؛ ﺔﻴﻨﺑﻷا ﺔﻄِﺧ ﻲﻓ مﺎﻘﺗ ﻞﺑ ، ﺪﺠﺴﻤﻟﺎﺑ ﺺﺘﺨﺗ ﻻ ﺔﻌﻤﺠﻟا ﺔﻣﺎﻗإ نأ : [ ﺔﻴﻌﻓﺎﺸﻟا ﺐﻫﺬﻣ : يأ
ﺔﻴﺤﺗ ﻪﻟ ﺖﺴﻴﻟ ذإ ، ﺔﺒﻄﺨﻟا ﺔﻟﺎﺣ ﻲﻓ ﻊﺿﻮﻤﻟا ﻚﻟذ ﻰﻟإ ﻞﺧاﺪﻟا ّﻞﺼُﻳ ﻢﻟ ﺪﺠﺴﻣ ﺮﻴﻏ ﻲﻓ ﺎﻫﻮﻠﻌﻓ ﻮﻠﻓ
“Madzhab kami (madzhab Syâfi’îyah), pelaksanaan shalât jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalât jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalât tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90).Dalam madzhab Hanbalî: Syeikh Al-Mardawî – ulama Hanbalî – (w. 885 H) mengatakan,
ﻪﻟﻮﻗ
:
( ءاﺮﺤﺼﻟا ﻦﻣ نﺎﻴﻨﺒﻟا برﺎﻗ ﺎﻤﻴﻓو ، ﺪﺣاو ﻢﺳا ﺎﻬﻠﻤﺷ اذإ , ﺔﻗﺮﻔﺘﻤﻟا ﺔﻴﻨﺑﻷا ﻲﻓ ﺎﻬﺘﻣﺎﻗإ زﻮﺠﻳو
ﻲﻓ ﻻإ ﺎﻬﺘﻣﺎﻗإ زﻮﺠﻳ ﻻ : ﻞﻴﻗو . ﻢﻬﻨﻣ ﺮﻴﺜﻛ ﻪﺑ ﻊﻄﻗو . بﺎﺤﺻﻷا ﺮﺜﻛأ ﻪﻴﻠﻋو . ﺎﻘﻠﻄﻣ ﺐﻫﺬﻤﻟا ﻮﻫو
ﻊﻣﺎﺠﻟا
Keterangan penulis: “Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab Hanbalî, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama Hanbalî. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh mengadakan shalât jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)Ibnu Qudamah menjelaskan,
لﺎﻗ اﺬﻬﺑ و ، ءاﺮﺤﺼﻟا ﻦﻣ ﻪﺑرﺎﻗ ﺎﻤﻴﻓ ﺎﻬﺘﻣﺎﻗإ زﻮﺠﻳ و ، نﺎﻴﻨﺒﻟا ﻲﻓ ﺎﻬﺘﻣﺎﻗإ ﺔﻌﻤﺠﻟا ﺔﺤﺼﻟ طﺮﺘﺸﻳ ﻻو
ﺔﻔﻴﻨﺣ ﻮﺑأ
Bukan termasuk syarat sah jumatan harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (al-Mughnî, 2/171)Berbeda dengan madzhab Mâlikîyah. Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’.
Dalam At-Taj wal Iklîl – kitab madzhab Mâlikî – disebutkan beberapa pendapat ulama Mâlikîyah,
ْﻟا : ٍﺮ@ ِﺸَŠ ُﻦْ-ا
ِءاَد ْ•ا ِطو ُﺮ ُﺷ ْﻦِﻣ ُﻊِﻣﺎَ—
Ibnu Basyir mengatakan, “Masjid jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalât jumat.” Ibnu Rusyd mengatakan,
ٍﺪ ِ— ْﺴَﻣ ِﺮْ@َ• ﻲِﻓ ُﺔَﻌُﻤُﺠْﻟا َمﺎَﻘُﺗ ْن+ ﺢ ِﺼَﯾ َﻻ : ٍﺪ ْﺷُر ُﻦْ-ا
)
َﻤْﻟا ِطو ُﺮ ُﺷ ْﻦِﻣ : ﻲِﺟﺎَﺒْﻟا ( ٍّﻲِﻨْhَﻣ
ُنﺎَKْ‘ُﺒْﻟا ِﺪِ— ْﺴ
ﺎًﻌَﺑْر+ اًﺮْﻬ ُﻇ اْﻮﻠ َﺻ ُﻪُﻔْﻘ َﺳ َمَﺪَﻬْﻧا ْنﺎَﻓ ،ِﺪ ِUﺎ َﺴَﻤْﻟا ِﺔَﻔ ِﺻ ﻰَﻠَ ُصﻮ ُﺼْﺨَﻤْﻟا4
‘Tidak sah pelaksanaan shalât jumat di selain masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur maka diganti shalât dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj
wal Iklil, 2/237)
Ulama Mâlikîyah menyaratkan shalât Jumat dilaksanakan di tempat yang bisa menetap dalam waktu yang lama, bisa dilakukan dalam gedung atau rumah dari kayu (gubug). Namun tidak boleh shalât Jumat tersebut dilakukan di kemah karena bukan tempat yang layak untuk menetap dalam waktu yang lama.
