakan penghargaan sebesar 8 bulan upah

h. Masa kerja 24 tahun atau lebih menerimakan uang penghargaan sebesar 10 bulan upah

Dari pembahasan diatas, pekerja pasti lebih menyetujui permberlakuan peraturan dalam UUK. Dikarenakan perhitungan upah pekerja serta penghargaan atas masa kerja lebih besar nilainya tanpa ada maksimal uang yang diberikan suatu perusahaan. Sementara pada UU Cipta Kerja perhitungan upah dan penghargaan masa kerja telah mencapai besaran upah maksimal sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tetapi penulis lebih menyetujui peraturan dalam UU Cipta Kerja, karena peraturan ini tidak merugikan kedua belah pihak, baik dari pihak perusahaan maupun pihak pekerja tidak terlalu terbebani. Dimana perusahaan tetap memberikan tunjangan kepada karyawan dengan nominal yang sesuai kemampuan perusahaan dan pekerja tetap menerima

haknya dari loyalitas selama bekerja.

B. Pertimbangan Pemerintah Sehingga Memutuskan untuk Menggunakan Omnibus Law Sebagai Acuan dalam Pemberian Pesangon Kepada Karyawan yang Terdampak PHK

Bagi seluruh buruh atau karyawan UU Cipta Kerja ini pasti dianggap sangat merugikan. Pertama, dikarena uang penggantian perumahan dan hak kesehatan dengan aspek sebesar 15% gaji telah ditiadakan. Yang kedua, adanya penurunan penerimaan pesangon maksimal jika karyawan atau buruh mengalami PHK, yaitu dari 32 kali upah karyawan menjadi 19 kali upah karyawan dan 6 kali dari BPJS Ketenagakerjaan.

Tetapi jangan langsung salah sangka terhadap pemerintah, penghapusan pasal tersebut dilakukan karena pemerintah menganggap dengan adanya BPJS Kesehatan serta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah dapat menutupi kedua aspek tersebut.

Apalagi telah ditambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Undang- Undang Cipta Kerja ini. Hal ini juga didukung dengan pertimbangan mengenai kondisi Indonesia saat ini, terutama dampak dari pandemi Covid-19.

Pemerintah sepenuhnya mengelola mengenai JKP. Lewat JKP, diberikan manfaat berbentuk upscalling serta upgrading oleh pemerintah kepada karyawan yang dikenai PHK. Jika pada UUK Nomor 13 Tahun 2003 sekedar memperoleh pesangon berupa uang

(8)

saja. Namun, di program JKP ada 3, yaitu upgrading, cash benefit, serta, upscaling.

Uang tunai (cash benefit) sepanjang 6 bulan pasca PHK diberlakukan merupakan salah satu bentuk kegunaanya. Kegunaan ini hanya berlaku terhadap buruh yang telah tercatat sebagai peserta BP Jamsotek. Kedepannya, cash benefit akan menjadi manfaat tambahan bagi peserta, selain dari beberapa jaminan yang telah diberikan sampai saat ini, seperti kecelakaan kerja, kematian, hari tua, serta pensiun. “Maksudnya untuk karyawan atau buruh yang kehilangan karyawanan jika dilihat dari sistem ketenagakerjaan dengan alibi industri tersebut tidak dapat bersaing atau beroperasi lagi, cash benefit akan diberikan sebagai bentuk jaminan tenaga kerja ini”12.

Mengutip data pada tahun 2019 dari Kemenaker mengatakan bahwa yang memenuhi pembayaran kompensasi yang cocok dengan syarat UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 hanyalah berjumlah 27% pengusaha. Sisanya sebanyak 73%

pengusaha tidak melaksanakan pembayaran kompensasi PHK yang cocok dengan syarat UUK. Alibi yang diberikan oleh industri pun beraneka ragam, mulai dari mengaku pailit, hingga tidak mampu membayarkan upah karyawan hingga karyawan tidak bekerja lagi. Apalagi dari informasi Survei Angkatan Kerja Nasional BPS 2018 yang dikutip dari laporan World Bank, melaporkan kalau 66% karyawan tidak menerima sama sekali

12 Tsarina Maharani. “Dalam RUU Cipta Kerja, Pesangon PHK Turun Jadi 25 Kali Upah”, https://nasional.

kompas.com/read/2020/10/03/19393001/dalam-ruu-cipta-kerja-pesangon-phk-turun-jadi-25-kali- upah?page=all. diakses 03 Oktober 2020

