• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemandirian Belajar

Dalam dokumen SMP Kelas 8 IPS (Halaman 79-83)

Mengapa Raffles tidak berhasil dalam menerapkan sistem sewa tanah di Indonesia, padahal di India sistem sewa tanah bisa berjalan lancar dan berhasil?

4. Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)

Kalian masih iingat, mengapa sistem penyerahan wajib dan sistem sewa tanah tidak berhasil diterapkan di Indonesia? Kemudian kebijakan apa yang akan diterapkan oleh pemerintah kolonial di Indonesia? Supaya lebih jelas baca materi berikut ini!

Pada tahun 1830 terjadi perubahan. Ketika itu negeri Belanda sangat payah keuangannya karena harus membiayai perang Diponegoro dan usaha mencegah Belgia memisahkan diri. Johannes Van den Bosch, yang kemudian menjadi gubernur jenderal mengajukan rencana untuk dapat meningkatkan produksi tanaman ekspor di Indonesia. Hasilnya dijamin akan dapat menolong keuangan negeri Belanda. Sistem ini dinamakan Cultuur Stelsel yang oleh bangsa Indonesia dinamakan Tanam Paksa. Sistem tanam paksa itu mewajibkan petani di Jawa untuk menanami sawah ladangnya dengan tanaman yang hasilnya laku dijual ke luar negeri. Tetapi pengaruh sistem tanam paksa mempunyai akibat yang lebih luas dari pada cara penyerahan wajib pada zaman kompeni dulu. Berlainan dengan sistem pajak tanah Raffles, maka sistem tanam paksa Van den Bosch ini justru menyuruh rakyat untuk membayar pajaknya dengan hasil tanaman. Hasil tanaman paksa itu dikirim ke negeri Belanda, dan di sana dijual kepada penduduk Eropa dan Amerika.

Sumber: Atlas dan Lukisan Sej. CV. Baru hal. 139

Gambar 5.5 Daerah-daerah perkebunan cultur stelsel

Jepara Lasem Blora Surakarta Yogyakarta Madiun Kediri Malang Jatiroto Sumenep Surabaya Tuban U

Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam Staatsblad

(Lembaran Negara) tahun 1834, No. 22 jadi beberapa tahun setelah sistem tanam paksa mulai dijalankan di pulau Jawa. Ketentuan-ketentuan pokok itu bunyinya memang bagus dan baik. Tetapi dalam pelaksanaannya, pada umumnya menyimpang jauh dan banyak merugikan rakyat. Ketentuan-ketentuan itu, antara lain:

1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka

menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa. Jadi jelas, rakyat akan menyerahkan tanahnya dengan sukarela. Tanpa ada rasa ketakutan karena didesak dan ditekan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Dengan perantaran bupati dan kepala desa, rakyat dipaksa menyerahkan sebagian tanahnya. Lagi pula pegawai pemerintah Belanda langsung mengawasi dan ikut mengatur. Tiap pegawai akan mendapat persen tertentu (cultuur procenten) kalau berhasil menyerahkan hasil tanaman kepada pemerintah. Makin banyak setoran, makin banyak persennya. Akibatnya para pegawai itu berlomba-lomba mengejar untung, dengan seringkali melanggar ketentuan. Terjadilah banyak penyelewengan. Dalam menjalankan tanam paksa itu.

2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. Bunyinya sudah jelas, hanya 20% tanah rakyat yang akan digunakan untuk

cultuur stelsel. Tetapi dalam praktik sungguh sulit untuk dilaksanakan. Tanah petani itu kecil-kecil, seperlima bagiannya tentu akan lebih kecil lagi. Lagi pula tempatnya berserak-serak. Padahal, pertanian untuk tebu, nila, kopi, tembakau, dan teh, membutuhkan tanah pertanian yang luas. Karena itu pemerintah mengambil jalan yang mudah. Tanah-tanah milik petani itu dipersatukan dan diambil sebagian untuk tanam paksa. Tentu dipilih yang paling tepat untuk tanaman ekspor, biasanya juga yang paling subur. Belum lagi adanya penyelewengan, pegawai-pegawai pemerintah itu mengambil lebih dari seperlima tanah penduduk. Kadang-kadang malah mencapai separoh bagiannya.

