• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Kolonial

Dalam dokumen SMP Kelas 8 IPS (Halaman 74-79)

Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, pada awalnya untuk mencari sumber rempah-rempah, kemudian dibeli untuk dijual di pasar Eropa dengan keuntungan yang tinggi. Namun tujuan mereka berkembang, mereka tidak hanya mencari sumber rempah-rempah, tetapi juga ingin melaksanakan monopoli perdagangan, bahkan ingin menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Maka terbentuklah kekuasaan kolonial di Indonesia.

Kolonial berasal dari nama seorang petani Romawi yang bernama Colonus. Ia pergi jauh untuk mencari tanah yang belum dikerjakan. Lama-lama makin banyak orang yang mengikutinya dan mereka bersama-sama menetap di sebuah tempat yang disebut Colonia.

Dalam lembar sejarah banyak kita temukan rombongan orang yang meninggalkan tanah airnya untuk mencari daerah baru, misalnya dari Inggris ke Amerika utara, dari Cina ke Asia Tenggara, dari kawasan Nusantara ke Madagaskar, dan sebagainya

Pada abad ke-16 dan 17, berturut-turut kekuasaan kolonial Barat telah datang ke Indonesia dengan tujuan mencari laba sebesar-besarnya. Untuk itu pemerintah kolonial telah merusak ekonomi rakyat. Di mana-mana mereka memaksakan monopoli di bidang perdagangan. Mereka juga menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pada umumnya sangat merugikan rakyat Indonesia, sehingga menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa. Kebijakan-kebijakan itu, antara lain sebagai berikut.

1. Sistem Penyerahan Wajib oleh VOC

Dengan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh VOC, maka kongsi dagang yang sering disebut Kompeni ini berkembang dengan cepat. Kedudukan Portugis mulai terdesak, dan bendera Kompeni mulai berkibar.

Kompeni mengikat raja-raja kita dengan berbagai perjanjian yang merugikan. Makin lama Kompeni makin berubah menjadi kekuatan yang tidak hanya berdagang, tetapi ikut mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Kompeni mempunyai pegawai dan anggota tentara yang semakin banyak. Daerah kekuasaannya pun semakin luas. Kompeni membutuhkan biaya besar untuk memelihara pegawai dan tentaranya. Biaya itu diambil dari penduduk. Pada zaman Kompeni penduduk kerajaan-kerajaan diharuskan menyerahkan hasil bumi seperti beras, lada, kopi, rempah-rempah, kayu jati dan lain sebagainya kepada VOC. Hasil bumi itu harus dikumpulkan pada kepala desa dan untuk setiap desa ditetapkan jatah tertentu.

Kepala desa menyerahkannya kepada bupati untuk disampaikan kepada Kompeni. Tentu saja Kompeni tidak mendapatkannya dengan gratis, tetapi juga memberi imbalan berupa harga hasil bumi itu. Tetapi harga itu ditetapkan oleh Kompeni, dan tidak ada tawar-menawar terlebih dahulu. Lagi pula, uang harga pembelian itu tidak untuk sampai ke tangan petani di desa-desa. Biasanya uang itu sudah dipotong oleh pegawai-pegawai VOC maupun oleh kepala-kepala daerah pribumi.

2. Sistem Kerja Wajib (Kerja Rodi)

Setelah lebih kurang 200 tahun berkuasa, akhirnya VOC (Kompeni) mengalami kemunduran dan kebangkrut-an. Hal ini disebabkan banyak biaya perang yang dikeluar-kan untuk mengatasi perlawanan penduduk, terjadinya korupsi di antara pegawai-pegawainya, dan timbulnya persaingan dengan kongsi-kongsi dagang yang lain. Faktor-faktor itulah, akhirnya pada tanggal 31 Desember 1799, secara resmi VOC dibubarkan. Kekuasaan VOC kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal ini secara tidak langsung memengaruhi koloni Belanda di Indonesia. Perubahan politik yang terjadi di Belanda, merupakan pengaruh revolusi yang dikendalikan oleh Prancis. Dalam revolusi tersebut, kekuasaan raja Willem V runtuh, dan berdirilah Republik Bataaf. Tidak lama kemudian Republik Sumber:Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia

PT Pembina hal. 29

Bataaf juga dibubarkan dan Belanda dijadikan kerajaan di bawah pengaruh Prancis, sebagai rajanya adalah Louis Napoleon. Louis Napoleon kemudian mengirim Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari ancaman Inggris. Juga diberi tugas mengatur pemerintahan di Indonesia.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, Daendels mengambil beberapa langkah, antara lain sebagai berikut.