13 Kontan.co.id. “CORE: UU Cipta Kerja jamin kepastian pesangon bagi karyawan yang terdampak PHK”.

pesangon yang sesuai dengan peraturan UU Cipta Kerja, apalagi 27% karyawan menerima pesangon yang sepatutnya didapat, serta hanya 7% karyawan yang menerima pesangon sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Para karyawan menerima angin segar dari berlakunya UU ini, sebab UU ini sanggup jadi penyelesaiaan dari permasalahan pesangon untuk karyawan yang terkena PHK. Hingga diberikan kepastian pembayaran pesangon untuk karyawan yang terkena PHK di sektor apapun. Walaupun jumlah pengkalian pesangonnya lebih rendah, yaitu dari 32 jadi 25 kali upah karyawan. Tetapi peraturan ini melindungi hak pesangon karyawan secara lebih pasti, karena karyawan yang terkena PHK pasti akan dibayarkan pesangonnya. Hal ini dikarenakan klausulnya sudah menjadi pidana dan tidak lagi menjadi perdata. Jika perusahaan tidak berniat memberikan hak karyawan seperti yang tertulis pada Undang- Undang, maka perusahaan tersebut dapat terancam pidana serta dapat dipidanakan.

Maksudnya, bagaimana bisa masyarakat berkata pemerintah merugikan karyawan, sedangkan pembahasan di atas sudah menjelaskan bahwa UU ini juga melindungi kesejahteraan karyawan, tanpa memberatkan pihak pengusaha.13

UUK Nomor 13 Tahun 2003 juga memiliki kekurangan, yaitu jika perusahaan belum mampu melakukan pembayaran, maka hanya bisa dilakukan penuntutan secara perdata dan

(9)

lebih beratnya lagi bayaran yang diperlukan akan dilimpahkan kepada pihak penuntut.

Berikut perbedaan antara UUK dan UU

https://nasional.kontan.co.id/news/core-uu-cipta-kerja-jamin-kepastian-pesangon-bagi-karyawan-yang- terdampak-phk, diakses 26 Desember 2020

Omnibus Law yang disusun dalam table dibawah ini:

Tabel 1. Perbedaan Antara UUK dan UU Omnibus Law

No. UUK No. 13 Tahun 2003 UU Omnibus Law

1 Diberikan uang penggantian perumahan & hak kesehatan sebesar 15% gaji.

Dalam UU ini aspek penggantian perumahan & hak kesehatan telah ditiadakan.

2 Penerimaan pesangon karyawan jika terjadi PHK adalah 32 kali upah.

Pesangon karyawan jika terjadi PHK adalah 19 kali upah ditambah 6 kali dari BPJS Ketenagakerjaan.

3 Pemberiaan pesangon hanya berupa uang tunai saja.

Terdapat program JKP, sehingga pemberian pesangon terbagi 3, yaitu upgrading, cash benefit, serta upscaling.

4 Perusahaan bisa saja tidak membayarkan pesangon kepada pekerja yang di PHK dengan alibi pailit.

Pekerja diberikan kepastiaan hukum bahwa perusahaan pasti akan membayarkan pesangon mereka.

5 Hanya dapat diperkarakan secara perdata.

Dapat diperkarakan secara pidana.

Sumber: Diolah Penulis Pemerintah sendiri telah mengambil

langkah dengan mengganti sebagian aturan di Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 perihal Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Salah satunya adalah menghadirkan JKP sebagai tambahan program dari beberapa jaminan yang sebelumnya telah tercakup, yakni jaminan kematian, kesehatan, pension, kecelakaan kerja, serta hari tua.

Secara khusus JKP diatur dalam pasal 46 huruf a yang menyatakan:

a. Buruh ataupun karyawan berhak memperoleh JKP jika terkena PHK.

b. Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyelenggarakan JKP.

c. PP menetapkan lebih dalam tentang

pengelolaan JKP secara sistematis.

Pada pasal 46 huruf b berisi :

“JKP diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak untuk karyawan atau buruh saat kehilangan karyawanan ialah penyebab diselenggarakannya JKP.”

Dalam pasal 46 huruf c berisi: “Partisipan JKP merupakan tiap individu yang sudah melunasi iuran”

Sedangkan pasal 46 huruf d terdiri dari:

a. Uang tunai, pelatihan kerja, akses informasi pasar kerja, serta pelatihan kerja ialah fungsi dari JKP.

b. Hanya peserta yang telah memiliki

(10)

masa kepertaan tertentu yang dapat memperoleh manfaat JKP seperti yang dijelaskan pada pasal

c. PP mengatur lebih lanjut mengenai kegunaan JKP dalam ayat 1&2

Sementara itu pendanaan JKP diatur dalam pasal 46, yaitu:

a. Pendanaan JKP berasal dari rekomposisi iuran program jaminan social, dana operasional BPJS Ketenagakerjaan,serta modal awal pemerintah

b. PP mengatur lebih dalam tentang pendanaan JKP seperti yang diartikan pada ayat 1.