3. Pekerjaan yang diperlukan untuk

menanam tanaman cultuur stelsel itu tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. Maksud ketentuan di atas tentu baik, yakni supaya petani tidak habis waktunya untuk menggarap kebun tanam paksanya dan masih cukup waktu untuk menggarap tanah-tanahnya sendiri. Tetapi dalam praktik, para petani itu dipaksa mencurahkan lebih banyak perhatian dan waktu serta tenaga untuk tanam paksa, sehingga mereka tidak sempat mengerjakan sawah

Sumber: Sej. Nas. Ind. II Nugroho Depdikbud hal. 139

ladangnya. Pekerjaan yang paling berat dilakukan di perkebunan nila. Pernah petani-petani di daerah Simpur, Jawa Barat, dipaksa bekerja selama tujuh bulan, jauh dari desa dan kampung halamannya. Ketika mereka pulang, ternyata sawah ladangnya terlantar.

4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk cultuur stelsel, dibebaskan dari pembayaran pajak. Ketentuan ini tentu masuk akal. Tetapi dalam kenyataannya, tidak dihiraukan, petani seringkali masih harus membayar pajak tanah untuk tanah yang dipakai tanam paksa. Buktinya, pajak-pajak tanah tidak makin turun, tetapi malahan naik terus.

5. Tanaman hasil cultuur stelsel itu diserahkan kepada pemerintah. Jika harganya lebih besar dari jumlah pajak tanah yang harus dibayarkan, maka selisihnya dikembalikan kepada rakyat. Tetapi jangan harap bahwa ketentuan ini dipegang teguh. Tentu para petani itu kebanyakan buta huruf. Mereka tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Lagi pula, para petani mempercayakan segala sesuatunya kepada kepala desa dan bupati. Sedangkan di antara pegawai pemerintah itu, banyak pula yang sampai hati mengelabuhi para petani dengan akibatnya bahwa ketentuan itu tidak dapat dijalankan.

6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat, misalnya, bencana alam banjir, kekeringan, hama, dan lain-lain. Ketentuan yang bagus itupun pernah dijalankan. Pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda seringkali melihat panen yang gagal sebagai kesalahan petani. Jarang yang dapat melihat keadaan yang sebenarnya.

7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Di antara jenis tanaman kultur yang diusahakan itu, tebu dan nila, adalah yang terpenting. Tebu adalah bahan untuk gula, sedangkan nila bahan untuk mewarnai kain. Pada bad ke -19 itu pengetahuan kimia tentang bahan pewarna kain belum berkembang, karena itu nila dibutuhkan. Kemudian menyusul kopi, yang merupakan bahan ekspor yang penting.

Selama tanam paksa, jenis tanaman yang memberi untung banyak ialah kopi dan gula. Karena itu kepada kedua jenis tanaman itu pemerintah memberi perhatian yang luar biasa. Tanah yang dipakai juga luas. Jumlah petani yang terlibat dalam tanam paksa gula dan kopi adalah besar, laba yang diperoleh juga banyak.

Tanam paksa mencapai puncak perkembangannya sekitar tahun 1830-1840. Pada waktu itu Negeri Belanda menikmati hasil tanam paksa yang tertinggi. Tetapi sesudah tahun 1850, mulai terjadi pengendoran. Rakyat di negeri Belanda tidak banyak mengetahui tentang tanam paksa di Indonesia. Maklumlah waktu itu hubungan masih sulit, radio dan hubungan telekomunikasi belum ada, surat kabar masih kurang. Tetapi sesudah tahun 1850 terjadi perubahan. Malapetaka di Cirebon,

Demak, dan Grobogan lambat laun sampai pula terdengar di negeri Belanda. Mereka juga mendengar tentang sikap pegawai-pegawai Belanda yang sewenang-wenang.

