• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Pengaduan ke Komnas Perempuan sepanjang 2016 CATAHU 2017

KEKERASAN SEKSUAL

Pelecehan Seksual Jurnalis Jawa Pos

Seorang wartawati magang (DP) di Harian Jawa Pos Radar Lawu, telah menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja yang diduga dilakukan oleh Sdr. Didik Purwanto, redaktur Harian Jawa Pos Radar Lawu. Pelecehan seksual yang dialaminya terjadi beberapa kali dalam rentang waktu 2 bulan, selama bekerja magang di Harian Jawa Pos Radar Lawu. Korban telah berupaya menghentikan pelecehan seksual yang dialaminya dengan menghindari pelaku dan melaporkannya kepala Kepala Biro. Namun pelecehan seksual tetap terjadi, sehingga akhirnya pada tanggal 11 Maret 2016, korban melaporkan kepada Kepolisian Resor Ngawi. Pada saat bersamaan dengan tanggal pelaporan, korban justru mendapat surat tugas mutasi dari Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Madiun, sebagai wartawati di wilayah Kabupaten Ponorogo, yang lokasinya jauh dari tempat tinggal korban. Korban semakin mengalami trauma.

Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari DP dan memberikan surat dukungan. Dalam rangka perlindungan dan pemulihan korban serta penegakan hukum, Komnas Perempuan memberikan rekomendasi kepada Kepada Kepolisian Resor Ngawi untuk memberikan prioritas perhatian terhadap laporan korban Kepolisian Resort Ngawi untuk segera memutuskan penyidikan dan mengedepankan pemulihan korban. Selain itu menetapkan pasal 294 ayat (2) angka 1 KUHP dengan mendasarkan pada keterangan dan pengalaman korban.

Sementara kepada Pimpinan Jawa Pos Komnas Perempuan meminta mereka memberikan dukungan dan memproses pengaduan korban, serta menonaktifkan pelaku dan mempertanggungjawabkan tindakannya.

Perkosaan dan Eksploitasi Seksual terhadap 58 Anak Perempuan

Seorang pengusaha, Sony Sandra telah melakukan kekerasan seksual terhadap 58 anak di bawah umur di Kediri. Pelaku pun memaksa korban untuk meminum pil anti hamil. Beberapa korban telah melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Hakim telah menjatuhkan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku yaitu telah dengan sengaja melakukan atau membujuk anak melakukan persetubuhan, yang melanggar UU nomor 23 tahun 2002 pasal 81 ayat 2, tentang Perlindungan Anak, juncto pasal 65 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)1.

Pelaku pun telah diperiksa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri. Dari informasi yang terdapat di berbagai media, maka Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis hukuman penjara selama 9 (sembilan) tahun dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- atau Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah terhadap Sony Sandra. Vonis yang dikenakan kepada pelaku lebih ringan dari tuntutan Jaksa yakni 13 (tiga belas tahun) penjara dan denda Rp. 100.000.000 atau Seratus Juta Rupiah.

Pada tanggal 20 Mei 2016, Komnas Perempuan telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Kediri. Pada surat yang telah dikirimkan tersebut, Komnas Perempuan meminta informasi yang lebih akurat terkait penanganan dan salinan dari putusan perkara tersebut. Pada tanggal 6 Juni 2016, akhirnya Komnas Perempuan telah menerima salinan dari putusan perkara dan melakukan pemeriksaan atas perkara tersebut.

52 Perkosaan Berkelompok terhadap Perempuan Usia Muda di Banyuwangi

Di Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, telah terjadi perkosaan yang dilakukan secara berkelompok oleh 18 pemuda. Korban adalah perempuan (SN) berusia 19 tahun dan mengalami perkosaan selama tiga hari berturut-turut. Kapolres Situbondo telah menahan 8 orang pelaku dan 1 dari orang pelaku merupakan pemuda yang masih dibawah umur. Selain 8 pemuda tersebut terdapat seorang gadis berusia 16 tahun (R) yang juga terlibat, warga Desa Gudang, Kecamatan Asembagus. Dari keterangan keluarga korban, R datang ke rumah korban dan mengajak korban untuk berkumpul dengan teman lainnya. Korban mengalami pendarahan, kondisi kejiwaannya terganggu dan trauma. Korban telah dibawa ke psikiater yang berada di Kabupaten Banyuwangi.

