ةﺎﻠﺼﻟا ﻪﻘﻓ ﺺﺨﻠﻣ
Ringkasan Fiqh shalât
Menurut Pendapat Empat Madzhab
Disusun oleh
1
Ringkasan Fiqih Shalât menurut Empat Madzhab
Meraih “Kesempurnaan” Shalât
Ngaji bersama Gus Arifin
Muqaddimah
Hati-hati dan Terbuka dalam persoalan Agama (dalil-dalil)
ﮫﺘﻴﻤﺴﻓ ﮫﻴﻠﻋ ﻲ ﺄﻃاو ﻢ ﻠ ﻓ ﺔﻨﻳﺪﻤﻟا ءﺎ ﻘﻓ ﻦﻣ ﺎ ﻘﻓ ن ﻌﺒﺳ $%ﻋ اﺬ' ﻲ(ﺎﺘﻛ ﺖﺿﺮﻋ : ﻚﻟﺎﻣ لﺎﻗ
ﺄﻃﻮﻤﻟا
Imam Mâlik berkata: “Suatu ketika aku mendemonstrasikan kitabku di hadapan tujuh puluh ulama’ fiqh Madinah dan semuanya menyetujuiku (watha’ani), maka akupun menamainya dengan al-Muwaththâ’:لﻮﻘﻳ ﺰ3ﺰﻌﻟا ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﺮﻤﻋ نﺎ5و
ً
اﺮﺳ نﻮﺟﺎﻨ8ﻳ ﺔﻋﺎﻤﺟ ﻢﺘﻳأر اذإ
ﻓ
اوﺪ ﺷﺎﻓ ﻢ >ﻳد ﺮﻣﺄﺑ ﻢ >ﻴﺑ ﺎﻤﻴ
نأ
ﻚﻟذ
ﺔﻋﺪ@و لﻼﺿ
، ) ﺔﻴﻧاﺮﻌﺸﻟا ىGHﻜﻟا ناJ ﻤﻟا - 70 عرﺎﺸﻟا ﻦﻋ يأﺮﻟا مذ QR دروﺎﻣ نﺎﻴﺑ QR لﻮﺼﻓ (Dan Umar bin Abdul Azîz berkata: “Jika Anda melihat sekelompok orang yang mendiskusikan soal-soal Agama di antara mereka secara sembunyi-sembunyi (tertutup, eksklusif), maka saksikanlah bahwa mereka itu sesat dan (melakukan) perbuatan bid’ah (yang sesat). (Kitab Mizânul Kubrâ, 70, Imam Asy-Sya’rânî).
Maka, dapat difahami, mengapa ada ruang pembahasan (Ba’ts) terhadap Mashadirul Ahkâm (sumber-sumber hukum) dalam Agama Islam.
Khusyû’ dalam shalât sebagai tanda “Kesempurnân” Shalât
Kata khusyû’(عْﻮـﺸُ ﺧ)ُ beserta kata lainnya yang seakar dengan itu ditemukan di dalam Al-Qur'an sebanyak 17 kali. Satu kali dengan fi'il madhi (kata kerja masa lalu), satu kali dengan fi'il
mudhari' (kata kerja masa kini dan akan datang), satu kali dengan mashdar (infinitif) dan 14 kali
dengan ism fâ’il (kata benda yang menunjukkan pelaku).
Kata khusyû' (عْﻮﺸُ ﺧ)ُ berasal dari (ﺎ ًﻋ ْﻮﺸُ ﺧُ - ُﻊﺸَ ﺨ َﻳْ - َﻊﺸَ ﺧَ ) khasya’a- yakhsya'u-khusyû’an yang artinya tunduk, rendah/merendahkan, takluk (Kamus Arab-Indonesia, Prof. Mahmud Yunus) dan ada yang mengartikan ( ن ْﻮُ ﻜ ﱡﺴﻟُ ا)َ As-sukûn, tenang.
Ar-Râghib Al-Ashfahânî 1 dalam Kitab al-Mufradât li alfâdh al-Qur’ânhal.283 menyamakan arti
khusyû’ (عْﻮــﺸُ ﺧ)ُ dengan dharâ'ah (ﺔﻋاﺮــﺿ) = merendahkan diri). Pada umumnya kata khusyû’ (عْﻮـﺸُ ﺧ)ُ lebih banyak dipergunakan untuk anggota tubuh, sedangkan kata dharâ'ah (ﺔﻋاﺮـﺿ) lebih
banyak dipergunakan untuk hati. Dalam kaitan Khusyû’ ada istilah-istilah yang serupa: Khudlû'
(عْﻮـﻀُ ﺧ)ُ : tunduk, membungkukkan badan, merendahkan diri Tawâdhu' (ﻊـﺿاﻮﺗ): merendahkan
diri, meletakkan dirinya rendah, rendah hati. Tadharru' (عﺮـﻀﺗ): merendahkan diri, merasa
lemah, menundukkan dirinya dihadapan Allâh .
Ibnu Mandhur Al-Ansharî 2 yang mengatakan bahwa khusyû’ berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan melemparkan pandangannya ke bawah (ke bumi) lalu ditundukkan kepalanya dan dipeliharanya suaranya.(Ensiklopedia Al Qur'an: Kajian Kosa kata, 2/489).
1 Beliau adalah Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal, salah satu Kitab beliau yang
terkenal adalah al-Mufradât li alfâdh al-Qur’ân. Al-Ashfahânî adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota
Al-Ashfahân di Iraq. Akan tetapi beliau hidup di kota Baghdâd.
2 Beliau adalah Muhammad bin Mukrim bin ‘Alî Abu al-Fadhl Jamâluddîn Ibnu Mandhûr al-Anshârî
ar-Ruwaifi'î al-Afrîqî, lebih dikenal dengan Ibnu Mandhûr (lahir pada bulan Muharram 630 H/1232 wafat di Mesir pada bulan Sya'ban 711 H/1311) adalah seorang sastrawan, sejarawan, ilmuwan di bidang fikih dan bahasa Arab. Kitab beliau yang terkenal adalah Mu'jam Lisân al-'Arab fi al-Lughah
2
Pendapat lain mengatakan bahwa kata khusyû’ lebih sempurna dari kata Khudlû' (عْﻮـﻀُ ﺧ)ُ . Khudlu'
itu hanya dengan membungkukkan badan untuk memperoleh sesuatu benda yang ada di bawah, sedangkan khusyû’ mencakup menundukkan badan, suara, dan penglihatan.
Hal ini sesuai dengan firman Allâh ,
ﺎً ﻮ ُﺸُﺧ ْﻢُﻫُﺪﯾِﺰَ َو َنﻮُﻜْﺒَﯾ ِنﺎَﻗْذ ْ ِﻟ َنوﺮِﺨَﯾَو
"Dan mereka menyungkurkan muka sambil menangis dan mereka bertambah khusyû’ (QS. Al-Isra' (17): 109).
Hadîts Rasûlullâh :
ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ٍصﺎﻗَو ﻲ)ِﺑ+ ِﻦْ- ِﺪْﻌ َﺳ ْﻦَﻋ
اْﻮَﻛﺎَﺒَ1َﻓ اﻮُﻜْﺒَﺗ ْﻢَﻟ ْن
ﺎَﻓ اﻮُﻜْ-ا
4
Dari Sâd bin Abi Waqqâs , berkata, Rasûlullâh : "Menangislah (karena bacaan Al qur'an), jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah sekuat-kuatnya agar dapat menangis." (HR. Ibn
Mâjah)
Dalam riwayat Ibn Mâjah yang lainnya dari Andurrahman bin Sâ'ib :
ُﺤِﺑ َلَﺰَ6 َنٓ+ْﺮُﻘْﻟا اَﺬَﻫ ن
ا
4
اْﻮَﻛﺎَﺒَ1َﻓ اﻮُﻜْﺒَﺗ ْﻢَﻟ ْن
ﺎَﻓ اﻮُﻜْ-ﺎَﻓ ُﻩﻮُﻤُﺗ<+َﺮَﻗ اَذ
4
ﺎَﻓ ٍنْﺰ
4
"Sesungguhnya Alquran itu telah diturunkan dengan ada rasa takut, maka apabila dibacakannya ayat-ayat al Qur'an maka menangislah, jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah sekuat-kuatnya agar dapat menangis. (HR. Ibnu Mâjah )
Sabda Rasûlullâh lagi:
ِﻪﻠ!ا َلﻮ ُﺳَر ُﺖْﻌِﻤ َﺳ َلﺎَﻗ ٍسﺎﺒَﻋ ِﻦْ-ا ْﻦَﻋ
ٌﻦْ@ــَ َو ِﻪــﻠ!ا ِﺔَﯿ ْDــﺸَﺧ ْﻦــِﻣ ْﺖــَﻜَ- ٌﻦْ@ــَ ُرﺎــﻨﻟا ﺎَﻤُﻬــﺴَﻤَﺗ َﻻ ِنﺎــَﻨْﯿَﻋ ُلﻮُﻘَﯾ
ِﻪﻠ!ا ِﻞKِL َﺳ ﻲِﻓ ُسُﺮْﺤَﺗ ْﺖَﺗ َM
Dari Ibnu ‘Âbbas ﺎــﻤﻬﻨﻋ ﻪﻠ!ا ﻲﺿر berkata, aku mendengar Rasûlullâh bersabda :"Dua mata yang tidak disentuh api neraka, yaitu yang menangis karena takut kepada Allâh , dan mata yang berjaga-jaga di malam hari pada jalan Allâh (jihad)." (Sunan At Tirmidzî)
ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ َةَﺮْ َﺮُﻫ ﻲ)ِﺑ+ ْﻦَﻋ
َﻻ َو ِعْﺮــﻀﻟا ﻲِﻓ ُﻦَLﻠ!ا َدﻮُﻌَﯾ ﻰ1َﺣ ِﻪﻠ!ا ِﺔَﯿ ْDﺸَﺧ ْﻦِﻣ ﻰَﻜَ- ٌﻞُUَر َرﺎﻨﻟا ُﺞِﻠَﯾ َﻻ
َﻢﻨَﻬَﺟ ُنﺎَXُدَو ِﻪﻠ!ا ِﻞKِL َﺳ ﻲِﻓ ٌرﺎَﺒُﻏ ُﻊِﻤَﺘْﺠَﯾ
Dari Abu Hurairah berkata, Rasûlullâh bersabda :" Tidaklah masuk neraka seorang laki-laki yang menangis karena takut kepada Allâh, kecuali bila air susu sapi dapat kembali ke dalam kantong susunya, dan tidaklah berkumpul pada seorang hamba, debu dalam peperangan di jalan Allâh dengan asap (debu) api neraka." (Sunan At Tirmidzî dan Nasai)
Dari penjelasan di atas, khusyû’ itu berarti 'menundukkan diri dengan cara menundukkan anggota badan, merendahkan suara atau penglihatan dengan maksud agar yang menundukkan diri itu benar-benar merasa rendah dan tanpa kesombongan dan sekaligus merasakan takut (karena kesalahan dan dosa) sehingga "tersungkur" menangis.
