PANCASILA GENETIVUS SUBJEKTIVUS
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT 1. Pengertian Filsafat
Istilah filsafat tidak asing lagi bagi kita karena kita sering membaca hasil-hasil karya filsafat sebagai kegiatan intelektual yang tidak tertutup untuk dinikmati oleh setiap orang yang menghendakinya. Dalam konteks ingin memahami filsafat maka perlu bagi kita untuk mendalami dan memahami terlebih dulu kekhasan dari filsafat. Misalnya, apakah kekhasan filsafat dibandingkan dengan karya tulis lainnya atau dengan hasil karya kegiatan-kegiatan ilmiah? Dari manakah filsafat diperoleh dan bagaimanakah mengusahakannya?
Agar dapat menikmati dan memfungsikan karya-karya filsafat dengan baik, kita perlu memahami beberapa hal pokok yang berkaitan dengan filsafat yaitu pengertian filsafat, kemudian akan dilihat penerapan filsafat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kata filsafat merupakan istilah asing, bukan asli Indonesia. Istilah ini sampai kepada kita melalui bahasa Arab “falsafah”. Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein” yang berarti cinta dan “shophos” atau “sophia” yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Sehingga menurut asal katanya: filsafat (philo-sophia) berarti mencintai kebijaksanaan, atau mencintai hikmat/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang sangat luas yaitu ingin dan berusaha untuk mencapai yang diinginkan. Sedangkan kebijaksanaan lebih lanjut berarti “pandai”, tahu dengan mendalam dan seluas-luasnya, baik secara teoritis maupun dalam hal praksis (Hamersma,1981:10).
Berpangkal pada pengertian filsafat sebagai usaha mencari kebijaksanaan, maka dapat dipastikan terdapat beraneka ragam usaha yang bisa ditempuh dalam memfilsafat.
Usaha berfilsafat itu antara lain usaha memberikan penjelasan rasional, mengadakan penjagaan terhadap realitas yang terakhir, proses berfikir kritis dan sistematis, analisis logis dan ilmiah.
2. Pengertian Sistem dan Cabang-cabang Filsafat
Menurut Ali (1996:950) Sistem diartikan sebagai (1) perangkat unsur yang secara teratur saling berhubungan sehingga membentuk totalitas, (2) susunan yang teratur, dan (3) metode. Dapat diartikan bahwa sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan dan bekerja secara bersama untuk mencapai tujuan tertentu.
Pancasila sebagai sistem filsafat terdiri atas lima sila yang hakikatnya merupakan satu kesatuan organis. Sila-sila Pancasila saling berkaitan, bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasarnya adalah tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat/bangsa, yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Cabang-cabang filsafat yang pokok meliputi:
a. Metafisika; membahas tentang hal-hal yang bereksistensi di balik fisis yang meliputi bidang ontologi (membicarakan teori sifat dasar dan ragam kenyataan), kosmologi (membicarakan tentang teori umum dan ragam kenyataan) dan antropologi.
b. Epistemologi; adalah pikiran-pikiran dengan hakikat pengetahuan atau kebenaran. c. Metodologi; ilmu yang membicarakan cara/jalan untuk memperoleh pengetahuan. d. Logika; membicarakan aturan-aturan berpikir agar dapat mengambil kesimpulan yang
benar.
e. Etika; membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan tingkah laku manusia tentang baik-buruk.
f. Estetika; membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat keindahan.
6. Kesatuan Sistematis, Hierarkis, dan Logis
Menurut Notonagoro (1983:59-60) susunan Pancasila bersifat hierarkis dan mempunyai bentuk piramida. Jika dilihat dari inti-intinya, urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya isi. Tiap-tiap sila yang ada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila terdahulu. Jika urutan-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud yang demikian maka, di antara lima sila ada hubungan yang mengikat antara yang satu dan yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat. Dalam susunan hierarkis dan piramidal itu, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar daripada Kemanusiaan (perikemanusiaan), persatuan Indonesia (kebangsaan), kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.
