• Tidak ada hasil yang ditemukan

menemui akses keadilan karena minimnya payung hukum dan perlindungan untuk kasus-kasus tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "menemui akses keadilan karena minimnya payung hukum dan perlindungan untuk kasus-kasus tersebut."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memuat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga pengada layanan selama satu tahun ke belakang.

Angka kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sejak 2010 terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan angka yang sangat tinggi terjadi antara tahun 2011 sampai tahun 2012 yang mencapai 35%. Untuk tahun 2015 jumlah kasus meningkat sebesar 9% dari tahun 2014.

Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan 674 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir, sementara di tahun 2016 sebanyak 780 lembar formulir dan tahun 2015 sebanyak 664 formulir. Jumlah kasus KTP 2016 sebesar 259.150 sebagian besar bersumber dari data kasus atau perkara yang ditangani oleh PA. Dengan demikian data ini dihimpun dari 3 sumber yakni; [1] Dari Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 245.548 kasus; [2] dari Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.602 kasus; [3] dari Unit Pelayanan Dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan dan (4) dari divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik.

Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP yang mencapai angka 75% (10.205). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 22% (3.092) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 3% (305). Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.281 kasus (42%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual kasus 3.495 ( 34%), psikis 1.451 kasus (14%) dan ekonomi 978 kasus (10%).

Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%), diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%; yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking 139 kasus (4%).

Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara, kasus penggusuran yang dilaporkan dan atau dipantau adalah Bukit Duri, Kampung Pulo, Bongkaran Tanah Abang, Cakung Cilincing di Jakarta, dan Konflik SDA untuk pembangunan semen di pegunungan Kendeng.

Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus (17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Masih di ranah relasi personal, tahun ini catahu bisa menampilkan data perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebanyak 135 kasus. Perkosaan dalam perkawinan adalah hal serius dan masih belum banyak dikenali walau sudah memiliki payung hukum (pasal 8) UU PKDRT. Catahu tahun ini mengungkapkan bahwa pelaku kekerasan seksual di ranah personal tertinggi adalah adalah pacar. Relasi personal pacaran dalam pengamatan Komnas Perempuan adalah kasus yang paling sulit

(2)

2 menemui akses keadilan karena minimnya payung hukum dan perlindungan untuk kasus-kasus tersebut.

Catatan Tahunan 2017 ini menggambarkan beragam spectrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2016. Beberapa isu perlu mendapat perhatian khusus dari lembaga negara dan masyarakat terkait dengan tingginya angka dispensasi perkawinan, dimana angkanya mencapai 8488 kasus dispensasi. Artinya terdapat 8.488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Berbagai kajian perkawinan usia dini menunjukan dampak negatif terutama bagi perempuan. Dampak negatif tersebut antara lain tercerabutnya akses pendidikan anak perempuan yaitu anak perempuan yang menikah dan atau hamil setelah menikah kemungkinan besar berhenti sekolah.

Banyaknya kasus kekerasan seksual dialami oleh perempuan dengan disabilitas yang mencapai 93% (57 dari 61 kasus). Pelaku memanfaatkan celah disabilitas korban untuk melakukan kekerasan dengan harapan bisa lolos dari kejahatan yang mereka lakukan karena minimnya pembuktian. Yang menjadi masalah lanjutan adalah jika korban perempuan dengan disabilitas hamil dan memiliki anak karena kekerasan seksual yang mereka alami.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin bervariasi, dan pada tahun 2016 bentuk kekerasan terhadap perempuan semakin bervariasi, kekerasan seksual yang mewacana seperti perkosaan berkelompok, penganiayaan seksual disertai dengan pembunuhan, menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Variasi tersebut perlu dikenali lembaga Negara untuk mudah ditangani dan dicegah.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih terhambat oleh beberapa hal, diantaranya; penegakan hukum yang lemah, masih banyaknya kebijakan diskriminatif, impunitas bagi pelaku yang dapat memicu terjadinya keberulangan pada perempuan lainnya, lambannya negara dalam menangani kasus KtP, minimnya lembaga layanan korban dan dukungan pemerintah terhadap mereka, serta meningkatnya konservatisme dan fundamentalisme agama yang nemekankan pada pemahaman tekstualis dan anti kesetaran gender. Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat di Catatan Tahunan 2017 ini, diantaranya adalah; tersedianya instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengada layanan, tingginya dukungan publik untuk RUU Penghapusan Kekerasan seksual melalui kampanye Gerak Bersama, pengakuan Presiden Joko Widodo yang menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat sebagai bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia, lahirnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang perlindungan hak penyadang disabilitas, dan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan.

Lembaga-lembaga layanan yang diselenggarakan Negara sampai saat ini masih dalam masa perbaikan struktur, penguatan kapasitas pendampingan korban serta pendokumentasian kasus. Layanan tersebut masih belum disertai dengan menghilangkan cara pandang yang bias terhadap kasus, sehingga dalam beberapa kasus bukannya memberikan keadilan bagi korban melainkan sebaliknya menjadi mengkriminalkan korban, dan impunitas terhadap pelaku.

Hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi belum sepenuhnya terlihat dalam seluruh dimensi kehidupan perempuan yang semestinya menjunjung nlai-nilai luhur untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi perempuan. Secara umum kekerasan terhadap perempuan terjadi akibat “posisi rentan” perempuan yang disebabkan masih kuatnya “budaya

(3)

3 patriarki” yang diskriminatif – subordinatif dan “relasi kuasa yang timpang” dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, suami dan istri, anakdan orangtua, rakyat dan Negara, guru dan murid, serta bawahan dan atasan.

Peningkatan kuantitas kasus kekerasan terhadap perempuan semenjak tahun 2011 di satu sisi menggembirakan menjadi indikator meningkatnya pengetahuan dan kesadaran menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tetapi disisi lain juga kondisi yang memilukan dan memprihatinkan karena negara belum merespon dengan baik upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tersebut.

Data-data CATAHU di atas menegaskan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan

1. Ranah dan Pola Kekerasan

a) Ranah dan pola kekerasan yang paling konstan tertinggi dari tahun ke tahun adalah KDRT terhadap istri. Pola yang sama tetapi berbeda jenis adalah kekerasan dalam pacaran, sebuah relasi yang tidak diikat dalam perkawinan tetapi relasi kuasa dan pola kekerasannya tidak jauh berbeda dengan perkawinan. Kekerasan dalam pacaran tidak memiliki payung hukum karena diluar KDRT dan cenderung menyasar pada remaja. Disisi lain, dari kasus-kasus yang muncul, perempuanlah yang paling banyak membawa atau melaporkan sendiri kasusnya atau berinisiatif mengajukan perceraian (cerai gugat) sebagai upaya terakhir keluar dari lingkaran kekerasan yang dialaminya.

b) Pelaku kekerasan paling serius adalah orang-orang dekat, baik dalam konteks KDRT, incest dan berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya. Impunitas pelaku semakin menyubur karena sejumlah hal: 1). penyelesaian kekerasan terutama KDRT diputus dengan perceraian untuk meminimalisir kompleksitas hukum dan dampak sosial karena pemidanaan suami. 2). Impunitas pada kasus kekerasan seksual yang muncul dan beragam, namun tidak dipayungi dengan hukum yang mampu menjerat pelaku karena berbagai bentuknya, hanya 3 dari 15 bentuk kekerasan seksual yang diatur oleh Undang-undang yang ada, 3). Pelaku adalah orang yang berpengaruh karena punya modal sosial, politik, finansial, spiritual, dll, dan memainkan kekuatan tersebut untuk melindungi dari jeratan sanksi hukum. 4). Pelaku adalah adalah anak, padahal bagi korban, siapapun pelaku adalah sama.

c) Femicide/femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan, adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi perhatian Indonesia. Setidaknya terlihat dari pendataan yang masih menyederhanakan isu femisida sebagai kriminal biasa. Tidak digalinya dimensi kekerasan berbasis gender serta minimnya pelaporan femisida ke lembaga layanan karena korban sudah meninggal. Dari data yang diolah, menunjukkan bahwa femicida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya.

d) Pola kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks, beragam pola dan tingkat kekerasannya, serta lebih cepat dari kemampuan Negara untuk merespon. Salah satunya adalah kekerasan dan kejahatan cyber yang semakin rumit pola kasus kekerasannya, dari pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban, terkadang pelaku sulit dideteksi, namun respon dan perlindungan hukum belum cukup memadai, karena disederhanakan menjadi ranah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).

e) Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual semakin tinggi, dan ruang ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut hak dasar mereka atas akses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di Salon), akses kesehatan dan hak dasar lainnya.