Dari kasus SN, Komnas Perempuan melihat bahwa SN merupakan perempuan yang mengalami bentuk kekerasan seksual yaitu: perkosaan, perdagangan orang, dan perbudakan seksual. Komnas Perempuan telah melayangkan surat kepada Kepala Kepolisian Resort Situbondo, Jawa Timur mengenai kasus SN ini untuk mendapatkan informasi lebih lengkap tentang penanganan perkara dan perlindungan yang diberikan oleh Kepolisian kepada SN. Adapun informasi yang penting diketahui oleh Komnas Perempuan meliputi upaya penanganan yang telah dilakukan dan yang sedang diupayakan, yaitu ketersediaan pendamping bagi korban (psikologis, medis, bantuan hukum) yang dibutuhkan korban, kemudian kemajuan penyelidikan dan penyidikan serta apa saja hambatan dan tantangan. Komnas Perempuan membutuhkan informasi ini untuk mendorong proses hukum kasus ini menjadi preseden baik dalam perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan.

Perkosaan Berkelompok Anak Perempuan di Deli Serdang

Perempuan berusia 14 tahun (B) mengalami perkosaan yang dilakukan secara berkelompok (gang rape). Peristiwa ini terjadi di lokasi wisata pemandian air panas di Desa Panen, Kecamatan Biru-Biru, Deli Serdang. Korban diberikan minuman alkohol hingga tidak sadarkan diri. Korban mengalami perkosaan secara berkelompok (gang rape) dan dibawa berpindah-pindah tempat yang berbeda dan dibawa kembali ke gubuk. Ketika sadar, korban pulang sendiri ke rumah neneknya, yang juga tempat tinggalnya2.

Perkosaan disertai Penganiayaan Pelajar SMP

Seorang anak perempuan berusia 16 tahun (MA) pelajar kelas VIII di Sekolah Menengah Pertama di Kota Batu Malang, mengalami kekerasan seksual disertai penganiayaan. Korban mengalaminya di lokasi wisata Batu Trade Center, Malang, yang dilakukan oleh seorang satpam berusia 47 tahun. Pemberitaan mengenai kasus ini telah mengundang perhatian oleh banyak pihak, karena kasus yang dialami oleh korban diluar batas kemanusiaan. Kekerasan seksual ini menyebabkan tidak hanya trauma kepada korban, melainkan juga membuat masyarakat lain kehilangan rasa aman. Pada tanggal 27 Desember 2016, Komnas Perempuan telah menyatakan sikap dengan melayangkan surat kepada Kepala Kepolisian Resort Batu Malang untuk mendapatkan kronologis, tindak lanjut dan informasi-informasi yang dibutuhkan mengenai kasus tersebut, terutama mengenai bagaimana terjadinya kasus tersebut dan oleh siapa penanganan, pendampingan, dan pemulihan serta proses hukum atas kasus ini.

2 http://aktualonline.com/view/Sumut/2585/Kapolres-Deli-Serdang-Ambil-Alih-Kasus-Pemerkosaan-di-Kecamatan-Sibiru-biru-dan-Namorambe.html

53 Perkosaan Anak Perempuan Yang Mengakibatkan Bunuh Diri

Di Medan seorang perempuan berusia 15 tahun mengalami perkosaan. Korban mengalaminya saat tidur di rumahnya. Keluarga korban telah melaporkan kasus ini ke Polsek Namorambe dan bertemu Aiptu Merdeka Sembiring. Ayah korban meminta laporan STPL (sosialisasi surat tanda penerimaan laporan) tersebut, namun tidak diberikan dengan alasan tidak ada Kanit dan belum ditandatangani Kapolsek. Pada hari yang sama, dini hari, 3 polisi dari Polsek Namorambe datang ke rumah korban untuk memeriksa tempat kejadian.

