• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Regulasi Media Penyiaran

C. Konseptualisasi Kampanye

4. Fungsi Regulasi Media Penyiaran

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kekuasaan dan kebebasan dalam mengemukakan pendapat, tentunya ini hasil dari runtuhnya rezim Soeharto, dimana media pada saat itu menjadi corong pemerintah, namun kini media indonesia seperti yang dikatakan oleh Jonathan Turner adalah;

Indonesia has become one of the world most open communities in as much as you can pretty well write what you want without fear of official sanction. (Jonathan Turner, Kepala Biro Kantor Berita Reuters di Jakarta, dikutip oleh Good Man, 2000).92

Keselurahan transformasi yang berlangsung dalam sektor media di tanah air, pada hakekatnya mencerminkan suatu peralihan dari state regulation menuju market regulation, dimana operasi dari industri media tidak banyak lagi didasarkan atas intervesi negara tetapi terutama sekali pada bentuk mekanisme pasar dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan pasar. Dalam konteks ini, penggunaan state regulation sebenarnya bukan „deregulasi’, tetapi lebih sebagai ekspansi „market regulation’. Oleh karena itu, deregulasi sektor media di tanah air

juga telah mengarah pada ekspansi market regulation, beserta segala kecenderungan untuk menyerahkan segalanya kepada mekanisme pasar tertentu. Kata kunci yang seolah ditonjolkan oleh para “fundamentalis pasar” adalah leave the things to market.93

Orientasi untuk mengubah media penyiaran dari market regulation manjadi sebuah social justice bagi warga mungkin sulit tercapai, namun setidaknya dengan

92

Dedy N. Hidayat, dkk., Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI, 2003), h. 4

93

Dedy N. Hidayat, dkk., Konstruksi Sosial Industri Penyiaran (Jakarta: Departemen Komunikasi FISIP UI, 2003), h. 5.

adanya lembaga negara independen yang dapat mengatur regulasi media penyiaran berfungsi sebagai:

In most democratic countries, broadcast regulators undertake two key functions: allocating broadcast frequencies through the award of licences and developing and applying codes of broadcasting conduct, which normally deal with a range of content and broadcast practice issues.94 Berdasakan dari kutipan di atas fungsi dari badan regulator adalah pengalokasian spektrum frekuensi dan kode etik, maka dapat ditarik benang merah untuk fungsi regulasi media penyiaran itu sendiri.

a. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran bahwa spektum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk itu fungsi regulasi media penyiaran menjadi begitu penting, terkait dengan pengalokasian spektrum frekuensi antara semua pemakai frekuensi, harus terbuka dan partisipatif. Diharapkan dengan ada regulasi media penyiaran dapat berfungsi untuk menjaga keharmonisan antara pemerintah, pasar dan publik. Fungsi lainnya dalam konteks frekuensi harus menjamin secara adil dan untuk kepentingan umum antara ketiga tingkat penyiaran (publik , komersial dan komunitas)

b. Fungsi regulasi media penyiaran kedua yakni untuk mengatur kode etik penyiaran. Perturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor/01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran menimbang:

94

“International Standards: Regulation Of Broadcasting Media” artikel diakses pada 23 November 2013 dari http://www.article19.org/resources.php/resource/3022/en/international-standards:-regulation-of-broadcasting-media.

1) Bahwa dalam rangka pengaturan perilaku lembaga penyiaran di Indonesia dibutuhkan suatu pedoman yang wajib dipatuhi agar pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditunjukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya;

2) Bahwa dengan keberadaan lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia harus disusun pedoman yang mampu mendorong lembaga penyiaran untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa, yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.

66 A. Paradigma Penelitian

Paradigma dapat didefinisikan bermacam-macam, tergantung sudut pandang yang digunakan. Sebagaian orang menyebut paradigma sebagai citra fundamental dari pokok permasalahan di dalam suatu ilmu. Paradigma menggariskan hal yang seharusnya dipelajari, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.1 Hal ini diperkuat oleh definisi dari Alan Bryman yang dikutip oleh Victor Jupp dalam bukunya Dictionary of Social Research Methods:2

“A „cluster of beliefs and dictates which for scientists in a particular discipline influence what should be studied, how research should be done, how results should be interpreted, and so on‟.”

