Penelitian ini mendapatkan peningkatan jarak tempuh pada uji jalan 6 menit sebelum dan sesudah penambahan pemberian digoksin selama 1 bulan. Jarak tempuh sebelum penambahan pemberian digoksin adalah 278,88±44,95 meter, sedangkan sesudah penambahan pemberian digoksin adalah 285,56±44,31 meter. Pada kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan jarak tempuh uji jalan 6 menit. Sementara itu, jarak tempuh sebelum perlakuan 299,17±44,15 meter dan sesudah perlakuan 299,71±43,43 meter. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penambahan pemberian digoksin selama 1 bulan meningkatkan jarak tempuh uji jalan 6 menit pada pasien penyakitjantungbawaanpiraukiri ke kanan yang mengalami gagal jantung Ross II-III. Sebaliknya, kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan jarak tempuh.
Orang tua subjek penelitian diberikan dua botol sirup seng (100 ml) pada kelompok perlakuan dan sirup plasebo pada kelompok kontrol beserta sendok takar untuk diminumkan ke anak mereka (5 ml= 1 sendok takar) setiap hari. Pemantauan meliputi kejadian pneumonia, sisa sirup seng, panjang badan, berat badan, dilakukan setiap 2 minggu melalui telepon dan saat datang kontrol ke Poliklinik Jantung. Akhir penelitian di bulan ketiga dilakukan pengambilan 4 cc darah vena untuk melihat kadar seng serum dan darah rutin setelah suplementasi. Pemeriksaan kadar seng serum ini dilakukan di Laboratorium GAKI FK UNDIP RS Dr. Kariadi, Semarang. Analisis statistik dengan analisis deskriptif, uji independent t test atau Mann-whitney. Uji beda untuk membandingkan kadar seng sebelum dan sesudah intervensi pada kedua kelompok dengan menggunakan uji t test berpasangan. RRR (relative reduction risk) digunakan untuk menilai manfaat suplementasi seng. Analisis data dilakukan dengan program komputer.
Kondisi hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan timbulnya beberapa penyulit pada PJB sianotik. Beberapa penyulit itu adalah polisitemia dan sindrom hiperviskositas, stroke, abses, diatesis hemoragik, nefropati,endokarditis, anemia defisiensi besi, hipertensi pulmonal dan gagal jantung yang akan sangat mempengaruhi perjalanan hidup penderita PJB sianotik. Penyulit yang terjadi ada yang bersifat reversibel tetapi ada juga yang meninggalkan gejala sisa yang irreversibel. Untuk mencegah timbulnya penyulit pada PJB sianotik yaitu dengan cara tidak menunda bedah koreksi atau paliatif bagi penderita PJB sianotik. Sehingga pengetahuan tentang indikasi dan waktu optimal intervensi bedah pada lesi piraukanan ke kiri PJB sangat diperlukan untuk mendapat prognosa paska bedah yang optimal
Kondisi hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan timbulnya beberapa penyulit pada PJB sianotik. Beberapa penyulit itu adalah polisitemia dan sindrom hiperviskositas, stroke, abses, diatesis hemoragik, nefropati,endokarditis, anemia defisiensi besi, hipertensi pulmonal dan gagal jantung yang akan sangat mempengaruhi perjalanan hidup penderita PJB sianotik. Penyulit yang terjadi ada yang bersifat reversibel tetapi ada juga yang meninggalkan gejala sisa yang irreversibel. Untuk mencegah timbulnya penyulit pada PJB sianotik yaitu dengan cara tidak menunda bedah koreksi atau paliatif bagi penderita PJB sianotik. Sehingga pengetahuan tentang indikasi dan waktu optimal intervensi bedah pada lesi piraukanan ke kiri PJB sangat diperlukan untuk mendapat prognosa paska bedah yang optimal
Pada bayi yang mengalami hipoksemia berat dan asidosis langkah awal yang harus dilakukan adalah memberikan oksigen untuk meningkatkan saturasi oksigen sistemik dan menurunkan resistensi vaskular paru. Pemberian PGE1 intravena untuk membuka duktus arteriosus agar pintasan dari aorta ke arteri pulmonalis menjadi adekuat, aliran vena pulmonalis ke atrium kiri bertambah, sehingga tekanan di atrium kiri akan meningkat. Tekanan atrium kiri yang tinggi memungkinkan piraukiri ke kanan di tingkat atrium bertambah. Bila terdapat gejala gagal jantung kongestif dapat diberikan diuretik dan digoksin. Bila foramen ovale sangat restriktif, pemberian PGE1 tidak akan cukup untuk memperbaiki keadaan klinis sehingga diperlukan tindakan emergensi merobek septum atrium ( baloon atrial septostomy ). 6
