• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama Inklusif menurut Mudji Sutrisno

Kekerasan Berkedok Agama dan Konflik dalam Masyarakat

G. LANGKAH PEMBELAJARAN 4. Pertemuan Pertama

1. Agama Inklusif menurut Mudji Sutrisno

Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajarkan kebaikan. Namun bila dicermati terhadap berbagai konflik yang menimbulkan korban nyawa berkedok agama memberi kesan bahwa agama telah gagal mempromosikan kebaikan. Saat ini umat manusia sedang mengalami krisis luar biasa dalam menerapkan ajaran agama secara benar dan toleran serta mengakui pluralitas sebagai jaminan kelangsungan hidup atau mengambil resiko terpuruk dalam perang agama, rasial, antarperadaban yang hanya bermuara pada kehancuran total umat manusia karena hukum primitif mata ganti mata.

Pesan pembebasan, kebahagiaan dan damai yang dibawa agama-agama saat ini mendapat pertanyaan tajam manakala justru antaragama terjadi fakta tega saling membunuh, saling menghancurkan apalagi saling menghujat dengan membenarkan agamanya sendiri sebagai yang paling membawa kebenaran dan mengantar seseorang ke surga.

Pertanyaan tajam ini semakin menyayat ketika keberadaan sesama bangsa yang berbeda agama dirasakan lebih sebagai ancaman daripada keramahan. Maka hasilnya,

wajah agama ditafsir dan dialami lebih sebagai ancaman daripada keramahan, lebih sebagai fanatisme kekerasan bela-belaan kebenaran daripada pencarian pesan sejati keimanan religiositas yang berwajah cinta dan hormat pada sesama; lalu dicari terjemahan-terjemahan baru dari tindakan-tindakan saling menyejahtera antaragamawan yang berbeda agama dan bersifat majemuk. Kemudian, dicari upaya-upaya untuk menerjemahkan pesan peradaban antaragama dari inti sejati religiositas yang sama-sama mengaku makhluk-makhluk Allah ini untuk kembali ke Sang Pencipta dengan terjemahan-terjemahan nyata berupa saling membangun hidup bersama dan saling menghormati satu sama lain.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Ada dua arus yakni arus pertama menjelaskan agama sebagai konstruksi kekuasan politik untuk memenangkan kepentingan-kepentingan sendiri meskipun berkedok suci demi pembelaan agama tersebut. Jalan keluar dari tafsiran teks semacam ini adalah reorientasi ke pesan awal dan asali religiositas masing-masing agama sebagai keimanan yang diberi terjemahan gerakan-gerakan spiritual saling melayani; gerakan humanisasi serta kepeduliaan memperjuangkan suaka-suaka kasih bagi para pengungsi kekerasan maupun korban kekerasa. Di situlah teks keimanan yang diterjemahkan dengan perjuangan-perjuangan kemanusian, tanpa membeda-bedakan agama, suku dan ras menemukan gerakan baru yang peduli pada nasib kepapaan sesama, yang sekaligus menjadi kritik tajam terhadap kebekuaan-kebekuaan formalism agama-agama yang main kuasa dan penuh upacara kosong-nyaris menjadi privatisme kesuciaan di altarnya sendiri, di masjidnya sendiri, dan di kuilnya sendiri.

Arus kedua menjelaskan bahwa pada relasi kekuasaan dan ketidaksanggupan mengintegrasi antara religiositas sebagai inspirasi dan visi bersikap menghayati hidup dengan penghalalan semua cara ketika konflik kepentingan bertabrakan dan dendam trauma sejarah hubungan antaragama yang saling mencurigai dan saling merasa dikhianati tidak pernah dibuka dalam ruang publik luas rekonsiliasi ataupun dialog tulus saling mengampuni sejujur-jujurnya. Arus kedua ini menggugat secara tajam dan kritis teologi politik masing-masing agama. Artinya, benarkah atas nama pesan sejati regiliositas, ketika pubertas masing-masing agama yang lebih tampil dengan wajah saling berebut kapling. Penghayatan agamis yang dengan teks kekuasaan politisi demi pubertasnya sendiri tidak menghormati kebenaran dan hak hidup kemajemukan agama-agama lain?

Fenomena agama seharus dilihat secara sosiologi. Maksudnya adalah agama adalah “pelembagaan” pengalaman religiositas: pengalaman disapa oleh Yang Ilahi. Iman lalu merupakan tanggapan manusia terhadap pengalaman “disapa”itu, yang merupakan hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hubungan ini, manusia menanggapi dengan penuh penyerahan diri dan mengarahkan hidupnya agar mendapat arti dari Yang Ilahi.