(4)

4 f) Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas (terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada mereka. 2. Kebijakan Negara yang mengukuhkan Kekerasan Terhadap Perempuan

a) Kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan pelanggengan perkawinan anak. Praktik perkawinan anak berkontribusi pada angka kekerasan terhadap perempuan. Putusan Mahkamah Konsitusi memandang perkawinan . sebagai hak semua orang, termasuk anak , sebaliknya memandang batasan usia kawin berbeda setiap jamannya. Untuk itu memerintahkan Pemerintah yang melakukan perbaikan regulasi. Putusan MK menolak permohonan uji materi untuk menaikkan batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak perempuan.

b) Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan terlibat dan menjadi korban pada kasus tersebut. Pada sejumlah kasus kejahatan narkoba dimana perempuan sebagai pelaku, narasi dan latar belakang perempuan hingga menghadapi hukuman mati, belum didengar dan diperhitungkan dalam proses penyidikan, penyelidikan dan pengadilan.

c) Ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infraktrusktur disatu sisi dengan isu-isu hak asasi semakin menguat karena menyuburnya kebijakan tata bangun dan tata ruang, yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat,dll. Dampak serius pada perempuan adalah, terancamnya hak dasar atas penghidupan,air,lingkungan seimbang dan sehat, hak kultural, sumber obat-obatan, dll. d) Komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu belum

menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban atas keadilan, kebenaran dan pemulihan korban. Bahkan hambatan terbesar adalah dukungan lembaga-lembaga kunci Negara baik kejaksaan maupun institusi keamanan yang masih belum menunjukkan komitmen politiknya pada korban. Selain itu politisasi isu komunisme, rasisme , bahkan pembubaran hak perkumpul semakin menjauhkan upaya penuntasan tersebut.

e) Kriminalisasi mengalami peningkatan. Kriminalisasi pada perempuan korban KDRT oleh suami atau mantan suami juga harus menjadi perhatian Negara, antara lain pelaporan balik suami padahal isteri yang seharusnya jadi korban lebih awal, tuduhan pencurian ATM suami padahal untuk menghidupi anak-anaknya, tuduhan pemalsuan dokumen karena mengkoreksi identitas suami dalam kartu keluarga karena masih berstatus lajang. Kriminalisasi oleh mantan suami juga isu yang penting, selain kekerasan KDRT yang tidak berhenti dengan perceraian, tetapi paska perceraian juga menyisakan kekerasan yang sulit disoal oleh perlindungan hukum lain, karena sudah diluar relasi perkawinan.

f) Keterbatasan upaya pemulihan korban. Pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan pada kasus-kasus kekerasan massal seperti korban intoleransi belum menemukan pola pemulihan yang efektif, terutama kasus konflik berbasis agama, termasuk mendorong proses rekonsialisasi di komunitas. Pola penyelesaian masih terbatas pada upaya hukum, padahal kebutuhan korban untuk pemulihan lebih luas untuk memenuhi rasa keadilan. 3. Layanan, pendataan, peran korban dan publik

a) Ada korelasi signifikan antara ketersediaan layanan dengan tingginya data kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan dalam suatu daerah. Tingginya data juga sebagai bentuk tingginya kesadaran untuk menyoal kasus kekerasan yang dialami perempuan,

(5)

5 membaiknya pendataan yang mudah diakses dan teridentifikasinya kekerasan. Sisi lain, tidak adanya data pada sejumlah wilayah, tidak selalu menunjukkan bahwa tidak ada kekerasan di wilayah tersebut, tetapi karena persoalan pelaporan dan pendataan yang harus dicermati serius.

b) Pola pendataan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan Negara menunjukkan cara pandang dan pensikapan Negara atas kasus-kasus yang ada. Kategorisasi dalam pendataan di pengadilan agama seperti istilah “krisis akhlak, ketidak harmonisan, poligami tidak sehat, dll”, menunjukkan bahwa Negara masih menyamarkan kekerasan terhadap perempuan sebagai penyebab perceraian. Penyamaran tersebut berpotensi pada tidak tertelusurnya penyebab dan akar kekerasan yang sesungguhnya, dan berkontribusi pada impunitas pelaku.

c) Data catahu menunjukkan bahwa korban masih cenderung datang ke layanan yang dibuat CSO/LSM yang harus ditelusur lebih jauh penyebabnya. Padahal Negara tengah memperbanyak layanan di berbagai daerah, dimana upaya tersebut harus mengedepankan kwalitas layanan yang ramah pada korban,memastikan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang memulihkan korban, dibanding upaya-upaya formalisme layanan yang mengedepankan status kelembagaan, fasilitas infrastruktur baik gedung dan mobil. Kendati infrastruktur penting, tetapi korban lebih perlu layanan cepat dan bersahabat.

d) Partisipasi dan inisiatif publik semakin meluas dan responsif. Publik menjadi elemen penting pengambil kebijakan yang turut menentukan arah dan respon Negara dalam mensikapi kekerasan terhadap perempuan.

e) Meningkatnya angka pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan kesadaran perempuan korban atau masyarakat yang membutuhkan perlindungan di luar sistem yang tersedia dalam struktur negara dan kondisi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang belum membaik atau masih mengalami stagnasi penegakan hukum dan penanganannya.

Rekomendasi

1. Negara harus mengupayakan Pendalaman Pengetahuan, Mengenali pola dan pencegahan serta penanganan korban Kekerasan terhadap Perempuan

a) Pembunuhan terhadap perempuan dengan basis kekerasan berbasis gender semakin muncul di permukaan, Penegak Hukum dan seluruh lembaga pengada layanan perlu melakukan pendataan khusus untuk keperluan pencegahan, penanganan dan perlindungan yang lebih sistemik dan sistematis. Selain itu untuk memperkuat pengetahuan publik maupun Negara.

b) Kekejian pembunuhan terhadap perempuan terjadi di wilayah politik, disertai dengan penaniayaan seksual dan perkosaan, termasuk dalam hal pelanggaran HAM masa lalu yang perlu segera diselesaikan.

c) Kekerasan seksual semakin beragam bentuk dan jenisnya. Salah satunya kekerasan berkelompok (geng rape) di masyarakat, diperlukan upaya keras Negara untuk segera mensahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual.

2. Kewajiban negara dalam Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban

a) Optimalisasi pendataan dan penambahan P2TP2A beserta sumberdayanya diseluruh Indonesia, bekerjasama dengan lembaga layanan masyarakat pendamping korban untuk kebutuhan korban mengakses keadilan dan pemulihan.

b) Negara perlu memonitoring dan mengevaluasi kembali UU KDRT dengan menggunakan alat monitoring dan evaluasi yang dihasilkan Komnas Perempuan bekerjasama dengan forum pengada layanan dan kementrian terkait karena banyak digunakan pelaku kekerasan untuk mengkriminalkan korban.

(6)

6 c) Mendesaknya penghapusan perkawinan anak demi mendahulukan kepentingan hak-hak asasi anak daripada kecurigaan pada anak perempuan atau remaja dalam hal seksual dan menghindar anak dari eksploitasi (perdagangan anak perempuan melalui perkawinan anak). d) Negara perlu memperkuat dukungan kepada lembaga-lembaga pendamping korban dan

layanan, agar mudah terakses dan ramah pada korban tak terkecuali di wilayah-wilayah kepulauan, pelosok, juga layanan migran di luar negeri.

e) Negara perlu menghormati, mengakui, mendukung dan melindungi perempuan pembela HAM karena mereka yang berada di lini terdepan untuk membela para korban.

f) Penghapusan hukuman mati terutama kepada perempuan dalam lingkaran narkoba dan perdagangan manusia karena tipu muslihat, ketidakberdayaan ekonomi dan eksploitasi relasi pribadi.

3. Kebijakan Negara dalam merespon dan memulihkan hak korban kekerasan komunal

a) Pengusiran paksa atas alasan identitas agama dan keyakinan serta pembangunan tidak dapat ditolerir, masyarakat perlu dilindungi dan dipulihkan hak-haknya terutama kehidupan ekonomi, sosial dan budayanya.

b) Kebijakan diskriminatif bertambah, dan kebijakan kondusif belum banyak yang dipraktikkan, Negara perlu mempelajari dan mengambil keputusan efektif dan pelaksanaan yang konkrit untuk kepentingan manfaat langsung bagi masyarakat, terutama perempuan. 4. Mekanisme Internasional yang mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara

global:

a) Pemerintah Indonesia harus mencermati dan menindaklanjuti rekomendasi mekanisme internasional termasuk komite CEDAW untuk menghapuskan praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

b) menjalankan komitmen dalam SDGs, untuk mencegah pemiskinan perempuan dan menjaga kemerdekaan dan kesetaraan perempuan tanpa ada satupun yang ditinggal c) meratifikasi ACTIP untuk mencegah dan menangani perdagangan perempuan

(7)

7

METODOLOGI: KOMPILASI DATA DARI LEMBAGA MITRA PENGADA LAYANAN

Data catatan tahunan (catahu) KtP Komnas Perempuan merupakan data kompilasi dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh sejumlah lembaga mitra pengada layanan di hampir semua provinsi di Indonesia, dan pengaduan langsung yang diterima oleh Komnas Perempuan lewat Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) serta pengaduan kasus lewat surat elektronik Komnas Perempuan. Komnas perempuan mengkompilasi pula data dari Badilag. Pada Bulan Oktober dan November setiap tahun, Komnas Perempuan mengirimkan formulir data catahu kepada lembaga-lembaga mitra di daerah (lihat Daftar Lembaga Pengada Layanan yang Berpartisipasi dalam CATAHU 2017). Lembaga mitra mengisi data kasus korban KtP yang ditangani masing-masing lembaga pada formulir pendataan ini dan dikirimkan kembali kepada Komnas Perempuan pada bulan Januari dan atau Februari tahun berikut agar semua data yang diterima dapat dikompilasi dan dianalisis tepat pada waktunya.