PenyakitJantungBawaan adalah kelainan struktural jantung atau pembuluh darah besar intratorakal yang terjadi pada saat pembentukan sistem kardiovaskular masa fetus dan dapat menyebabkan gangguan fungsional. 1 Secara garis besar PJB dibagi 2 kelompok, yaitu PJB sianotik dan PJB asianotik. Penyakitjantungbawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya piraukanan ke kiri, sebagai contoh Tetralogi Fallot (ToF), Transposisi Arteri Besar (TAB), dan atresia trikuspid. Termasuk dalam kelompok PJB asianotik adalah PJB dengan kebocoran sekat jantung yang disertai piraukiri ke kanan di antaranya adalah Defek Septum Ventrikel (DSV), Defek Septum Atrium (DSA), atau tetap terbukanya pembuluh darah seperti pada Duktus Arteriosus Persisten (DAP). Selain itu PJB asianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta. 7
Penyakitjantungbawaan (PJB) didefinisikan sebagai penyakitjantung struktural atau fungsional yang ada sejak lahir dan malformasi jantung. 1,2 Penyakitjantungbawaan non-sianotik diklasifikasikan berdasarkan fokus utama beban fisiologis yang ada pada jantung, karena banyak PJB menyebabkan gangguan fisiologis lebih dari satu. Lesi paling banyak menyebabkan beban volume dan piraukiri ke kanan. 3 Penyakitjantungbawaan (PJB) diperkirakan terjadi pada 0,8% kelahiran hidup. Insidens tinggi pada bayi lahir hidup (3-4%), Abortus spontan (10-25%), dan bayi lahir prematur (berkisar 2% dengan patent ductus arteriousus dieksklusi). Penyebab terbanyak penyakitjantungbawaan hingga saat ini masih belum diketahui, diduga karena multifaktorial dan adanya predisposisi genetik serta lingkungan. 4
kan terjadinya anoreksia, karena sitokin tertentu seperti IL-1 dan TNF menurunkan asupan makanan secara nyata. Infeksi dan gagal jantung akan meningkatkan ke- butuhan energi sebaliknya akseptabilitas diet menurun. Adanya infeksi berulang dan gagal jantung mempe- ngaruhi pertumbuhan anak dengan PJB asianotik. Pada penderita PJB terutama dengan piraukiri ke kanan se- ring terjadi infeksi saluran napas dan bila terinfeksi lebih lama sembuh dibandingkan anak normal. Faktor yang menyebabkan berulangnya infeksi saluran napas adalah adanya hiperperfusi ke paru. 17 Pada penelitian di Medan didapatkan hubungan bermakna antara infeksi saluran napas berulang pada penderita PJB 11 , sedangkan penelitian di Manado pada 39 anak dengan PJB asia- notik didapatkan hubungan bermakna antara frekuensi infeksi saluran napas akut dengan umur dan status gizi (p<0,05). 18 Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis antara infeksi saluran napas, umur dan status gizi pada anak dengan PJB asianotik.
PenyakitJantungBawaan (PJB) adalah kelainan struktur dan fungsi pada jantung yang muncul pada saat kelahiran. Penyakitjantungbawaan merupakan faktor resiko terjadinya Infeksi saluran napas berulang pada anak. Penyakitjantungbawaan Asianotik jenis piraukiri ke kanan sering mendapat infeksi saluran napas, dan bila terkena lebih lama untuk sembuh dibanding anak normal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran ISPA pada anak dengan penyakitjantungbawaan asianotik di rumah sakit PHC Surabaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran ISPA pada anak dengan penyakitjantungbawaan asianotik di rumah sakit PHC Surabaya. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 13 Juli 2016 hingga 28 September 2016 di Pelayanan Klinik Spesialis anak rumah sakit PHC Surabaya. Data dikumpulkan dengan cara mencatat hasil pemeriksaan dokter spesialis anak dan wawancara orang tua. Hasil penelitian menunjukkan dari 47 pasien, jumlah pasien perempuan merupakan pasien terbanyak yaitu sebesar 25 orang (53,2%). Kelompok umur yang sering menderita ISPA dengan PJB Asianotik yaitu kelompok umur balita (0-5 tahun) sebanyak 38 orang (80,9%). Tipe PJB Asianotik yang sering ditemui yaitu DSV sebesar 31 anak (66%). Pemeriksaan suhu demam pada pasien ditemukan hasil paling banyak yaitu suhu normal sebesar 36 orang (76,6%). Pada persentase ada atau tidaknya pilek pada pasien lebih banyak mengalami pilek dibandingkan yang tidak pilek yaitu sebesar 31 anak (66%). Jenis batuk yang sering diderita pasien yaitu jenis paroxysmal (with or without inspiratory “whoop”) yaitu sebesar 23 orang (48,9%). Karakteristik batuk yang diderita pasien lebih banyak batuk berdahak yaitu 23 orang (48,9%). Durasi batuk pasien paling banyak pada kelompok akut (< 2 minggu) yaitu 36 orang (76,6%). Frekuensi ISPA yang dialami pasien dalam sebulan terakhir paling banyak pada kelompok jarang sakit (< 3 kali) sebesar 39 orang (83%).
