• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAJUAN DAN HAMBATAN DALAM PENANGANAN DAN PENCEGAHAN

Jumlah Pengaduan ke Komnas Perempuan sepanjang 2016 CATAHU 2017

KEMAJUAN DAN HAMBATAN DALAM PENANGANAN DAN PENCEGAHAN

KEMAJUAN DAN HAMBATAN DALAM PENANGANAN DAN PENCEGAHAN

Kebijakan

Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan Tantangan Advokasi

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah rancangan kebijakan yang diharapkan mampu mewujudkan tanggung jawab negara untuk melindungi korban kekerasan seksual, termasuk dari beragam bentuk kekerasan seksual yang selama ini belum dikenali oleh peraturan perundang-undangan.30 Atas desakan dari berbagai pihak, tak terkecuali Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, RUU ini akhirnya tercatat dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2016. RUU ini menempati urutan ke-41 dari 57. Dorongan ini tidak lepas dari desakan gerakan perempuan yang menyuarakan keprihatinan terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa YY di Bengkulu pada bulan April 2016. Keprihatinan itu disambut oleh sejumlah anggota DPR RI yang pada bulan Mei 2016 menyuarakan agar RUU ini segera masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016. Pada tahun yang sama, Komite III DPD RI juga memberikan perhatian terhadap RUU ini dengan membentuk tim ahli bersama Komnas Perempuan untuk merampungkan penyusunan draft Naskah Akademik dan RUU ini.

Namun demikian, sekalipun RUU ini masuk dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2016, Pembahasan Tingkat I atas RUU tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, pada bulan Oktober 2016, sejumlah anggota parlemen menyampaikan desakan kepada Badan Legislasi DPR RI agar RUU ini segera dibahas. Hingga akhirnya dalam Daftar Prolegnas Prioritas 2017, RUU ini kembali tercatat dalam daftar dengan menempati nomor 23 dari 49.

Dukungan Publik pada Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekekerasan Seksual

30 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memuat bentuk-bentuk kekerasan seksual serta perlindungan terhadap hak korban yang belum diatur oleh KUHP, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lihat Komnas Perempuan, Kekhususan Rancangan

80 Pasca kasus kekerasan seksual (gang rape) dan pembunuhan pada YY, anak perempuan di Bengkulu, pada April 2016 diangkat oleh media massa, dukungan terhadap Rancangan Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menguat tajam. Bila sebelumnya, Rancangan Undang-Undang ini “hanya” berada pada Program Legislasi Nasional (prolegnas) tambahan 2016, maka setelah kasus tersebut, Rancangan Undang-Undang ini ditetapkan sebagai prioritas nomor satu dalam prolegnas 2016.

Penetapan ini tidak dapat dipisahkan dari menguatnya dukungan publik yang marah atas peristiwa keji tersebut. Dukungan mengalir melalui sejumlah aksi solidaritas di berbagai daerah, penggalangan petisi daring (online) maupun luring (offline).

Gerakan Save Our Sisters (SOS) mengadakan aksi menyalakan tanda bahaya di depan Istana Negara untuk mengingatkan akan adanya ancaman kekerasan seksual. Aksi solidaritas juga mengalir dari daerah ke daerah. Ribuan orang menyalakan lilin sebagai simbol solidaritas untuk YY di Bengkulu, Jombang, Makassar dan daerah-daerah lainnya.

Penggalangan dukungan melalui petisi daring (online) di platform Change.org yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia meraih lebih dari 80.000 tanda tangan dukungan dari masyarakat. Petisi tersebut juga sekaligus mencatatkan diri ke dalam lima besar petisi yang paling banyak mendapat dukungan dari masyarakat di Change.org Indonesia tahun 2016.

Untuk petisi luring (offline), Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual bergerilya dari kampus ke kampus untuk menggalangan dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selama 2016, tercatat lebih dari empat ribu tanda tangan dukungan telah dikumpulkan. Untuk 2017, sepuluh ribu tanda tangan ditargetkan untuk dibawa ke DPR sebagai tanda dukungan dari masyarkat terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semua dukungan ini menandakan bahwa pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dapat ditawar lagi. DPR harus secepatnya membahas dan menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai komitmen Negara dalam melindungi warganya dari ancaman kekerasan seksual.

