• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Pengaduan ke Komnas Perempuan sepanjang 2016 CATAHU 2017

ADVOKASI INTERNASIONAL

Masukan Komnas Perempuan tentang SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Setelah 15 tahun MDGs (millennium Development Goals) berakhir tahun 2015 lalu, PBB mengevaluasi bahwa paradigma MDGs yang berfokus pada manusia, direformasi agar lebih komprehensif. Perubahan paradigmatik pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals - SDGs) adalah selain melanjutkan MDGs, juga menambahkan aspek no one left behind, right based, memastikan pembangunan yang tidak eksploitatif, merawat keseimbangan planet dan perdamaian global. Kesamaan keduanya bertujuan memecahkan masalah-masalah global seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, ketimpangan gender, kelestarian lingkungan.

Deklarasi SDGs ditandatangani oleh 193 negara anggota PBB - termasuk Indonesia -pada tanggal 25 September 2015, SDGs terdiri dari 17 goals dan 169 target, Adapun program SDGs dilaksanakan selama periode 2016-2030, terdiri dari 17 tujuan meliputi area kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, sanitasi, permukiman, energi, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, perubahan iklim, sumber daya alam dan kemitraan global.

Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) memberi masukan tentang indikator penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam skema MDGs di Indonesia dan memastikan bahwa no one left behind tersebut betul-betul dijalankan negara, termasuk memastikan pemenuhan hak kelompok rentan seperti perempuan, anak perempuan, kelompok disabilitas, penyandang HIV, kelompok minoritas dan pengakuan keberagaman, termasuk penghayat, agama dan kelompok dengan keberagaman gender dan identitas, Lansia, masyarakat adat (indigenous people), pengungsi, orang yang terusir di negerinya sendiri (IDPs- internally displaced persons), migran dan mereka yang terkena dampak konflik/terorisme.

Dalam dokumen SDGs ini Komnas Perempuan memberi masukan pada zero draft of ministerial declaration tersebut, antara lain memastikan paradigma kunci digunakan, seperti terminology human rights, violence against women, peace dan semua kelompok rentan dimasukkan dalam pembahasan SDGs, juga meaningfull participation untuk gerakan perempuan. Pemenuhan hak ekonomi, social dan budaya juga patut diperhitungkan sebab hak Ekosob inilah yang menjadi fondasi pemenuhan hak lainnya, tanpa ini semua, kelompok rentan tidak akan bisa menikmati manfaat pembangunan dan SDGs akan sulit diwujudkan.

Konvensi Anti Perdagangan Manusia ASEAN (ACTIP)

Salah satu kemajuan proteksi hak asasi manusia khususnya perempuan dan anak di level regional adalah lahirnya konvensi ASEAN untuk Perdagangan Manusia (Asean Convention Against Trafficking in Persons Especially Women and Children/ACTIP) yang lahir pada tahun 2015. Konvensi ini merupakan upaya negara-negara ASEAN terkait dengan pencegahan, penanganan, perlindungan, rehabilitasi, dan reintegrasi para korban perdagangan orang dan praktik kerjasama regional untuk memajukan pemberantasan perdagangan orang dengan pendekatan hak asasi manusia.

88 dari mafia perdagangan orang untuk tujuan penyelundupan dan perdagangan narkoba, industri seks, bisnis organ tubuh, dan perbudakan kerja (slave labour). Dalam konvensi ini ditekankan tentang pentingnya melihat perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling rentan dan berpotensi menjadi korban utama dari berbagai modus operandi perdagangan orang. Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban trafficking memiliki hak-hak fundamental yang harus dipenuhi menurut konvensi regional maupun hukum internasional yang relevan.

Komnas Perempuan selama ini aktif mendorong Indonesia agar segera memproses ratifikasi konvensi ACTIP ini. Ratifikasi perlu segera dilakukan karena akan memberikan peran legally binding (mengikat secara hukum) terhadap konvensi yang telah disepakati ASEAN. Komnas Perempuan juga bekerjasama dengan mekanisme HAM regional, AICHR dan ACWC, untuk memperkuat National Action Plan dan Regional Action Plan untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari kejahatan perdagangan orang.