Kalau kita perhatikan dari pendapat yang ada, berarti yang menyaratkan shalât dalam bangunan hanyalah madzhab Syâfi’î. Sedangkan madzhab Hanbalî dan Abu Hanifah masih membolehkan di luar masjid. Adapun madzhab Mâlikîyah berpendapat bahwa asalkan tempatnya layak untuk tinggal, boleh didirikan shalât Jumat.
140
Sehingga dalam madzhab Syâfi’î sendiri -sebagaimana yang dianut di negeri kita- mengenai shalât di jalan jelas tidak dibolehkan karena dipersyaratkan shalât Jumat harus di dalam bangunan.
Hukum Shalât di Jalan
Ada hadîts dari Abu Sa’id Al-Khudri , ia berkata bahwa Rasûlullâh bersabda,
َمﺎﻤَﺤْﻟاَو َةَﺮُLْﻘَﻤْﻟا ﻻ4ا ٌﺪِ— ْﺴَﻣ ﺎَﻬﻠُﻛ ُضْر•ا
“Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzî, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadîts ini shahih)
Adapun hadîts dari Ibnu ‘Umar , ia berkata,
ِﻪﻠ!ا َلﻮ ُﺳَر ن+
-ﻢﻠﺳو ﻪﯿﻠ ﻪﻠ!ا ﻰﻠﺻ
-
ِﺔَ ِرﺎَﻗَو ِةَﺮُLْﻘَﻤْﻟاَو ِة َرَﺰْﺠَﻤْﻟاَو ِﺔَﻠَﺑْﺰَﻤْﻟا ﻰِﻓ َﻦِﻃاَﻮَﻣ ِﺔَﻌْﺒ َDﺳ ﻰِﻓ ﻰﻠ َﺼُﯾ ْن+ ﻰ)َﻬَﻧ
ِﻞِﺑ
4
ﻻا ِﻦِﻃﺎَﻌَﻣ ﻰِﻓَو ِمﺎﻤَﺤْﻟا ﻰِﻓَو ِﻖﯾِﺮﻄﻟا
ِﻪﻠ!ا ِﺖْ@َﺑ ِﺮْﻬ َﻇ َقْﻮَﻓَو
“Rasûlullâh melarang shalât di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzî, no. 346; Ibnu Majah, no.
746. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadîts ini hasan.
Ulama madzhab Hanafîyah dan Syâfi’îyah menganggap bahwa dimakruhkan (terlarang) shalât di jalan. Al-Khatib Asy-Syarbini, salah seorang ulama besar dalam madzhab Syâfi’î menyatakan bahwa sebab dilarangnya shalât di jalan adalah karena dapat mengganggu kepentingan umum, menghalangi orang untuk lewat hingga kurangnya khusyu’.
(Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27: 114)
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan (ulama Saudi) berkata, “Yang utama tidaklah shalât di jalan. Akan tetapi jika ada hajat untuk shalât di tengah jalan, maka tidaklah masalah. Seperti misalnya masjid sangatlah sempit asalkan menggunakan alas saat itu.” (Minhah
Al-‘Allam, 2: 356)
Kesimpulan, shalât Jumat wajib dilakukan di masjid/bangunan, bukan di jalan raya yang akan mengganggu kepentingan umum, lebih-lebih masjid sekitar masih muat menampung jama’ah.