Penetapan Hutan Adat oleh Presiden Jokowi

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo selaku pemerintah Indonesia menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat yang disampaikan pada tanggal 30 Desember 2016 lalu. Pengakuan kepemilikan hutan adat terhadap masyarakat tradisional merupakan bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia. Masyarakat hukum adat sejak dulu sudah tahu dan bisa menjaga harmoni, hidup manusia dengan alam, dan berdasar kearifan lokal dengan tujuan pelestarian lingkungan31.

Ini merupakan terobosan luar biasa dari Negara yang selama ini lebih memfokuskan pada investasi lokal dan asing dengan memberikan perijinan dan konsesi pada industri ekstraktif dan perkebunan dalam skala luas. Dan pemberian izin konsesi ini dapat menyebabkan degradasi lingkungan dalam jangka panjang, itu berarti mendegradasi sumber penghidupan Masyarakat Hukum Adat (MHA)

31 http://news.okezone.com/read/2016/12/30/337/1579140/jokowi-serahkan-sk-penetapan-hutan-adat-kepada-9-masyarakat-tradisional

81 pada hutan karena 100% kehidupan mereka bergantung di alam. Juga sekaligus menjawab rekomendasi lembaga HAM Negara dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk mengakui Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayahnya.

Tahun 2014 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dengan sejumlah lembaga termasuk Komnas Perempuan menggelar Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawsan Hutan. Inkuiri Nasional adalah suatu pemantauan terhadap masalah hak asasi manusia yang sistematis dimana masyarakat umum diundang untuk berpartisipasi dalam menyikapi Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 No. 35/PUU-X/2012. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini biasa disebut pula MK 35 yang menetapkan hutan adat bukan hutan negara. Di dalam rekomendasinya, Inkuri Adat ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia menata ulang seluruh kebijakan, hukum, politik, keamanan. Perlu dilakukan dengan berbasis kepada perlindungan hak-hak MHA termasuk hak-hak perempuan adat.

Pengesahan Undang Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Tahun 2016 ini merupakan salah satu memontum penting bagi penyadang disabilitas setalah hampir 4 tahun pemerintah telah meratifikansi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), akhirnya di tahun 2016 ini pemerintah mengesahkan UU Penyadang Disabilitas guna perlindungan hak bagi penyandang disabilitas.

Komnas Perempuan mengapresiasi hal tersebut, disisi lain kehadiran UU tersebut belum mampu untuk memberikan perlindungan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan. Dimana dalam UU tersebut belum ada mekanisme perlindungan jika perempuan disabilitas menjadi korban kekerasan, walaupun di dalam UU tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa perempuan dan anak disabilitas rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi berlapis.

Selain itu juga menganai legal capacity (cakap hukum) dalam UU tersebut, penyandang disabilitas belum sepenuhnya dianggap sebagai orang yang cakap hukum, hal ini tentu saja bertenangan dengan CRPD yang menganggap semua penyandang disabilitas sebagai orang yang cakap hukum. Tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh khususnya bagi perempuan disabilitas korban kekerasan, situasi ini tentu saja akan berdampak pada proses hukum yang dijalani oleh perempuan disabilitas. Selain itu pengaturan mengenai panti dan juga resonable accomodation yang hanya di atur dalam Peraturan Presiden.

Untuk itu Komnas Perempuan meminta kepada pemerintah, dalam menyusun peraturan turunan dari UU tersebut harus memperhatikan kebutuhan perempuan disbilitas dan juga membuat mekanisme tambahan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan yang belum masuk ke dalam UU tersebut.

Pendidikan penghayat: Permendikbud No. 27 Tahun 2016

Setelah adanya beberapa kasus yang menimpa anak-anak penghayat kepercayaan dalam dunia pendidikan akibat kebijakan pemerintah yang belum mengakomodir pendidikan agama untuk anak-anak Penghayat sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 tentang Panduan Penilaian Siswa. Pada akhir Agustus 2016, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan

82 Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Komnas Perempuan mengapresiasi atas Permendagri sebagai payung hukum untuk mendapatkan pendidikan agama bagi anak-anak Penghayat Kepercayaan sesuai dengan keyakinannya.