SELAIN DATA DARI LEMBAGA MITRA, SEBAGAIMANA TAHUN-TAHUN SEBELUMNYA, SALAH SATU SUMBER DATA CATAHU 2017 adalah data pengadilan agama (PA) yang diakses melalui laman BADILAG (Badan Peradilan Agama). Dalam beberapa tahun terakhir pengadilan agama mendokumentasikan data dengan rapi dan tepat waktu, walaupun pada tahun ini ada sedikit kendala mengakses dan mengunduh data badan peradilan agama sehingga ada beberapa data yang kosong di beberapa PA di tingkat kabupaten/kota di 30 provinsi di Indonesia. Dalam catahu tahun ini, data PA mencapai 94% dari seluruh data yang dikompilasi Komnas Perempuan .

Sejak tahun 2012, Komnas Perempuan mengembangkan analisis data dari PA secara terpisah karena PA memiliki cara/sistem pengkategorisasian tentang kekerasan terhadap perempuan yang berbeda. Seluruh data PA yang digunakan dalam catahu ini adalah kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan dan dilihat lebih terinci pada penyebab perceraian yang dilaporkan, baik cerai gugat maupun cerai talak. Data dari PA ini menambah angka total kasus KtP secara signifikan, khususnya di ranah rumah tangga (KDRT)/relasi personal (RP). Namun demikian analisis tetap dilakukan terpisah agar menjadi jelas kebutuhan penanganan kasus di lembaga-lembaga mitra pengada layanan (selain PA).

Partisipasi lembaga mitra dalam mengisi formulir data kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani masing-masing, merupakan sumbangan nyata dan paling berharga dalam penyusunan catatan tahunan Komnas Perempuan. Besaran atau jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dan dilaporkan dalam setiap catatan tahunan bergantung pada:

1) Kesediaan lembaga mitra merespon permintaan pengisian formulir pendataan Komnas Perempuan,

2) Kinerja masing-masing lembaga mitra pengada layanan, khususnya dalam upaya mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan secara tepat dan cermat, 3) Ketersediaan SDM khusus untuk pendokumentasian data

Penghitungan ganda data KtP yang ditangani lembaga pengada layanan belum dapat dihindari seratus persen selama pemahaman tentang kebutuhan data kasus riil secara nasional, baik untuk kepentingan advokasi dan kepentingan lain, belum benar-benar terbangun. Namun demikian, Komnas Perempuan dari tahun ke tahun meminimalisasi penghitungan ganda dengan sejumlah cara berikut:

1) Memastikan lembaga mitra mencantumkan wilayah kerja sebagai data lembaga,

2) Mengupayakan lembaga mitra mengisi dengan benar jumlah kasus yang diterima, kasus yang ditangani oleh lembaga itu sendiri dan kasus yang dirujuk ke lembaga lain,

(8)

8 3) Menuliskan kerja sama (dalam bentuk MoU) yang dibangun di wilayah kerja masing-masing, khususnya relasi kerja sama dengan kepolisian (UPPPA), pengadilan (PN), rumah sakit, dan lembaga bantuan hukum (LBH). Dengan demikian, beberapa titik potensi overlapping bisa dipetakan dan diminimalkan.

Pengiriman Formulir Data Catahu dan Tingkat Respon

Pengiriman formulir data catahu 2017 kepada lembaga mitra dilakukan melalui pos, email, dan diterimakan langsung kepada lembaga layanan ketika Komnas Perempuan melakukan kegiatan di sejumlah daerah.

Dalam catahu 2016 Komnas Perempuan mengirimkan formulir pendataan kepada 674 lembaga pengada layanan di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut pengembalian formulir dengan data yang dapat diolah sebanyak 34%. Dalam perbandingan dengan catahu 2016, ada perbedaan 106 lembaga yang tahun ini tidak dikirim formulir data catahu karena data mitra yang tidak bisa diverifikasi. Dalam catahu Komnas Perempuan tahun 2016 disebarkan 780 formulir data dengan pengembalian formulir mencapai 30%.

Tingkat respon pengembalian formulir dalam catahu 2017 yang mencapai 34% berarti ada sejumlah 233 lembaga mitra mengembalikan formulir tepat waktu sehingga datanya dapat diolah untuk dimasukkan dalam catahu tahun ini. Seperti terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini ada 4 lembaga mitra yang terlambat mengirimkan kembali formulir pendataan sehingga data lembaga bersangkutan tidak dapat diolah dan ditampilkan dalam catahu tahun ini.

Adapun rincian lembaga mitra yang dikirimi dan mengembalikan formulir data catahu Komnas Perempuan dapat dilihat dalam tabel berikut:

Ace h Su mu t Su mb ar K ep pr i Ria u Ba be l Ja mb i Su ms el Be ng ku lu L amp un g DK I Ja ba r Ba nten Ja teng DIY Jatim Ba li NTB NTT K alb ar K alti m K alteng Kals el K altar a Su lu t Go ro ntalo Su lteng Sulb ar Su ltra Su ls el Malu ku Malu ku Uta ra P ap ua P ap ua Ba ra t

Pengiriman (674) dan Penerimaan (233) Formulir Data Menurut

Provinsi CATAHU 2017

Terima Kirim

(9)

9 Berdasarkan kategori lembaga mitra, pada tahun ini rata-rata lembaga mitra memberikan respon pengembalian formulir antara 19-78%. Respon terendah adalah dari P2TP2A sebesar 19% atau hanya 10 dari 52 P2TP2A yang mengembalikan formulir. Respon tertinggi adalah dari PPT sebesar 78% atau sebelas dari 14 PPT yang mengembalikan formulir.

Dalam catahu 2017 ini terdapat penurunan respon UPPA (Kepolisian). Dari 108 formulir yang dikirim kepada UPPA, tingkat pengembalian mencapai turun 2% menjadi 48%. Sebagaimana diuraikan terdahulu, terdapat penurunan jumlah distribusi formulir data pada tahun ini yaitu berkurang 106 lembaga yang tidak dikirimi formulir catahu Komnas Perempuan. Di sisi lain perubahan struktur P2TP2A menjadi Unit Pelaksana Teknis membutuhkan waktu untuk dapat mengirimkan data terkait dengan penanggung jawab struktur yang baru.

Kendala lain adalah masih kurangnya sumber daya manusia dalam pendokumentasian data kekerasan terhadap perempuan yang berdampak pada kesulitan dan keengganan mengisi formulir data Komnas Perempuan. Selain formulir data Komnas Perempuan, ada berbagai macam formulir isian data yang harus di isi oleh lembaga mitra yang menjadi tambahan beban kerja mereka.

PN UPPA RS WCC LSM/OMS P2TP2A BPPKB PPT RPTC

Kirim 280 108 27 13 137 52 39 14 4

Terima 81 52 11 7 51 10 9 11 1

Prosentase 28% 48% 40% 53% 36% 19% 23% 78% 25%

Pengiriman dan Penerimaan Formulir Data Lembaga Mitra CATAHU 2017 (Tingkat Respon 34%)

(10)

10

GAMBARAN UMUM: JUMLAH PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN TAHUN 2016

Jumlah Kasus KTP Tahun 2016

Sebagian besar data catahu yang dikompilasi Komnas Perempuan bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani oleh PA. Dari total 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dikompilasi Komnas Perempuan pada tahun 2016, sebanyak 245.548 kasus atau 94% adalah data PA dan 13.602 kasus atau 6% adalah data dari 233 lembaga mitra pengada layanan yang mengisi dan mengembalikan formulir pendataan Komnas Perempuan.

Besaran angka kekerasan terhadap perempuan adalah jumlah kasus-kasus yang dilaporkan dan merupakan fenomena gunung es. Masih sangat banyak perempuan korban tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan. Keengganan dan ketidakmampuan ini bisa disebabkan beberapa hal seperti misalnya ketiadaan lembaga layanan di lokasi korban atau karena stigma yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan korban kekerasan justru dianggap sebagai pihak yang bersalah, ‘perempuan penggoda’ atau tidak mempunyai akhlak yang baik dan oleh karenanya sudah sepantasnya mendapat tindakan kekerasan. Budaya “menyalahkan” perempuan korban kekerasan masih kental di kalangan masyarakat.

Dari sisi lembaga pengada layanan, sejumlah faktor menjadi kendala dalam menyediakan layanan: keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan dana, kurangnya dukungan masyarakat sekitar, langkanya dukungan dan fasilitas dari pihak pemerintah (daerah maupun pusat). Kondisi seperti ini menyebabkan sejumlah lembaga layanan tidak dapat berfungsi secara optimal. Pendokumentasian kasus-kasus kekerasan yang dilaporkan juga belum menjadi bagian yang ditangani dengan baik karena sejumlah kendala di atas. Sebagian kerja-kerja pendokumentasian dirangkap pengerjaannya oleh staf yang menangani bagian lain.