Sedangkan menurut Poerwandari seperti dikutip oleh Agus Salim paradigma

merupakan “seperangkat proposisi (pernyataan) yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan secara umum dipresepsikan”. Pengertian lainnya dari Erving Goffman

yang mengemukakan paradigma sebagai kerangka (frame), yakni : “interpretive scheme that people use to simplify and make sense of some aspects of the world”.3

Sejak abad pencerahan dimulai sampai pada era globalisasi, para ilmuwan telah mengembangkan empat paradigma ilmu pengetahuan. Empat paradigma ilmu

1

Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana), hal. 63. 2

Victor Jupp, The Sage Dictionary of Social Research Methods, (London: SAGEPublication Ltd), h. 212.

3

tersebut adalah positivisme, post-positivisme (yang kemudian dikenal sebagai Clasical Paradigm atau Conventionalism Paradigm), Critical Theory (Realism) dan Constructivism.4 Keempatnya dimaksudkan untuk menemukan hakikat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang.

Tabel 3.1

Paradigma Ilmu Sosial

Positivisme & Post Positivisme

Konstruktivisme

(Interpretif) Kritis

Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode terorganisir untuk

mengkombinasikan

deductive logic’ melalui pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan

memprediksi pola umum gejala sosial tertentu.

Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistemtis

atas „social meaningful action’ melalui pengamatan

langsung terhadap aktor sosial dalam settingan yang alamiah, agar dapat

memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial,

Mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis

mengungkapkan „the real structure’ di balik ilusidan

kebutuhan palsu yang ditampakan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi subjek penelitian.

dalam Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana), dari Dedy N. Hidayat (Paradigma & Metodolog/ 09/12/98)

Dari tabel yang disajikan, muncullah pertanyaan manakah paradigma yang paling baik ataupun unggul? Jawabannya tidak ada paradigma yang paling baik atau mampu mengungguli paradigma lain. Mengingat paradigma adalah kerangka berpikir terhadap suatu realitas yang ada jadi tergantung pada tiap-tiap keadaan. Dalam bidang ilmu hal-hal yang bersifat konkret, dapat diketahui dan selidiki berdasarkan percobaan serta dapat dibuktikan dengan pasti atau disebut ilmu eksakta, positivisme

4

dan post-positivisme mungkin paling banyak digunakan, sedangkan dalam ilmu sosial, critical theory atau konstruktivisme mendapat kedudukan yang lebih mapan.

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, bermula berangkat dari asumsi-asumsi teori yang memperhatikan terdapatnya kesenjangan di dalam masyarakat.5 Paradigma kritis ini menunjukkan bagaimana berbagai kepentingan yang saling berbenturan (clash) dan menunjukkan cara bagaimana mengatasi benturan konflik kepentingan itu dengan lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu khususnya kelompok marginal (masyarakat lemah).6

Gagasan utama dari paradigma kritis ialah mencoba untuk memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat, dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur kekuatan tersebut.7

Inti paradigma ini adalah kepercayaan bahwa masyarakat merupakan wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Masyarakat dipandang sebagai suatu kelompok yang kompleks di mana terdapat berbagai kelompok sosial yang saling berpengaruh dalam sistem.8

Secara ontologis, cara pandang aliran ini sama dengan pandangan post-positivisme, khususnya dalam menilai objek atau realitas kritis (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Berangkat dari masalah

5

Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam & Aplikasi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), hal. 38.

6

Morissan dan Andy Corry, Teori Komunikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 41 7

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hal 68.

8

Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam & Aplikasi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), hal. 39.

ini, pada tataran metodologis, aliran ini mengajukan metode dialog sebagai sarana transformasi bagi ditemukannya kebenaran realitas yang hakiki. Pada tataran epistimologis, aliran ini memandang hubungan antara periset dan objek sebagai hal yang tak terpisahkan. Lantaran berkeyakinan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh periset ikut serta dalam menentukan kebenaran suatu hal, maka aliran ini sangat menekankan konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan.9

Dokumen terkait