Permendikbud ini berisikan 5 pasal di dalamnya, namun Komnas Perempuan menemukan sejumlah persoalan yang musti dikawal dalam implementasinya. Misalnya: Pertama, siapakah

pendidik untuk pendidikan penghayat ini? Permendikbud ini belum menjawab soal itu hanya menyerahkannya kepada pihak guru agama di sekolah. Kalau ini belum jelas, akan menimbulkan persoalan baru nantinya, anak-anak diajarkan oleh guru yang tidak paham keyakinan dan persoalan yang dialami anak-anak penghayat. sehingga akan ada intimidasi model baru oleh guru2 agama yang bukan bidangnya. Kedua, dalam pasal 2 ayat 3 disebutkan bahwa pembuatan kurikulum

pendidikan penghayat ini diserahkan pada Majlis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) kemudian diserahkan kepada kementrian untuk ditetapkan. MLKI ini ditegaskan dalam pasal 3 yaitu yang sudah berorganisasi dan sudah terdaftar sesuai dengan PUU. Ini akan menimbulkan persoalan baru karena dalam MLKI ini banyak diperankan oleh orang-orang yang secara administrasi kependudukan ikut salah satu dari 6 agama namun mereka masih melaksanakan ritual. Kekhawatiran tidak mengakomodir nilai-nilai yang diyakini oleh siswa2 penghayat sesuai dengan keyakinannya karena masing-masing daerah mempunyai beragam kepercayaan dari penghayat kepercayaan dan tidak semua mempunyai keterwakilan di MLKI karena mereka memilih tidak berorganisasi. Ketiga, akan ada banyak pengaduan dari daerah karena tidak ada ajaran agama

penghayat di sekolah.

Komnas Perempuan akan mengawal sejumlah persoalan di atas. Salah satu yang sudah dan akan dilakukan dengan melakukan diskusi dengan pihak MLKI dan akan dialog langsung dengan bagian kurikulum serta direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian pendidikan dan Kebudayaan.

Upaya Non Diskriminasi dalam Memulihkan Hak Konstitusional Perempuan dalam Perkawinan Campur

IF mengalami diskriminasi karena menikah dengan seorang laki-laki berkewarganegaraan Jepang. Diskriminasi IF berupa penolakan dari pengembang berupa pembatalan surat pesanan pembelian rumah susun. Penolakan ini berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), (3), (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Surat penolakan pembelian dari Pengembang dikuatkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 04/CONS/2014/PN.JKT. Tim, tertanggal 12 November 2014, bahwa tanpa perjanjian kawin maka dapat berakibat batalnya Surat Pesanan sebagai akibat dari tidak terpenuhinya syarat obyektif sahnya suatu perjanjian, atau hilangnya hak IF untuk memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas rumah susun yang telah dibeli dengan lunas.

IF merasa terampas hak-hak konstitusionalnya. Pengajuan permohonan uji materiil diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 11 Mei 201532 melalui Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi dalam menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1), (3) dan (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai: (1) Pada waktu, sebelum

83 dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan, (4) dan selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan putusan MK tersebut telah memberikan memperluas perjanjian perkawinan baik bagi setiap WNI yang menikah baik dengan WNI atau WNI yang menikah dengan WNA untuk dapat membuat perjanjian perkawinan, tidak harus dibuat sebelum atau saat perkawinan, tetapi juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan berlangsung untuk mengatur pemisahan harta dengan pasangannya sesuai dengan kesepakatan bersama, dan sesuai kebutuhan hukum masing-masing pasangan suami-istri. Sehingga kesetaraan haruslah mulai dibangun sebelum perkawinan guna menjamin pihak istri tetap mendapatkan haknya.

Pencanangan Kawasan Pabrik Bebas Pelecehan Seksual di KBN Cakung

Dalam pembukaan peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25/11/16), Komite Perempuan yang terdiri dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Federasi Sektor Umum Indonesia(FSUI), LBH Jakarta dan Perempuan Mahardhika berhasil mendorong Direksi PT. Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung untuk mengupayakan kawasan pabrik bebas dari pelecehan seksual.

Bertempat di Gerbang Utama PT. KBN Cakung, Pencanangan Kawasan Pabrik Bebas Pelecehan Seksual resmi diluncurkan sebagai langkah pencegahan dan penanganan pekerja perempuan menghadapi kasus kekerasan seksual terutama pelecehan seksual di tempat kerja. Hasil survei yang dilakukan FBLP menyatakan bahwa selama setahun terakhir ada 25 korban kekerasan seksual di 15 pabrik. Bentuk kekerasan seksual paling paling besar adalah pelecehan seksual dengan siulan, ditowel, diremas-remas, dipeluk, dan dicium33.

Komnas Perempuan turut hadir dalam pelucuran tersebut dan mendukung upaya Komite Perempuan ini dalam mendorong perusahaan untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap pekerja terutama pekerja perempuan yang rentan kekerasan dan diskriminasi. Terlebih upaya menghapus kekerasan seksual ini juga telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja 03/2011.

