• Tidak ada hasil yang ditemukan

Niat mengqashar pada waktu takbiratul ihram Lafadz Niat Qashar

Dari Ya'la bin Umayyah, "Saya bertanya kepada Umar bin Khathab tentang firman Allâh, 'Jika kamu takut diserang kaum kafir, yaitu masalah mengqashar shalât padasaat bepergian.' Umar menjawab, 'Apa yang tidak kau mengerti itu saya juga tidak mengerti, maka saya tanyakan hal itu kepada Rasulullah tentang apa yang kau tanyakan kepada saya. Rasulullah menjawab, "Qashar itu pemberian Allâh yang Dia berikan kepadamu, maka terimalah pemberian-Nya itu."

(Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud)

Qashar juga berlaku untuk shalât sunnah. Menurut empat Imam madzhab, orang yang mengqashar shalât sunnah dalam perjalanan tidak dimakruhkan, baik sunnah rawatib lainnya

Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid- Kitab Shalât diperoleh keterangan bahwa tidak ada satupun hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah selalu meng-qashar shalât pada setiap kali bepergian, dan tidak ada hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah

selalu melengkapkan shalât nya tanpa qashar pada setiap kali baliau bepergian. Ini

berarti qashar itu wajib yang bisa dipilih atau bagi orang yang dalam berpergian (safar) diperbolehkan qashar dengan syarat:

1. Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya. Demikian menurut kesepakatan ulama.

2. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ihram Lafadz Niat Qashar

ﺮْﻬﻈﻟا) َضْﺮَﻓ ﻰِّﻠ َﺻُا

/

ِﺮ ْﺼَﻌْﻟا

/

اًﺮ ْﺼَﻗ ِﻦْ@َﺘَﻌْﻛَر (ِءﺎ َﺸِﻌﻟْا

ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ

ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ!

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

Aku niat shalât fardlu (dhuhur /Ashar /isya) dua rakaat qashar, mengahadap kiblat karena Allâh ta’ala

111

3. Tidak ber-ma'mum kepada orang yang Muqim (bukan musafir). Apabila seseorang musafir berma'mum kepada orang muqim dalam sebagian shalât nya, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya (tidak qashar). Siapa shalât jum'at, lalu diikuti oleh musafir yang berniat shalât dhuhur secara qashar, wajib bagi musafir menyempurnakan shalât dhuhurnya(tidak boleh qashar). Sebab shalât jum'at adalah shalât nya orang muqim. Demikian pendapat Asy-Syâfi’î yang kuat. Seandainya tetap Shalât Jum'at juga boleh, namun bila sulit menemukan masjid/shalât jum'at maka shalât dhuhurnya cukup diqashar.

4. Jarak perjalanan sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau 16 Farsakh(pos)

atau 48 mil Hasyimi (Ma'mun) – 80 km), menurut madzhab Syâfi’î, Mâlikî dan

Hanbalî. Sedangkan menurut madzhab Hanafî : 24 Farsakh = 72 Mil = 125,856 Km.

5. Bepergian bukan untuk maksiat ( madzhab Hanafî membolehkan bagi yang pergi untuk maksiat untuk meng-qashar Shalât )

Yang membatalkan Qashar

Hukum Fiqh secara umum, seorang musafir tidak boleh meng-qashar shalât begitu ia kembali (memasuki) ke negeri aslinya atau ke suatu tempat dimana ia berniat bermuqim secara mutlak padanya atau bermuqim selama empat hari empat malam penuh atau bermuqim memenuhi suatu keperluan yang biasanya tidak selesai dalam masa empat hari empat malam.

Seorang musafir juga tidak boleh meng-qashar shalât bila ia berniat pula kembali ke negeri aslinya atau ragu-ragu sedangia belum mencapai jarak safar. Namun musafir tetap punya hak qashar bila hanya singgah lewat di negeri aslinya.

Madzhab Hanafî, Hanbalî dan Mâlikî mengatakan: jika seorang musafir pulang dari perjalanannya dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan:

 Jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batal-lah perjalanannya, dan wajib atasnya menyempurnakan shalât (tidak boleh qashar).

 Jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’, maka ia boleh meng-qashar hingga kembali ke negerinya.

Sedangkan Madzhab Syâfi’î mengatakan: bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah-tengah perjalanannya, maka ia harus menyempurnakan shalât nya. Imam empat mazhab sepakat: "Tidak boleh meng-qashar shalât kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas)."

112

Perbedaan (Furu') Masalah dalam Shalât Jama' dan Qashar

No Cabang Masalah Hanafî/ ـــ Mâlikî/ ـــ Syâfi’î/ ـــ Hanbalî/ ـــ

1 Hukum Shalât Jama' Selain di Arafah

dan Muzdalifah.

Tidak Boleh

secara Mutlaq

Boleh

(menurut Hanbalî: Afdhal tidak di-qashar)

2 Sebab-sebab/Syarat

syarat Shalât Jama'

Boleh: Jama' Taqdim: -Di Arafah -Sedang Ihram -Mengikut Imam kaum Muslimin -Shalât dhuhur-nya sah Boleh: Jama' Taqdim: - di Muzdalifah -Sedang Ihram -Safar -Sakit -Hujan -Tanah Ber-lumpur