Imam Syâfi’î
ﻰﻟﺎــﻌﺗ ﻪﻠ!ا ﻪَﻤِﺣَر
menjelaskan dalam kitab Al-Umm, ”Orang yang sedang shalât hendaklah ia seperti seorang prajurit yang berhadapan dengan seorang raja gagah dan kuat. Serius, tegak, konsentrasi, dan fokus terhadap perkatân Raja-nya itu, Allâh berfirman :َنﻮُ]ِﻣْﺆُﻤْﻟا َﺢَﻠْﻓ+ ْﺪَﻗ
)
1
(
َنﻮُﻌ ِﺷﺎَX ْﻢِﻬِﺗ َﻼ َﺻ ﻲِﻓ ْﻢُﻫ َﻦ ِﺬﻟا
)
2
(Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyû’ dalam shalât nya, (QS Al Mu'minun (23):1-2)
Sebab-sebab turun-nya ayat (Asbâbun Nuzûl) Ayat ke 2 dari Surat Al Mu'minun ini adalah:
“Imam Hakîm mengetengahkan sebuah hadîts melalui sahabat Abû Hurairah bahwa Rasûlullâh jika shalât, pandangan matanya selalu ke atas/langit. Maka turunlah ayat ini, "Yaitu orang-orang yang khusyû’ dalam shalât nya." (Q.S. Al Mu'minun(23):2). Maka sejak saat itu Rasûlullâh menundukkan kepalanya jika sedang mengerjakan shalât .
3
Hadîts ini disebutkan pula oleh Ibnu Murdawaih, hanya lafadznya mengatakan, "Bahwa Rasûlullâh menolehkan pandangannya, sedang ia dalam shalât ." Disampaikan pula oleh Sa’id ibnu Manshur melalui Ibnu Sirin secara Mursal, yaitu dengan lafadz yang mengatakan, "Bahwa Rasûlullâh membolak-balikkan pandangan matanya dalam shalât, lalu turunlah ayat tersebut."
Karena itu Imam Ath-Thabarî mengartikan khusyû’ -berdasarkan beberapa riwayat yang dikemukakan oleh beliau- dengan "menundukkan kepala dan melihat tempat sujud, tenang
melakukannya, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, menundukkan hati dan menjaga penglihatan."
Sementara itu, Ibnu Katsîr mengartikan khusyû’ dengan rasa takut kepada Allâh dan tenang melakukan shalât (kha'ifun sakinun). Ini berarti khusyû’ di dalam shalât adalah
mengosongkan hati dari kesibukan di luar shalât yang akan mempengaruhi anggota tubuh dan pikiran. Dengan demikian, khusyû’ tidak lagi sekadar menundukkan diri, tetapi
sudah mengarah kepada pemusatan perhatian (konsentrasi) kepada perbuatan yang dilakukan. Khusyû’ dalam shalât nya. Dalam ayat ini (QS Al Mu'minun (23): 2) Allâh menjelaskan sifat yang kedua yaitu seorang mukmin yang berbahagia itu, jika ia benar-benar khusyû’ dalam shalât nya, pikirannya selalu mengingat Tuhan-nya, Allâh , dan memusatkan semua pikiran dan pancainderanya dan sekaligus ber-munajat kepada Allâh .
Imam Al-Qurthubî, menjelaskan arti khusyû’ dalam beberapa ayat: Dalam Surah Al Baqarah ayat 45, Allâh berfirman:
َﻦ@ِﻌ ِﺷﺎَgْﻟا ﻰَﻠَ ﻻ
ا ٌةَﺮ@ِhَﻜَﻟ ﺎَﻬﻧ
4
4
اَو ِة َﻼﺼﻟاَو ِﺮْLﺼﻟ ِM اﻮُﻨﯿِﻌَﺘ ْDﺳاَو
Jadikanlah sabar dan shalât sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyû’. (QS.2:45)Kata khâsyi’în dalam ayat ini merupakan bentuk jamak dari kata khâsyi’ yaitu orang yang merendahkan diri, menundukkan jiwa yang diperlihatkan oleh anggota badan dengan diam dan pasrah. Qatâdah berkata: yang dimaksud khusyû’ di dalam hati adalah sungguh-sungguh
dalam melaksanakan shalât dengan memasrahkan diri sepenuhnya.
Dalam Surah Ali Imran ayat 199, Allâh berfirman:
ﻠِ! َﻦ@ِﻌ ِﺷﺎَX ْﻢِﻬْﯿَﻟ4ا َلِﺰْ6k+ ﺎَﻣَو ْﻢُﻜْﯿَﻟ4ا َلِﺰْ6k+ ﺎَﻣَو ِﻪﻠ! ِM ُﻦِﻣْﺆُﯾ ْﻦَﻤَﻟ ِبﺎَ1ِﻜ
ْﻟا ِﻞْﻫ+ ْﻦِﻣ ن
اَو
4
ﺎًﻨَﻤَﺛ ِﻪﻠ!ا ِت َoَٓpِﺑ َنو ُﺮَq ْﺸَr َﻻ ِﻪ
ِبﺎ َﺴِﺤْﻟا ُﻊﯾِﺮ َﺳ َﻪﻠ!ا ن4ا ْﻢِﻬِّﺑَر َﺪْﻨِﻋ ْﻢُﻫُﺮْﺟ+ ْﻢُﻬَﻟ َﻚِﺌَﻟوk+ ًﻼﯿِﻠَﻗ
Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allâh dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allâh dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allâh dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allâh amat cepat perhitungan-Nya.
Khusyû’ dalam ayat ini maksudnya adalah sikap tunduk atau rendah diri, memperhatikan
sesuatu yang ada didalam hati.
Dalam Surah Al Isra’ ayat 109, Allâh berfirman:
ﺎً ﻮ ُﺸُﺧ ْﻢُﻫ ُﺪﯾِﺰَ َو َنﻮُﻜْﺒَﯾ ِنﺎَﻗْذ ْ ِﻟ َنوﺮِﺨَﯾَو
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyû’.
Khusyû’ disini adalah menundukkan kepala ketika mendengarkan Al Quran, sikap rendah
diri terhadap semua orang serta bijak dalam menentukan sesuatu.
Dan Surah Al Anbiya’ ayat 90, Allâh berfirman:
َﯾَو ِتاَﺮْ@َgْﻟا ﻲِﻓ َنﻮُﻋِرﺎ َﺴُr اﻮُﻧﺎَﻛ ْﻢُﻬﻧ4ا ُﻪَUْوَز ُﻪَﻟ ﺎَﻨْﺤَﻠ ْﺻ+َو ﻰ)َﯿْﺤَﯾ ُﻪَﻟ ﺎَﻨْﺒَﻫَوَو ُﻪَﻟ ﺎَﻨْﺒَﺠَﺘ ْDﺳﺎَﻓ
ﺎًﺒَﻫ َرَو ﺎًﺒَﻏَر ﺎَﻨَﻧﻮُﻋ ْﺪ
ﺎَﻛَو
َﻦ@ِﻌ ِﺷﺎَX ﺎَﻨَﻟ اﻮُﻧ
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
4
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyû’ kepada Kami.
Orang-orang khusyû’ dalam ayat ini adalah orang-orang yang pasrah kepada Tuhannya dan
merendahkan diri.
Ibn Athaillâh berkata dalam Al Hikâm :
ﻼﺼَﻟا
ِةَﺎﻓَﺎﺼُﻤْﻟا ُنِﺪْﻌُﻣَو ِةَﺎUَﺎﻨُﻤْﻟا ﻞَwَﻣ ُة
Shalât itu tempat/sarana ber-munajat (kepada Allâh ) serta sumber penyucian.
Mencapai khusyû’ sekaligus kesepurnaan shalât
Dalam Risalah-nya al Allamah Habib Ahmad bin Zain bin Alwî Alhabsyî
ﻰﻟﺎــﻌﺗ ﻪــﻠ!ا ﻪ
ــَﻤِﺣَر
(1069-1145 H), menyampaikan:ُﻞــّhَﻘَﺘَﯾ ﺎَﻤﻧٕﺎَﻓ ؛ﺎَﻬُﻤﻬَﻔَﺗَو ِةَءاَﺮِﻘْﻟا ُﺮ-َﺪَﺗَو ، ِﺐْﻠَﻘْﻟا ُرْﻮ ُﻀُﺣَو ،ِءﺎ َﻀْﻋٔ•ا ُن ْﻮُﻜ ُﺳ َﻮُﻫَو :ُعْﻮ ُﺸُﺨْﻟاو
ِر ْﺪــَﻘِﺑ ِةَﻼــﺼﻟا َﻦــِﻣ ﻪــﻠ!ا
ِﺮْ@َ•َو ِةَﻼﺼﻟا ﻲِﻓ ُء َoِّﺮﻟا ُمُﺮْﺤَﯾَو .ِرﻮ ُﻀُﺤْﻟا
. ِسﺎﻨﻟا ِﻞْU ِ• ُﻞَﻤَﻌْﻟا َﻮُﻫَو :ﺎَﻫ
Dan Khusyû’ itu adalah ketenangan anggota badan (tidak banyak gerakan yang tidak perlu), menghadirkan hati, memperhatikan bacaan (shalât ) serta memahami apa yang dibaca; karena sesungguhnya berhadapan dengan Allâh dalam shalât hendaknya sepenuh hati. Dan riyâ’ (ingin dipuji, pamer , oleh karena manusia ) dalam shalât, hukumnya haram.
Dalam keterangan lainnya ditambahkan bahwa untuk Khusyû’ dalam shalât paling tidak terdapat 2 (dua) hal yaitu : Ikhlas yaitu
(
ُﻩَﺪــْ„َو ِﻪﻠِ! ُﻞَﻤَﻌْﻟا َﻮ )
ُﻫَو
amal ibadahnya hanya untuk Allâh semata, dan hudlur, yaitu (ُﻞــَﻌْﻔَﯾَو ُلﻮــُﻘَﯾ ﺎــَﻤِﺑ َﻢَﻠْﻌَﯾ ْنٔ+ َﻮُﻫَو
) dia mengerti, memahami makna ucapan dan perbuatan (syarat-rukun) shalât nya.Dalam upaya mencapai khusyû’ dalam shalât, perhatikan hal-hal berikut :
1.Memahami Ilmu terkait dengan Ibadah shalât yaitu: Ilmu Fiqh Thaharah, Shalât , Ilmu
baca dan membaguskan bacaan Al qur'an (tajwid, tahsin), mempelajari bahasa al Qur'an
(bahasa arab) sekedar untuk memahami bacaan bacaan Shalât , sehingga faham dan
mengerti akan perbuatan dan ucapan ketika shalât , sebagaimana firman Allâh ,
ﺎَﻬُﻟﺎَﻔْﻗ+ ٍبﻮُﻠُﻗ ﻰَﻠَ ْم+ َنَٓ+ْﺮُﻘْﻟا َنو ُﺮ-َﺪَﺘَﯾ َﻼَﻓ+
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?. (Q.S.