#GerakBersama Akhiri Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan bersama sejumlah mitra jejaring kampanye yang tergabung dalam Joint Task Force #GerakBersama meluncurkan Tanda Pagar (Tagar) #GerakBersama di media sosial, sebagai ajakan bagi seluruh masyarakat untuk bergerak bersama mengakhiri kekerasan seksual. Pesan ini diluncurkan bersamaan dengan dimulainya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP) tahun 2016, yang dimulai setiap 25 November. Pesan kunci yang diangkat adalah dengar dan dukung korban, #GerakBersama mendukung Rancangan

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual!

84 Pesan ini ditujukkan secara khusus untuk mendorong komitmen parlemen untuk secepatnya membahas, dan menetapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang saat ini belum juga dimulai pembahasannya. Padahal, naskah akademik, rancangan undang-undang, dan penjelasan telah diserahkan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Juni 2016, yang langsung diterima oleh Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI.

Tagar #GerakBersama mendapat banyak respon positif dari masyarakat. Ada lebih dari dua ribu unggahan, baik itu tulisan, foto maupun video dukungan terhadap kampanye ini yang menggunakan tagar #GerakBersama di Twitter dan Instagram. Tagar tersebut juga berhasil menjangkau lebih dari dua juta impresi. Tagar #GerakBersama juga berhasil menjadi masuk ke dalam sepuluh besar topik yang paling dibicarakan di Indonesia pada 26 November 2016, saat diselenggarakannya acara Telling Untold Stories.

Telling Untold Stories merupakan kegiatan kampanye yang diselenggarakan oleh Joint Task Force #GerakBersama. Acara ini menghadirkan narasi-narasi korban yang selama ini tidak pernah diperdengarkan ke publik. Hadir pula sejumlah public figure yang bercerita tentang mengapa penting bagi kita semua untuk ikut ambil bagian dalam gerak bersama ini.

Selain tagar, website #GerakBersama juga diluncurkan sebagai wadah yang berisi segala hal tentang kampanye ini, mulai dari info kampanye, cara mendukung, sampai progres Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Website tersebut dapat diakses di www.gerakbersama.org

Hambatan

Respon Kekerasan Seksual menjadi Perpu Kebiri

Meningkatnya kasus kekerasan seksual, terutama pada anak, menjadikan Komnas Perlindungan Anak mendeklarasikan tahun 2013 sebagai tahun darurat kekerasan seksual, namun saat itu belum ada respon dari pihak pemerintah untuk menangani masalah kekerasan seksual secara serius. Isu kekerasan seksual, terutama pada anak, kembali mengemuka pada tahun 2016 dengan terjadinya dua kasus perkosaan yang sadis (kasus YY dan Eno), yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku dan korbannya sampai meninggal. Maraknya pemberitaan media tentang kedua kasus ini diresponi secara reaktif oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2016 pada hari Rabu 25 Mei 2016. Perppu ini terkenal dengan Perppu Kebiri karena di dalamnya memuat pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak dengan hukuman mati dan kebiri. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-undag oleh DPR pada hari Rabu 12 Oktober 2016.

Komnas Perempuan mengutuk semua tindak kejahatan seksual terhadap perempuan, namun tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati dan kebiri dengan berbagai alas an di antaranya: (1)Pidana kebiri belum terbukti mampu mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, bahkan sejumlah negara di Eropa yang pernah menerapkan bentuk hukuman ini kini tidak lagi memberlakukan. Dalam konteks Indonesia, pemberlakuan hukuman kebiri ini dikhawatirkan akan membuat pelaku kekerasan seksual menggunakan berbagai cara agar terhindar dari proses hukum, termasuk menyuburkan praktek jual beli hukuman, dan semakin menjauhkan korban dari akses keadilan dan pemulihan; (2) pidana kebiri membutuhkan biaya yang cukup mahal. Untuk 1 kali kebiri kimiawi (penyuntikan hormon) membutuhkan biaya sekitar Rp700.000 (tujuh ratus ribu rupiah), dengan masa efektif suntikan hanya selama 3 bulan. Sementara hingga saat ini belum ada anggaran visum et repertum bagi korban kekerasan seksual pada instansi terkait sehingga biaya ini

