• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran Ketuhanan Dalam Islam

Dalam dokumen Ajaran ketuhanan dalam Agama Sikh (Halaman 41-46)

AJARAN KETUHANAN DALAM HINDUISME DAN ISLAM

C. Ajaran Ketuhanan Dalam Islam

Dalam ensiklopedia Islam, Allah adalah ―Ism Jalah wal Ism

al-A‘zham,‖ yang artinya Nama Keagungan dan Kemuliaan. Tuhan merupakan Nama suatu Hakikat, atau keniscayaan yang bersifat mutlak. Secara bahasa, Ia membentuk kembali sebuah pengertian yaitu sebuah realitas yang tidak dapat dipersamakan dengan kandungan kata manapun. Kata Allah merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, dimana melalui kata tersebut kita dapat memanggil-Nya secara langsung.27

Allah dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi Dzat-Nya (Esensi-Nya) dan dari segi hubungan dengan makhluk-Nya. Dalam perspektif pertama, Allah tidak dapat dipahami. Allah berada jauh dari kita. Allah bersifat transenden. Kepada Allah yang ini, kita harus melakukan tanzîh (membersihkan Tuhan dari segala kesamaan dengan makhluk). Dia berbeda dengan segala apapun selain Dia. Dia adalah Theos Agnotos—Allah benar-benar tidak diketahui dan tak terjangkau oleh manusia. Oleh karena itu, kita dilarang untuk memikirkan esensi Sang Pencipta. ―Tafakkarû ƒî khalqi Allâh

wa lâ tafakkarûƒî dzât Allâh—Renungkanlah ciptaan Allah dan jangan merenungkan Dzat-Nya,‖ sabda Nabi Saw.

Dalam perspektif kedua—dalam hubungan-Nya dengan makhluk—

Allah dapat kita pahami. Dia mempunyai sifat-sifat yang ―sama‖ dengan

makhluk-Nya. Dia imanen. Inilah Theos Relevatus—Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam diri manusia dan alam semesta.

27

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufron A. Mas‘adi (Jakarta: Raja

Jika dalam perspektif pertama Allah begitu jauh, dalam perspektif kedua Tuhan ini begitu dekat. Bahkan, Dia tidak hanya dapat dikenal, melainkan benar-benar bisa dicintai.28

Artinya: ―Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri.‖

(QS. Qaaf (50):16).

Dalam Islam, Tuhan (Allah) diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.29

ۥ

Artinya: ―Tuhan adalah Esa (satu), Allah tempat berlindung segala sesuatu,

Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada sesuatu yang sebanding dengan-Nya.‖ (QS. Al-Ikhlas: 1-4).

Oleh sebab itu, Islam menitikberatkan konseptualisasi Allah sebagai Yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa (Tauhid). Dia adalah wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (Asma'ul Husna, "Nama-nama yang Terbaik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Nama-nama tersebut terbagi dalam dua jenis : asma‘ al-zat (Nama Esensi) dan asma‘ al-shifat (nama Sifat). Diantara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).30

28

Syekh Tosun Bayrak al-Jerrahi, Asmaul Husna: Makna dan Khasiat, terj. Nuruddin Hidayat (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 8-9.

29

John L. Esposito, Islam: The Straight Path (London: Oxford University Press, 1998), h. 22.

30

ۖ

ۖ

ۚ

ۖ

ۚ

ۥ

ۖ

Artinya: Dia adalah Allah, Tiada Tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia Maha Pemurah serta Maha Penyayang, Dia adalah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia, Dia raja yang menguasai segala kesucian, segala kesejahteraan, yang Memberi Keamanan, Yang Maha Memelihara, Maha Kuasa dan Pemilik segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia adalah Allah, Yang Maha menciptakan, Mengadakan dan Yang membentuk segala rupa. Pemilik Nama-Nama yang paling baik, Seluruh yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya, Dia Maha Perkasa serta Maha Bijaksana. (QS. Al-Hasyr (59): 22-24).