Muhammad (47): 24)
2. Tenang, Tawâdhu’ dan Tuma'ninah
Tunduk – tawâdhu’, arahkan pandangan ke tempat sujud dan penuhi tuma'ninah (tidak terburu-buru) pada rukun shalât, karena kita sedang berhadapan dengan yang Maha Mencipta, Allâh , dan meyakini Dia melihat kita. Imam Abu Hāmid Al Ghazālī mengatakan:
ﺮﻀﺗو ﻚﻌﺿاﻮﺗو ﻚ ﻮﻀﺧو ﻚ ﻮﺸﺧ رﺪﻘﺑ ﻚﺗﻼﺻ ﻦﻣ ﻪﻠ!ا ﻞhﻘﺘﯾ ﺎﻤﻧٕﺎﻓ
ﻚﻧٔpﻛ ﻚﺗﻼﺻ ﻲﻓ ﻩﺪﺒﻋاو ،ﻚ
كاﺮ ﻪﻧٕﺎﻓ ﻩاﺮ† ﻦﻜ† ﻢﻟ نٕﺎﻓ ؛ﻩاﺮ†
.
”Maka sesungguhnya shalât itu menghadap Allâh (oleh sebab itu) penuhilah dengan khusyû’, khudhu', tawâdhu’ dan tadharru' dan beribadahlah di dalam Shalât kalian semua seakan-akan kalian melihat Allâh di depan kalian. Walaupun kalian tidak melihat-Nya sesungguhnya Allâh melihat kalian semua.” Bidayatul Hidayah- Bab Adab Shalât
3.Ingat kepada Allâh , Ikhlas beribadah karena Allâh , sesuai dengan Firman-Nya:
يِﺮْﻛِﺬِﻟ َة َﻼﺼﻟا ِﻢِﻗ+َو
Dan dirikanlah shalât untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaha: 14)
4. Mengingat kematian ketika dalam shalât .
5
ِﻪِﺗَﻼ ِﺻ ﻲِﻓ َتْﻮَﻤﻟْا َﺮَﻛَذ اَذ4ا َﻞُUﺮﻟا ن4ﺎَﻓ َﻚِﺗَﻼ َﺻ ﻲِﻓ َتْﻮَﻤْﻟَا ْﺮُﻛ
ُرِﺬَﺘْﻌَﯾ ٍﺮُﻣ+ ﻞُﻛَو َكo
ْذُا :ﻪﻓر ﺲ‰ٔ+ ﻦﻋ ﺮﺸŠ ﻦ- ﺐ@ﺒDﺷ ﺎﻨﺛﺪ„
َﺗ ْن+ ِّيِﺮَﺤِﻟ
4
اَو َﺎﻫَﺮْ@َ• ًةَﻼ َﺻ َﻲﻠ َﺼُﯾ ُﻪﻧ+ ﻦ ُﻈَﯾ َﻻ ٌﻞُUَر ًةَﻼ َﺻ ﻞ َﺻَو ،ُﻪَﺗَﻼ َﺻ َﻦ ِﺴْﺤ
.ُﻪْ]ِﻣ
ﺔﻨDﺴﺤﻟا ﺪﺻﺎﻘﻤﻟا ,ﻩﺪﻨDﺴﻣ ﻲﻓ ﻲﻤﻠﯾﺪﻟا ﻩاور
-يوﺎgﺴﻟا
Bercerita Syabib bin Basyar dari Anas , beliau bercerita: ”Ingatlah kalian terhadap mati ketika dalam shalât. Sesungguhnya seseorang yang ingat mati dalam shalât, ia akan memperbaiki shalâtnya. Jika tidak mengingat kematian diri kalian, niscaya urusan duniawi akan mengganggu konsentrasi shalât kalian.” (HR Ad-Dailamî)
5. Shalât adalah ber-munajat, berdialog dengan Allâh , mengharap Ridha-Nya
Shalât adalah komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya. Kadang shalât diartikan sebagai
al-munaji yaitu dialog interaktif antara hamba dan Tuhannya.
Mewaspadai gangguan terhadap Ibadah shalât
Kita harus menyadari bahwa shalât khusyû’ itu mempunyai hambatan dan gangguan, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar diri kita (setan dan yang lainnya), untuk itu kita perlu mengetahui profil pengganggu shalât . Nabi Muhammad bersabda:
ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر َلﺎَﻗ َلﺎَﻗ ٍﺐْﻌَﻛ ِﻦْ- ِّﻲ)َﺑk+ ْﻦَﻋ
ِءﺎَﻤْﻟا َساَﻮ ْﺳَو اﻮُﻘﺗﺎَﻓ ُنﺎَﻬَﻟَو ُﻪَﻟ ُلﺎَﻘُﯾ ًŽﺎَﻄْﯿ َDﺷ ِءﻮ ُﺿُﻮْﻠِ! ن4ا
Dari Ubay bin Ka'ab berkata, Rasûlullâh bersabda: “Pada wudlu itu ada setan yang menggoda disebut dengan Al Walahan (Walhan), maka hati-hatilah terhadapnya.”(HR Ibn
Mâjah, Ibn Khuzaimah dan Musnad Al Jami)
ﻲ)ِﺒﻨﻟا ﻰَﺗ+ ِصﺎَﻌْﻟا ﻲ)ِﺑ+ َﻦْ- َنﺎَﻤْﺜُﻋ ن+ ِء َﻼَﻌْﻟا ﻲ)ِﺑ+ ْﻦَﻋ
َﻦْ@ــَﺑَو ﻲــِ]ْ@َﺑ َلﺎــَ„ ْﺪَﻗ َنﺎ َﻄْﯿDﺸﻟا ن4ا ِﻪﻠ!ا َلﻮ ُﺳَر َo َلﺎَﻘَﻓ
ﻲِﺗ َﻼ َﺻ
ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر َلﺎَﻘَﻓ ﻲَﻠَ ﺎَﻬ ُﺴِLْﻠَﯾ ﻲِﺗَءاَﺮِﻗَو
ُﻪــْ]ِﻣ ِﻪــﻠ! ِM ْذﻮَﻌَ1َﻓ ُﻪَﺘ ْDﺴ َﺴْﺣ+ اَذ
ﺎَﻓ ٌبَﺰْ‘َX ُﻪَﻟ ُلﺎَﻘُﯾ ٌنﺎ َﻄْﯿ َDﺷ َكاَذ
4
ﻲِّﻨَﻋ ُﻪﻠ!ا ُﻪَﺒَﻫْذpَﻓ َﻚِ!َذ ُﺖْﻠَﻌَﻔَﻓ َلﺎَﻗ ً’ َﻼَﺛ َكِرﺎ َﺴَr ﻰَﻠَ ْﻞِﻔْﺗاَو
Dari Abi Al 'Alâ' dari Utsmân ibn Abî Al ‘Âsh , telah mendatangi Rasûlullâh dan berkata: "Wahai Rasûlullâh, setan telah mengganggu shalât dan bacaanku.” Beliau bersabda : “Itulah setan yang disebut dengan ‘khanzab’, jika engkau merasakan kehadirannya maka bacalah
ta’awudz kepada Allâh dan meludahlah (sedikit ludah) ke arah kiri tiga kali.” (Shahîh Muslim, Musnad Ahmad, Mu'jam Kabir At Thabrânî, Al adzkâr li Nawâwî). Utsman pun melanjutkan:
“Akupun melaksanakan wejangan Nabi tersebut dan Allâh mengusir gangguan tersebut dariku.” Dalam Kitab Nashâihul Ibâd - li Syeikh Muhammad Nawâwî lbnu Umar Al-Jawî Al Bantanî, juga disebutkan bahwa :
ِتاَدﺎَﺒِﻌﻟْاَو ِةَﻼﺼﻟْاَو ِءْﻮ ُﺿُﻮﻟْا ﻲِﻓ ُسِﻮ ْﺳَﻮُﯾ َﻮُﻬَﻓ ُنﺎَﻬْﻟَو م+َو
"Dan si Walhân bertugas menimbulkan was-was dalam wudlu, shalât , dan ibadah-ibadah lain"
Walhân juga suka mengganggu ketika bersuci, dia suka menamkan rasa was-was pada
manusia, sehingga dalam bersuci, boros pemakaian air.
Cara Setan Mengganggu Orang yang Shalât :
1. Mengganggu bacaan dan pekerjaan shalât, baik ayat Al qur'an maupun bacaan-bacaan sunnah lainnya, sehingga lupa, tertukar ayat atau bacaannya dan sebagainya atau lupa jumlah Rakaat yang sudah dikerjakan atau lupa sudah tasyahud awal atau belum.
2. Masuk dalam fikiran, sehingga menjadi melamun (kosong) atau bahkan dapat menampilkan ingatan atau memory otak kita dengan urusan atau pekerjaan di luar shalât.
3. Memasukkan ke-ragu-ragu-an seperti merasa buang angin (ingin kentut), merasa ingin buang air kecil, membangkitkan kantuk dan malas. Bila seseorang merasa ragu-ragu apakah ia buang angin atau tidak dalam shalâtnya itu, maka teruskanlah shalâtnya, sampai ia merasa yakin bahwa ia telah buang angin. Rasûlullâh bersabda :
6
ِﻪّﻠ!ا َلْﻮ ُﺳَر نَا ﺎَﻤُﻬْﻨَﻋ ُﻪّﻠ!ا َﻲ ِﺿَر ٍسﺎﺒَﻋ ِﻦْ-ا ِﻦَﻋَو
j
ِﻪــِﺗ َﺪَﻌْﻘَﻣ ْﻲــِﻓ ُﺦُﻔْﻨــَKَﻓ ِﻪِﺗَﻼــ َﺻ ْﻲــِﻓ ُنﺎَﻄْﯿDــﺸﻟا ُﻢُﻛُﺪــَ„+ ْﻲِﺗْ َo َلﺎَﻗ
ــ ْﺴَr ﻰــ1َﺣ ْفِﺮــ َﺼْﻨَﯾ َﻼَﻓ َﻚِ!اَذ َﺪَUَو اَذ
ﺎَﻓ ْثِﺪْwُﯾ ْﻢَﻟَو َثَﺪْ„+ ُﻪﻧٔ+ ِﻪْﯿَﻟِا ُﻞﯿَﺨُKَﻓ
4
ﺎــًwْﯾِر ْﺪــِ—َﯾ ْو+ ً˜ ْﻮــ َﺻ َﻊَﻤ
راﺰــLﻟا ﻩاور)
(ﻦ@َwﯿِﺤ َﺻ ﻲﻓ ﻪﻠﺻٔ+و
Dari Ibnu ‘Âbbas ﺎــَﻤُﻬْﻨَﻋ ُﻪــّﻠ!ا َﻲــ ِﺿَر bahwa Rasûlullâh bersabda: “Setan akan datang kepada salah seorang kamu waktu shalât lalu ia meniup-niup pada pantatnya, dan mengkhayalkan kepadanya bahwa ia telah berhadats, padahal ia tidak berhadats. Apabila yang terjadi demikian, janganlah ia keluar dari shalât, sehingga ia yakin mendengar suara atau mencium baunya(HR.Bazzâr dan asalnya dari Bukhârî-Muslim)
4. Menarik perhatian. Orang yang shalât digoda untuk melihat atap, tembok yang ada kaligrafi-nya, lampu masjid, bahkan melirik baju atau pakain shalât orang lain.