Keluarga korban membawa anaknya untuk pemeriksaan visum. Dokter menyampaikan hasil pemeriksaan kepada bibi korban “Anak ibu sudah tidak perawan lagi”. Di lain pihak, ayah dari pelaku mendatangi keluarga korban untuk menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan anaknya dan siap untuk mengawinkan anaknya dengan korban. Namun hal ini ditolak oleh ayah korban. Sekitar 15 menit, setelah ayah pelaku pulang dari rumah korban, korban muntah-muntah karena minum racun. Pada hari Kamis, 26 Mei 2016, pukul 13.00 korban pun meninggal dunia, setelah sempat dirawat selama dua hari. Setelah korban meninggal, ayah korban datang kembali ke Polsek Namorambe dan beliau terkejut karena laporan polisi yang diterima ternyata hanya dianggap kasus percobaan pencurian, bukan pemerkosaan seperti yang dilaporkannya dengan alasan kurang alat bukti.

Kekerasan oleh dan di Media Online

Peran Media Sosial untuk Keadilan dan Pemulihan Korban

SI, seorang WNA keturunan Jepang melaporkan kasus kekerasan fisik yang dialaminya, dengan pelaku adalah mantan pacaranya. Kekerasan ini terjadi di apartemen korban. Korban tinggal di apartemen tersebut bersama anaknya. Korban adu mulut dengan pelaku dan korban menampar pelaku setelah pelaku mengatainya. Pelaku membalas memukul korban, mencekik dan menamparnya berkali-kali. Korban meminta tolong kepada petugas keamanan apartemen dan membawanya ke rumah sakit. Tindakan kekerasan yang dialami SI bukan pertama kali, tiga minggu sebelumnya korban sempat dipukul di bagian dagunya karena menegur pelaku yang mengkonsumsi alkohol, selain itu korban juga tidak jarang menerima kekerasan verbal dari pelaku. SI akhirnya memberanikan diri untuk melapor setelah foto wajahnya yang babak belur menjadi viral ketika diunggah oleh sahabat korban di sosial media. Banyak dukungan untuk SI termasuk dari tokoh publik agar melapor dan juga himbauan untuk kepolisian untuk menangani kasus ini.

Kekuatan media terutama media online mengangkat suatu kasus kekerasan terhadap perempuan kini banyak menjadi perhatian saat banyak diberitakan. Namun, dalam kajian analisa media Komnas Perempuan, ditemukan media masih menstigma korban yang melanggar kode etik jurnalistik. Seperti kasus SI, media tidak hanya memberitakan mengenai kasusnya saja tetapi menggali kehidupan pribadinya dan memberikan diksi-diksi yang bias dalam pemberitaan, baik dalam judul maupun konten berita, seperti istilah janda cantik atau model cantik. Komnas Perempuan memberi masukan kepada Dewan Pers untuk membuat panduan kode etik tentang pemberitaan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, dan perlunya membuat pelatihan sensitive gender bagi jurnalis.

54 Pelecehan Seksual Simbolik Berbentuk Komik

Seorang komikus berinisial KJ membuat komik seri berjudul God You Must Be Joking mengunggah komiknya di akun twitter miliknya yang berisi muatan perkosaan dan inses. Komik tersebut menampilkan tokoh komikus perempuan bernama SR yang menjadi peran ibu. Tokoh ibu tersebut mengajak anaknya yang masih kecil untuk beradegan seksual dan direkam, di akhir cerita, tampak karakter utama dari komik God You Must Be Joking sedang menyaksikan video perempuan beradegan seksual dengan anaknya tadi kemudian ia berkata, “wanita amoral“. Karya ini menjadi kontroversi karena dianggap serangan terhadap SR yang karya-karyanya bertentangan dengan karya KJ serta tidak jarang mengkritisi karya KJ yang seringkali bermuatan pembunuhan, mutilasi, pedofilia dan kekerasan seksual.

Komnas Perempuan menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidak menjadi ruang untuk kekerasan dan kebencian. Kasus SR yang menjadi korban dalam bentuk simbol dalam komik merupakan kekerasan seksual dalam bentuk non fisik yang menyebabkan seseorang merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan secara seksual.