22.512 25.522 54.425 143.586 105.103119.107 216.156 279.688293.220 321.752 259.150 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Jumlah KTP dari Tahun 2006-2016

CATAHU 2017

(11)

11

Data Pengadilan Agama dari Tahun ke Tahun

Sejak dikeluarkannya Keputusan Ketua MA Nomor 144/KMA/ SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan pengadilan, dapat dilihat adanya kemajuan dan kesungguhan Pengadilan Agama (PA) dalam mendokumentasikan kasus-kasus yang ditangani oleh lembaga tersebut dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Data PA menyumbang 70-95% dari total data kasus kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasikan dalam catahu Komnas Perempuan. Pada tahun 2010 sebesar 89%, tahun 2011 sebesar 85%, tahun 2012 dan 2013 sebesar 94%, tahun 2014 sebesar 96%, tahun 2015 dan 2016 sebesar 95%.

Dalam grafik terlihat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses PA selama kurun waktu tahun 2010-2015. Fenomena ini dapat dimaknai sebagai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan kepada penegak hukum. Peningkatan kesadaran masyarakat adalah hal positif dan perlu direspon oleh negara secara positif pula. PA adalah salah satu institusi negara yang bertugas merespon hal tersebut khususnya memastikan agar proses hukum yang berlangsung menghasilkan keadilan bagi perempuan korban. Dibandingkan data pada tahun 2015 sebanyak 305.535 kasus kekerasan terhadap perempuan, pada tahun 2016 terjadi penurunan yaitu tercatat 245.548 kasus atau terdapat selisih 59.987 kasus. Penurunan ini tidak serta merta bermakna turunnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Ada indikasi pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terkendala masalah teknis komputer dan jaringan internet Badilag pada dua bulan terakhir tahun 2016, sehingga ada kemungkinan tidak semua kasus terdokumentasikan dan diunggah di laman PA.

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 93.133 101.953 203.507 263.285 280.710 305.535 245.548

Kasus KTP yang di Proses PA Tahun 2010-2016

Catahu 2017

(12)

12 Per Bulan Januari 2017, Komnas Perempuan berhasil mengakses data dari seluruh PA yang ada di Indonesia berjumlah 359. PA di tingkat kabupaten/kota tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, sebagaimana ditampilkan dalam grafik diatas.

Pengadilan Agama ada di hampir semua provinsi, kecuali Kepulauan Riau (Kepri) – menginduk ke Riau, Papua Barat – menginduk ke Jayapura, dan Sulawesi Barat – menginduk ke Sulawesi Selatan. Khusus untuk Aceh disebut Mahkamah Syariah (MS) yang juga menangani kasus pelanggaran qanun/perda syariah. Jumlah PA bervariasi di setiap provinsi, tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur dengan 37 PA, posisi kedua adalah Provinsi Jawa Tengah dengan 36 PA, posisi ketiga adalah Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebanyak 24 PA. Adapun provinsi dengan jumlah PA terendah di Indonesia adalah Provinsi Maluku yang hanya memiliki tiga PA.

Data perkara perceraian PA yang diakses per Bulan Januari 2017 mencapai 288.629 perkara yang terbagi dalam tiga kategori cerai gugat, cerai talak dan poligami. Dari seluruh perkara yang diproses ini ada 245.548 kasus (85%) telah mendapatkan putusan (akta cerai). Jumlah ini yang diolah untuk catahu. 20 20 17 16 10 7 5 9 4 5 24 6 36 5 37 9 8 14 8 10 6 13 6 4 9 7 24 3 4 13 Ace h Su m u t Su m b ar Riau Jamb i Su m se l Be n gku lu La m p u n g Bab e l DK I Jab ar Ban ten Jat e n g DIY Jat im Bali N TB N TT K alb ar Kaltim Kalte n g Kals el Su lu t G o ro n ta lo Su lte n g Su ltra Su ls el Ma lu ku Ma lu ku Uta ra Pa p u a

(13)

13

Rekapitulasi Perkara yang Diproses PA selama Tahun 2016

Dari 288.629 perkara perceraian yang masuk ke PA pada tahun 2016 terdapat 202.118 kasus cerai gugat, 77.502 kasus cerai talak, 521 kasus ijin poligami dan 8.488 kasus dispensasi kawin. Semua perkara yang masuk kemudian diproses untuk diputuskan apakah perkara yang masuk dikabulkan, digugurkan, dicabut atau dicoret.

Berdasarkan penjelasan dari pihak BADILAG, PA membuat kategori perkara untuk diproses, termasuk penyebab perceraian dengan merujuk pada penjelasan/ketentuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU nomor 1/1974 tentang perkawinan dan PP nomor 9/1975. Berdasarkan kebijakan tersebut, ijin poligami artinya suami memohon persetujuan negara terkait perkawinan poligami yang akan dijalaninya, kasus cerai talak artinya perceraian yang diajukan oleh suami, sedangkan kasus cerai gugat artinya perceraian yang diajukan oleh isteri. Pengajuan perceraian yang diajukan suami dan istri memiliki alasan masing-masing.

PP nomor 9/1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU nomor 1/1974 tentang perkawinan memberikan penjelasan berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

(1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (=krisis akhlak);

(2) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya (=tidak ada tanggung jawab);

(3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung (=dihukum);

(4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain (=kekejaman jasmani, kekejaman mental);

(5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri (=cacat tubuh); dan

(6) antara suami istri terus-menerus terjadi perelisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (=tidak harmonis)

Dari empat kategori perkara yang masuk PA pada tahun 2016, cerai gugat memiliki jumlah terbesar, diikuti cerai talak, dispensasi kawin dan ijin poligami. Catahu Komnas Perempuan tahun 2016 menunjukkan hal yang sama. Dari 352.070 perkara perceraian yang masuk ke PA pada tahun 2015 terdapat perkara cerai gugat 252.587 kasus, cerai talak 98.808, ijin poligami 675 kasus. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 menunjukan pada tahun 2014 cerai gugat menempati posisi pertama (240.828), diikuti cerai talak pada posisi kedua (104.346) dan ijin poligami pada

Cerai Gugat; 202.118 Cerai Talak; 77.502 dispensa si kawin, 8,488 Ijin Poligami; 521

Perkara Masuk Pengadilan Agama Sepanjang

(14)

14 posisi ke tiga (701). Besarnya jumlah perempuan yang menginginkan perceraian melahirkan tanda tanya terkait posisi dan kondisi perempuan dalam perkawinan. Ditengarai kuatnya budaya patriarki menyebabkan subordinasi perempuan dalam institusi perkawinan yang berkontribusi terhadap tingginya perempuan yang mengajukan gugat cerai.

Dispensasi kawin artinya keringanan yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan. Dispensasi ini diatur dalam UU nomor 1/1974 tentang perkawinan pasal 7 sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Meskipun dispensasi usia kawin dimungkinkan melalui peraturan perundangan, namun 8.488 kasus dispensasi tersebut pada tahun 2016 patut menjadi perhatian. Artinya terdapat 8.488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Berbagai kajian perkawinan usia dini menunjukan dampak negatif terutama bagi perempuan. Dampak negatif tersebut antara lain tercerabutnya akses pendidikan anak perempuan yaitu anak perempuan yang menikah dan atau hamil setelah menikah kemungkinan besar berhenti sekolah. Lembaga pendidikan tingkat menengah (SMP, SMA) pada umumnya tidak mengakomodasi siswi yang menikah, khususnya siswi yang hamil. Dispensasi kawin juga bertentangan dengan program wajib belajar 12 tahun (SD-SMA) yang dicanangkan pemerintah.

Data statistik nasional tahun 2010 menunjukan lama rata-rata sekolah bagi penduduk usia 15 tahun keatas adalah 8,3 tahun bagi laki-laki dan 7,5 tahun bagi perempupan. Adapun tingkat melek huruf pada tahun 2009-2010 untuk laki-laki dewasa adalah 95,35% bagi laki-laki dan 90,52% bagi perempuan. Data ini menunjukan lama waktu sekolah yang lebih pendek bagi perempuan dan persentase perempuan melek huruf yang juga lebih rendah bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga mencerminkan nilai sosial budaya yang memandang pendidikan bagi perempuan tidak sepenting pendidikan bagi laki-laki.

Perempuan yang menikah pada usia dini yang dimungkinkan melalui dispensasi kawin, berpeluang besar hamil pada usia belia dan menghadapi resiko yang lebih tinggi dalam hal komplikasi kehamilan dan melahirkan. Pada tahun 2010 terdapat 12,26% perempuan yang menikah pertama kali pada usia 10-15 tahun dan 32,46% pada usia 16-18 tahun (Trend Indikatr Sosial Ekonomi Indonesia, 2012). Dengan demikian total hampir 45% perempuan Indonesia menikah pertama kali saat mereka di bawah usia 19 tahun. Berbagai kajian menunjukan bahwa hamil dan menikah pada usia belia berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI). Saat ini AKI Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia yaitu 359/100.000 kelahiran hidup. Dalam draft undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang diserahkan Komnas Perempuan ke DPR RI, Komnas Perempuan memasukkan perkawinan anak sebagai salah satu bentuk pemaksaan perkawinan. Sikap ini diambil karena dalam pandangan Komnas Perempuan, anak haruslah dipandang dalam posisi tidak dapat memberi persetujuan dalam keadaan bebas, ketika berhadapan dengan orang dewasa (orang tua dan keluarga besar) yang menghendakinya menikah. Salah satu alasan meminta dispensasi nikah karena anak telah melakukan hubungan seksual, harusnya tidak dijadikan kebiasaan. Kondisi ini harus disikapi dengan melakukan perbaikan pada sistem pendidikan, agar anak dapat terhindar dari melakukan aktivitas seksual. Keinginan keluarga untuk menutupi rasa malu, tidak boleh dilakukan dengan mengurangi hak anak perempuan atas pendidikan.

