• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Perjanjian kredit pada PT. BPR Aditama Arta …

3. Akibat Hukum bagi pihak yang Tidak melaksanakan

a. Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan

107 Salim H. S., Op.cit., h. 99

63

prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada debitur (1243 KUH Perdata)

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.

Menurut Subekti, hukuman atau akibat-akibat yang timbul karena debitur yang lalai ada empat macam yaitu:108

a. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;

Ketentuan mengenai ganti-rugi diatur mulai dari Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Adapun isi dari Pasal 1243 KUHPerdata yaitu:

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Berdasarkan pasal di atas, ganti rugi sering diperinci dalam tiga macam yaitu penggantian biaya, rugi, dan bunga. Biaya merupakan

108 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), h. 45

segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak, misalnya seorang sutradara yang mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan pertunjukan, namun pemain tersebut tidak datang padahal sutradara sudah mengeluarkan biaya cetak iklan, gedung, sewa kursi, dan lainnya.109 Pengertian Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.110

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur merupakan kerugian yang benar-benar diderita oleh kreditur dan untung yang sebenarnya harus bisa kreditur dapatkan atau dengan kata lain keuntungan yang akan diperoleh jika perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya (Pasal 1246 KUHPerdata). Ganti kerugian memiliki batasan yang diatur dalam Pasal 1247 KUH Perdata yang berbunyi:

“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”

Menurut Pasal 1247 KUH Perdata dinyatakan bahwa ganti rugi dibatasi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi. 111

109 Ibid., h. 47

110 Iswi Hariyani, Op.cit., h. 42

111 Subekti, Op.cit., h. 48

65

Mengenai ganti-rugi dalam wanprestasi akibat dari tipu daya yang dilakukan juga diberikan suatu batasan. Hal ini diatur dalam Pasal 1248 KUH Perdata yang berbunyi:

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya debitur, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh kreditur dan keuntungan yang terhilang baginya hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.”

Dalam pasal ini terdapat ajaran sebab akibat, tetapi undang-undang tidak memberikan penjelasan. Menurut teori sebab akibat (adequate) yang dipelopori oleh Von Kries mengatakan bahwa ukuran untuk menentukan sebab di dalam pengertian hukum adalah apabila suatu peristiwa itu secara langsung menurut pengalaman manusia normal (naar ervaringste verwachten) dapat diharapkan menimbulkan akibat tertentu.112 Pasal ini sebenarnya memberikan perlindungan kepada debitur yang walaupun telah melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus dibayarnya hanyalah meliputi kerugian langsung sebagai akibat dari wanprestasi yang dilakukannya.113

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Perkataan “moratoir”

berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian.

Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya.

Menurut Pasal 1250 KUH Perdata, bunga yang dituntut itu tidak boleh

112 Tan Kamello, Kuliah Online Hukum Perdata, tanggal 18 Mei 2021

113 Subekti, Op.cit.

melebihi persenan yang ditetapkan dalam undang-undang.114 Oleh undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1848 No.

22 bunga tersebut ditetapkan yakni sebesar 6% per tahun.115

Ganti kerugian terdiri dari dua jenis, yaitu ganti kerugian materil dang anti kerugian immateril. KUHPerdata hanya mengatur mengenai kerugian materil yang dapat dinilai dengan uang dan tidak mengatur mengenai mengenai kerugian immaterial. Sejalan dengan perkembangan, terdapat doktrin dan yurisprudensi yang membolehkan ganti kerugian immateril misalnya karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan/ketentraman. Menurut doktrin dan yurisprudensi bahwa bentuk ganti kerugian pada prinsipnya adalah uang dengan alasan alat yang paling praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Bentuk ganti kerugian selain uang adalah pemulihan keadaan semula (innatura) dan larangan untuk mengulangi, apabila tidak ditepati diperkuat dengan uang paksa (dwangsom) 116

Istimewanya dalam perjanjian pembayaran sejumlah yang tertentu tadi, kreditur sedikitpun tidak perlu dibebani untuk membuktikan kerugian dan besarnya kerugian yang dialaminya. Asal terjadi keterlambatan pembayaran saja berarti debitur sudah melakukan wanprestasi, dan tanpa pembuktian kerugian, kreditur sudah dapat menuntut ganti rugi bunga.117

114 Ibid., h. 49

115 Tan Kamello, Kuliah Online Hukum Perdata, tanggal 18 Mei 2021

116 Tan Kamello, Kuliah Online Hukum Perdata, tanggal 18 Mei 2021

117 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), h. 71

67

b. pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;

Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian merupakan sanksi atas kelalaian seorang debitur.

Pembatalan perjanjian bertujuan untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.118

Pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi pihak debitur ini, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pengaturannya pada Pasal 1266 yang berbunyi:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”

Menurut undang-undang kelalaian debitur itu sebagai suatu syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian.

Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis membuat batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu syarat batal. Berdasarkan pasal diatas, terdapat ketentuan bahwa pembatalan perjanjian itu harus diminta kepada hakim, sehingga suatu ketidakmungkinan apabila suatu perjanjian sudah batal secara

118 Subekti, Op.cit., h. 50

otomatis pada waktu debitur dinyatakan melalaikan kewajibannya.

Putusan hakim bersifat konstitutif dimana secara aktif membatalkan suatu perjanjian. Hakim juga memiliki kekuasaan discretionair yang berarti bahwa kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur.119

c. peralihan risiko;

Peralihan risiko atas kelalaian seorang debitur diatur dalam Pasal 1237 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian “risiko”, adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian. Peralihan risiko erat kaitannya dengan soal keadaan memaksa (force majeur). Peraliha risiko digambarkan menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu risiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia.120 Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sejak di keluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI No: 1115/P/3292/ M.1963 yang menentukan pasal-pasal tertentu termasuk Pasal 1460 KUHPerdata tidak berlaku lagi.

d. membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

119 Ibid.

120 Ibid., h. 52

69

Pembiayaan ongkos perkara bagi seorang debitur yang lalai terdapat dalam peraturan hukum acara dimana pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat (1) HIR). Dengan demikian apabila debitur lalai, maka ia akan dinyatakan kalah oleh hakim saat perkara telah sampai ke persidangan.

Dari keseluruhan penjelasan terkait akibat-akibat hukum yang diterima oleh debitur karena melakukan wanprestasi, menurut Pasal 1267 KUHPerdata pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai (wanprestasi) untuk melakukan:121

a. Meminta pemenuhan perjanjian, jika hal itu masih dimungkinkan (Nakomen);

b. Memiliki hak menuntut pemutusan/pembatalan perikatan (Ontbinding);

c. Memiliki hak atas ganti-rugi dengan secara bersamaan meminta pemenuhan prestasi (Hak Nakomen & Schade Vergoeding) ;

d. Hak atas ganti-rugi saja (Schade Vergoeding);

e. Pembatalan perjanjian dengan disertai ganti kerugian (Hak Ontbinding

& Schade Vergoeding).

Menentukan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian tidaklah mudah karena sering sekali terjadi di dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi. Untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu pada saat seseorang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian tersebut dan debitur

121 Tan Kamello, Kuliah Online Hukum Perdata, tanggal 18 Mei 2021

tidak memenuhi perikatan maka dapat dikatakan sebagai wanprestasi.

Keadaan ketika dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan atau ditentukan batas waktu suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi, maka menurut hukum perdata, penentuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari pihak kreditur kepada pihak debitur yang biasanya dalam bentuk somasi atau teguran. 122

Pada Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah menerima surat somasi.

B. Penyebab terjadi Wanprestasi Perjanjian Kredit pada PT. BPR Aditama