85 masih dibebankan kepada korban. Seharusnya biaya kebiri dapat dialihkan menjadi biaya visum, sebagai wujud perlindungan Negara terhadap korban kekerasan seksual; (3) Pidana kebiri jika tetap dipaksakan untuk diterapkan terancam tidak dapat dilaksanakan karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman ini dengan pertimbangan bahwa melakukan kebiri merupakan tindakan yang melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia serta dipandang bertentangan dengan peri kemanusiaan; (4) hukuman mati dan kebiri merupakan bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan sehingga bertentangan dengan Convention Against Torture (CAT) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Pelanggaran HAM Masa Lalu: Belum Ada Kebijakan Signifikan

Tahun 2016 bulan April, Kemenkopolhukam menggelar Simposium 65 yang mengundang para korban dan sejumlah tokoh dan akademisi berkaitan dengan sejarah peristiwa 1965. Sidarto Danusubroto, penasihat panitia simposium 1965 yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden menyatakan tragedi 1965 telah menyebabkan pembunuhan dalam jumlah besar, belasan ribu orang dipenjara, dibuang, disiksa, tanpa proses pengadilan atau diberi kesempatan pembelaan diri. Namun dalam waktu berikutnya telah diadakan “simposium tandingan” pada bulan Mei 2016 yang menolak Simposium 65, dan telah diakomodasi oleh pemerintah yang menurut mereka perlu menjadi pertimbangan.

Sampai hari ini belum ada hasil rekomendasi resmi yang disampaikan kepada publik dari Simposium tersebut. Berbagai opini lalu menjadi wacana baru bahwa situasi politik menjadikan rekomendasi tertunda. Penundaan tersebut mengakibatkan Negara belum mengeluarkan kebijakan apapun berkaitan dengan kesaksian korban dan penelitian para ahli sejarah tentang kejahatan masa lalu.

Negara Belum Membuat Laporan CEDAW

Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM Nasional/NHRI berperan strategis untuk membangun komunikasi dan kerjasama sinergis lintas institusi secara efektif dan berkelanjutan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu bentuk kerja sinergis adalah dalam hal memberikan rekomendasi kepada negara, melalui pelaporan tentang implementasi instrumen hak asasi manusia, salah satunya adalah CEDAW.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Konvensi CEDAW telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984. Salah satu konsekuensi ratifikasi CEDAW adalah negara perlu memastikan dihapuskannya segala praktek diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu negara juga wajib menyusun laporan pencapaian dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan CEDAW. Laporan disusun setiap empat tahun sekali dan pada tahun 2016, tenggat waktu pelaporan adalah pada bulan Juli 2016. Namun hingga Maret 2017 laporan tersebut belum diterima oleh Komite CEDAW dan masih dalam proses drafting. Sebagai wujud pelaksanaan tugas nomor 4, yaitu memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan untuk penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan, Komnas Perempuan sebagai mekanisme HAM Nasional/ NHRI ikut berkontribusi dalam bentuk mengirimkan Laporan Independen terhadap implementasi

86 CEDAW, perkembangan kondisi pemenuhan HAM di Indonesia dan pelaksanaan rekomendasi UPR.

Laporan Independent Komnas Perempuan kepada Komite CEDAW dikirimkan pada tanggal 31 Desember 2016. Sampai saat dikirimkannya laporan CEDAW Komnas Perempuan, Pemerintah Indonesia belum mengirimkan laporan State Party-nya, sehingga laporan yang dibuat oleh Komnas Perempuan bukan merupakan shadow report terhadap laporan state party Indonesia. Materi laporan independen Komnas Perempuan kepada Komite CEDAW berisi apresiasi terhadap kemajuan di bidang HAM, concern perkembangan situasi berdasarkan list of issue, menginformasikan hasil pemantauan juga sekaligus menyampaikan rekomendasi terhadap negara. Komnas Perempuan dalam pembuatan laporan-laporannya dilakukan dengan metode konsultasi nasional dengan para mitra, utamanya organisasi perempuan dan perempuan korban. Metode ini sekaligus mengkonsolidasikan organisasi masyarakat sipil dalam mengadvokasi mekanisme HAM internasional. Mitra yang dilibatkan merupakan perwakilan dari berbagai isu dan wilayah (isu minoritas agama dan kepercayaan, minoritas seksualitas, daerah konflik, konflik sumber daya alam, disabilitas, dan lain-lain).

Minimnya Pencalonan Paslon Perempuan dalam Pilkada

Representasi politik perempuan terejawantahkan melalui gerakan afirmasi. Indonesia mencatat, kelompok perempuan berhasil mendorong gerakan afirmasi melalui kuota 30% yang dituangkan dalam kebijakan tahun 2003. Sejak saat itu, inisiatif kelompok perempuan untuk menciptakan