Ventricular spetal defect (VSD) merupakan penyakitjantungbawaan yang paling sering ditemukan. Kejadian VSD berkisar 25-30%. Bising jantung VSD pada awal kehidupan belum terdengar, sehingga diagnosis VSD baru ditemukan setelah masa neonatus. Gambaran klinis VSD tergantung dari besar kecilnya ukuran defek pada ventrikel. Ukuran VSD biasanya besar, ukuran tersebut juga menentukan terjadinya piraujantungkiri ke kanan. Tingkat resistensi pembuluh darah pulmonar berhubungan dengan resistensi pembuluh darah sistemik yang ditentukan oleh besaranya pirau. Ukuran VSD kecil (< 5 mm) menyebabkan restriksi tekanan yang berarti tekanan ventrikular normal. Defek ukuran 5-10 mm menyebabkan tekanan tinggi pada ventrikel kiri, terjadi piraukiri ke kanan, banyak darah masuk ke arteri pulmonalis yang menyebabkan tekanan arteri pulmonalis tinggi, dan terjadi peningkatan tahanan kapiler paru. Ukuran defek yang besar (> 10 mm) menyebabkan tekanan di ventrikel kanan dan kiri menjadi sama. Manifestasi klinis VSD bergantung pada besarnya pirau, diameter VSD dan tingkat resistensi vaskular paru (Soeroso dkk., 1994; Bernstein, 2015; Park, 2008).
diameter arteri pulmonalis. Banding arteri pulmonalis dilakukan pada kasus dengan aliran pulmonal yang berlebihan akibat pirau dari kiri ke kanan di dalam jantung seperti pada defek septum ventrikel besar, ventrikel kanan jalan keluar ganda tanpa stenosis pulmonal, defek septum atrioventrikular, transposisi arteri besar, dan lain-lain. (2) Pirau antara sirkulasi sistemik dengan pulmonal. Prosedur ini dilakukan pada kelainan dengan aliran darah paru yang sangat berkurang sehingga saturasi oksigen rendah, anak menjadi biru dan sering disertai asidosis. Jenis-jenis operasi pirau antara lain: (a) Blalock-Taussig klasik, yaitu membebaskan arteri subklavia dan menyam- bungkannya ke arteri pulmonalis kiri atau kanan, (b) Modifikasi Blalock-Taussig, memasang pipa Gore-Tex antara arteri subklavia dengan arteri pulmonalis kanan atau kiri, (c) Pirau sentral, membuat hubungan antara aorta dengan arteri pulmonalis (Waterson, Potts, dengan Gore-Tex) dan (d) Pirau antara vena kava superior dengan arteri pulmonalis (Glenn shunt atau bidirectional cavo-pulmonary shunt). (3) Septostomi atrium. Prosedur ini dilakukan pada bayi sampai usia 3 bulan, yakni dengan kateter balon melalui vena femoralis. Tindakan ini dapat dilakukan di ruang perawatan intensif dengan bimbingan ekokardiografi, atau dapat juga dikerjakan di ruangan kateterisasi jantung. Pada anak yang lebih besar, tindakan ini dilakukan menurut metode Blalock-Hanlon. Septos- tomi atrium dilakukan pada transposisi arteri besar untuk menambah percampuran darah, pada anomali parsial drainase v. pulmonalis untuk mengurangi bendungan v. pulmonalis, dan pada atresia trikuspid untuk mengurangi bendungan vena sistemik.
termasuk pada penyakitjantungbawaan asinotik. Harga dari pemeriksaan RDW cukup murah, sudah termasuk dalam pemeriksaan darah rutin, dan banyak tersedia di laboratorium umum, sehingga RDW memenuhi kriteria mudah dan murah. Namun sampai saat ini nilai RDW sebagai marker prognostik masih banyak dipertanyakan oleh para klinisi. Belum adanya penelitian nilai RDW pada anak dengan penyakitjantungbawaan asianotik di RS Dr. Moewardi mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimanakah profil RDW pada anak dengan penyakitjantung asianotik dan adakah hubungannya dengan fungsi ventrikel kiri sebagai parameter gagal jantung.
