• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Sistematika Penulisan

2. Agensi dan Kekuasaan

Berbagai definisi mengenai agensi banyak kita dapati, salah satunya definisi yang dikemukan oleh David Marsh dan Gerry Stoker yang mendefinisikan agensi adalah kemampuan individu atau kelompok (baik disengaja maupun tidak) untuk memengaruhi lingkungannya.20 Selain itu Masduki dalam bukunya yang berjudul Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal menuliskan bahwa agen meliputi para aktor pelaku sosial dan tindakannya, baik secara individu maupun kolektiv.21 Senada dengan David Marsh dan Gery Stoker, juga Masduki, George Ritzer dalam bukunya yang berjudul Sociological Theory mengatakan bahwa although agency generally refers to micro-level, individual human actors, it also can refer to (macro) collectivities that act22. Sering kali ada anggapan bahwa agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasakarkan maksud-maksud. Artinya, agar sebuah perilaku bisa dianggap sebagai tindakan, siapapun melakukannya harus bermaksud melakukan tindakan itu, jika tidak maka perilaku itu hanyalah sekedar respon reaktif semata. Dalam bukunya New Rules of Sociological Method Anthony Giddens menetapkan agensi sebagai berikut:

agency as the stream of actual or contemplated causal interventions of corporeal beings in theongoing process of events-in-the-world.23

Bagi Giddens agensi tidak mengacu pada maksud-maksud yang dimiliki orang ketika melakukan sesuatu melainkan terutama pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu itu (yang karena itu juga kenapa agensi mengandung kuasa: bandingkan dengan definisi agen menurut the Oxford English Dictionary yang

20

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik (Bandung: Nusa Media, 2011 ), h. 325

21

Masduki, Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: LKis, 2007), h. 55 22

George Ritzer, Sociological Theory, 8 th ed. (New York: McGrawHill, 2011), h. 521 23

Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method, 2th ed. (California: Standford University Press, 1993), h. 81.

diartikan sebagai „orang yang menggunakan kuasa atau menghasilkan dampak. Agensi berkaitan dengan kejadian-kejadian yang melibatkan individu sebagai pelaku, apa pun yang telah terjadi tidak akan terjadi tanpa peran individu dan tindakan merupakam sebuah proses berkesinambungan.24

Diilhami oleh filsafat waktu Martin Heidegger, Giddens menyatakan bahwa waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan, melainkan unsur konstitusif tindakan dan pengorganisasian masyarakat.25 Artinya tanpa ada waktu dan ruang maka tidak ada yang dinamakan dengan tindakan.

Sesuai dengan penekananya pada keagenan, Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap agen. Dengan kata lain, menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial, dan bahkan iya lebih yakin lagi bahwa agen tak berarti apa-apa tanpa kekuasaan.26 Berkaitan dengan hubungan antara agen dan kekuasaan, Anthony Giddens mengajukan pertanyaan penting dalam bukunya berjudul Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat: apakah watak hubungan logis antara tindakan dan kekuasaan? Berikut penjelasaan Giddens terhadap keduanya:

“.... meskipun penjelasan tentang isu ini sangatlah kompleks, relasi mendasar yang ada bisa dengan mudah di tunjukan. Mampu „bertindak lain‟ berarti mampu mengintervensi dunia, atau menjaga diri dari intervensi semacam itu, dengan dampak memengaruhi suatu proses keadaan khusus dari urusan-urusan. Hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termasuk memengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk „memengaruhi‟ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi

24

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 14.

25

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 20.

26

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Cet ke-4. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2007), h. 510.

mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk „memengaruhi‟, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial berpusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan – saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu „tidak memiliki pilihan‟ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu. „Tidak memiliki pilihan‟ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (seperti kedipan seseorang ketika ada gerakan cepat di dekat matanya). Mungkin kondisi ini tampak begitu jelas sehingga tidak perlu lagi dikatakan lagi. Tetapi, sejumlah mazhab sosial terkemuka, terutama yang bersinggungan dengan objektivisme dan „sosiologi kultural‟ belum mengakui pembedaan itu. Mazhab-mazhab sosial ini menganggap bahwa pembatasan-pembatasan sosial bekerja mirip seperti kekuatan-kekuatan alam, seolah-olah „tidak memiliki pilihan‟ sama seperti ketika tidak kuasa menahan dorongan dari tekanan-tekanan mekanis.27

Dengan kata lain gagasan tentang tindakan adalah logis terkait dengan kekuasaan, dimana tindakan merupakan sebuah keyword bagi agensi. Terlebih dulu kita harus membedakan antara kekuasaan (power) dengan dominasi (domination). Dominasi mengacu pada skemata asimetri hubungan pada tataran struktur, sedangkan kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (praktik sosial atau interaksi).28 Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang melekat pada pelaku. Oleh karena itu, kekuasaan mengacu pada kapasitas transformatif.29 Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung di antara pelaku.

27

Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Penerjemah Maufur dan Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 24.

28

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 33.

29

Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method , 2 th ed. (California: Standford University Press, 1993), h. 116.

Dominasi masuk dalam dimensi struktural dalam sistem sosial, selain dominasi ada signifikan dan legitimasi. Ketiganya saling terkait satu sama lain, struktur signifikan pada gilirannya mengacu pada struktur dominasi dan legitimasi. Struktur signifikan selalu harus dipahami dalam kaitannya dengan dominasi dan legitimasi. Sekali lagi pemahaman ini harus diarahkan pada pengaruh kuat kekuasaan dalam kehidupan sosial.