Pada saat para pendiri bangsa Indonesia tercinta, yang sadar sekali akan kemajemukan watak kita bersama, ingin memperjuangkan teks bangsa yang beradab, menghormati kemajemukan agama, suku, serta memberi konstruksi Negara hukum yang adil serta demokrasi di mana kedaulatan rakyat menjadi kunci perjuangan terwujudnya masyarakat regilgius terbuka, saling menghormati, dengan mempertaruhkan nyawa dan seluruh jiwa raga, di situ cukup sudah pelajaran teks politisasi; stop dan harus dihentikan ketegaan memperlakukan sesama sebagai sarana;alat untuk kemenangan ego sendiri atau kelompok.

Demi kepentingan yang lebih luas, dibutuhkan kesadaran bersama yang semakin mendalam bersama dengan kemauan bersama untuk mengembalikan pertentangan agama dan kekerasannya pada pertobatan: mengembalikan secara total penafsiran dan penghayatan agama kepada pesan religiositas kasih, damai, dan menyadari saudara-saudari dari Satu Pencipta kehidupan, kita diajak untuk menghikhtiarkan terjemahan-terjemahan baru wajah ramah keimanan dalam berbagai strukturalisasi politik saling menyejahterakan dan peradaban bahasa-bahasa baru yang membawa pesan damai agama-agama.

Di masa depan agama mestinya perlu menonjolkan dua fungsi yaitu kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi pertama hendak mengkristik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu kita mesti berani pula melakukan otokritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalistis. Fungsi agama kedua sebagai pembebasan mengarah kepada semakin dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik.

Menurut Hans Kung, agama ditempatkan secara positif jika agama itu berfungsi dalam dataran humanitas, dalam dataran yang di dalamnya doktrin iman dan moral, ritus dan institusi, berkembang dalam identitas para penganutnya (baik laki-laki dan perempuan), sense of meaning dan sense of dignity, dan membiarkan mereka mendapatkan eksistensi yang berarti dan bermanfaat. Humanitas yang benar mengimplikasikan agama yang benar. Itu berarti bahwa humanum (penghormatan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai dasar) adalah syarat minimal dari setiap agama: di mana perasaan religious yang autentik direalisasikan, paling sedikit ada humanitas (kriteria minimal). Agama yang benar adalah pemenuhan humanitas yang benar. Itu berarti bahwa agama (sebagai ungkapan yang mencakup semua makna, nilai-nilai agung, kewajiban tanpa syarat) adalah merupakan implikasi yang optimal sebagai realisasi dari humanum: agama secara paertikular (kriteria maksimal) di mana humanitas harus direalisasikan dan dinyatakan secara konkrit sebagai suatu kewajiban yang benar-benar tanpa syarat dan universal.

Jadi agama baru benar-benar agama jika agama itu berfungsi dalam dataran humanitas. Karena itulah agama-agama terpanggil dan berkewajiban meresponi bencana tsunami yang sedang melanda saudara-saudara kita di Aceh dan di Sumatera Utara. Di mana-mana ada penggalangan dana dan barang kebutuhan bagi para korban. Berbagai lapisan masyarakat dari beragam agama, suku, dan beragam status sosial berbondong-bondong berbuat kebajikan. Bahkan, dengan keiklasan yang amat tinggi banyak yang mendaftar sebagai relawan. Seluruh umat beragama juga tidak henti-hentinya memanjatkan doa untuk korban bencana. Solat gaib digelar di hamper seluruh masjid di Indonesia. Gereja, Pura, dan tempat lain juga melakukan aktivitas yang sama. Doa bersama juga digelar masyarakat lintas agama. Aksi kemanusiaan dan doa itu adalah modal masa depan kita, masa depan Aceh. Mari kita bangkitkan spiritnya.

Frans Magnis Suseno, tanda keagamaan yang bermutu adalah keterbukaannya dalam solidaritas spontan dengan mereka yang menderita, tertinggal, lemah, para korban. Apa yang kita perbuat untuk saudara-saudara kita di Aceh adalah untuk membuat mereka dapat mengalami bahwa mereka tidak sendirian, bahwa betul-betul orang-orang dari lain daerah di Indonesia dan dari umat lain turut peduli kepada mereka.Dalam situasi bencana,

agama-agama terpanggil untuk memberikan pengharapan. Pengharapan di tengah-tengah situasi penderitaan, kematian prematur korban. Di tengah dunia yang tampak buram inilah komunitas manusiawi-beriman dipanggil sebagai komunitas pengharapan. Solidaritas mulai dari kesadaran humanitas kita sebagai komo socius terhadap the suffering others. Solidaritas tumbuh dari praksis Allah sendiri yang berkenan menjumpai kita dalam realitas penderitaan dunia. Kesaksian bersama kita sebagai komunitas pengharapan dapat memberi penghiburan, membalut luka-luka, dan memberi inspirasi kepada jauh lebih banyak korban yang mengalami penderitaan. Kasih menggerakkan tangan kita sebagai komunitas manusiawi-religius untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang terluka, kehilangan tempat tinggal, karena bencana kemanusiaan. Sebagai komunitas manusiawi-beriman, kita diundang dan dipanggil memberi kesaksian komunal mengenai kasih Allah, terutama kepada mereka yang mengalami penderitaan.