(15)

15 Kawin dibawah umur adalah juga salah satu pernyebab perceraian sebagaimana data PA berikut ini.

Berdasarkan kebijakan yang berlaku, maka PA membuat kategorisasi perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebab perceraian, yaitu: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, kekejaman jasmani, kekejaman mental, dihukum, cacat biologis, politis, gugatan pihak ketiga, dan tidak ada keharmonisan. Adapun kategori lain-lain termasuk namun tidak terbatas pada perilaku seperti menghabiskan waktu dengan bermain games, pengaruh jejaring sosial, gaya hubungan intim yang tidak disepakati, dan lain sebagainya.

Grafik/tabel “penyebab perceraian menurut kategorisasi PA menunjukan bahwa dari 15 kategori penyebab perceraian tahun 2016 ada tiga kategori terbesar yaitu tidak ada keharmonisan 31% (76.975), tidak ada tanggung jawab 25% (60.370) dan ekonomi 23% (57.604). Trend “tiga besar” penyebab perceraian sama dengan tahun sebelumnya. Catahu Komnas Perempuan tahun 2016 menunjukkan dari 15 kategori penyebab perceraian pada tahun 2015 ada tiga kategori terbesar yaitu tidak ada keharmonisan 32% (97.418), tidak ada tanggung jawab 24% (73.996) dan ekonomi 22% (66.024). Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 menunjukkan pada tahun 2014 kategori tidak ada keharmonisan 31%, tidak ada tanggung jawab 24% dan ekonomi 22%. Dan catahu Komnas Perempuan tahun 2014 menunjukkan pada tahun 2013 kategori tidak ada keharmonisan (29%), tidak ada tanggung jawab (23%), dan faktor ekonomi (18%). Adapun tahun 2012 menunjukkan trend yang berbeda yaitu angka poligami tidak sehat mencapai 23%, tidak ada keharmonisan 18% dan faktor ekonomi 16% (Catahu Komnas Perempuan, 2013).

Selain data tiga besar tersebut, perlu dicermati data perceraian yang disebabkan oleh kekejaman jasmani sebanyak 3.984 kasus, kekejaman mental 605 kasus, kawin di bawah umur 312 kasus dan kawin paksa 1.340 kasus. Kategori kekejaman jasmani dan mental termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dimana sangat mungkin jumlah tersebut hanya pucuk gunung es dari

5.451 8.550 4.011 1.340 57.604 60.370 312 3.984 605 960 717 764 15.656 76.975 8.249

Poligami tidak sehat Krisis Akhlak Cemburu Kawin Paksa Ekonomi Tidak Ada Tanggung Jawab Kawin Di Bawah Umur Kekejaman Jasmani Kekejaman Mental Dihukum Cacat Biologis Politis Gangguan Pihak Ketiga Tidak Ada Keharmonisan lain-lain

Penyebab Perceraian Menurut Kategorisasi PA

(n= 245.548)

(16)

16 penyebab perceraian dengan akar masalah KDRT. Demikian pula jumlah yang kecil untuk kategori kawin di bawah umur dan kawin paksa adalah pucuk gunung es dari kekerasan seksual.

Tabel berikut ini menunjukan data per provinsi tentang kategorisasi perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebabnya.

Adapun data tiga besar penyebab perceraian yang dirinci per provinsi adalah sbb: Provinsi Tidak Harmonis Ekonomi Tidak Tanggung Jawab Gangguan Pihak Ketiga Aceh 1,850 75 681 50 Sumut 2,295 201 2,561 275 Sumbar 1,510 134 649 143 Riau 3,440 401 2,002 364 Jambi 833 180 379 97 Sumsel 1,188 165 876 208 Bengkulu 1,632 61 187 27 Lampung 1,370 1558 811 232 Babel 95 22 37 54 DKI 1,872 863 1,770 1,647 Jabar 12,739 17,329 6792 1,502 Banten 3,106 303 688 364 Jateng 12,821 14,666 22,232 2,538 DIY 1,740 397 1236 392 Jatim 18,241 19,442 14,355 5,705 NTB dan Bali 1,198 333 1044 255 NTT 22 4 6 11 Kalbar 1,378 232 347 253 Kaltim 2,199 237 738 346 Kalteng 815 128 479 88 Kalsel 2,380 361 341 416 Sulut 178 0 21 30 Gorontalo 576 27 211 56 Sulteng 341 14 115 121 Sultra 593 42 482 55 Sulsel 2,133 403 1082 322 Maluku 19 0 3 3 Maluku Utara 21 2 64 4 Papua 390 24 181 98 Jumlah 76,975 57,604 60,370 15,656

(17)

17 Tabel di atas menunjukan data penyebab perceraian terbanyak menurut provinsi. “Tiga besar” provinsi dengan penyebab perceraian “tidak ada keharmonisan” adalah Jawa Timur (18.421), Jawa Tengah (12.821), dan Jawa Barat (12.739). Data dalam tabel tersebut konsisten dengan data nasional, dimana di tingkat nasional dan di sebagian besar provinsi kategori “tidak ada keharmonisan” menempati jumlah terbesar dibandingkan kategori lain.

Persentase terbesar “tidak ada keharmonisan” sebesar 31% secara nasional dan di sebagian besar provinsi dimungkinkan mencakup pula KDRT dan kekerasan seksual, dimana penggugat cerai (istri) sungkan mengemukakan alasan sesungguhnya karena faktor budaya patriarki, tekanan sosial, tidak ingin disalahkan dan sulitnya pembuktian. Di provinsi tertentu seperti Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimatan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, penyebab perceraian “tidak ada keharmonisan” relatif mencolok jumlahnya dibandingkan kategori lain. Terminologi yang digunakan PA dalam kategorisasi penyebab perceraian menunjukan sebuah fenomena penghalusan peristilahan yang dilakukan oleh negara yang berdampak mengaburkan penyebab sesungguhnya dari perceraian.

Terdapat kategori penyebab perceraian “kekejaman jasmani” sebanyak 3.984 kasus (2%) dan “kekejaman mental” sebanyak 605 kasus (0,2%). Meski jumlah kasus kedua kategori tersebut relatif kecil dibandingkan kategori lain namun merupakan bukti faktor kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyebab perceraian. Kategori lain seperti “tidak ada keharmonisan” dan “tidak tanggung jawab” bermakna luas, banyak hal dapat tercakup didalamnya termasuk KDRT.

Situasi di atas melahirkan pekerjaan rumah bagi pemerintah dan aktifis perempuan untuk tidak terpaku hanya pada data yang bisa jadi tidak mencerminkan realitas sesungguhnya dalam hal fenomena kekerasan di ranah personal yang berkontribusi terhadap perceraian.

(18)

18

Data KTP Lembaga Mitra Pengada Layanan

Grafik di atas menunjukan data dari 233 lembaga mitra dari seluruh Indonesia. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhasil didokumentasikan mencapai 13.602 kasus. Terdapat tiga provinsi dengan jumlah kasus tertinggi yaitu: DKI Jakarta 18% (2.552), Jawa Timur 12%(1.635), dan Jawa Barat 10% (1.377). Tiga provinsi tertinggi dengan jumlah kasus data KtP yang terdokumentasi adalah provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Secara umum infrastruktur fisik dan ketersediaan sumber daya manusia di Pulau Jawa umumnya dan di ketiga provinsi tersebut khususnya relatif baik. Demikian pula kesadaran masyarakat tentang KtP di Pulau Jawa dan di

967 942 216 209 247 271 190 250 121 41 2.552 1.377 210 1.123 648 1.635 85 186 300 267 281 76 222 0 0 0 150 19 467 300 191 46 0 13 Aceh Sumut Sumbar Keppri Riau Babel Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kaltim Kalteng Kalsel Kaltara Sulut Gorontalo Sulteng Sulbar Sultra Sulsel Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat

Data KTP Lembaga Layanan Menurut Provinsi (n= 13.602) CATAHU 2017

(19)

19 ketiga provinsi tersebut juga relatif baik karena paparan media komunikasi dan kampanye KtP yang relatif baik pula.