Kekerasan terhadap Perempuan yang Dilakukan Pejabat Publik dan atau Tokoh Masyarakat

Politisasi dan Impunitas Pelaku

Kasus kekerasan yang diduga dilakukan seorang anggota Komisi Hukum (komisi II) Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI terhadap staf ahlinya yang bernisial DA mencuat di media pada awal tahun 2016. Kasus ini selain dilaporkan korban kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), juga diadukan ke Komnas Perempuan. Pengaduan yang disampaikan terkait penganiayaan berupa pemukulan ke wajah korban disertai ancaman. Penganiayaan fisik berupa luka memar di pelipis korban dan bercak merah di bagian putih bola mata kanan. Korban juga mengaku merasa tertekan. Kasus ini bergulir kuat di media dan mengakibatkan perang opini antara korban dan pelaku. Kasus ini tak terdengar lagi perkembangannya setelah korban mencabut laporan dari Bareskrim mabes POLRI, meskipun seharusnya kasus ini adalah delik pidana murni (bukan delik aduan) sehingga tak dapat dihentikan meskipun korban telah mencabutnya. Kasus ini menjadi contoh bagaimana perempuan mengalami kekerasan dalam hubungan kerja yaitu antara atasan dan bawahan. Korban yang merupakan staf ahli DPR dalam proses hubungan kerja, menjalankan banyak fungsi dan membuat korban mengalami resiko kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Pola yang ditemukan adalah pelaku orang yang berpengaruh, tokoh atau pejabat publik, mengakibatkan korban menemui banyak tantangan ketika akan mengakses keadilan, karena terjadi impunitas pelaku. Impunitas pelaku juga menjadi catatan penting dalam hubungan kerja ‘bernuansa’ politik, yakni antara anggota Legislatif atau pengurus partai politik dengan staf/bawahannya.

Komnas Perempuan bekerja untuk melawan impunitas pelaku kekerasan atas kasus tersebut memberikan rekomendasi untuk dilakukan pakta integritas pada Anggota Dewan, demikian pula pada bagian Kesekjenan DPR RI/DPR untuk memastikan pihak yang dipekerjakan anggota Dewan mendapatkan perlindungan, serta meminta kepolisian RI untuk menyampaikan perkembangan penanganan kasus tersebut untuk diketahui publik.

55 Politisasi Spiritualitas Dan Agama Untuk Eksploitasi Seksual: Kasus Aa Gatot

Gatot Brajamusti atau dikenal dengan Aa Gatot seorang tokoh publik dan pimpinan padepokan telah melakukan tindakan kekerasan seksual dengan korban lebih dari 100 perempuan yang umumnya berusia anak. Modus yang dilakukan oleh Aa Gatot adalah dengan mengiming-imingi korban untuk menjadi artis. salah satu korban adalah CT, dijanjikan menjadi backing vocal artis yang saat itu berusia 16tahun. Korban juga diberikan serbuk kristal bernama aspat/asmat yaitu sejenis sabu-sabu secara berulangkali sehingga korban tidak sadarkan diri. Korban juga diharuskan melakukan ritual seks bersama-sama dengan pelaku dan demikian pula 3 perempuan lainnya. Saat melakukan ritual seks pelaku mengaku berperan sebagai “uncle” (paman) dan saat itulah Malaikat Izroil (malaikat pencabut nyawa) bersemayam ditubuh pelaku. Ketika korban melakukan seks bersama-sama tersebut artinya korban sedang bersetubuh dengan malaikat tersebut. Korban dibuat merasa bangga dan merasa mendapatkan anugerah.

Komnas Perempuan melihat bahwa korban mengalami perkosaan yaitu serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.

KDRT oleh Anggota DPRD Papua Barat

Peristiwa KDRT pada anggota legislatif kali ini terjadi lagi, diduga dilakukan oleh Yan Anton Yoteni, anggota DPRD Papua Barat periode 2014-2019, yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Otonomi Khusus (perwakilan masyarakat adat Papua yang duduk di DPRD Papua Barat). Yan Anton Yoteni dan istrinya EWW menikah secara adat pada tanggal 14 Oktober 2013. Bagi Yan Anton Yoteni dan EWW pernikahan ini sama-sama merupakan pernikahan kedua mereka. Paska terpilih sebagai anggota DPRD Papua Barat, Yan Anton Yoteni diketahui telah melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain dan sejak awal tahun 2015 telah tinggal bersama di Kota Manokwari. Sejak itu Yan Anton Yoteni juga tidak lagi memberi nafkah kepada EWW dan anak-anaknya.