5. Membagus-baguskan shalât untuk mendapat simpati dan pujian dari manusia : Syirik Khafî Disamping upaya untuk Khusyû’ dalam shalât , namun kita harus berhati-hati dengan ingin dipuji dan lain lain, sebagaimana Hadîts :
ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر ﺎَﻨْﯿَﻠَ َجَﺮَﺧ َلﺎَﻗ ٍﺪﯿِﻌ َﺳ ﻲ)ِﺑ+ ْﻦَﻋ
ُفَﻮــْﺧ+ َﻮــُﻫ ﺎَﻤِﺑ ْﻢُﻛُﺮِLْXk+ َﻻ+ َلﺎَﻘَﻓ َلﺎUﺪﻟا َﺢﯿ ِDﺴَﻤْﻟا ُﺮَﻛاَﺬَﺘَﻧ ُﻦْﺤَﻧَو
َﻠَ
َﻓ ﻲِّﻠــ َﺼُﯾ ُﻞُUﺮﻟا َمﻮُﻘَﯾ ْن+ ﻲِﻔَﺨْﻟا ُكْﺮ ِّﺸﻟا َلﺎَﻘَﻓ ﻰَﻠَﺑ ﺎَﻨْﻠُﻗ َلﺎَﻗ ِلﺎUﺪﻟا ِﺢﯿ ِDﺴَﻤْﻟا ْﻦِﻣ يِﺪْﻨِﻋ ْﻢُﻜْﯿ
ﺎــَﻤِﻟ ُﻪَﺗ َﻼــ َﺻ ُﻦِّ َﺰــُ@
ٍﻞُUَر ِﺮ َﻈَﻧ ْﻦِﻣ ىَﺮَ
Diriwayatkan dari Abû Sa'îd A Khudariî , berkata, kami bersama Rasûlullâh memperbincangkan Dajjal, kemudian beliau bersabda: " Maukah kamu , aku beritahukan sesuatu yang aku paling takutkan lebih dari perkara Al Masîhu Dajjâl?" beliau bersabda : "yaitu
syirik khafî (tersembunyi), yaitu orang yang shalât kemudian membagus-baguskan shalât nya,
sebab ada orang lain yang memperhatikannya (Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ahmad dan Al
Mustadariak ala Shahîhain)
Membahas Shalât yang dicontohkan oleh Rasûlullâh
Hadîts:
ْﻲِّﻠ َﺻk+ ْﻲِﻧْﻮُﻤُﺘْﯾ+َر ﺎَﻤَﻛ اْﻮﻠ َﺻ
)
ﻚ!ﺎﻣ ﻦﻋ ﻢﻠﺴﻣو ىرﺎgﺒﻟا ﻩاور
(
Shalâtlah sebagaimana engkau lihat aku shalât (HR. Bukhârî dan Muslim dari Imam Mâlik ).
Rukun Shalât adalah urutan pelaksanaan Shalât, Rasûlullâh bersabda:
+ َةَﺮْ َﺮُﻫ ﻲ)ِﺑ+ ْﻦَﻋ
ِﻪﻠ!ا َلﻮ ُﺳَر ن
ِّﻲ)ــِﺒﻨﻟا ﻰــَﻠَ َﻢﻠــ َﺴَﻓ ﻰﻠــ َﺼَﻓ ٌﻞــُUَر َﻞَXَﺪــَﻓ َﺪِ— ْﺴَﻤْﻟا َﻞَXَد
……
اَذ
4
ا َلﺎــَﻘَﻓ
ﻰ1َﺣ ْﻊَﻛْرا ﻢُﺛ ِنٓ+ْﺮُﻘْﻟا ْﻦِﻣ َﻚَﻌَﻣ َﺮﺴَ@َﺗ ﺎَﻣ <+َﺮْﻗا ﻢُﺛ ْﺮِّLَﻜَﻓ ِة َﻼﺼﻟا ﻰَﻟ4ا َﺖْﻤُﻗ
ﻦِœَﻤ ْﻄَﺗ
َﺣ ْﻊَﻓْرا ﻢُﺛ ﺎًﻌِﻛاَر
ﺎــًﻤِﺋﺎَﻗ َلِﺪــْﻌَﺗ ﻰــ1
ﻰ1َﺣ ْﺪُ— ْﺳا ﻢُﺛ
ﻦِœَﻤ ْﻄَﺗ
ﺎَﻬِّﻠُﻛ َﻚِﺗ َﻼ َﺻ ﻲِﻓ َﻚِ!َذ ْﻞَﻌْﻓاَو ﺎ ًﺴِﻟﺎَU ﻦِœَﻤ ْﻄَﺗ ﻰ1َﺣ ْﻊَﻓْرا ﻢُﺛ اًﺪِUﺎ َﺳ
Dari Abu Hurairah berkata, Sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: “Apabila kamu hendak mendirikan shalât, maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagi kamu dari al-Qur’an. Kemudian ruku‘lah sehingga kamu thuma’ninah dalam ruku‘. Kemudian bangunlah (dari ruku‘) sampai kamu tegak berdiri (i‘tidal). Kemudian sujudlah sehingga kamu thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangunlah (dari sujud) sampai kamu thuma’ninah dalam duduk. Dan lakukanlah demikian itu dalam setiap shalâtmu.”(Shahîh Bukhârî, No.263 dan Shahîh Muslim, No.298)
Hadîts yang menerangkan tatacara shalât Rasûlullâh :
ِﻪﻠ!ا ِلْﻮ ُﺳَر ِة َﻼ َﺼِﺑ ْﻢُﻜُﻤَﻠْ + َŽ+ : ﺪْﯿَﻤُﺣ ْﻮُﺑ+ َلﺎَﻗ
ﷺ
ِﻪﻠ!ا ُلْﻮ ُﺳَر َنﺎَﻛ : َلﺎَﻗ ْضِﺮْﻋﺎَﻓ : اْﻮُﻟﺎَﻗ
ﷺ
ﻰَﻟ
4
ا َمﺎَﻗ اَذ
ا
4
َﻣ ْﻲِﻓ ٍﻢ ْﻈَﻋ ﻞُﻛ ﺮِﻘُﯾ ﻰ1َﺣ ُﺮِّLَﻜُ ﻢُﺛ ِﻪْﯿَhِﻜْ]َﻣ ﺎَﻤِﻬِﺑ ْيِذﺎَwُﯾ ﻰ1َﺣ ِﻪْﯾَﺪَﯾ ُﻊَﻓْﺮَ ِة َﻼﺼﻟا
ُﺮِّLَﻜُ ﻢُﺛ k+َﺮْﻘَﯾ ﻢُﺛ ًﻻِﺪَﺘْﻌُﻣ ِﻪِﻌ ِﺿْﻮ
7
َﺘْﻌَﯾ ﻢُﺛ ِﻪْKَqَﺒْﻛُر ﻰَﻠَ ِﻪْﯿَ1َﺣاَر ُﻊ َﻀَﯾ َو ُﻊَﻓْﺮَ ﻢُﺛ ِﻪْﯿَhِﻜْ]َﻣ ﺎَﻤِﻬِﺑ ْيِذﺎَwُﯾ ﻰ1َﺣ ِﻪْﯾَﺪَﯾ ُﻊَﻓْﺮَ@َﻓ
ُﻪُﻌِ]ْﻘُﯾ َﻻَو ُﻪ َﺳ<+َر ُبِّﻮ َﺼُﯾ َﻼَﻓ ُلِﺪ
ُﻘَﯾ َو ُﻪ َﺳ<+َر ُﻊَﻓْﺮَ ﻢُﺛ
!ا ُلْﻮُﻘَﯾ ﻢُﺛ ًﻻِﺪَﺘْﻌُﻣ ِﻪْﯿَhِﻜْ]َﻣ ﺎَﻤِﻬِﺑ ْيِذﺎَwُﯾ ﻰ1َﺣ ِﻪْﯾَﺪَﯾ ُﻊَﻓْﺮَ ﻢُﺛ ُﻩَﺪِﻤَﺣ ْﻦَﻤِﻟ ُﻪﻠ!ا َﻊِﻤ َﺳ ُلْﻮ
ﻢُﺛ ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ
ُ@ﻟْا ُﻪَﻠْUِر ْﻲِ]ْŸُﯾَو ُﻪ َﺳ<+َر ُﻊَﻓْﺮَ ﻢُﺛ ِﻪْﯿَﺒْ]َﺟ ْﻦَﻋ ِﻪْﯾَﺪَﯾ ْﻲِﻓﺎَ—ُKَﻓ ِضْر•ْا ﻰَﻟ4ا ْيِﻮْﻬَﯾ
ﻞُﻛ ُﻊ ِﺟْﺮَ ﻰ1َﺣ ﺎَﻬْﯿَﻠَ ُﺪُﻌْﻘَKَﻓ ىَﺮ ْﺴ
َﺣ ِﻪْﯾَﺪَﯾ ُﻊَﻓْﺮَ@َﻓ ِﺔَﻌْﻛﺮﻟا َﻦِﻣ َمﺎَﻗ اَذ
ا ﻢُﺛ َﻚِ!ٰذ ﻞْ¡ِﻣ ىَﺮْﺧk•ْا ْﻲِﻓ ُﻊَﻨ ْﺼَﯾ ﻢُﺛ ِﻪِﻌ ِﺿْﻮَﻣ ﻰَﻟ4ا ٍﻢْﻈَﻋ
4
ِﻪْﯿَhِﻜْ]َﻣ ﺎَﻤِﻬِﺑ ْيِذﺎَwُﯾ ﻰ1
ﻢُﺛ ِة َﻼﺼﻟا ِحﺎَﺘِ1ْﻓا َﺪْﻨِﻋ َﺮLَﻛ ﺎَﻤَﻛ
َﺮﺧ+ ُﻢْﯿِﻠ ْﺴqﻟا ﺎَﻬْKِﻓ ْﻲِﺘﻟا ُةَﺪْ—ﺴﻟا ِﺖَﻧﺎَﻛ اَذ4ا ﻰ1َﺣ ِﻪِﺗ َﻼ َﺻ ِﺔKِﻘَﺑ ْﻲِﻓ َﻚِ!ٰذ ُﻞَﻌْﻔَﯾ
َ ُﻪﻠ!ا ﻰﻠ َﺻ ْﻲِّﻠ َﺼُﯾ َنﺎَﻛ اَﺬَﻜٰﻫ َﺖْﻗَﺪ َﺻ اْﻮُﻟﺎَﻗ ِﺮ َﺴْr•ْا ِﻪِّﻘ ِﺷ ﻰَﻠَ ﺎٍﻛِّرَﻮَ1ُﻣ َﺪَﻌَﻗَو ىَﺮ ْﺴُ@ﻟْا ُﻪَﻠْUِر
ﻠ َﺳ َو ِﻪْﯿَﻠ
َﻢ
Abu Humaid mengatakan: “Diantara kalian akulah orang yang paling tahu tentang shalâtnya Rasûlullâh “. Mereka yang hadir mengatakan: “Katakanlah!”. Abu Humaid pun berkata:
“Rasûlullâh apabila akan shalât beliau berdiri dan mengangkatkan tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian bertakbir sampai seluruh persendiannya berada pada tempatnya sementara tubuhnya tetapa berdiri tegak. Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an dan diteruskan bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya. Kemudian beliau rukuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya kedua lututnya, punggungnya tegak lurus, tidak mengangkat atau menundukkan kepalanya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan ‘sami’allâhu liman hamidah’ dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya dan berdiri tegak. Kemudian beliau mengucapkan ‘Allâhu Akbar’. Kemudian beliau menurunkan badannya ke tanah, kedua tangannya menjauhi lambungnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan menekuk kaki kirinya serta duduk diatasnya sampai semua persendiannya berada pada tempatnya. Kemudian beliau sujud yang kedua seperti sujud sebelumnya. Kemudian beliau bangkit dari sujud dan berdiri serta mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya seperti bertakbir ketika awal shalât. Beliau melakukan seperti itu sampai selesailah seluruh rakaat yang beliau kerjakan hingga melakukan sujud terakhir. Saat itulah beliau menjulurkan kaki kirinya ke kanan dari tempat duduknya. Beliau duduk tawarruk dengan pinggul rukuk”.