Ada empat provinsi dengan jumlah KtP tercatat nol kasus yaitu Papua, Gorontalo, Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara. Komnas Perempuan mengirimkan formulir pendataan kepada delapan lembaga di Papua, empat lembaga di Gorontalo, dua lembaga di Kalimantan Utara dan tujuh lembaga di Sulawesi Utara namun tidak mendapat respon. Dengan kata lain Komnas Perempuan tidak menerima formulir data dari empat provinsi tersebut sehingga dalam grafik diatas tertulis di masing-masing provinsi tersebut nol kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian jumlah nol tidak dapat diartikan tidak ada kekerasan terhadap perempuan di ke-empat provinsi tersebut.

Berdasarkan kondisi di atas, data dalam grafik dan tabel di atas perlu dibaca secara kontekstual, tidak tekstual hitam putih. Sangat mungkin KtP di ke-empat provinsi Papua, Gorontalo, Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara dalam kenyataannya lebih tinggi dari provinsi lain. Demikian pula di berbagai provinsi, data KtP yang terdokumentasi adalah pucuk gunung es semata. Lembaga pengada layanan di berbagai provinsi berbeda pula dalam hal kuantitas dan kualitas sumber daya dan infrastruktur yang mempengaruhi pelaporan dan pendokumentasikan kasus-kasus KtP. Jumlah kasus KtP yang ditangani lembaga mitra dapat di lihat pada grafik berikut:

Tiga lembaga layanan yang terbanyak menangani kasus KtP pada tahun 2016: adalah OMS/LSM 27% (3.677), UPPPA/kepolisian 20% (2.774), P2TP2A 16% (2.164). Dibandingkan dengan data lembaga layanan yang terbanyak menangani kasus KtP pada tahun 2015, UPPPA/kepolisian berada pada peringkat pertama dengan persetase 31% (5.107), WCC pada posisi kedua 26% (4,145) dan RS pada posisi ketiga 19% (3.066).

1.399 2.774 1.323 986 3.677 2.164 261 962 56 PN UPPA RS WCC OMS/LSM P2TP2A BPPKB PPT RPTC

Data KTP Menurut Lembaga Layanan

(n= 13.602) CATAHU 2017

(20)

20 Jumlah terbesar sumber kasus adalah korban sendiri yang melapor sebanyak 2.649 kasus, diikuti lembaga pengada layanan 1.061 kasus dan laporan melalui telepon/nomor hotline 647 kasus. Hanya ada 9 kasus yang bersumber dari masyarakat.

Data diatas merupakan indikasi tingginya kesadaran korban untuk mendapatkan keadilan dengan bertindak pro aktif melaporkan langsung kasus kekerasan yang dialaminya atau melalui telepon/nomor hotline. Demikian pula lembaga pengada layanan menjadi sumber rujukan kasus kekerasan terhadap perempuan. Minimnya jumlah kasus yang bersumber dari masyarakat cukup memprihatinkan. Kemungkinan yang ada adalah masyarakat tidak tahu adanya kekerasan terhadap perempuan atau masyarakat merasa kurang peduli/tidak tahu kemana harus melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Perlu dilakukan upaya peningkatan kepedulian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari sisi lembaga layanan, tiga terbesar adalah dari LSM/OMS sebanyak 2.759 kasus, UPPA/kepolisian 923 kasus, WCC 647 kasus dan P2TP2A 509 kasus. Dengan demikian LSM/OMS masih menjadi sumber kasus terbesar dibandingkan lembaga pemerintah (UPPA, P2TP2A). ru ju kan Te lf o n /h o tlin e m ed ia m as sa sak si/p e lap o r ko rb an s en d iri kelua rga ko rb an o u treach ta ta p m u ka su ra t m as yara ka t su m b er lain p u sat k es eh at an m asya ra ka t

Sumber Kasus Lembaga Layanan CATAHU 2017

PN UPPA RS WCC LSM/OMS P2TP2A BPPKB PPT Jumlah

(21)

21

POLA KTP TAHUN 2016

Pola kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan dapat dilihat dalam diagram di atas. KtP yang tertinggi terjadi di ranah rumah tangga/personal dengan persentase 75% (10.205). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 22% (3.092) dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 3% (305).

Pola tersebut sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016. KtP yang tertinggi terjadi di ranah rumah tangga/personal dengan persentase 69% (11.207). Posisi kedua KtP di ranah komunitas dengan persentase 31% (5.002) dan terakhir adalah KtP di ranah negara tercatat 8 kasus. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 mencatat laporan kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga dan relasi personal berjumlah 8.626 (68%), ranah komunitas 3.860 (29%), dan kekerasan yang terjadi di ranah negara adalah 24 kasus.

KDRT/RP 75% Komunitas 23% Negara 2% KTP menurut Ranah (n=13.602) CATAHU 2017

(22)

22

Kekerasan terhadap Perempuan di ranah KDRT/RP

Di ranah KDRT/RP jumlah kekerasan terhadap perempuan tercatat 10.205. Dari jumlah tersebut kekerasan terhadap istri (KTI) menempati persentase tertinggi yaitu 57% (5.784), diikuti kekerasan dalam pacaran (KDP) 21% (2.171) , kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 18% (1.799). Sisanya adalah kekerasan mantan suami (KMS), mantan pacar (KMP), pekerja rumah tangga (PRT) dan ranah personal lain.

Pola ini kurang lebih sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016 yang mencatat laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah rumah tangga dan atau relasi personal pada tahun 2015 adalah 11.207 kasus. Dari jumlah tersebut kekerasan terhadap istri (KTI) sebesar 60%, kekerasan dalam pacaran (KDP) 24%, kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 8%. Demikian pula catahu Komnas Perempuan tahun 2015 mencatat persentase 59% KTI, 21% KDP, 10% KTAP. Beberapa kali Komnas Perempuan menegaskan, tingginya persentase kasus kekerasan terhadap istri (KTI) menunjukan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan. Ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan. Meskipun sudah ada payung hukum UU PKDRT nomor 23 Tahun 2004, di tingkat implementasi banyak hal harus dibenahi agar tidak kontra produktif seperti misalnya istri yang melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya malah dituntut balik oleh pihak suami.

Tingginya kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal, termasuk didalamnya tingginya kasus kekerasan terhadap istri mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU PKDRT nomor 23/2004. Saat ini telah tersedia instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengada layanan serta didukung oleh UN Women. Komnas Perempuan mendorong pihak terkait untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh terkait implementasi UU tersebut.

Posisi kedua adalah kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Secara substantif KTI dan KDP adalah sama-sama bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal dimana pelaku dan korban berada dalam hubungan asmara. Perbedaan KTI dan KDP terletak pada status hukum pelaku dan korban. Dalam KTI status mereka adalah suami dan istri, dalam KDP status mereka adalah pacar.

KTI; 5.784 KDP; 2.171 KTAP; 1.799 KMS; 79 KMP; 17 PRT; 106 RP LAIN; 249 Jenis KTP di Ranah KDRT/RP (n=10.205) CATAHU 2017

(23)

23 Terjadi peningkatan persentase kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) pada tahun 2016 yaitu 18%, dibandingkan tahun 2015 8% dan tahun 2014 10%. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak termasuk jika diperlukan melihat efektifitas UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Di ranah rumah tangga/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495), kekerasan psikis 14% (1.451) dan kekerasan ekonomi 10% (978). Pola ini sama dengan catahu Komnas Perempuan tahun 2016 yang mencatat pada tahun 2015 kekerasan fisik menempati peringkat pertama dengan persentase 38% (4.304), diikuti dengan kekerasan seksual 30% (3.325), kekerasan psikis 23% (2.607) dan ekonomi 9% (971).

Secara khusus bentuk dan jumlah kekerasan seksual di ranah personal ditampilkan dalam grafik berikut ini yang memperlihatkan tiga bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 1389 kasus, pencabulan 1.266 kasus dan eksploitasi seksual 578 kasus.

Fisik 42% Seksual 34% Psikis 14% ekonomi 10% Bentuk KTP di Ranah KDRT/RP (n=10.205) CATAHU 2017

(24)

24 Tingginya jumlah perkosaan dalam relasi personal patut dicermati lebih jauh. Hal ini mengindikasikan lebih banyak perempuan korban berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya yang terjadi di ranah rumah tangga/personal.