Perbedaan (Furu') Shalât Jum'at
No Cabang Masalah Hanafî/ ـــ Mâlikî/ ـــ Syâfi’î/ ـــ Hanbalî/ ـــ
1 Hukum Shalât Jum'at Wajib.
Tidak wajib bagi Musafir, (boleh memilih shalât dhuhur atau shalât Jum'at ; namun menurut riwayat dari Az Zuhrî dan An Nakha’î , wajib bagi musafir bila mendengar adzan)
2 Shalât Jum'at tidak
Wajib ba-gi: Anak Kecil, Budak, Wanita, orang Buta (bila ada yang menuntun menjadi wajib) Budak
3 Orang yang berada
di luar kota, tapi men-dengar adzan Jum'at
Tidak Wajib Wajib
4 Shalât Dhuhur
berjama'ah ba-gi
orang yang tidak mungkin
mendatangi shalât
Jum'at
Makruh Tidak Makruh
(bahkan Sunnah menurut Madzhab Syâfi’î)
5 Jika Shalât Hari Raya
(shalât Id) ter-jadi pada hari Jum'at
Wajib Wajib Wajib bagi ummat di
kota/sekitar masjid.
Tidak Wajib bagi
Tidak Wajib dan
diganti dengan Sha-lat Dhuhur
141
ummat yang jauh dari mas-jid/pedalam-an
6 Hukum Jual beli
ketika su-dah masuk waktu shalât Jum'at
Haram
7 Shalât Takhiyatul
masjid ketika Khatib sudah khutbah
Tahiyyatul Masjid dianggap sudah gugur begitu khutbah dimulai (makruh hukumnya)
Tetap Shalât takhiyatul masjid (secara Ringkas saja)
8 Shalât Qabliyah
Jum'at
Dianjurkan Tidak dianjurkan Dianjurkan Tidak dianjurkan
9 Jumlah Jamaah
Shalât Jum'at yang Sah
3 (tiga) O-rang selain Imam
12 (dua be-las) Orang selain Imam
40 (empat Puluh) orang termasuk Imam
No Cabang Masalah Hanafî/ ـــ Mâlikî/ ـــ Syâfi’î/ ـــ Hanbalî/ ـــ
10 Bila ada 40 (empat
puluh) Musafir,
ber-kumpul mendirikan Shalât Jum'at
Sah Tidak Sah
11 Imam Shalât
Jum'at-nya Bukan Khatib
Boleh, bila a-da
halangan (udzur)
Tidak Boleh Ada dua Pendapat, membolehkan dan melarang
12 Ketika khuth-bah,
jamaah yang tidak mendengar-nya, berbicara
Tidak Boleh Wajib diam Mustahab/sunnah, Diam
13 Ketika khuthbah,
jamaah, berbicara
Haram. Menurut Mâlikî, Khatib boleh menegur/melarang jamaah yang "ngobrol", demi kebaikan Khuthbah
14 Ketika
ber-khuthbah, khatib
mengajak bicara
Jamaah
- Boleh, bagi Khatib Makruh bagi keduanya
(Khatib dan Jamaah)
Boleh bagi Khatib, ha-ram bagi Jamaah
15 Shalât Jum'at dengan
musa-fir (untuk me-nggenapkan syarat jumlah (masalah no 9)
Sah Tidak Sah
16 Hukum mak-mum
masbuq yang hanya
mendapati sa-tu
rakaat shalât jum'at
Dianggap sudah shalât Jum'at
Bila masih sempat membaca Al fatihah , dianggap sudah shalât Jum'at, namun bila Imam sudah ruku' rakaat kedua misalnya, maka harus Shalât
Dhuhur 4 rakaat
17 Penduduk kampung,
ke-luar kampung
dan menga-dakan
shalât di luar kam-pungnya
Sah, Shalât Jum'at-nya
Tidak Sah
18 Mandi sunnah untuk
Shalât Jum'at: kapan ?
Boleh sejak fajar pada hari Jum'at
Ketika hen-dak pergi shalât Jum'at
Boleh sejak fajar pada hari Jum'at
19 Seseorang yang
Junub, mandi jinabat
sekaligus mandi
untuk shalât Jum'at
Sah Sah, salah satunya
saja
Sah
20 Shalât Jum'at di
Tanah Lapang
Sah, asal dekat de-ngan masjid terdekat (1 farsakh/3 mil)
Tidak Sah, harus di Masjid Jami'
Sah, asal dekat dengan masjid terdekat (masih dalam batas –kota/belum sampai seseorang boleh qashar)
142