Seiring dengan tambahan progam jaminan social, maka pemerintah juga menambah beberapa ketentuan mengenai BPJS dalam UU Nomor 24 Tahun 2011. Ketentuan yang diubah oleh UU ini antara lain pada Pasal 6 yang berbunyi:

a. BPJS Kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf a melaksanalan program jaminan kesehatan.

b. BPJS Ketenagakerjaan seperti maksud pasal 5 ayat 2 huruf b menjalankan program jaminan, yaitu kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian, dan JKP Selanjutnya ketentuan pada Pasal 9 juga diubah, sehingga pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

a. BPJS Kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf a berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

b. BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 2 huruf b berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan hari tua, dan program JKP Lalu, ketentuan pada Pasal 42 juga diubah, sehingga pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Modal awal sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 41 ayat 1 huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp.2.000.000.000.000 (Dua Triliun) yang bersumber dari APBN.”

Indonesia ialah negara di ASEAN yang memberikan jaminan pesangon paling tinggi kepada karyawan yang terdampak PHK, yakni 32 kali (Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja). Contoh Negara di ASEAN yang memberikan jaminan kepada karyawan : a. Vietnam memberikan jaminan pesangon

kepada karyawan maksimal sebesar 10 kali upah

b. Thailand hanya memberikan jaminan pesangon kepada karyawan sebesar 10 kali upah

c. Malaysia dan Filipina memberikan maksimal sebesar 20 kali upah karyawan sebagai jaminan pesangon yang diterima.

Pantas dicermati, UU Cipta Kerja memadatkan supaya syarat lebih lanjut tentang pembayaran pesangon yang secara detail akan diatur dalam PP, yang kurang lebih terdapat 5 PP. Tetapi pada 21 Februari 2021 pemerintah sudah menerbitkan ketentuan turunan dari

(11)

UU Cipta Kerja, yaitu PP dan Perpres.

JDIH Departemen Sekretariat Negeri telah menerbitkan 45 PP serta 4 Perpres. Menurut Eddy Cahyono Sugiarto selaku Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementrian Sekretariat Negara Indonesia, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang berisi4 Perpres serta 45 PP yang dinantikan bisa lekas memberikan dampak terhadap usaha pemulihan perekonomian nasional sekalian jadi kesempatan baik untuk kebangkitan bagi Indonesia.14

Secara singkat, dari uraian tersebut bisa ditarik kesimpulan kalau yang senantiasa membayarkan pesangon jika terjadi PHK adalah pengusaha. Komponen gaji digunakan untuk dasar perhitungan uang pesangon yang meliputi gaji tetap dan tunjangan yang diberikan kepada karyawan dan keluarganya.

Jika Penghasilan karyawan diberikan setiap hari, gaji bulanan sesuai dengan 30 kali gaji harian. Jika gaji ditetapkan berdasarkan perhitungan pendapatan unit, gaji 1 bulan sesuai dengan pendapatan rata-rata 12 bulan terakhir. Namun, jika jumlah rata-rata lebih kecil dari gaji minimum, maka gaji yang diperhitungkan dalam kompensasi adalah gaji minimum yang berlaku di tempat kedudukan perusahaan.

Perlu diketahui juga bahwa tidak cuma Indonesia yang menggunakan Omnibus Law, tetapi banyak dari negara–negara lain yang

14 Kontan.co.id. “Sejumlah aturan Pesangon Hilang dalam UU Cipta Kerja ini, Ini Penjelasan Pemerintah”.

https://nasional.kontan.co.id/news/sejumlah-aturan-pesangon-hilang-dalam-uu-cipta-kerja-ini-penjelasan- pemerintah, diakses 06 Oktober 2020

15 Tirta Citradi. “Tak Cuma di RI, Omnibus Law Banyak Dipakai Negara Lain”. https://www.cnbcindonesia.

com/news/20200121152155-4-131621/tak-cuma-di-ri-omnibus-law-banyak-dipakai-negara-lain

menggunakan sistem UU Omnibus Law ini, terutama negara yang menganut anglo saxon (common law), contohnya saja Filipina seta Kanada.

Kanada menerapkan perjanjian tentang perdagangan internasional dengan memakai pendekatan Omnibus Law. Negara ini memperbarui 23 UU yang sudah ada sejak dulu supaya bisa taat terhadap peraturan WTO15.

