• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shalât Qashar Jama' Ta’khir: Maghrib dengan Isya

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

“Aku (niat) shalât fardlu isya 2 rakaat qashar dengan menjama'nya kepada maghrib, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”

 Setelah shalât isya selesai, maka pelaksanaan shalât qashar jama' taqdim maghrib dengan isya selesai. Dan pada saat waktu isya tiba, maka tidak perlu shalât isya lagi.

3. Shalât Qashar Jama' Ta’khir: Dhuhur dengan Ashar

Pelaksanaannya pada waktu ashar

 Pada waktu shalât dhuhur tiba, ia telah berniat akan melaksanakan shalât dhuhur tersebut pada waktu ashar

 Shalât yang pertama kali dilakukan boleh dipilih shalât ashar lebih dahulu atau shalât dhuhur

 Jika shalât ashar dahulu maka dikerjakan 2 rakaat dengan niat:

ُﺮْﻬﻈﻟا ِﻪْﯿَﻟِا ﺎً ْﻮُﻤْﺠَﻣ اًﺮ ْﺼَﻗ ِﻦْ@َﺘَﻌْﻛَر ِﺮ ْﺼَﻌْﻟا َضْﺮَﻓ ﻰِّﻠ َﺻُا

ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ

ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ!

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

“Aku (niat) shalât fardlu ashar 2 rakaat qashar dengan menjama' dhuhur kepadanya dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala."

 Shalât ashar selesai, langsung dilanjutkan dengan shalât berikutnya, maka dilanjutkan dengan iqamah dan disambung dengan mengerjakan shalât dhuhur 2 rakaat, dengan niat:

ْﻟا ﻰَﻟِا ﺎً ْﻮُﻤْﺠَﻣ اًﺮ ْﺼَﻗ ِﻦْ@َﺘَﻌْﻛَر ِﺮْﻬﻈﻟا َضْﺮَﻓ ﻰِّﻠ َﺻُا

ﺮ ْﺼَﻌ

ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ

ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ!

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

“Aku (niat) shalât fardlu dhuhur 2 rakaat qashar dengan menjama'nya kepada ashar dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”

4. Shalât Qashar Jama' Ta’khir: Maghrib dengan Isya

 Waktu pelaksanaannya pada waktu isya

 Pada waktu shalât maghrib tiba, ia telah berniat akan melaksanakan shalât maghrib tersebut pada waktu isya

 Shalât yang pertama dikerjakan boleh dipilih, shalât isya lebih dahulu atau shalât maghrib

 Jika shalât isya dahulu, maka dikerjakan 2 rakaat dengan niat:

ُبِﺮْﻐَﻤﻟْا ِﻪْﯿَﻟِا ﺎً ْﻮُﻤْﺠَﻣ اًﺮ ْﺼَﻗ ِﻦْ@َﺘَﻌْﻛَر ِءﺎ َﺸِﻌﻟْا َضْﺮَﻓ ﻰِّﻠ َﺻُا

ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ

ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ!

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

“Aku (niat) shalât fardlu isya 2 rakaat qashar dengan menjama' maghrib kepadanya, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”

 Setelah shalât isya selesai, maka dilanjutkan dengan iqamah dan disambung dengan mengerjakan shalât maghrib 3 rakaat dengan niat:

ِءﺎ َﺸِﻌﻟْا ﻰَﻟِا ﺎً ْﻮُﻤْﺠَﻣ ٍتﺎَﻌَﻛَر َثَﻼَﺛ ِبِﺮْﻐَﻤﻟْا َضْﺮَﻓ ﻰِّﻠ َﺻُا

ِﺔَﻠْhِﻘﻟْا َﻞِhْﻘَﺘ ْDﺴُﻣ

ﺎَﻌَﺗ ِﻪﻠِ!

ﻰَﻟ

ُﺮَLْﻛ+ ُﻪﻠ!َا

“Aku (niat) shalât fardlu maghrib 3 rakaat, dengan menjama' isya kepadanya dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”

Wathan Ashli dan Wathan Iqamah

Istilah wathan ashli (tempat tetap) dan wathan iqamah (tempat bermuqim sementara) sebenarnya terdapat dalam istilah fiqh ulama Hanafî.

Wathan ashli (tempat tetap), menurut Madzhab Syâfi’î: Tempat menetap dalam segala

116

tempat tinggal di sana secara permanen meskipun keluarganya (istrinya) tidak sedang tinggal disana. Inilah pendapat yang mu'tabar dalam Mazhab Syâfi’î.

(Mughni al-Muhtaj 1/264)

Madzhab Hanafî: Tempat menetap sepanjang tahun. Tempat bekerja atau bertugas.

Tempat menetap istrinya, tempat kelahiran jika masih ada padanya sanak keluarganya. Negerinya secara hukum atau sebagai warganegeri atau warga kota.

Madzhab Mâlikî: Tempat ia lahir dan tumbuh. Negeri tempat ia memulai safar.