Bagaimana kaitan ketiga tiga prinsip struktural (struktur/skemata) itu dengan praktik sosial? Skema di bawah ini menyajikan pola hubungan antara keduanya:30

Gambar 2.1

Dimensi-dimensi Dualitas Struktur

Sumber: B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002)

Giddens menyebut „modalitas/sarana-antara’ sebagai mediasi antara

struktur dan interaksi dalam proses praktik sosial, konsep pada baris pertama mengacu pada sifat interaksi, sedangkan baris ketiga sebagai prinsip dimensi struktur. Dari skema diatas, dualitas antara aktor dan struktur dapat digambarkan keberlangsungannya sebagai berikut: dengan mengambil pengertian struktur

30

B. Herry Priyono, Anthony Giddens Suatu Pengantar (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), h. 25.

legitimasi signifikasi dominasi

skema

interpretasi fasilitas norma sanksi kekuasaan komunikasi INTERAKSI (modality) STRUKTUR

sebagai parktik soaial, komunikasi mempunyai makna dalam interkasi yang melibatkan bingkai interpretasi dengan cara yang masuk akal, tindakan praktik

sosial “berkomunikasi” baik itu berbicara, berdiskusi, ataupun melalui tulisan

mengandaikan struktur penandaan tertentu, misalnya seperti di contohkan oleh Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Anthony Giddens Suatu Pengantar

“suatu tata bahasa yang terpahami oleh orang-orang dalam masyarakat yang

menjadi tujuan tindakan berbicara atau menulis”. Sedangkan Penggunaan

kekuasaan dalam interaksi melibatkan fasilitas dimana agen mampu atau berhasil dalam mempengaruhi perilaku orang lain juga mengandaikan skemata dominasi, misalnya seperti bos dan karyawan, mandor dan buruh, majikan dan pembantu, pemerintah-rakyat. Begitu juga dengan sifat interkasi yang terakhir, yakni sanksi yang melibatkan penerapan norma-norma dan struktur legitimasi. Contohnya tindakan nyata penegak hukum dalam memberikan hukuman kepada siapapun yang telah melanggar peraturan yang ada dan pemberian sanksi pada pihak yang melanggar melibatkan struktur legitimasi.

Struktur dominasi yang terjadi dalam interkasi kekuasaan (power) dengan modalitas sumber daya alokatif dan otoritatif melihat kekuasaan tidak harus selalu dihubungkan dengan konflik kepentingan yang bersifat opresif, tetapi merupakan kapasitas untuk memperoleh hasil (the capacity to achieve outcome), terlepas dari kaitannya dengan persoalaan kepentingan terebut. Kekuasaan ini dibangkitkan di dalam melalui reproduksi struktur dominasi dengan sumber daya alokatif dan otoritatif tersebut.31 Selain itu Giddens menawarkan sebuah tipologi dari institusi-institusi yang berhubungan dengan bobot dan kombinasi dari aturan-aturan dan

31

sumber-sumber daya yang diimplikasikan dalam interaksi. Jika signifikasi (aturan interpretative) primer, diikuti dengan patuh, oleh dominasi (sumber daya alokatif

dan otoritatif) dan kemudian legitimasi (aturan normative), hadir sebuah “tatanan simbolik”. Jika dominasi otoritas, signifikasi dan legitimasi dikombinasikan

dengan sukses, terjadi institusionlisasi politik. Jika dominasi alokatif, signifikasi, dan legitmasi tersusun akan muncul institusionalisasi ekonomi. Dan jika legitimasi, dominasi, dan signifikasi ditata berurutan akan terjadi institusionalisasi hukum.32 Gambar berikut menunjukan proses institusionalisasi tersebut:

Gambar 2.2

Tipologi Institusi-institusi

Diproduksi dan

Sumber: Jonathan Turner, 1991, dalam Sunarto, 2009: 25

32

Sunarto, Televisi, Kekerasan, dan Perempuan (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), h. 24

Jenis Institusi

Tatanan Simbolik atau mode-mode wacana, dan pola-pola komunikasi

Institusi politik

Institusi Legal Institusi Ekonomi

Tataran Urutan atau Penekanan Pada Aturan & Sumber Daya

Penggunaan aturan interpretif (signifikasi) bersama dengan aturan normative (legitimasi) dan sumber daya alokatif dan otoritatif (dominasi)

Penggunaan sumber daya otoritatif (dominasi) bersama dengan aturan interpretative (signifikasi) dan aturan normative (legitimasi).

Penggunaan sumber daya alokatif (dominasi) bersama dengan aturan interpretative (signifikasi) dan aturan normative (legitimasi).

Penggunaan aturan normative (legitimasi) bersama dengan sumber daya otoritatif dan alokatif (dominasi) dan aturan interpretative (signifikasi).

Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh: Diproduksi & direproduksi oleh:

Teori strukturasi menurut Sunarto berhasil mengatasi distingsi dualism agen-struktur menjadi dualitas struktur. Teori strukturasi menunjukan relasi simetris agen-struktur. Dalam pandangan teori strukturasi, agen-struktur tidak bias saling meniadakan satu sama lain, karena mereka terperangkap dalam relasi komplementatif. Eksistensi agen-struktur melebur dalam praktik sosial melalui proses produksi dan reproduksi system sosial. Agen menjadi bagian dari struktur, tetapi struktur juga menjadi bagian dari agen.

Proses strukturasi merupakan jalan penting bagi terbentuknya hegemoni, yaitu cara berpikir yang dinaturalisasikan, masuk akal, dan diterima sebagai sesuatu yang terberi (given) mengenai dunia yang termasuk didalamnya segala sesuatau, mulai dari kosmologi melalui etika hingga praktik sosial yang diletakan dan dipertarungkan dalam kehidupan sehari-hari.33

Dokumen terkait