Filipina memakai Omnibus Law dengan konteks yang hampir sama dengan Indonesia, yakni mengenai penanaman modal. The Omnibus Investment Code adalah sekumpulan aturan yang membagikan insentif komprehensif baik secara fiskal ataupun non-fiskal untuk pembangunan nasional, serta telah ditinjau oleh pemerintahnya.

Turki, Selandia Baru, serta Australia ialah beberapa contoh negara yang juga sudah menerapkan pendekatan UU Omnibus.

Turki adalah negara yang memakai Omnibus Law buat mengamandemen peraturan mengenai perpajakan. PPN, PPh, tabungan pension, belanja pajak, asuransi kesehatan, serta jaminan social merupakan aspek yang diamandemen oleh Negara ini.

Turki mengeluarkan Omnibus Law (Januari 2019) No 7.161 yang mengakibatkan berbagai perubahan yang berarti, semacam akumulasi perbandingan mata uang selaku basis PPN, dibuat menjadi “rasio harga

(12)

konsumen” selaku acuan guna memastikan peningkatan harga leasing, dan pembayaran upah personil penerbangan swasta yang dibebaskan dari pembayaran pajak sebesar 70%.

Selandia Baru pun memakai Omnibus Law dengan tujuan hampir mendekati Turki, yaitu diterapkan buat perpajakan pada Taxation Act 2019. Aturan itu dikeluarkan guna menaikkan pengaturan pajak yang berlaku sekarang untuk broad-base (kerangka yang luas), serta dengan biaya yang rendah (low-rate) dalam rangka buat mendesak ketaatan pada kewajiban pajak.

Pendekatan Omnibus Law ini juga dipakai oleh Australia. Misalnya saja seperti Act on Implementation of US FTA dipakai untuk menerapkan perjanjian perdagangan yang leluasa antara Australia dengan USA.

Pendekatan Omnibus Law pula diimplementasikan pada negeri yang memakai civil law, contohnya Vietnam. Negara ini sukses membangun Omnibus Law, seperti Law on Excise Tax and the Law on Tax Administration, Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Law on Value-Added Tax.

Peraturan itu mengganti, mengamandemen, dan menghapus sebagian pasal yang ada dalam UU PPN, UU Administrasi Perpajakan, serta UU Pajak Cukai. Terdapat juga Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Laws on Taxes yang mengganti, mengamandemen, dan menghapus sebagian pasal yang terdapat dalam UU, seperti Pajak Cukai, PPN, Pajak Penghasilan Badan Usaha, Pajak Royalti, Administrasi Perpajakan, serta

Pajak Ekspor-Impor.

Walaupun terdapat sebagian UU yang bersumber pada cirinya mempunyai karakteristik mirip dengan Omnibus Law, di Indonesia peraturan tersebut pun terkategori baru. Beragam Undang-Undang yang mempunyai karakteristik mirip dengan Omnibus Law, yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2017 mengenai Akses Informasi Keuangan buat Kepentingan Perpajakan, serta UU No.

11 Tahun 2016 mengenai Pengampunan Pajak.

Kesimpulan

Perubahan peraturan UUK Nomor 13 Tahun 2003 UUK di Omnibus Law UU ini diharapkan pemerintah dapat mengatasi masalah ekonomi yang ada di Indonesia, namun di dalam UU Omnibus Law ini banyak ditemukan pasal-pasal yang menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama di kalangan karyawan, baik karyawan swasta maupun pegawai negeri sipil sampai para buruh.

Apalagi Omnibus Law ini meningkatkan terjadinya JKP, skema baru bersumber dari prinsip asuransi sosial yang tiada menurunkan fungsi dari jaminan sosial yang lain, serta tiada meningkatkan kesulitan untuk buruh ataupun karyawan, serta dari informasi yang diterima sebanyak 6 kali gaji buruh.

Yang kedua mengenai turunnya pesangon maksimal yang diterima karyawan atau buruh jika terjadi PHK, hal ini di atasi pemerintah dengan cara mengatur mengenai besaran pesangon di dalam PP sebagai turunan UU

(13)

Cipta Kerja.

Saran

Sehabis diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 2020 perihal Cipta Kerja, penulis menaruh harapan besar terhadap agar kedepannya Undang-Undang ini dapat

membantu mengatasi perekonomian di Indonesia. Khususnya bagi para karyawan atau buruh, supaya menerimakan jaminan jika sewaktu-waktu mengalami PHK, melalui jaminan dari besaran pesangon di dalam PP sebagai turunan dari UU Cipta Kerja.