- Menarik orang-orang Indonesia untuk dijadikan tentara. - Membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.

- Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon.

- Membangun benteng-benteng.

- Membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan, yang panjangnya + 1.000 km.

Untuk mewujudkan langkah tersebut, Daendels menerapkan sistem kerja wajib (kerja rodi).

Di samping kerja wajib, untuk memperoleh dana guna menghadapi Inggris, Daendels melakukan beberapa cara, antara lain sebagai berikut.

- Melaksanakan contingenten stelsel, yaitu pajak yang harus dibayar oleh rakyat dengan menyerahkan hasil bumi.

- Menetapkan verplichte leverentie, yaitu kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.

- Melaksanakan preanger stelsel, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Priangan untuk menanam kopi.

- Menjual tanah-tanah negara kepada pihak swasta asing, seperti kepada Han Ti Ko seorang pengusaha Cina.

Sumber: Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia PT. Pembina hal. 29

Gambar 5.3 Jalan Pos Daendels

Daendels dikenal sebagai penguasa pemerintah yang sangat disiplin, keras dan kejam. Selain itu, akibat tindakannya menjual tanah milik negara kepada pengusaha swasta asing, berarti ia telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil pulang Daendels ke negeri Belanda. Daendels berkuasa di Indonesia pada tahun 1808 - 1811. Sebagai pengganti Daendels adalah

Janssens sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Janssens ternyata sangat lemah dan kurang cakap dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat dikalahkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang yang terkenal dengan nama Kapitulasi Tuntang.

3. Sistem Sewa Tanah (Lande Lijk Stelsel)

Dengan adanya Kapitulasi Tuntang, maka Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Inggris mengirimkan Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur di Indonesia. Zaman pendudukan Inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara tahun 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu ini telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari pemerintah kolonial Inggris.

Asas-asas pemerintahan sementara Inggris ini ditentukan oleh Letnan Gubernur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya, Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda, dalam rangka kerja sama dengan raja-raja dan para bupati. Secara konkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat, khususnya para petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha.

Raffles juga ingin agar para petani dapat berdiri sendiri dan bebas menentukan sendiri tanaman apa yang akan dikerjakan. Sebaiknya tanaman yang laku di pasaran dunia, seperti tebu, kopi, nila dan sebagainya.

Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga asas.

a. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan apapun juga.

b. Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai

penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintahan kolonial

Sumber: Atlas Sejarah Ind. dan Dunia PT Pembina hal 29

dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan di negeri Barat. Secara konkrit hal ini berarti bahwa para bupati dan kepala pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.

c. Raffles beranggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (land-rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah inilah selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah Inggris di bawah Raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830.

Di bidang pemerintahan, Raffles membagi pulau Jawa dan Madura menjadi 16 karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen dan dibantu asisten residen dari Eropa. Para bupati dijadikan pegawai pemerintah dengan gaji setiap bulan.

Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau Jawa. Misalnya, di daerah-daerah sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Parahiyangan sistem sewa tanah tidak diadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiyangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan besar.

Jelaslah kiranya, bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan asas-asas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang besar. Mengingat bahwa Raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup dan dana-dana keuangan, sulit menentukan besar kecilnya pajak bagi setiap pemilik tanah, karena tidak semua rakyat mempunyai tanah yang sama, dan masyarakat pedesaan belum mengenal sistem uang, maka tidak mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan sistem sewa tanah itu.

Gagasan-gagasan Raffles mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang bertalian dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari pejabat-pejabat pemerintahan Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas pulau Jawa dari pemerintah Inggris.

Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakan Raffles pada umumnya diteruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van der Capellen (1816-1819), dan kemudian di bawah Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819-1826) dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignies (1826-1830). Sistem sewa tanah baru dihapuskan dengan kedatangan seorang Gubernur Jenderal yang baru, bernama Van den Bosch, pada tahun 1830 yang kemudian menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagangan dalam bentuk yang lebih keras dan efisien.

Dalam dokumen SMP Kelas 8 IPS (Halaman 74-79)