Gagal jantung merupakan suatu ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara adekuat kebutuhan metabolisme tubuh (Ismet, 1994; Ganong, 2012; Nelson, 2016), selain itu dapat juga diartikan sebagai sindrom klinis dan patofisiologi yang dihasilkan dari disfungsi ventrikel, volume atau tekanan yang berlebihan, baik sendiri ataupun kombinasi dari semuanya (Kirk et al., 2014). Gagal jantung terjadi pada 39,1% anak-anak dengan penyakitjantung (Sommers et al., 2005), sementara pada penelitian lainnya gagal jantung terjadi pada 10% pasien, mulai dari 6% pada pasien dengan penyakitjantungbawaan dan 80% pada pasien dengan kardiomiopati (Massin et al., 2008). Gagal jantung mungkin merupakan manifestasi akhir dan paling berat dari hampir semua bentuk penyakitjantung, termasuk aterosklerosis koroner, infark miokard, penyakit katup, hipertensi, penyakitjantungbawaan, dan kardiomiopati (Chatterjee N.A. et al., 2011). Penyebab tersering dari gagal jantung pada masa bayi dan kanak-kanak adalah kardiomiopati atau hasil dari fungsi ventrikel yang buruk (Chatterjee et al., 2011; McDaniel, 2014). Gagal jantung biasanya merupakan suatu kondisi progresif yang dimulai dengan faktor-faktor risiko dari disfungsi ventrikel kiri seperti hipertensi, hasil perubahan asimptomatik dari struktur jantung seperti hipertrofi ventrikel kiri dan fungsinya seperti gangguan relaksasi yang kemudian berkembang menjadi gagal jantung secara klinis, disabilitas dan kematian (Hunts et al., 2005). Dengan demikian, proses renovasi miokard dimulai sebelum timbulnya gejala-gejala gagal jantung, oleh karena itu deteksi dini dari gangguan fungsi ventrikel kiri dan identifikasi tepat waktu dari faktor-faktor risiko gagal jantung mendapatkan penekanan khusus pada panduan tatalaksana gagal jantung yang terbaru.
6. Loup O, Weissenfluh CV, Gahl B, Schwerzmann M, Carrel T, Kadner A. Quality of life of grown up congenital heart disease patients after congenital cardiac surgery. Eur J Cardiothorac Surg. 2009; 36:105-11. 7. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana penyakitjantungbawaan. Sari
dibandingkan anak sehat. 3 Hasil ini kontras dengan hasil studi tahun 2009 di Swiss yang menemukan bahwa anak PJB pascaoperasi memiliki kualitas hidup yang sebanding dengan populasi anak sehat. 6 Namun sampai saat ini, belum terdapat studi yang menilai perbedaan kualitas hidup anak dengan PJB pascaoperasi jantung dengan anak sehat di Indonesia.
Metode. Studi ini merupakan studi sekat lintang yang menilai kualitas hidup pada 20 anak PJB pascaoperasi jantung dan membandingkannya dengan 20 anak sehat. Penilaian kualitas hidup Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) Generic Core Scales versi 4.0. Penilaiain menggunakan PedsQL Modul Kardiologi juga dilakukan pada anak PJB pascaoperasi jantung.
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANAK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN PASCAOPERASI JANTUNG DENGAN ANAK SEHAT TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Anak dalam Program Magister Kedo[r]
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya serta memperbaiki kerusakan yang diderita, seiring dengan proses menua tersebut menyebabkan tubuh mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif dapat dicegah dengan cara meminimalkan faktor-faktor penyebabnya, dan faktor-faktor resiko tersebut sebenarnya telah diketahui secara luas oleh hampir semua kalangan masyarakat (Suiraoka, 2012).
Bersama ini, kami ingin menyampaikan kepada Bapak / Ibu bahwa Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUSU - RSHAM Medan, bermaksud mengadakan penelitian mengenai “Kualitas Hidup Anak Pascaoperasi Jantung karena PenyakitJantungBawaan.”
vena umbilikalis. Dari vena umbilikalis sebagian darah langsung mengalir ke vena cava inferior (VCI) melintasi hati menuju ductus venosus. Sisanya mengalir ke sirkulasi portal melalui vena porta masuk ke hati mengalami perfusi di hati kemudian menuju VCI. Sebagian besar darah dari VCI mengalir ke dalam atrium kiri melalui foramen ovale lalu ke ventrikel kiri, aorta asendens, dan sirkulasi koroner. Dengan demikian sirkulasi otak dan koroner mendapatkan darah dengan tekanan oksigen yang cukup (Usman, 2008).