Secara umum konsep perkosaan dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam tataran norma sosial budaya masyarakat. Banyak ceramah agama, nasehat perkawinan masih bersifat “konvensional” yaitu selalu menekankan pentingnya seorang istri patuh pada suami dan melayani hasrat seksual suami tanpa syarat. Namun kampanye anti kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan berbagai pihak berdampak positif terhadap perempuan khususnya dalam pergeseran cara pandang persoalan KtP umumnya dan persoalan kekerasan seksual khusunya. Kekerasan seksual di dalam rumah tangga secara bertahap dipandang bukan semata persoalan privat melainkan masalah kriminal yang perlu ditangani dengan benar guna memberikan keadilan kepada korban. Pada tataran kebijakan, perkosaan dalam perkawinan diatur dalam UU nomor 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal 8 sebagai berikut:

Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Meski sudah ada jaminan UU, perlu cara pandang berperspektif gender pada aparat penegak hukum, agar UU tersebut – dalam hal ini pasal 8 – dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya dan membawa keadilan bagi korban. Patut diduga bahwa dalam kategori kekerasan fisik dan psikis, didalamnya termasuk pula kekerasan seksual yang tidak diungkapkan secara terbuka oleh korban. Jika ada kecenderungan demikian, maka lembaga pengada layanan perlu melakukan penanganan lebih komprehensif dan menyeluruh, sejak awal pendokumentasian/pencatatan laporan sampai dengan penanganan dan pemulihan korban.

pencabulan perkosaan percobaan perkosaan Persetubuhan / Eksploitasi seksual pelecehan seksual Marital Rape melarikan anak perempuan kekerasan seksual lain

1266 1389 1 578 104 135 17 5

Bentuk Kekerasan Seksual di Ranah KDRT/Relasi Personal

(n=3.495) CATAHU 2017

(25)

25 Dari sisi pelaku kekerasan seksual di ranah personal jumlah terbesar adalah pacar 2.017 kasus. Tingginya jumlah pelaku kekerasan seksual yang berstatus pacar sejalan dengan fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) yang dalam tiga tahun terakhir pendokumentasian catahu Komnas Perempuan menempati peringkat kedua setelah kekerasan terhadap istri. Tidak ada payung hukum bagi pelaku dan korban yang berstatus pacar, sehingga UU nomor 23/2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus KDP. Payung hukum lain tidak memadai bagi korban untuk mendapatkan keadilan. Dalam kasus KDP yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah, perempuan adalah korban yang mengalami beban berlipat akibat stigma sosial, dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan keluarga dan menjadi orang tua tunggal.

Peringkat kedua adalah kasus incest 1.265 kasus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia incest (atau inses) adalah ”hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara dekat yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama”. Dalam pendataan Komnas Perempuan kasus-kasus incest yang dilaporkan melibatkan pelaku ayah kandung, paman, kakek, sepupu, keponakan, saudara kandung (kakak).

Incest Majikan Mantan Suami Suami Pacar Mantan Pacar Pengasuh Anak Pacar Ibu PRT laki - laki 1.265 57 4 135 2.017 12 3 1 1

Pelaku Kekerasan Seksual Ranah KDRT/Relasi

Personal Lain (n=3.495) CATAHU 2017

(26)

26

Kekerasan terhadap perempuan di Ranah Komunitas

Pada tahun 2016 ada empat jenis kekerasan di ranah komunitas, diurutkan dari yang tertinggi yaitu kekerasan seksual 2.270 kasus (74%), fisik 490 kasus (16%) 490, khusus 229 kasus (7%) dan psikis 83 kasus (3%). Di antara kekerasan seksual, perkosaan adalah yang tertinggi yaitu 1.036 kasus (46%), diikuti pencabulan 838 kasus (37%).

Pada tahun sebelumnya (2015) urutan tertinggi hingga terendah yaitu kekerasan seksual 61%, kekerasan fisik 23%, kekerasan psikis 3%, kekerasan ekonomi 1%, dan jenis yang dikategorikan sebagai lain-lain 10% (Catahu Komnas Perempuan 2016).

Pola diatas berbeda dengan tahun 2014 yang mencatat kekerasan di ranah komunitas, diurutkan dari yang tertinggi hingga terendah yaitu yaitu seksual (56%), psikis (1%), fisik (23%), ekonomi (7 kasus), dan jenis yang dikategorikan sebagai lain-lain (14%) (Catahu Komnas Perempuan, 2015).

Seksual 74% Fisik 16% Psikis 3% Migran 3% Trafiking 4%

Bentuk KTP Ranah Komunitas (n= 3.092) CATAHU 2017

(27)

27 Secara lebih terinci bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat di lihat pada grafik di bawah ini:

Kategori “kekerasan seksual lain” (KS lain) dibuat karena sebagian data yang dikirimkan lembaga pengada layanan tidak menjelaskan secara persis bentuk kekerasan seksual yang dialami korban. Selain itu lembaga layanan masih mengacu kepada KUHP, padahal ada UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU perlindungan anak, UU penghapusan perdagangan manusia yang mengatur kekerasan seksual dalam makna yang lebih luas dari KUHP.

Dengan demikian selama tiga tahun berturut-turut kekerasan seksual adalah yang tertinggi dibanding kekerasan lain di ranah komunitas. Kembali data ini menunjukan urgensi segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini menjadi salah satu RUU dalam prolegnas.

Kekerasan fisik meliputi penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, lain-lain. Penganiayaan merupakan bentuk kekerasan fisik yang tercatat paling tinggi di antara bentuk yang lain tercatat 257 kasus (52%), diikuti pemukulan 198 kasus (40%). Sedangkan jenis kekerasan ranah komunitas dikategorikan dalam kategori lain-lain mencakup trafiking dan kekerasan yang dialami pekerja migran. 838 1.036 111 251 1 31 22 257 198 8 27 14 69 90 139 Pencabulan Perkosaan Percobaan Perkosaan Pelecehan Seksual Melarikan Anak Persetubuhan KS Lain Penganiayaan Pemukulan Pembunuhan Kekerasan Fisik Lain Pengancaman Psikis lain Migran Trafiking Se ksua l FIS IK Ps ikis Kh u su s

Jenis dan Bentuk KTP Ranah Komunitas (n=3.092)

CATAHU 2017

(28)

28 Tabel diatas menunjukan jenis KtP di ranah komunitas menurut lembaga mitra yang terbanyak menerima laporan KtP adalah pada peringkat pertama kekerasan seksual, di susul dengan kekerasan fisik, kekerasan psikis dan jenis khusus. Data ini konsisten dengan data sebelumnya (jenis dan bentuk KtP ranah komunitas) dimana kekerasan seksual adalah yang tertinggi, diikuti kekerasan fisik. Dengan demikian pelaporan kepada lembaga layanan memiliki pola yang sama. Dua lembaga yang paling banyak menerima pengaduan kekerasan seksual adalah UPPA sebanyak 514 kasus, LSM/OMS 415 kasus dan P2TP2A sebanyak 314 kasus. Tingginya jumlah pelaporan kekerasan seksual di berbagai lembaga layanan kembali menegaskan urgensi disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual.

PN UPPA RS WCC LSM/OM S P2TP2A BPPKB PPT RPTC Seksual 488 514 165 137 415 314 83 169 0 Fisik 89 130 139 1 91 14 0 26 0 Psikis 9 17 0 4 47 1 2 3 0 Buruh Migran 90 Trafiking 17 20 2 8 44 14 0 7 27

Jenis KTP Ranah Komunitas menurut Lembaga Layanan

(n=3.092) CATAHU 2017

(29)

29

KARAKTERISTIK KORBAN DAN PELAKU Usia Korban & Pelaku

Berdasarkan grafik di atas pada tahun 2016 di ranah rumah tangga/personal jumlah tertinggi korban adalah pada rentang usia 25-40 tahun yaitu 3.044 orang (30%), diikuti usia 13-18 tahun 2.253 orang (22%) dan tidak teridentifikasi 1.550 orang (15%). Adapun jumlah tertinggi pelaku adalah pada rentang usia 25-40 tahun 3.315 (32%), diikuti tidak teridentifikasi 3.192 orang (31%) dan rentang usia 19-24 tahun 1.458 orang (14%).

Pola ini sama dengan tahun 2015 di ranah rumah tangga/personal (KDRT/RP), angka tertinggi pelaku dan korban KtP adalah pada rentang usia 25-40 tahun, yaitu sebagai korban 3.384 dan sebagai pelaku 3.460. Menyusul pada posisi kedua pada rentang usia 19-24 tahun, sebagai korban 1.349 dan sebagai pelaku 1.428.

Terdapat perbedaan mencolok antara pelaku dan korban KtP pada tahun 2016 pada rentang usia 13-18 tahun, dimana tercatat sebagai korban 2.253 orang (22%), sebagai pelaku 714 orang (7%). Demikian pula pada tahun 2015 tercatat 2.267 orang sebagai korban dan dan 859 orang sebagai pelaku (Catahu Komnas Perempuan, 2016)

Sama halnya dengan usia korban dan pelaku KtP di ranah personal, ranah komunitas memiliki pola yang sama. Pada tahun 2016 angka tertinggi korban adalah pada rentang usia 13-18 tahun yaitu 1.127 orang (36%), sedangkan angka tertinggi pelaku pada rentang usia 25-40 tahun yaitu 922 orang (30%).

Dalam dua tahun terakhir, tingginya jumlah korban pada rentang usia 13-18 tahun mengindikasikan kecenderungan semakin mudanya usia korban KtP. Di sisi lain pelaku KtP didominasi rentang usia 25-40 tahun. Perbedaan usia terkait dengan ketimpangan kuasa dimana pelaku orang dewasa (25-40 tahun) relatif memiliki kuasa lebih besar saat berhadapan dengan korban anak-anak (13-18 tahun).