DAFTAR PUSTAKA Jurnal

Adara, Adea Suci. “Kontroversi Omnibus Law Cipta Kerja dalam Perspektif Utilitarianisme”. (Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2019): 4.

Anggono, Bayu Dwi. “Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang:

Peluang Adopsi dan Tantangannya Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia”. Jurnal RechtsVinding Vol.

9, No. 1, (April 2020): 18

Candra, Firman Adi. “Kritisi Omnibus Law Dalam Perspektif Toleran Dalam Khilafiyah”. Jurnal Res Justitia Vol. 1, No. 1, (Januari 2021): 71.

Harjono, Dhaniswara K. “Konsep Omnibus Law Ditinjau dari Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”.

Jurnal Hukum Vol. 6, No. 2, (Agustus 2020): 99.

Jatmika, Bayu Jati. “Asas Hukum Sebagai Pengobat Hukum; Implikasi Omnibus Law”, Jurnal Audit dan Akuntasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Tanjungpura Vol. 9, No. 1, (2020): 71-83.

Mayasari, Ima. “Kebijakan Reformasi Regulasi Melalui Implementasi Omnibus Law di Indonesia”. Jurnal RechtsVinding, Vol.

9, No. 1, (April 2020): 2.

Michael, Tomy. “Bentuk Pemerintahan Perspektif Omnibus Law”. Jurnal Ius Constituendum Vol. 5, No. 1, (April 2020): 161.

Prabowo, Adhi Setyo. “Politik Hukum Omnibus Law”. Jurnal Pamator Vol. 13, No. 1, (April 2020): 4.

Satria, Adhi Putra. “Sibernetika Talcott Parsons: Suatu Analisis Terhadap Pelaksanaan Omnibus Law dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di Indonesia”. Jurnal Indonesian State Law Review Vol. 2, No. 2, (April 2020): 111-112

Setyawan, Yhannu. “Rancangan Undang- Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”.

Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 7, No.

(14)

1, (Maret 2020): 151-152 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Cipta Kerja

Undang-Undang No.12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan

Undang-Undang No.40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional

Naskah Internet

Agropustaka. “Daftar Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja”.

https://www.agropustaka.id/regulasi/

daftar-undang-undang-omnibus-law- cipta-lapangan-kerja/

Citradi, Tirta. “Tak Cuma di RI, Omnibus Law Banyak Dipakai Negara Lain”.

https://www.cnbcindonesia.com/

news/20200121152155-4-131621/

tak-cuma-di-ri-omnibus-law-banyak- dipakai-negara-lain.

Kontan.co.id. “CORE: UU Cipta Kerja jamin kepastian pesangon bagi karyawan yang terdampak PHK”. https://

nasional.kontan.co.id/news/core-uu- cipta-kerja-jamin-kepastian-pesangon- bagi-karyawan-yang-terdampak-phk.

Diakses 26 Desember 2020

Kontan.co.id. “Sejumlah aturan Pesangon Hilang dalam UU Cipta Kerja ini, Ini Penjelasan Pemerintah”. https://

nasional.kontan.co.id/news/sejumlah- aturan-pesangon-hilang-dalam-uu- cipta-kerja-ini-penjelasan-pemerintah.

Diakses 06 Oktober 2020

Maharani, Tsarina. “Dalam RUU Cipta Kerja, Pesangon PHK Turun Jadi 25 Kali Upah”, https://nasional.kompas.com/

read/2020/10/03/19393001/dalam-ruu- cipta-kerja-pesangon-phk-turun-jadi- 25-kali-upah?page=all. Diakses 03 Oktober 2020

Putsanra, Dipna Videlia. “Poin-Poin isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal Pesangon Upah”. https://tirto.id/poin- poin-isi-uu-cipta-kerja-omnibus-law- soal-pesangon-hingga-upah-f5EK.

Diakses 07 Oktober 2020

Referensi

Dokumen terkait

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

Program BPJS Ketenagakerjaan : program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian bagi peserta, selain peserta

Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS

Op Cit., Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian serta Pasal 12 Peraturan Menteri

PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 dan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja,

Fungsi BPJS Ketenagakerjaan dalam pemberian jaminan sosial dan perlindungan hukum tenaga kerja yaitu berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja

• Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) adalah badan hukum publik yang bertanggunggjawab kepada Presiden dan berfungsi menyelenggarakan

BPJS Ketenagakerjaan mengelola 4 program, meliputi: (a) Jaminan Kecelakaan Kerja; (b) Jaminan Hari Tua; (c) Jaminan Pensiun; dan (d) Jaminan Kematian. Rancangan program