Terbitnya laporan Dampak Hukuman Mati terhadap Pekerja Migran dan keluarganya

Sebagai bentuk konkrit komitmen Komnas Perempuan dalam upaya penghapusan hukuman mati, dua tahun terakhir Komnas Perempuan melakukan pemantauan mengenai dampak hukuman mati terhadap Perempuan Pekerja Migran dan Keluarganya. Pemantauan ini bertujuan untuk mengumpulkan fakta tentang situasi yang dialami oleh perempuan pekerja migran yang terancam hukuman mati dan keluarganya. Selain itu, pemantuan ini juga menelisik bagaimana ssituasi pemenuhan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh mereka, baik pola dan bentuk serta kekerasan berbasis gender yang dihadapi. Terhadap temuan-temuan yang didapat Komnas Perempuan melakukan analisis berbasis HAM dan gender.

Tiga belas (13) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati dan Keluarganya menjadi narasumber dalam pemantauan ini. Mereka terlibat tindak pidana pembunuhan di Arab Saudi dan kejahatan narkoba di Indonesia dan China. Sejumlah temuan dan kesimpulan dari pemantauan tersebut yaitu: 1) Kekerasan berbasis gender yang berkelit-kelindan dengan isu pemiskinan yang

menghantarkan pekerja migran bekerja hingga menjadi terpidana mati. Kelas dan identitas Perempuan Pekerja Migran yang berada pada lapis paling bawah dan lemah merentankan mereka berhadapan dengan hukuman mati.

2) Kekerasan berbasis gender yang dialami pekerja migran berlapis dan berkait, mulai dari menjadi korban KDRT, lari bermigrasi untuk menyelamatkan keluarga dari kemiskinan, proses transit yang rentan jadi sasaran ekploitasi sindikat perdagangan orang dan narkoba, dan berakhir bekerja di ranah domestik yang penuh kejahatan tertutup dan tak terjangkau perlindungan negara.

3) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati melakukan tindak pidana lantaran pembelaan diri dari serangan seksual, mereka melakukan agresi karena situasi represif dan eksploitatif di luar batas dan daya kendalinya. Mereka juga korban dari situasi kerja di ranah domestik yang bercorak "serupa tahanan", dimana penyiksaan, pencerabutan kebebasan dan isolasi terjadi. 4) Perempuan pekerja migran terpidana mati adalah korban kecerobohan negara menempatkan

pekerja migran ke negara-negara yang beresiko tinggi mengancam keamanan dan nyawa, karena minimnya perlindungan dan kesadaran hak asasi manusia di negara tujuan kerja. Selain itu regulasi dan kebijakan perlindungan pekerja migran di dalam negeri yang buruk.

5) Perempuan Pekerja Migran Terpidana Mati adalah korban pelanggaran hak atas Fair Trail. Mereka terlambat dan tidak optimal mendapat pendampingan hukum, terlambat tertangani karena tidak ada notifikasi sejak dini, diproses hukum tanpa menimbang sebagai korban perdagangan orang atau korban kekerasan seksual maupun korban dari praktik perbudakan modern.

89 6) Hukuman mati bukan hanya menghilangkan hak hidup yang seharusnya dilindungi negara, namun juga kejam karena selama proses menuju ke sana terjadi penyiksaan fisik, psikis, dan seksual. Penderitaan dan kekejaman dialami oleh mereka selama proses hukum maupun penantian, hingga alami puncak ketakutan karena kematian yang terjadwal dan cara kematian yang sadis yang harus dijalani.

7) Hukuman mati bukan hanya menghukum satu orang yang dianggap bersalah, tetapi juga menghukum anggota keluarga dengan siksa fisik dan psikis.

8) Hukuman mati yang dialami oleh perempuan pekerja migran juga berdampak secara sosial & ekonomi, yaitu : kemiskinan baru karena hilangnya sumber penghidupan & terkurasnya sumberdaya ekonomi keluarga untuk penyelamatan. Terganggunya relasi dan kehidupan sosial seperti isolasi dan menarik diri akibat konflik dan kecemburuan sosial yang disebabkan oleh politik sumbangan.

9) Hukuman mati terhadap Perempuan pekerja migran merenggut akses dan pemenuhan hak sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum di dalam Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran & Anggota Keluarganya yang sudah diratifikasi dengan UU nomor 12 tahun 2012 tentang pengesahan International Convention on The Protection of The Rights All Migrant Workers and Member of Their Families,

10) Upaya pemerintah dalam pemenuhan hak atas pemulihan kepada Perempuan pekerja migran terpidana mati dan anggota keluarganya masih kurang optimal, baik pada mereka yang menanti ekseskusi, lolos dari eksekusi dan dieksekusi.

90