Korban EWW menemukan Kartu Keluarga Yan Anton Yoteni yang mencatat perempuan ini sebagai istri Yan Anton Yoteni dan 2 (dua) anak yang lahir pada tahun 1997 dan 1998. Kartu Keluarga tersebut dibuat pada tanggal 11 Juni 2008. Bila benar terjadi pernikahan ini, korban EWW menduga Yan Anton Yoteni telah melakukan pemalsuan dokumen akta perkawinan saat menikah dengannya di tahun 2013.

Tindakan Diskriminatif oleh Bupati Belu

Bupati terpilih yang memimpin Kabupaten Belu, NTT telah melakukan tindakan diskriminatif dengan membatasi dan mengurangi hak konstitusional seorang calon Kepala Desa perempuan (FB). FB adalah kepala desa Lasiolat purna bakti periode 2009 – 2015, yang kembali mencalonkan diri untuk periode 2016 – 2022. Untuk pencalonan kembali ini, Florita Besin diharuskan mengantongi surat keterangan dari Bupati Belu bahwa tidak pernah menjadi kepala desa selama tiga kali masa jabatan dan surat keterangan dari Bupati Belu bahwa tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan kepala desa sebagaimana ditetapkan dalam pasal 18 (1) Peraturan Daerah Kabupaten Belu No. 6 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Desa. Namun Bupati Belu sebagai pejabat berwenang tidak bersedia menerbitkan dua surat tersebut.

56 Kepada Kepala Ombudsman RI perwakilan wilayah NTT yang menerima pengaduan FB, Bupati Belu menyampaikan alasannya karena secara subyektif menilai FB kurang baik dalam melakukan tugas sebagai kepala desa. Menanggapi hal ini, FB yakin dirinya telah diperlakukan secara diskriminatif dan Bupati Belu sedang menghalangi dirinya untuk maju kembali menjadi calon Kepala Desa. FB yakin telah menjabat sebagai Kepala Desa Lasiolat sampai masa jabatan selesai dengan kinerja baik. Hal ini dikuatkan pula oleh Keputusan Bupati Belu terdahulu yang menyatakan pemberhentian FB sebagai kepala desa karena berakhirnya masa jabatan dan Bupati Belu terdahulu mengucapkan terima kasih atas jasa FB selama menjabat.

Sikap Bupati Belu ini telah menuai banyak protes dari warga desa serta berbagai pihak termasuk DPRD Kabupaten Belu. DPRD Kabupaten Belu membentuk tim audit dan kemudian menerbitkan rekomendasi agar Bupati Belu mengeluarkan surat keterangan bagi FB, namun hingga saat ini Bupati Belu belum juga menjalankan rekomendasi ini.

Komnas Perempuan melalui surat pertimbangan dan masukan berdasarkan pemantauan menyatakan dukungan bagi FB untuk mendapatkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pandangan Komnas Perempuan ini didasarkan pada Konvensi CEDAW yang secara tegas menyatakan larangan tindakan diskriminasi terhadap perempuan di lembaga politik atau publik dan perlunya langkah-langkah khusus untuk menghapus diskriminasi tersebut. Tindakan Bupati Belu ini juga bertentangan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, dimana perempuan didorong berperan sebagai pengambil keputusan, terutama paska amandemen Undang-undang Dasar 1945 keempat (pasal 28 H ayat (2) dan disahkannya Undang-undang Paket Politik terkait tindakan khusus sementara kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di lembaga politik.

Kekerasan (Seksual) di Lembaga Pendidikan

Kasus Pelecehan Seksual Karyawan Universitas 17 Agustus 1945

Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Koalisi Perempuan Untag ’45 selaku pendamping dari 5 (lima) orang karyawati dan dosen Universitas 17 Agustus 1945, yang menjadi korban pelecehan seksual sejak 2014-2016 yang diduga dilakukan oleh Dedi Cahyadi, Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus 1945. Pelecehan baik fisik mapupun non-fisik dilakukan di ruangan pelaku dengan cara memanggil para korban dengan dalih urusan kerja. Bentuk pelecehan, korban disuruh membuka pakaian untuk difoto dan direkam, membuka kalender dengan naik kursi agar bisa difoto bagian pantatnya, dikomentari bagian tubuh dan ditanya ukuran pakaian dalam, serta berbagai komentar bernada seksual lainnya. Pelecehan ini menyebabkan korban merasa tidak nyaman, direndahkan martabatnya, mengalami kondisi tertekan, serta ketakutan bekerja menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh atasan.