-Haji (di Arafah dan Muzdalifah) -Safar -Hujan Boleh: Jama' Taqdim: -Tertib (memulai shalât yang mempunyai waktu tsb) - Niat pada shalât pertama -jarak antara keduanya tidak lama -Masih safar hingga shalât kedua -Masih ada waktu untuk Shalât pertama Boleh: Jama' Taqdim: - Berniat ta'khir di waktu shalât yang pertama -Masih safar hingga kedua shalât telah sempurna. -Safar -Sakit/wani-ta Istiha-dlah/beser -Karena ada udzur (pe-kerjaan yang

sangat pen-ting,

karena ada sesuatu yang meng-ancam

diri, kehormatan

dll

3 Jarak mini-mal boleh

Qashar/Ja-ma' 24 Farsakh = +/- 125,856 Km (ada yang menga-takan= 107,5 km + 20 m) * 16 Farsakh = +/- 80 Km (tepatnya = 80,5 km + 140 m)

4 Lama Perja-lanan yang

boleh Qa-shar

3 hari (Bila

sampai tu-juan, Tidak Boleh Qa-shar

3 hari tetap boleh di qashar (meskipun sudah sampai di tujuan)

5 Berniat Mu-qim di

tem-pat tujuan berniat

mu-kim selama 15 hari penuh ber- turut-turut. Jika ia berniat muqim tidak sampai 15 hari, se-kalipun ku- rang 1 jam, maka ia tidak di-sebut mu-qim.

Bila muqim selama 4 hari penuh (selain

hari ma-suk/datang dan sehari keluar/pu-lang TIDAK DIHITUNG),

maka tidak lagi boleh Qashar

Berniat untuk

muqim, ma-ka,

tidak bo-leh

Qashar

(*)Fiqih Lima Madzhab karya Muhammad Jawad Mughniyah diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff.

113

Musafir berma'mum kepada Imam Muqim

Di antara syarat sahnya shalât qashar adalah hendaknya musafir

yang meng-qashar shalât itu tidak ber-ma'mum kepada seorang yang muqim atau

kepada musafir lain yang menyempurnakan shalât nya. Jika melakukan yang demikian itu, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya, baik ia berma'mum pada waktunya atau setelah keluar waktunya, berdasarkan kesepakatan tiga imam madzhab, kecuali Madzhab Hanafî.

Madzhab Hanafî: Mereka berpendapat bahwa musafir tidak boleh berma'mum kepada

orang muqim kecuali pada waktunya. Pada saat itu ia wajib menyempurnakan shalât nya, karena ketika itu fardlu-nya berubah dari dua rakaat menjadi empat rakaat. Sedang apabila waktunya keluar, maka ia tidak boleh berma'mum kepada orang muqim, karena setelah keluarnya waktu, fardlunya itu tidak berubah menjadi empat, karena yang menjadi tangggungannya hanya dua rakaat saja. Bila ia berma'mum kepada orang muqim, maka shalât nya batal, karena duduk (tasyahhud) pertama bagi musafir yang berma'mum tadi adalah fardlu, sedang bagi imam muqim tersebut tidak demikian. Padahal yang wajib hendaklah keadaan imam itu lebih kuat dari ma'mum, dalam waktu shalât dan setelah waktu shalât .

Dalam hal ini tidak ada perbedaan, antara sempat mengikuti imam dalam keseluruhan shalât ataupun sebagian shalât , hingga walaupun ia hanya sempat mengikuti tasyahhud akhir, maka ia harus menyempurnakan shalât tersebut secara sepakat. Seorang musafir tidak makruh berma'mum kepada orang muqim kecuali menurut pendapat Mâlikîyah. Mereka mengatakan bahwa hal itu

hukumnya makruh, kecuali apabila imamnya lebih utama dan memiliki keistimewaan.

Madzhab Mâlikî: Mereka berpendapat bahwa apabila musafir itu tidak sampai

menyertai imam yang muqim selama satu rakaat penuh, maka ia tidak wajib menyempurnakan shalât nya, melainkan boleh mengqasharnya, karena kema'muman seseorang tidak terjadi kecuali apabila ia sempat mengikuti satu rakaat penuh bersama imam.

Musafir Menjadi Imam bagi Muqim

Jika seorang musafir dijadikan imam oleh orang-orang muqim dan dia meng-qashar shalât nya maka hendaklah orang-orang yang muqim meneruskan shalât mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kekeliruan hendaklah imam yang musafir memberi tahu ma'mumnya bahwa dia shalât qashar dan hendaklah mereka (ma'mum yang muqim) meneruskan shalât mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau berkata: Sempurnakanlah shalât mu (empat raka'at) wahai penduduk Mekkah !

Karena kami adalah musafir. (Hadits riwayat Abu Dawud) Beliau shalât dua-dua

(qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[ Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178]

Sedangkan orang muqim yang berma'mum kepada musafir hukumnya sah secara mutlak, pada waktu shalât dan setelah waktu shalât . Ia shalât bersama imam (musafir) itu dua rakaat, dan apabila imam (musafir) itu bersalam, maka ma'mum berdiri dan menyempurnakan shalât nya dua rakaat (lagi) sebagaimana orang masbuq.

114

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalât Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalât Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalât Jum'at bersama mereka. Ini adalah pendapat

Imam Malik, Imam Syâfi’î, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. [Al-Mughni li Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248]

Atau dengan kata lain: jum’at bagi musafir menjadi wajib mukhayyar, yaitu si musafir tetap wajib shalât jum’at, bila tidak mengerjakan shalât jum’at, dia harus shalât dhuhur.

Bahkan Ibn Qudamah (Madzhab Hanbalî) menjelaskan dalil yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad apabila safar (bepergian) tidak shalât Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau tidak melaksanakan shalât Jum'at dan menggantinya dengan shalât Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) dan para sahabat lainnya ﻢﻬﻨــﻋ ﻪــﻠﻟﺍ ﻲــﺿﺭ serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalât Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalât dan tidak shalât Jum'at" Sahabat Anas tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalât Jum'at. Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadits shahih. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah

3/216]

Tata cara Shalât Jama' dan Qashar