Fikiran ketuhanan dalam Islam adalah ―Fikiran yang sempurna‖

dimana satu segi mengalahkan segi yang lain dan tidak diperbolehkan tertimpa oleh sifat-sifat syirik dan pemiripan (dengan makhluk), juga tidak membuat perbandingan bagi Allah menurut indera maupun menurut hati, melainkan

baginya ―perumpamaan yang paling tinggi (al- Matsalul a‘la)‖ dan ―tidak ada

sesuatu yang seperti-Nya.‖31

Islam menolak patung-patung dalam bentuk apapun dari bentuk-bentuk percontohan atau lambang (pendekatan). Bagi Allah adalah contoh yang tinggi dari sifat-sifat kesempurnaan seluruhnya dan bagi-Nya adalah nama-nama yang baik. Maka, sifat kekuatan dan kekuasaan pada Allah mengalahkan sifat-sifat kasih sayang dan cinta. Ia berkuasa atas segala

31

Abbas Mahmoud Al-‗Akkad, Ketuhanan; Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran Manusia (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 111.

sesuatu, Ia Maha Kuat dan memiliki Pembalasan. Ia adalah Dzat Penyayang dan Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Pemurah. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.32

Dalam tasawuf—salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan aspek spiritual dalam Islam—manusia memiliki dua rumah, satu rumah untuk jasadnya, yaitu dunia rendah ini, yang lain rumah rohnya, yaitu alam yang tinggi. Tetapi, karena hakikat manusia terletak pada rohnya, oleh sebab itu manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah tempat roh atau jiwa manusia yang sesungguhnya. Perasaan yang terasing inilah yang

kemudian memicu sebuah ―pencarian mistik‖ dari seorang manusia, dengan

itu pula manusia memulai perjalanan spiritualnya menuju Tuhan (tarekat).33 Namun, karena Tuhan sebagai ―tujuan akhir perjalanan manusia‖ yang

bersifat rohani, manusia harus berjuang menembus rintangan-rintangan materi

agar rohnya menjadi suci. Itulah sebabnya kata ―tasawuf‖ berasal dari ―shafa‖,

yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang sufi setelah mengadakan

―penyucian‖ jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh jasmani. Penyucian ini dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Mahasuci, yaitu Allah SWT.

Dari keyakinan ini, muncullah cara hidup spiritual yang bertujuan pada

―pendekatan‖ dengan Allah, cara tersebut dapat berupa bentuk menyebut-nyebut nama-nama Allah, yang mana seorang sufi memenuhi jiwanya dengan nama-nama (asma‘) Allah, sehingga dapat merasakan kehadiran dan

kedekatan-Nya; atau dalam bentuk merenungkan dan berulang-ulang membaca firman-Nya, dengan penuh kecintaan agar dengan begitu seorang

32

Al-‗akkad, Ketuhanan, h. 112. 33

sufi dapat memahami ―kehendak‖ Allah dan menghayati hikmah yang terkandung di dalamnya; atau dalam bentuk ―bersendirian dengan Allah‖ di

tengah malam buta, sehingga tercapai hubungan intim dan personal dengan Allah.34

Menurut Penulis, dalam Hinduisme maupun Islam, kedua agama ini sama-sama percaya pada Satu Realitas Tertinggi, yaitu Tuhan. Hanya saja dalam aplikasi terhadap Tuhan kedua agama ini mempunyai cara atau sistem yang berbeda. Jika Islam dalam penyembahan terhadap Tuhan tidak memerlukan bentuk atau wujud, lain halnya dengan Hindu. Dalam Hinduisme, Tuhan di puja dengan berbagai bentuk dengan tujuan untuk mempermudah memahami-Nya.

34

36

Dalam dokumen Ajaran ketuhanan dalam Agama Sikh (Halaman 41-46)

Dokumen terkait