Komnas Perempuan berpendapat bahwa Dedi Cahyadi selaku Ketua Yayasan Universitas 17 Agustus ’45 memiliki jabatan dan relasi kuasa yang lebih tinggi dari para korban. Relasi kuasa inilah yang mendorong pelaku menyalahgunakan jabatanya untuk melakukan pelecehan seksual. Relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan para korban menyebabkan para korban tetap bertahan selama bertahun-tahun menutupi pelecehan yang dialaminya dan tidak segera melapor karena takut tidak dipercaya oleh pihak lain. Aspek relasi kuasa di tempat kerja yang dialami para korban ini merupkan faktor kuat dalam pelecehan seksual yang diancam sebagai tindak pidana pasal 294 KUHP ayat (2) angka 1 KUHP, yaitu “Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan dan diserahkan kepadanya.”

57 Komnas Perempuan mengapresiasi dukungan Keluarga Besar Untag ‘45 kepada para korban dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Untag yang telah memberi sanksi administratif kepada pelaku dengan pemberhentian sebagai Ketua Yasasan. Sanksi ini menunjukkan peran Untag ’45 sebagai institusi pendidikan dalam upaya penghapusan tindak kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan.

Demi keadilan dan memberi pemulihan para korban, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Ketua Dewan Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Untag ’45 untuk melakukan upaya pemulihan dengan menyampaikan pernyataan maaf kepada korban, berdialog dengan korban untuk pemulihan yang dibutuhkan, membuka posko pengaduan, membangun dan menyusun konsep Standard Operating Proscedure guna mengantisipasi dan memutus rantai pelecehan seksual di tempat kerja di lingkungan kampus.

Kasus Kekerasan Seksual Siswi SMAN di Lurasik NTT

Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Institute HAk Asasi Perempuan (IHAP) sebagai pendamping ADR, siswi SMAN di Lurasik NTT yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya. Kekerasan yang dialami ADR sudah berlangsung sejak kelas 2. Pelaku sering memanggil ADR ke ruangan dengan alasan membicarakan urusan sekolah, tetapi malah mengajak ADR jalan-jalan. Pelaku juga pernah mengirim pesan di Facebook agar tidak masuk sekolah dan korban diajak ke Kafe. Karena ketakutan, ADR menghapus pesan, memblokir pertemanan di facebook dan selalu menghindar pelaku. Pelaku kembali memanggil ADR ke ruangan Bimbingan Konseling dan ditanya kenapa selalu menghindar. Dalam kesempatan ini ADR sempat difoto dengan HP oleh pelaku, dipegang tangannya dan dicubit hidungnya, serta diberi amplop berisi uang 1.000.000 rupiah dan menyatakan ingin menjalin hubungan khusus dengan ADR.

Melihat anaknya yang mengalami ketakutan, tekanan mental, dan trauma, orang tua ADR melaporkan tindakan kepala sekolah tersebut ke Polsek Biboki Utara. Akhirnya pelaku dinonaktifkan dari jabatannya. Namun begitu, pelaku masih sering muncul dan mengintimidasi ADR sehingga mengalami ketidaknyamanan karena menjadi perbincangan di lingkungan sekolah. Menyikapi kasus ini, Komnas Perempuan telah mengirim surat masukan dan pertimbangan kepada Polsek Biboki Utara Timur Tengah Utara NTT agar segera menahan pelaku sebagai upaya perlindungan korban dan mencegah kekerasan seksual yang lebih membahayakan korban. Komnas Perempuan memandang bahwa tindak pencabulan dan intimidasi yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap ADR terjadi karena ketimpangan relasi antara korban dan pelaku. Tindakan penahanan pelaku dimaksudkan untuk memberi rasa aman bagi korban seperti yang diatur dalam pasal 82 ayat (1) UU No.35 tahun 2014 tentang perlindungan Anak, serta diberatkan dengan pasal 82 ayat (3) tentang pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan.

Kasus Siswi Penghayat Sunda Wiwitan SMK 2 Banjar Jawa Barat

Tahun 2016 Komnas Perempuan menerima pengaduan dari Komunitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Jawa Barat terkait diskriminasi yang dialami oleh anak-anak penghayat