7. Unsur-unsur Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat
a. Secara material-substansial dan instrinsik nilai Pancasila adalah filosofis; misalnya hakikat Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah metafisis/filosofis.
b. Secara praktis-fungsional, dalam tata budaya masyarakat Indonesia nilai Pancasila diakui sebagai filsafat hidup atau pandangan hidup yang dipraktekkan.
c. Secara formal-konstitusional, bangsa Indonesia mengakui Pancasila adalah dasar negara (filsafat negara) Republik Indonesia.
d. Secara psikologis dan kultural, bangsa dan budaya Indonesia sederajat dengan bangsa dan budaya manapun. Karenanya wajar bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain mewarisi sistem filsafat dalam budayannya. Jadi Pancasila adalah filsafat yang diwarisi dalam budaya Indonesia.
e. Secara potensial, filsafat Pancasila akan berkembang bersama dinamika budaya; filsafat Pancasila akan berkembang secara konsepsional, kaya konsepsi dan kepustakaan secara kuantitas dan kualitas. Filsafat Pancasila merupakan bagian dari khasanah dan filsafat yang ada dalam kepustakaan dan peradaban moderen.
5. Hakikat Sila-sila Pancasila a. Hakikat/inti Sila Pertama
Menurut Notonagoro (1983:60) bahwa di antara lima sila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila yang paling sullit, karena merupakan sila yang paling banyak menjadi persoalan. Sesuai dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dalam melaksanakan kemerdekaan beragama, negara menghendaki adanya toleransi dari pemeluk agama, sehingga tidak membenarkan adanya pemaksaan suatu agama kepada orang lain. Pemerintah juga harus selalu membimbing dan mengarahkan segenap warganegara dan penduduk Indonesia untuk selalu mengamalkan ajaran agama yang dipeluknya, serta memberikan kebebasan kepada setiap penduduk Indonesia untuk mengembangkan agamanya tanpa mengganggu hak dan kebebasan pemeluk agama lainnya (Effendi,1995:39).
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi setiap manusia dengan Tuhan yang dipercayai dan diyakininya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya serta tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan itu kepada orang lain.
Negara tidak bisa memaksakan agama atau suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu dipeluk oleh siapapun berdasarkan keyakinan yang sangat pribadi sifatnya. Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak memaksa kepada manusia untuk memeluk dan menganutnya.
b. Hakikat/Inti Sila Kedua
Dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajatnya, sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan ras. Karena itu dikembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa, serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, dan oleh karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
c. Inti Sila Ketiga
Menurut Notonagoro (1983:65) inti sila Persatuan Indonesia dapat dirumuskan, kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat dan bangsa, menghidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan kesatuan, dan mengusahakan peniadaan/pengurangan perbedaan yang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak-menolak ke arah perselisihan, pertikaian dan perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya, lagi pula dengan kesediaan, kecakapan dan usaha untuk sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan bangsa.
d. Inti Sila Keempat
Selanjutnya menurut Notonagoro (1983:66) adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat di dalam kenegaraan, atas dasar Tri Tunggal, yaitu “Negara dari rakyat, bagi rakyat, dan oleh rakyat”. Terkait dengan mufakat, dasar perwakilan, dan dasar permusyawaratan, pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan, bahwa kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik-economischedemocratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
e. Inti Sila Kelima
Sila kelima Pancasila menurut Notonagoro mengandung prinsip bahwa di dalam lapangan sosial dan ekonomi ada kesamaan, di samping kesamaan politik. Di dalam lapangan sosial ekonomi ada kebebasan dan kekuasaan perseorangan dalam keseimbangan dengan sifat manusia sebagai makhluk sosial, untuk mengusahakan dan memenuhi kebutuhan hidup, yang sesuai dengan sifat-sifat mutlak dari manusia sebagai individu.
J. BACAAN ANJURAN
Taniredja Tukiran. 2014, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa. Bandung: Alfabeta
Wahana Paulus. 1993. Filsafat Pancasila. Yogjakarta : Kanisius.