Mendengar penuturan Abu Humaid, mereka mengatakan: “Engkau benar”. Demikianlah Rasûlullâh melakukan shalât. (HR. Imam Mâlik, Abu Dâwud dan Tirmidzî).
Para fuqâhâ’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalât. Terkait masalah ini Madzhab Hanafî memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalât yang berbeda dengan rukun-rukun shalât.
Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-wajib shalât berdosa namun shalâtnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalâtnya.
8
۞
Rukun Shalât menurut Empat madzhabMadzhab Hanafî/
ﻲﻔـــﻨ`aا
Madzhab Hanafî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 6, yaitu:
1. Takbîratul Ihrâm, 2. Berdiri,
3. Membaca Al-Qur’an, 4. Rukuk,
5. Sujud,
6. Duduk di akhir shalât selama tasyahud.
(Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binâyah fi Syarh Al-Hidâyah, 2/175-178).
Madzhab Hanafî menyebutkan bahwa wajib-wajib shalât ada 18, yaitu: 1. Membaca Takbîr ketika permulaan shalât,
2. Membaca Surat Al-Fatihah,
3. Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah, 4. Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalât fardhu, 5. Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain, 6. Menyatukan hidung dan kening ketika sujud,
7. Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalât, 8. Thuma’ninah dalam setiap rukunnya,
9. Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalât yang berjumlah tiga atau empat rakaat,
10. Membaca tasyahud ketika duduk pertama,
11. Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam,
12. Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal,
13. Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalât sambil menoleh ke kanan dan ke kiri,
14. Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalât shubuh, dua rakaat dalam shalât Maghrib dan Isya’ meski shalâtnya qadha’,
15. Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalât Dzuhur dan Ashar selain dua rakaat shalât Maghrib dan Isya’, serta shalât nafilah pada siang hari,
16. Membaca do’a Qunut dalam shalât witir, 17. Takbîr dalam shalât ‘Id,
18. Diam dan mendengarkan imam dalam shalât berjama’ah. (Wahbah Az-Zuhailî, Al Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu-Bab Shalât)
Madzhab Mâlikî/ﻲـــﻜﻟﺎﻤﻟا
Madzhab Mâlikî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 14, yaitu 1. Niat,
2. Takbîratul Ihrâm,
3. Berdiri ketika shalât fardhu, 4. Membaca surat Al-Fatihah,
5. Membaca Al-Fatihah dengan berdiri, 6. Rukuk,
7. Bangkit dari rukuk, 8. Sujud,
9. Duduk diantara dua sujud, 10. Salam,
11. Duduk ketika salam, 12. Thuma’ninah,
9
13. I’tidal dari rukuk dan sujud, 14. Tartib
(Asy Syarh Ash-Shaghîr ‘alâ Aqrab Al Masâlik Ila Madzhab Al Imam Mâlik, 303-317)
Madzhab Syâfi‘î/ﻲـــﻌﻓﺎﺸﻟ
Madzhab Syâfi‘î menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 13, yaitu: 1. Niat,
2. Takbîratul Ihrâm,
3. Berdiri dalam shalât fardhu bagi yang mampu, 4. Membaca AlQur’an (Alfatihah),
5. Rukuk,
6. I’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah, 7. Sujud,
8. Duduk diantara dua sujud dan thuma’ninah, 9. Tasyahud,
10. Duduk ketika tasyahud,
11. Membaca shalawat kepada Nabi , 12. Salam,
13. Urut dan tartib dalam di setiap rukunnya.
(Syamsuddîn Muhammad bin Al-Khatîb Asy-Syarbinî, Mughnî Al-Muhtâj ila Ma’rifâti Ma’anî Alfâdz Al-Minhâj,1/229-275
Madzhab Hanbalî/
ﻲـــﻠﺒﻨ`aا
Madzhab Hanbalî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 14, yaitu: 1. Takbîratul Ihrâm,
2. Berdiri dalam shalât fardhu sesuai kemampuan,
3. Membaca Surat Al-Fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan orang shalât sendirian,
4. Rukuk, 5. I’tidal, 6. Sujud,
7. I’tidal dari sujud,
8. Duduk diantara dua sujud,
9. Thuma’ninah pada setiap rukunnya, 10. Duduk tasyahud akhir,
11. Membaca tasyahud,
12. Membaca shalawat kepada Nabi , 13. Salam ke kanan,
14. Urut/Tartib.
(Ibnu Qudamah Al-Maqdisî, Al-Mughnî, Juz 2)
ﺔﻨﻴﻧﺄﻤﻄﻟا
:
ﺔﻛﺮﺣ ﺪﻌﺑ نﻮﻜﺳ
ﻦﻴﺘﻛﺮﺣ ﻦﻴﺑ نﻮﻜﺳ وأ
ﻪﺘﻟدأو ﻲﻣﻼﺳﻹا ﻪﻘﻔﻟا)
-
ج
1
ص
676
(
Thuma’ninah adalah diam sesudah bergerak atau diam di antara dua gerakan.
Rukun Shalât Hanafî/ﻲﻔـــﻨ`aا Mâlikî/
ﻲـــﻜﻟﺎﻤﻟا
Syâfi`î /ﻲـــﻌﻓﺎﺸﻟ Hanbalî/ﻲـــﻠﺒﻨ`aا Thuma‘ninah Wajib Rukun pada gerakan rukuk, I’tidal, Sujud dan
duduk di antara dua sujud.
Sebagian ulama‘ Syâfi`îyah hukum thuma’ninah dalam shalât adalah syarat
10
sahnya Rukun. Dalam Kitab Hâsyîyah Bajûrî juz 1 hal.152:
(ٍﺔــَﻛَﺮَﺣ َﺪْﻌَﺑ ُنﻮُﻜَﯿ َDﺳ َﻲِﻫَو ُﻪُﻟﻮَﻗ)
َﺑ ِءﺎ َﻀْﻋٔ•ا ُنﻮُﻜ ُﺳ ىا
َﻞــْKِﻗ َﻚِ!َﺬــِﻟَو .ُﻪــْ]ِﻣ ِﻊــْﻓﺮﻟا ِﺔَﻛَﺮَﺣ َﻞْhَﻗَو ِعﻮُﻛﺮﻠِ! ِّيِﻮَﻬﻟا ِﺔَﻛَﺮَﺣ َﺪْﻌ
ﺎَﻬِﻧو ُﺪِﺑ ُةَﻼﺼﻟا ﺢ ِﺼَﺗ َﻻ ِﻦْ@َﻟﻮَﻘﻟا َﻼِﻛ ﻰَﻠَ َو :َلﺎَﻗ ْنٔ+ ﻰَﻟٕا ... ِﻦْ@َﺘَﻛَﺮَﺣ َﺪْﻌَﺑ ٌنﻮُﻜ ُﺳ َﻲِﻫ
.
(Dikatakan: Thuma'ninah itu adalah tenang setelah gerakan) artinya ketenangan anggota-anggota badan setelah gerakan turun untuk rukuk dan sebelum gerakan bangkit dari rukuk. Oleh karena itu dikatakan: Thuma'ninah itu adalah tenang (diam) diantara dua gerakan ... sampai ucapan pengarang: Berdasar dua pendapat ini, maka
tidak sah shalât tanpa thuma'ninah.
Rukun Shalât menurut 4 madzhab :
No Rukun Shalât Hanafî/
ﻲﻔـــﻨ`aا Mâlikî/ ﻲـــﻜﻟﺎﻤﻟا Syâfi`î / ﻲـــﻌﻓﺎﺸﻟ Hanbalî/ ﻲـــﻠﺒﻨ`aا
1 Niat Syarat Rukun Syarat
2 Takbîratul Ihrâm
Rukun 3 Berdiri bagi yang sanggup)*
4 Membaca surat Al Fâtihah 5 Ruku`
6 I'tidal Bukan
rukun
Rukun
7 Sujud dua kali Rukun
8 Duduk di antara dua sujud Bukan Rukun
Rukun
9 Duduk Tasyahud Akhir)** Rukun
10 Membaca Tasyahhud Akhir
Bukan
Rukun Rukun
11 Membaca Shalawat Nabi 12 Salam
13 Tartib (beurutan) 14 Thuma'ninah
(*)(1)Lurus tulang belakangnya (2) tetap (tidak bergerak-gerak atau bergoyang) (3) Muka dan dada
menghadap kiblat.
(**)Adapun duduk untuk tasyahhud itu termasuk rukun, karena tasyahhud akhir itu termasuk rukun
Dalam pandangan Ulama‘ madzhab Syâfi`îyah, Rukun-rukun shalât dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Rukun Qalbî: Niat
Rukun Qaulî: Takbîratul Ihrâm
Membaca Al-Fâtihah Membaca tasyahud akhir Membaca Shalawat Nabi Salam
Rukun Fi’lî Berdiri
Ruku’ I’tidal Sujud
Duduk di antara dua sujud Duduk Tasyahud Akhir
11
Tartib, merupakan gabungan dari Qaulî dan Fi’lî, juga ada yang berpendapat: Tertib termasuk Rukun Qalbî .
Dari empat belas rukun shalât tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Rukun Qalbî (hati),
mencakup satu rukun yaitu niat. Qashdu : Menyengaja$
%ﺻأ
(sengaja aku shalât) Ta’aradh: Menentukan fardhu atau sunnah Ta’yîn: Menentukan Waktu
Dalam hati
Dalam huruf yang delapan: Dalam kalimat
GHﻛا ﮫﻠﻟا
(diantara alif dengan Ra) Jangan berubah: Tidak boleh merubah niat (berdiri untuk shalât sunnah, kemudian ditengah-tengah shalât dirubahnya menjadi shalât fardlu).