Wathan ashli adalah daerah asli atau kota kediaman seseorang dimana ia sudah tinggal

menetap atau suatu tempat selain tempat kelahirannya yang sudah dianggapnya sebagai tempat tinggal

permanen bersama keluarganya, sedang ia tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu. Jadi wathan ashli adalah tempat bermuqim di musim panas dan musim dingin, bukan hanya satu dua bulan saja.

Wathan Iqamah (Tempat Muqim Sementara), yaitu tempat tinggal sementara dimana seorang musafir berdiam selama masa iqamah yaitu selama empat hari atau lebih(Batasan 4 hari ini adalah ketentuan dalam Mazhab Syâfi’î; Mâlikî, dan Hanbalî,

sedangkan dalam Hanafî adalah selama 15 hari atau lebih) setelah itu dia bermaksud

atau berniat melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Sedangkan bila kurang dari hari tersebut, maka tempat itu tidak dapat disebut wathan iqamah.

Tempat muqim sementara tersebut tidak harus berupa rumah yang layak ditinggali seperti hotel, penginapan, rumah kerabat, atau rumah persinggahan sendiri. Jadi termasuk perkemahan, padang pasir, padang rumput, dan hutan, karena dengan berkemah berarti seseorang sudah dianggap dalam keadaan menetap.

Menurut Mazhab Hanafî, tempat muqim sementara tersebut harus berupa rumah yang layak ditinggali. Ringkasnya, hal ini tergantung dari niat dan kesusahan yang ditemui dalam perjalanan. Hal ini, lebih membuat musafir leluasa, karena status daerah layak huni tidak dapat dipakai sebagai tempat muqim sehingga mereka dapat keringanan safar saat singgah dalam waktu lama.

Menurut Mazhab Syâfi’î dan Mâlikî: Masa muqim empat hari di tempat tujuan atau persinggahan (wathan iqamah), tidak-termasuk hari pertama masuk dan hari akan berangkat, karena kedua hari itu dianggap hari dalam perjalanan, sedangkan hari pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan hari kedua adalah hari persiapan berangkat, sedang kedua hari tersebut termasuk dalam kegiatan pejalanan.

Rumah orang tua atau karib kerabat, maka ia tidak akan menjadi wathan ashli- nya bila tidak menetap secara mutlak disana.

Misalnya, seseorang pulang kampung ke Surabaya (rumah/wathan Ashli-nya di Jakarta) setiap bulan atau setiap tahun, maka rumah orang tua atau kerabat bukanlah wathan

ashli-nya, karena ia pada hakikat menetap secara permanen di Jakarta, bila ia berniat

tinggal kurang dari 4 (empat) hari, maka boleh shalât qashar.

Seseorang dapat mempunyai dua wathan ashli, karena ia menetap secara "permanen" di kedua tempat itu, karena mempunyai 2(dua) orang istri, maka itu merupakan wathan Ashli-nya dan tidak boleh shalât qashar

117

Jika seseorang (muqim di Jakarta) menghabiskan suatu musim bersama keluarganya di rumah musiman ini (di Bandung misalnya), maka daerah tempat rumah musiman tersebut dianggap sebagai wathan ashli-nya. Ia harus menjalankan shalât di Bandung secara penuh (tidak qashar), karena yang disebut wathan ashli adalah tempat tinggal seseorang atau tempat yang dia diami bersama keluarganya tanpa ada niat untuk pindah lagi, tetapi ia berniat untuk menetap hidup di sana secara mutlak atau dianggap keduanya adalah wathan ashli

Jika pekerja itu berniat muqim di Bandung selama seminggu, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya karena Bandung sudah menjadi Wathan iqamah, sedangkan jika pada suatu ketika ia hanya berniat muqim selama kurang dari empat hari karena suatu alasan mendadak, maka ia boleh meng-qashar shalât nya, sebab hanya sebagai tempat singgah saja (seperti seorang musafir).

Jika seseorang menetap bersama keluarga dan barang-barang miliknya di tempat pekerjaannya (ada bisnis di kota yang jauh) dengan niat akan hidup di sana selamanya meskipun pekejaannya berakhir, maka tempat ini statusnya menjadi wathan ashli, ia akan dianggap sebagai seorang muqim (maka ia harus melaksanakan shalât nya secara penuh di sini dan menjalankan puasa wajibnya). Mughni al-Muhtaj, 1:264; al-Fiqh 'Ala

al-Madzahib al- Arba'ah, I/ 280.

Bagaimana cara menghitung hari? Cara menghitung hari menurut hitungan kalender

Qamariyah adalah dimulai sejak terbenam matahari sampai pada terbenamnya lagi matahari esok harinya. Bila Anda datang pada jam 7 malam hari Rabu menurut

kalender Syamsiyah, maka Anda terhitung datang pada hari Jum'at menurut hitungan Qamariyah, sedangkan hari Jum'at akan berakhir saat matahari terbenam pada sore hari Jum'at tersebut.

118