<5 th 6-12 th 13-18 th 19-24 th 25-40 th >40th

Usia Korban dan Pelaku KDRT

CATAHU 2017

Pelaku Korban <5 th 6-12 th 13-18 th 19-24 th 25-40 th >40th Tidak…

Usia Korban dan Pelaku Kekerasan Ranah Komunitas

CATAHU 2017

Pelaku Korban

(30)

30 Pada rentang usia usia 13-18, 6-12 dan <5 tahun tahun terdapat perbedaan mencolok dalam hal jumlah korban dan pelaku.

Di ranah personal, dalam rentang usia 13-18 tahun tercatat korban 2.253 orang (22%) dan pelaku 714 orang (7%), dalam rentang usia 6-12 tahun tercatat 963 orang (9%) dan pelaku 114 orang (1%), dan dalam rentang usia dibawah lima tahun tercatat korban 209 orang (2%) dan pelaku nol. Di ranah komunitas dalam rentang usia 13-18 tahun tercatat korban 1.127 orang (36%) dan pelaku 318 orang (10%), dalam rentang usia 6-12 tahun tercatat korban 506 orang (165) dan pelaku 55 orang (2%), dan dalam rentang usia dibawah lima tahun tercatat korban 138 orang(4%) dan pelaku satu orang.

Data korban pada rentang usia 13-18, 6-12 dan dibawah lima tahun mengukuhkan kecenderungan korban KtP yang semakin muda. Data ini juga menunjukan bahwa remaja dan anak perempuan rentan mengalami kekerasan karena relasi orang dewasa versus anak-anak dan relasi gender yang timpang, serta lemahnya penegakan hukum yang membawa keadilan kepada korban. Di satu sisi usia korban yang semakin muda menjadi keprihatinan tersendiri. Di sisi lain masyarakat seringkali bersikap mendua. Pada umumnya masyarakat lebih memaklumi dan tidak menstigma saat yang menjadi korban kekerasan adalah perempuan pada usia anak-anak.

Lain halnya saat yang menjadi korban adalah perempuan dewasa – di mana di ranah personal jumlah mereka (25-40 tahun) adalah mayoritas (30%) - maka besar ketidakberpihakan kepada mereka. Sebaliknya kental nuansa menyalahkan dan memberi stigma kepada perempuan dewasa yang menjadi korban kekerasan.

(31)

31

Tingkat Pendidikan Korban & Pelaku

Pada tahun 2016 di ranah rumah tangga/personal jumlah tertinggi korban 3.032 (30%) dan pelaku 3.074 (30%) berpendidikan SLTA, posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu 2.150 korban (21%) dan 1.681 pelaku (16%). Pola ini sama dengan tahun 2015 dimana kategori pendidikan tertinggi korban dan pelaku adalah pada tingkat pendidikan SLTA yaitu korban (3.433) dan pelaku (2.992), posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu korban (1.882) dan pelaku (1892).

Pada tahun 2016 di ranah komunitas, korban didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTP 852 orang (28%), sedang pendidikan pelaku jumlah terbesar adalah pada kategori tidak teridentifikasi 956 orang (31%). Pada tahun 2015 kategori pendidikan tertinggi korban dan pelaku adalah pada tingkat pendidikan SLTA yaitu korban (1.179) dan pelaku (1.303). Posisi kedua adalah pada tingkat pendidikan SLTP yaitu korban (903) dan pelaku (540).

Di ranah personal, korban dan pelaku cenderung terkonsentrasi pada tingkat pendidikan SD-SLTA. Sedangkan di ranah komunitas pendidikan korban dan pelaku menyebar lebih luas pada tingkat pendidikan SD-PT, kategori lain dan mereka yang tidak teridentifikasi. Dapat dimaknai tingkat pendidikan tidak selalu berkorelasi positif terhadap kerentanan seorang perempuan untuk menjadi korban. Demikian pula tingkat pendidikan tidak terlalu terkait dengan tinggi rendahnya kemungkinan seorang laki-laki menjadi pelaku.

tidak sekolah <SD SD SLTP SLTA PT Lainnya tidak…

Pendidikan Korban dan

Pelaku KDRT

CATAHU 2017

Pelaku Korban tidak sekolah <SD SD SLTP SLTA PT Lainnya tidak…

Pendidikan Korban dan

Pelaku Ranah Komunitas

CATAHU 2017

Pelaku Korban

(32)

32

Profesi Korban & Pelaku

Dari segi profesi pada tahun 2016 korban KtP, kekerasan di ranah personal paling banyak terjadi pada IRT 3.152 orang (31%). Sama halnya pada tahun 2015 korban KtP di ranah personal lain banyak terjadi pada IRT (3.298). Posisi IRT yang secara finansial tergantung kepada suami memperburuk ketimpangan gender dan berkontribusi terhadap tingginya KtP yang menimpa para IRT tersebut.

Profesi pelajar juga rentan menjadi korban. Pada tahun 2016 di ranah personal pelajar menempati posisi kedua setelah IRT yaitu 1.988 pelajar (19%) yang menjadi korban KtP. Sama halnya dengan tahun 2015 posisi kedua adalah juga pelajar dengan jumlah 2.201. Pelajar sebagian besar berstatus anak yang bergantung secara ekonomi kepada orang dewasa. Ketergantungan mereka ditengarai sebagai salah satu faktor yang mendorong terjadinya KtP.

77 556 2021 287 161 5 4 127 679 445 459 1193 4191 IRT Tdk bekerja karyawan swasta PNS Guru Tokoh Agama DPR/DPRD TNI/Polri Wirausaha Pelajar Petani Lainnya Tidak Teridentifikasi

Profesi Korban dan Pelaku KDRT CATAHU 2017

Pelaku Korban

(33)

33 Untuk tahun 2016 di ranah komuniatas kekerasan tertinggi dari sisi korban adalah mereka yang berprofesi pelajar yaitu 1.415 orang (46%) sedangkan profesi pelaku yang tertinggi adalah tidak teridentifikasi yaitu 1.119 (36%). Pada tahun 2015 di ranah komunitas, kekerasan tertinggi dari sisi korban adalah juga yang pelajar (1.518).

Kekerasan terhadap pelajar ini terjadi di sekolah, di angkutan umum dan di tempat-tempat publik lainnya. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus orang tua, guru, pemerintah dan masyarakat agar melakukan usaha yang lebih serius dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap pelajar di ranah komunitas. Sekolah perlu pula merespon kekerasan yang dialami korban, sehingga korban tidak takut melapor dan mendapatkan dukungan.

Kekerasan terhadap perempuan di Ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara

Wilayah Kasus Jumlah

DKI Jakarta Penggusuran 304

Jawa Tengah Konflik SDA Petani melawan Perhutani 1

Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah yang menjadi tanggung jawab negara datang dari pendokumentasian lembaga pengada layanan di Jakarta. 304 orang adalah kasus penggusuran di Jakarta tepatnya di Cakung, Cilincing. 1 kasus lagi datang dari Jawa Tengah konflik sumberdaya alam antara Perhutani dengan petani. Elaborasi data kekerasan negara akan lebih dalam di bahas pada bagian pengaduan langsung ke Komnas Perempuan.

IRT Tdk bekerja karyawan swasta PNS Guru Tokoh Agama DPR/DPRD TNI/Polri Wirausaha Pelajar Petani Lainnya Tidak Teridentifikasi

Profesi Korban dan Pelaku Ranah Komunitas CATAHU 2017

Pelaku Korban

Gambar

Tabel berikut ini menunjukan data per provinsi tentang kategorisasi perkara perceraian yang sudah  mendapatkan akta cerai berdasarkan penyebabnya
Grafik  di  atas  menunjukan  data  dari  233  lembaga  mitra  dari  seluruh  Indonesia
Tabel diatas menunjukan jenis KtP di ranah komunitas menurut lembaga mitra yang terbanyak  menerima  laporan  KtP  adalah  pada  peringkat  pertama  kekerasan  seksual,  di  susul  dengan  kekerasan fisik, kekerasan psikis dan jenis khusus
Tabel 2. Kekerasan dalam ranah Negara
+3

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya pengaruhnya terhadap bobot kering tanaman, tepung tulang dengan diameter &lt;250 μm menghasilkan rataan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi,

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh penulis, selanjutnya akan dibahas terkait dengan pengelolaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Nurul Huda

Seperti yang di kemukakan oleh DeFleur di atas, maka implementasinya kedalam Penelitian ini adalah dimana musisi sebagai sumber dalam mempromosikan dan mempublikasikan

- Jangan sekali-kali menggunakan aksesori atau komponen apa pun dari produsen lain atau yang tidak secara khusus direkomendasikan oleh Philips.. Jika Anda menggunakan aksesori

Adanya pramuniaga diharapkan akan mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian impulsif (impulse buying) sehingga dapat meningkatkan penjualan. Pramuniaga tersebut

58 TREATH (T) Ancaman Eksternal 1) Banyaknya Bank lain sekarang juga Memiliki produk KPR membuat BTN Syariah Kc.Medan terancam kehilangan nasabah. 2) Adanya pemberian

Pada Tahun 2017 salah satu SDM Bapelkes Batam mengembangkan kompetensi dengan meningkatkan jenjang pendidikan S2 melalui program tugas belajar. Selain

Semua parameter hasil ekstraksi ciri Color Matching digunakan untuk melakukan deteksi tingkat warna kuning telur ayam kualitas pucat, mulai menguning, kuning, sangat kuning