Membedakan Ada’(Shalât yang dilaksanakan tepat pada waktunya) dengan
Qadla’(Shalât yang dilaksanakan pada waktu yang lain (diluar waktu shalât yang
dimaksud)
Hukum melafadzkan niat :
Hukum melafadzkan niat (at talafadz bi nnîyah) seperti :
ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ! (ُﺎﻣْﻮُﻣ<pَﻣ)ًﺎﻣَﺎﻣ
ا ًﺎﺋاَد+ ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ ٍتﺎَﻌْﻛَر َﻊَﺑْر+ ِﺮْﻬ ُﻈْﻟا َضْﺮَﻓ ْﻲِّﻠ َﺻk+
4
Pendapat yang shahîh di kalangan Syâfi’î yah(sebagaimana dalam Mughnî al-Muhtâj, 1/148-150) menyatakan wajibnya niat fardlu dan syarat niat ada tiga, yaitu bersengaja (al-qashd), menentukan (at-ta'yîn) dan niat fardlu (al-fardlîyah).
Menurut Madzhab Syâfi’î , ber-niat itu di hati dan di lisan – Syaikh Zainuddîn Al
Malibarî menyatakan dalam Fathul Mu’în: Sunnah hukumnya melafadzkan niat
sebelum Takbiratul Ihrâm, dan juga harus disengaja, juga menentukan (ta’yin) akan mengerjakan shalât Fardlu atau Sunnah, Adâ’ atau Qadha’, sebagai Imam atau Ma’mum), juga bisa dilihat di dalam Kitab Tuhfah al Muhtâj, II/12
Pendapat yang menyatakan bahwa sunnah melafadzkan niat juga didukung oleh Ulama
Hanbalîyah (Al Mughnî al Mukharraq 1/464)
Dalam (
ﮫـﺘﻟدأو ﻲﻣﻼـﺳﻹا ﮫـﻘﻔﻟا
) Fiqh Islâmî wa Adillatuhu - Dr.Wahbah Zuhailî mengatakan:"Dalam shalât fardlu disyaratkan dua perkara, yaitu menentukan jenis shalât dan bermaksud melakukannya. Ibnu Qudamah (pengarang Kitab Al Mughnî – beliau termasuk Ulama' Hanbalî) berkata: "niat menentukan jenis shalât itu wajib, dan
shalâtnya akan jadi sesuai dengan yang ditentukan."
Dalam Kitab Al-Fiqh 'ala Madzâhibi Al-Arba'ah - Bab Hukum Melafadzkan Niat
Melaksanakan Shalât Tunai (Adâ’) atau Qadha’ dan Lainnya: ‘Abdurrahman Al Juzairî mengatakan :
ضﺮــﻓ Q%ـﺻأ ﮫﻧﺎـﺴﻠﺑ لﻮـﻘﻳ نﺄـ5 ،ﺔـﻴﻨﻟﺎﺑ ﮫﻧﺎـﺴﻠﺑ ﻆﻔﻠﺘـﻳ نأ ﻦــﺴf ﻚـﻟذ ﻮـﺤ ﻧ وأ ءﺎـﻀﻘﻟا وأ ءادﻷا ﺔـﻴﻧو ،ﺔـﻴﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘـﻟا ﻢـﻜﺣ
ﮫــﻧﺈﻓ ﺮــﺼﻌﻟا Q%ــﺻأ ﺖــ3ﻮﻧ :لﺎـﻘﻓ ﮫﻧﺎــﺴﻟ ﻖﺒــﺳ ﻦــﻜﻟو ،ﺮــ ﻈﻟا ةﻼـﺻ ﮫــﺒﻠﻘﺑ ىﻮــﻧ ﻮــﻠﻓ ،ﺐــﻠﻘﻠﻟ
ﺎـ ﺒoﺗ ﻚــﻟذ QــR نﻷ ،
ً
ﻼﺜــﻣ ﺮـ ﻈﻟا
ً
ــﻤﻧإ ﺔــﻴﻨﻟا QــR GــHﺘﻌﻤﻟا نأ ﺖــﻓﺮﻋ ﺪــﻗ ﻚــﻧﻷ ،ﺮــﻀﻳ ﻻ
ﮫــﻴrﻨﺗ $ــ%ﻋ ﺪﻋﺎــﺴﻣ ﻮــ' ﺎــﻤﻧsو ،ﺔــﻴoﺑ ﺲuــﻟ نﺎــﺴﻠﻟﺎﺑ ﻖــﻄﻨﻟا ،ﺐــﻠﻘﻟا ﻮــ' ﺎ
ﺪــﻨﻋ ﮫــﻴﻠﻋ ﻖــﻔﺘﻣ ﻢــﻜ`aا اﺬــ'و ،ﺔﺤ ﻴ`ــw ﺐــﻠﻘﻟا ﺔــﻴﻧ ﺖــﻣاد ﺎــﻣ ﺮــﻀﻳ ﻻ نﺎــﺴﻠﻟا ﺄــﻄﺨﻓ ،ﺐــﻠﻘﻟا
ﺔﻴﻌﻓﺎــﺸﻟا
و
ﺔــﻠﺑﺎﻨ`aا
ﺎــﻣأ ،
ﺔــــــﻴﻜﻟﺎﻤﻟا
او ،
ﺔــــــﻴﻔﻨ`a
ً
ﺎــــــﻋوﺮﻣ ﺲuــــــﻟ ﺔــــــﻴﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘــــــﻟا نإ :اﻮﻟﺎــــــﻗ ﺔــــــﻴﻔﻨ`aاو ،ﺔــــــﻴﻜﻟﺎﻤﻟا) ﻂــــــyaا ﺖــــــﺤ ﺗ ﺎﻤ z'ﺬــــــﻣ ﺮﻈﻧﺎــــــﻓ
QــــــR
،سﻮــــــﺳﻮﻤﻟا Gـــــ ﻐﻟ $ـــــ}وﻷا فﻼـــــﺧ ﺔـــــﻴﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘـــــﻟا نإ :اﻮﻟﺎــــــﻗ ﺔـــــﻴﻜﻟﺎﻤﻟا نأ $ـــــ%ﻋ ،
ﺎـــــﺳﻮﺳﻮﻣ Q%ـــــﺼﻤﻟا نﺎـــــ5 اذإ ﻻا ،ةﻼـــــﺼﻟا
ً
ﺔﺳﻮﺳﻮﻟا ﻊﻓﺪﻟ ﻦﺴﺤ ﺘﺴ•و ،ﺔﻋﺪﺑ ﺔﻴﻨﻟﺎﺑ ﻆﻔﻠﺘﻟا نإ :اﻮﻟﺎﻗ ﺔﻴﻔﻨ`aا .سﻮﺳﻮﻤﻠﻟ بﺪﻨ3و
(.
12
Melafadzkan niat dengan lisan hukumnya sunnah, misalnya mengucapkan dengan
lisannya (
ِﺮــْﻬ ُﻈْﻟا َضْﺮــَﻓ ْﻲِّﻠــ َﺻk+
) dan lain sebagainya, karena melafadzkan niat itu berfungsi sebagai perhatian bagi hati. Jika ia berniat shalât dhuhur dengan hatinya akan tetapi lisannya terlanjur (tanpa sengaja) mengucapkan:(
ِﺮــ ْﺼ
َﻌﻟا
ْﻲِّﻠــ َﺻk+
ُﺖــْﯾَﻮَﻧ
) maka yang demikian itu tidak batal; karena anda telah tahu bahwa yang diperhitungkan dalam berniat adalah hati, sedangkan penggungkapan dengan lisan bukanlah niat, melainkan ia berfungsi sebagai alat bantu dalam memperingatkan hati; maka kesalahan lisan tidaklah membatalkan niat selama niat hati itu benar. Hukum ini disepakati oleh madzhab Syâfi’î dan Hanbalî .Sedangkan madzhab Mâlikî dan Hanafî berbeda:
(Mereka (Madzhab Mâlikî dan Hanafî ) berpendapat bahwa melafadzkan niat itu tidak disyari'atkan dalam shalât, kecuali apabila orang yang melaksanakan shalât itu was-was. Mâlikîyah juga berpendapat bahwa melafadzkan niat itu menyalahi yang lebih utama ($ـ} ْوَ ﻷا َ فُ ﻼ )َ ـ ِﺧ bagi orang yang tidak was-was, sedangkan bagi yang was-was hal itu disunnahkan.
Madzhab Hanafî berpendapat bahwa melafadzkan niat adalah bid'ah, dan dianggap
baik bila dilakukan untuk menahan (menghindari) perasaan was-was)
Sekte Wahabi membid'ah-kan secara muthlaq perkara ini.
"Waktu" berniat
Niat itu dilakukan "bersamaan" dengan takbiratul Ihrâm dan mengangkat kedua tangan, boleh, bila niat itu sedikit lebih dulu dari keduanya.
2.
Rukun Qaulî
(Ucapan),
mencakup lima rukun yaitu : Takbîratul Ihrâm, membaca Al-Fâtihah, membaca tasyahud akhir, membaca shalawat, dan salam (pertama).Pembahasan Rinci terkait RUKUN QAULÎ, berkata Imam An-Nawâwî:
ﺢﻴ`w نﺎ5 اذإ ﮫﺴﻔﻧ ﻊﻤﺴf نا راﺮﺳﻻا ﻰ داو دﺮﻔﻨﻤﻟاو مﻮﻣﺄﻤﻟا ءاﻮﺳ G ﺒﻜﺘﻟﺎﺑ راﺮﺳﻻا ﺔﻨﺴﻟﺎﻓ مﺎﻣﻻا G ﻏ ﺎﻣاو
مﻼﺴﻟاو ﺪ ﺸ8ﻟاو ﻩG ﻏو عﻮﻛﺮﻟا QR ﺢﻴrﺴ8ﻟاو G ﺒﻜﺘﻟاو ةءاﺮﻘﻟا QR مﺎﻋ اﺬ'و ﻩG ﻏو ﻂﻐﻟ ﻦﻣ ﺪﻨﻋ ضرﺎﻋ ﻻو ﻊﺴﻤﻟا
ﺎ >ﻣ ‡ˆ‰ ﺐﺴﺤ ﻳ ﻻ ﺎ ﻠﻔﻧو ﺎ zﺟاو ءاﻮﺳ ءﺎﻋﺪﻟاو
ﻊﻤﺴf Š‹ﺣ
ﮫﺴﻔﻧ
ﻦﻜﻳ ﻢﻟ نﺎﻓ ضرﺎﻋ ﻻو ﻊﻤﺴﻟا ﺢﻴ`w نﺎ5 اذإ
لﺎﻗ بﺎ`wﻻا ﮫﻴﻠﻋ ﻖﻔﺗاو QŒﻓﺎﺸﻟا ﮫﻴﻠﻋ ﺺﻧ اﺬﻜ' ﻚﻟذ G ﻏ ﮫ3ﺰﺠﻳ ﻻ ﻚﻟاﺬﻛ نﺎ5 ﻮﻟ ﻊﻤﺴf ﺚﻴﺤ ﺑ ﻊﻓر ﻚﻟﺬﻛ
* ﻩزوﺎﺠﺘﻳ ﻻ ﮫﻴﻠﻳ ﻦﻣو ﻊﻤﺴf مﻻا QR QŒﻓﺎﺸﻟا لﺎﻗ ﮫﺴﻔﻧ عﺎﻤﺳا Q%ﻋ ﺪ3ﺰﻳ ﻻ نا ﺐﺤ ﺘﺴ•و ﺎﻨﺑﺎ`wا
Adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadh Takbîr, baik dia menjadi makmum atau ketika shalât sendiri (munfarid). Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, Takbîr, membaca tasbih ketika ruku`, tasyahud, salam dan doa-doa dalam shalât baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syâfi`î
13
dan disepakati oleh pengikutnya. Sedangkan Ashab Syâfi`î berkata: Disunnahkan agar
tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri.