Sementara itu pada tahun 1860 di negeri Belanda terbit dua buah buku yang menentang tanam paksa sehingga semakin besar kalangan masyarakat yang menghendaki agar tanam paksa dihapus. Kedua buku itu ialah Max Havelaar yang

dikarang oleh Douwes Dekker dengan nama samaran

Multatuli. Buku kedua ialah Suiker Contracten (Kontrak-kontrak gula) ditulis oleh Frans van de Putte. Karena pendapat umum yang membalik, sejak itu tanam paksa berangsur-angsur dihapuskan. Pada tahun 1860, tanam paksa lada dihapuskan, pada tahun 1865 menyusul nila dan teh. Tahun 1870 boleh dikata semua tanam paksa sudah hapus, kecuali kopi di daerah Priangan yang baru dihapuskan pada tahun 1917.

Sumber: Atlas Sejarah Indo. dan Dunia, PT Pembina hal 29

Gambar 5.7 Eduard Douwes Dekker

Kecakapan Personal dan Sosial

Bagaimana pendapat kelompokmu tentang aturan tanam paksa dan pelaksanaan tanam paksa di lapangan. Tulislah pendapat kelompokmu.

Sumber: Atlas dan lukisan Sejarah Nas Indonesia CV. Baru hal. 138

Gambar 5.8 Daerah Priangan yang subur adalah penghasil kopi dan beras yang baik. Kopi ditanam di daerah Cianjur dan Priangan Timur

BATAVIA BANTEN

BERAS KOPI

CIREBON

DAERAH PENGHASIL KOPI DAN BERAS DI PRIANGAN

5. Pelaksanaan Politik Kolonial Liberal

Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan.

Di negeri Belanda antara tahun 1850-1860 sering terjadi perdebatan tentang untung-ruginya dan baik buruknya tanam paksa. Golongan yang menyetujui tanam paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan

Nederlandsche Handel Maatschappy (NHM). Perusahaan NHM ini selama berlakunya tanam paksa mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil tanam paksa dari Indonesia ke Eropa.

Golongan yang menentang tanam paksa terdiri dari beberapa golongan. Pertama, ialah mereka yang merasa iba mendengar keadaan petani Indonesia yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan, berdasarkan perikemanusiaan. Kebanyakan di antaranya diilhami oleh ajaran agama. Kedua, ialah golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta. Mereka tidak dapat menerima keadaan di mana pemerintah saja yang memegang kegiatan ekonomi. Mereka juga menghendaki agar diberi kesempatan untuk berusaha dengan menanam modalnya di Indonesia. Hal demikian baru mungkin dijalankan, bilamana di Indonesia tidak ada sistem tanam paksa yang disponsori oleh pemerintah. Golongan ini biasa disebut kaum liberal.

Mereka menghendaki agar pemerintah hanya bertindak sebagai pelindung warganya, menyediakan prasarana dan mengatur jalannya hukum, keamanan, dan ketertiban. Kegiatan ekonomi supaya diserahkan kepada swasta.

Pada tahun 1870 di Indonesia mulai dilaksanakan politik kolonial liberal yang sering disebut ”Politik Pintu Terbuka (open door policy)”. Sejak saat itu pemerintah Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan.

Periode antara tahun 1870 -1900 disebut zaman liberalisme. Pada waktu itu pemerintahan Belanda dipegang oleh kaum liberal yang kebanyakan terdiri dari pengusaha swasta mendapat kesempatan untuk menanam modalnya di Indonesia dengan cara besar-besaran. Mereka mengusahakan perkebunan besar seperti perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, kelapa sawit dan sebagainya. Mereka juga mendirikan pabrik seperti pabrik gula, pabrik cokelat, teh, rokok, dan lain-lain.

Pelaksanaan politik kolonial liberal ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria dan undang-undang gula.

Dalam dokumen SMP Kelas 8 IPS (Halaman 79-83)