As-Syâfi`î berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan
orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu. (Al-Majmû’, III/295).
Para ulama madzhab Syâfi`î berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -mengalami kecelakân di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya ketika membaca lafadz Takbîr, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya, karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimâfkan, akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan. (Fatâwâ al Ramlî,
I/140 dan Hasyîyah Qulyubî, I/143)
Kebayakan ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa
didengar oleh pembacanya sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Mâlikî
cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat. (Ad Dîn al Khalish II/143).
Keharusan melafadhkan rukun Qaulî ini sesuai dengan hadîts bahwa Rasûlullâh membaca bacaan shalât dengan menggerakkan lidah dan bibirnya:
ُﻗ :َلﺎَﻗ ،ٍﺮَﻤْﻌَﻣ ﻲ)ِﺑ+ ْﻦَﻋ
:َلﺎَﻗ ،؟ِﺮ ْﺼَﻌﻟاَو ِﺮْﻬﻈﻟا ﻲِﻓ k+َﺮْﻘَﯾ َﻢﻠ َﺳَو ِﻪْﯿَﻠَ ُﻪﻠ!ا ﻰﻠ َﺻ ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر َنﺎَﻛ+ ٍبﺎﺒَﺨِﻟ ﺎَﻨْﻠ
:َلﺎَﻗ ؟ َكاَذ َنﻮُﻓِﺮْﻌَﺗ ْﻢُﺘْﻨُﻛ َﻢِﺑ :ﺎَﻨْﻠُﻗ ،ْﻢَﻌَﻧ
»
ِﻪِﺘَﯿْﺤِﻟ ِباَﺮ ِﻄ ْﺿ ِM
»
“Dari Abu Ma’mar , dia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab , apakah Rasûlullâh membaca bacaan shalât pada shalât Dzuhur dan Ashar? Ia menjawab: “Ya”. Lalu kami bertanya lagi: Bagaimana kalian bisa mengetahui hal itu? Dia berkata: “Dengan bergeraknya jenggot beliau”. (HR. Bukhârî dan Abu Dâwud).
Kalau Rasûlullâh membaca hanya di dalam hati, tidak akan mungkin jenggot beliau sampai bergerak-gerak. Bahkan dalam hadîts itu diungkapkan dengan kalimat
“باﺮﻄﺿا
” yang artinya goncang, menunjukkan gerakannya jelas betul-betul bergerak,bukan sekadar bergerak.
2.1. Takbîratul Ihrâm Hadîts:
ِﻪــﻠ!ا ُلﻮــ ُﺳَر َلﺎــَﻗ َلﺎــَﻗ ُﻪــْﻨَﻋ ُﻪــﻠ!ا َﻲــ ِﺿَر ٍّﻲِﻠَ ْﻦَﻋ ِﺔKِﻔَﻨَﺤْﻟا ِﻦْ-ا ِﺪﻤَﺤُﻣ ْﻦَﻋ
َﻼــﺼﻟا ُحﺎــَ1ْﻔِﻣ
ﺎــَﻬُﻤﯾِﺮْﺤَﺗَو ُرﻮــُﻬﻄﻟا ِة
ُﻢﯿِﻠ ْﺴqﻟا ﺎَﻬُﻠﯿِﻠْwَﺗَو ُﺮ@ِhْﻜﺘﻟا
Kunci shalât itu adalah bersuci, pembatas antara perbuatan yang boleh dan tidaknya dilakukan waktu shalât adalah takbir, dan pembebas dari keterikatan shalât adalah salam." (Hadîts Riwayat Imam Ahmad, Abû Dâwud, Tirmidzî dan Ibn Mâjah)
Menurut madzhab Syâfi`î, Mâlikî dan Hanbalî sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab ( GHﻛا ﮫﻠﻟا"Allâhu Akbar") adalah wajib,walaupun orang yang shalât itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
Hanafî : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa
14
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihrâm adalah semua yang
disyaratkan dalamshalât. Kalau bisa melkitakannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata
ﺮLﻛا ﻪﻠ!
ا
- Allâhu Akbar- itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.Shighat Takbîratul Ihrâm
Mâlikî dan Hanbalî : kalimat takbiratul ihrâm adalah “Allâh Akbar” (Allâh Maha Besar)
tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Hanafî : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata
tersebut, seperti “Allâh Al-A’dham” dan “Allâhu Al-Ajall” (Allâh Yang Maha Agung dan Allâh Yang Maha Mulia).
Syâfi`î : boleh mengganti “Allâhu Akbar” dengan ”Allâhu Al-Akbar”, ditambah dengan
alif dan lam pada kata “Akbar”.
Syarat Takbîratul Ihrâm
1. Dilakukan pada waktu berdiri pada shalât fardhu, bagi orang yang shalât berdiri 2. Dengan memakai bahasa arab
3. Dengan menggunakan kalimat ALLÂH (ﻪﻠﻟﺍ) dan kalimat AKBAR (ﺮَﺒْﻛﺃ ) 4. Tertib antara kalimat Allâh dengan kalimat akbar
5. Tidak memanjangkan suara “A” pada kalimat ÂLLÂH, dan 6. Tidak memanjangkan suara “BA” pada kalimat Akbâr 7. Tidak men-tasydîdkan suara “BA” pada kalimat Akbar
8. Tidak menambah suara panjang pada kalimat “HU” (Allâhû akbar), atau
9. Tidak menambah suara “WA” diantara kalimat Allâhu -- Akbar (Allâhu Wakbar) 10. Tidak menambah suara “WA” sebelum kalimat Allâh (WAllâhu Akbar)
11. Tidak boleh berhenti antara dua kalimat (Allâhu, Akbar). 12. Seluruh hurufnya mesti didengar diri sendiri
13. Masuk waktu, pada shalât yang diwaktukan 14. Diucapkan pada waktu menghadap kiblat
15. Tidak menyembunyikan satu huruf pun dari huruf-hurufnya 16. Mendahulukan Takbîr imam daripada Takbîr ma’mum.
2.2. Membaca Surah al-Fâtihah
Membaca surah al-Fâtihah dalam shalât adalah rukun, baik shalât fardu maupun shalât sunah, dan baik sebagai imam, makmum maupun orang yang shalât sendirian. Diriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit , bahwa Rasûlullâh bersabda:
َﻔِﺑ <+َﺮْﻘَﯾ ْﻢَﻟ ْﻦَﻤِﻟ َةَﻼ َﺻ َﻻ
ِبﺎَ1ِﻜْﻟا ِﺔَwِﺗﺎ
“Tidak sah shalât bagi yang tidak membaca surah al-Fâtihah.” (HR. Bukhârî dan Muslim).
ُﻘَ¡َﻓ ِةا َﺪَﻐْﻟا َة َﻼ َﺻ َﻢﻠ َﺳَو ِﻪْﯿَﻠَ ُﻪﻠ!ا ﻰﻠ َﺻ ِﻪﻠ!ا ُلﻮ ُﺳَر ﺎَﻨِﺑ ﻰﻠ َﺻ َلﺎَﻗ ِﺖِﻣﺎﺼﻟا ِﻦْ- َةَدﺎَﺒُﻋ ْﻦَﻋ
َءاَﺮِﻘْﻟا ِﻪْﯿَﻠَ ْﺖَﻠ
ﺎﻤَﻠَﻓ ُة
ْﻔَﻨَﻟ Ž
4ا ِﻪﻠ!ا َلﻮ ُﺳَر َo ِﻪﻠ!اَو ْﻢَﻌَﻧ اﻮُﻟﺎَﻗ ْﻢُﻜِﻣﺎَﻣ4ا َءاَرَو َنوُءَﺮْﻘَﺗ ْﻢُﻛاَر َ• ﻲِّﻧ4ا َلﺎَﻗ َفَﺮ َﺼْﻧا
ِّمkpِﺑ ﻻ4ا اﻮُﻠَﻌْﻔَﺗ َﻼَﻓ َلﺎَﻗ اَﺬَﻫ ُﻞَﻌ
ﺎَﻬِﺑ <+َﺮْﻘَﯾ ْﻢَﻟ ْﻦَﻤِﻟ َة َﻼ َﺻ َﻻ ُﻪﻧ
ﺎَﻓ ِنٓ+ْﺮُﻘْﻟا
4
Dari Ubâdah bin Shâmit , berkata; Rasûlullâh bersabda shalât shubuh bersama kami, bacaan terasa berat oleh beliau, seusai shalât beliau bersabda: "Sepengetahuanku, kalian membaca di belakang imam kalian?" mereka menjawab; Ya, demi Allâh wahai Rasûlullâh, kami melakukannya. Rasûlullâh bersabda bersabda: "Jangan kalian
lakukan kecuali ummul qur`an (Al Fâtihah) karena tidak dianggap shalât bagi orang yang tidak membacanya." (HR. Ahmad No.21636, Abu Dâwud dan Tirmidzî).
15
Hanbalî berpendapat : Wajib pada tiap-tiap rekât dalam shalât lima/shalât Fardlu dan shalât sunnah
Hanafî berpendapat : Membaca surat al-Fâtihah tidak wajib kecuali dalam dua rekât
pertama pada setiap shalât wajib. Dan Mâlikî, salah satunya seperti pendapat Syâfi`î dan
Hanbalî. Yang lain, jika ditinggalkan membaca al-Fâtihah dalam salah satu rekât yang bukan
shalât subuh, hendaknya sujud sahwi. Jika dalam shalât subuh, diulang lagi shalât itu.
Mereka juga berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fâtihah bagi ma'mum:
Menurut madzhab Hanafî, tidak wajib, baik imam membacanya dengan keras (Jahr) atau berbisik (Sir). Bahkan tidak di-sunnah-kan membaca al Fâtihah dibelakang imam secara mutlak.
Menurut madzhab Mâlikî dan Hanbalî, tidak wajib membaca al-Fâtihah bagi ma'mum secara mutlak. Bahkan Mâlikî memakruhkan ma'mum, apabila imam membacanya dengan keras, baik ia dapat mendengar atau tidak, terhadap bacaan imam itu.
Menurut madzhab Hanbalî, sunnah membaca Al-Fâtihah di belakang imam, jika imam membacanya dengan berbisik (Sir).
Menurut Syâfi`î : wajib membaca al-Fâtihah bagi ma'mum, jika imam shalât sir. Yang kuat dari pendapat beliau adalah pendapat yang mewajibkan membaca al-Fâtihah bagi
ma'mum dalam shalât jahar (keras) atau beliau mewajibakan ma'mum membaca al-Fâtihah
baik imam membacanya secara Jahar atau Sir.
Cabang Masalah
Hanafî/ ـــ Mâlikî/ ـــ Syâfi’î/ ـــ Hanbalî/ ـــ
Membaca Al-fâtihah
Wajib pada dua rakaat pertama
pada setiap shalât wajib
Wajib pada tiap-tiap rakaat dalam shalât lima/shalât Fardlu dan shalât sunnah
Pendapat yang lain dari madzhab Mâlikî: Jika ditinggalkan membaca al-fâtihah dalam salah satu rakaat yang bukan shalât subuh, hendaknya sujud sahwi. Jika dalam shalât subuh, diulang lagi shalât itu.
Membaca Al-fâtihah bagi makmum
Tidak wajib, baik
imam membaca dengan keras
(Jahr) atau
berbisik (Sir).
Tidak di-sunnah-kan membaca
al-fâtihah di belakang imam secara mutlak. Makrûh apabila imam membacanya dengan keras, baik ia dapat mendengar atau tidak, terhadap bacaan imam itu.
Wajib, jika imam
shalât sir. Pendapat yang kuat : mewajibkan makmum membaca al-fâtihah baik imam membacanya secara Jahar atau
Sir. Sunnah membaca Al-fâtihah di belakang imam, jika imam membacanya dengan Sir.
۞
Syarat membaca al-FâtihahTerdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sah dalam membacanya. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Membaca setiap ayatnya secara berurutan.
2. Membaca secara terus berkelanjutan dan tidak terputus (al-muwâlah). Jika antara dua ayat terpisah jarak melebihi seorang bernafas maka batal shalâtnya.
3. Harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid serta seluruh hurufnya (142 huruf)
dan tasydidnya (14 tasydid). (Kitab Al Majmû’ III/250-251 dan Tuhfah al Muhtâj,
II/37) Apabila terdapat satu saja huruf atau tasydid yang tidak terbaca atau
tertukar dengan huruf lain seperti:
ﺫ
dibacaﺯ
atauﺱ
dibacaﺹ
atau sebaliknya, maka bacaan Al Fâtihahnya tidak sah, dan berarti Shalâtnya tidak16
sah juga. Juga dijelaskan dalam Safinatun Najah- Syeikh Fadhil Salim Bin Samir
Al-Hadhramî - Pasal 27-28
4. Tidak berhenti dalam membaca baik lama maupun sebentar dengan maksud memotong bacaan.
5. Membaca seluruh ayatnya. Termasuk bacaan basmalah (Sirr/Jahr).
6. Tidak salah membaca yang dapat merusak makna. Jika merusak makna seperti: “an’amtu” atau “an’amti” maka batal shalâtnya.
7. Membacanya dalam keadân berdiri secara sempurna dalam shalât fardlu. Jika dibaca sambil merunduk ketika akan rukuk atau akan bangkit berdiri maka bacaannya tidak sah.
8. Memperdengarkan bacaan itu kepada dirinya. Karena al-Fâtihah merupakan rukun qaulî (rukun bacaan).
9. Tidak disisipi bacaan dzikir asing, yaitu dzikir yang tidak ada kaitannya dengan shalât, seperti membaca “alhamdulillah” setelah bersin, dan menjawab adzan. Yang termasuk dzikir bukan asing adalah seperti melakukan sujud tilawah, membaca “amin”, dan berdoa memohon rahmat atau perlindungan dari adzab. 10. Tidak membacanya dengan maksud lain selain bacaan shalât. Jika membacanya
untuk mendapatkan keberkahan, dzikir atau doa, maka tidak sah bacaan tersebut.
11. Membacanya dalam bahasa Arab, karena terjemahan al-Fâtihah bukan Alquran.
۞
Tidak mampu membaca surah al-FâtihahSeorang harus mempelajari surah al-Fâtihah sampai dapat membacanya dengan baik. Jika telah belajar tapi belum bisa membaca dengan baik, maka ia boleh shalât dengan keterbatasannya tersebut. Shalâtnya dihukumi sah namun ia tetap harus terus belajar hingga bisa. Jika seorang malas atau lalai sehingga tidak bisa membaca al-Fâtihah padahal ia mampu melakukannya karena terdapat waktu dan guru maka ia berdosa dan shalâtnya tidak sah.
Selain kemampuan membaca maka terdapat beberapa hal lain yang harus ia lakukan, yaitu:
1. Menghafal surah al-Fâtihah.
2. Jika tidak mampu menghapalnya maka harus menuliskannya di sebuah kertas dan membacanya dalam shalât.
3. Jika tidak mampu menulis dan membacanya maka ia harus membaca tujuh ayat yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf al-Fâtihah (156 huruf).
4. Jika tidak mampu maka membaca tujuh bacaan zikir yang hurufnya tidak kurang dari huruf al-Fâtihah.
Diriwayatkan bahwa Rasûlullâh mengajarkan seorang lelaki tatacara shalât. Beliau bersabda:
ُﻪْﻠِّﻠَﻫَو ُﻩْﺮِّLَﻛَو َﻪﻠ!ا ِﺪَﻤْﺣﺎَﻓ ﻻ
4
اَو ،ِﻪِﺑ <+َﺮْﻗﺎَﻓ ٌنٓ+ْﺮُﻗ َﻚَﻌَﻣ َنﺎَﻛ ْن
ﺎَﻓ
4
“Jika kamu memiliki hapalan Alquran maka bacalah. Jika tidak maka bertahmidlah, bertakbirlah, dan bertahlil-lah.” (HR. Abu Dâwud).
5. Jika tidak mampu maka ia cukup berdiam selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca al-Fâtihah.
۞
Gugurnya bacaan al-FâtihahSecara hukum asal, membaca al-Fâtihah dalam shalât adalah rukun yang tidak dapat ditinggalkan kecuali bagi makmum yang masbuk. Makmum masbuk ada dua keadân:
17
Masbuk yang tidak memiliki waktu sama sekali untuk membaca al-Fâtihah, yaitu jika ia mendapati imam telah rukuk atau sedang bersiap rukuk. Maka kewajiban membaca al-Fâtihah menjadi gugur.
Masbuk yang memiliki sedikit waktu yang hanya cukup untuk membaca sebagian al-Fâtihah. Maka kewajibannya adalah membaca al-Fâtihah sesuai waktu yang tersedia. Jika imam rukuk maka ia harus rukuk bersamanya meskipun ada beberapa ayat al-Fâtihah yang belum terbaca.
Dalam keadân ini, ia tidak dianjurkan untuk membaca doa iftitah. Jika ia membacanya maka ia harus menambah waktu berdiri untuk membaca al-Fâtihah sesuai waktu yang ia pakai dalam membaca doa iftitah. Jika ia masih mendapati rukuk imamnya maka
dianggap telah mendapatkan satu Rakaat, tapi jika imamnya telah berdiri dari rukuk
maka ia telah kehilangan satu Rakaat dan harus langsung mengikuti i’tidal imam. Jika ia melakukan rukuk maka batal shalâtnya karena telah menambah perbuatan dalam shalât.
Keadân masbuk ini juga berlaku bagi seseorang yang terlambat bangkit dari sujud sehingga ketika berdiri ia mendapati imamnya telah rukuk atau hampir rukuk, maka ia tidak perlu membaca al-Fâtihah atau menyempurnakan bacaannya.
Adapun jika makmum tidak dalam keadân masbuk tetapi ia belum selesai membaca al-Fâtihah ketika imam rukuk maka jika keterlambatannya itu disebabkan sebuah dzur, seperti bacaan imam yang sangat cepat, atau bacaannya yang lambat, maka ia tetap harus melanjutkan bacaan al-Fâtihah hingga selesai. Dalam hal ini diberikan keringanan baginya untuk terlambat dari gerakan imam dalam batas maksimal 3 (tiga) rukun besar. Jika telah lebih dari itu maka makmum memiliki dua pilihan, yaitu memisahkan diri dari imam (mufâraqah) atau tetap bersama imam tetapi Rakaat pertama dihitung tidak ada sehingga ia harus menambah satu Rakaat lagi setelah imam salam.
Catatan:
Basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini sehingga harus dibaca secara keras dalam shalât jahriyah dan secara lirih dalam shalât siriyah. Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah ﺎ >ﻋ ﮫﻠﻟا “ˆ”رbahwa: “Nabi menganggap basmalah sebagai ayat.” (HR. Ibnu Khuzaimah). 2.3.Tasyahud Akhir
(1) Dalam duduk yang benar/tetap dada lurus ke arah kiblat
Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalât menurut jumhur ulama tidak
termasuk madzhab Hanafî.( Badruddîn Al-Ainî al-Hanafî, Al-Biyanah Syarh Hidayah, h. 178). Hanafî: tidak termasuk rukun shalât, lafadz yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Abdullâh bin Mas’ûd :
ﻟا ﮫﺗﺎ5ﺮ@و ﮫﻠﻟا ﺔﻤﺣرو “•ﻨﻟا ﺎ –أ ﻚﻴﻠﻋ مﻼﺴﻟا تﺎﺒﻴﻄﻟاو تاﻮﻠﺼﻟاو ﮫﻠﻟ تﺎﻴﺤ ﺘﻟا
دﺎﺒﻋ $%ﻋو ﺎﻨﻴﻠﻋ مﻼﺴ
" ﮫﻟﻮﺳرو ﻩﺪﺒﻋ اﺪﻤﺤ ﻣ نأ ﺪ ﺷأو ﮫﻠﻟا ﻻا ﮫﻟإ ﻻ نأ ﺪ ﺷأ ن `aﺎﺼﻟا ﮫﻠﻟا
(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2012), h. 131)Tahîyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur yaitu
“
$%ﻋو ﺎﻨﻴﻠﻋ مﻼﺴﻟا،ﮫﺗﺎ5ﺮ@و ﮫﻠﻟا ﺔﻤﺣرو “•ﻨﻟا ﺎ –أ ﻚﻴﻠﻋ مﻼﺴﻟا ،ﺔﺒﻴﻄﻟاو تاﻮﻠﺼﻟا ﮫﻠﻟ تﺎﻴﺤ ﺘﻟا
لﻮﺳر
اﺪﻤﺤ ﻣ
ً
نأو ﮫﻠﻟا
ّ
ﻻإ ﮫﻟإ ﻻ نأ ﺪ ﺷأ ، ن `aﺎﺼﻟا ﮫﻠﻟادﺎﺒﻋ
ّ
"ﮫﻠﻟا
(HR.Jamaah)
Jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahud akhir adalah duduk