• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA BILA TERJADI

B. Akibat Hukum Jika Terjadi Wanprestasi

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak dipenuhinya kewajiban itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat-akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa dirinya.

Pertama-tama sebagai yang disebutkan dalam Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata dalam hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya, kreditur berhak atas untuk menuntut penggantian kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Akibat hukum seperti ini menimpa debitur baik dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, ataupun untuk tidak melakukan sesuatu.

Selanjutnya dalam Pasal 1267 KUHPerdata mengatakan :

Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi maka debitur dapat memilih di antara beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut :

a) Pemenuhan kerugian dengan ganti kerugian. b) Pemenuhan perikatan.

c) Ganti kerugian.

d) Pembatalan Janji Timbal Balik. e) Pembatalan dengan ganti kerugian.

Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian maka dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian. Sedangkan kalau hanya menuntut pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memamg sudah ada dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.

Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUHPerdata diatur pada Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang miliki kreditur akibat kelalaian debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan.94

Karena tuntutan ganti rugi itu diakui, malahan bahkan oleh undang-undang bahkan pelaksanaan tuntutan itu kreditur dapat meminta bantuan penguasa menurut cara-cara yang ditentukan dalam Hukum Acara Perdata, yaitu melalui sarana eksekusi yang tersedia dan diatur disana, atas harta benda milik debitur. Prinsip bahwa debitur

bertanggung jawab atas kewajiban perikatannya dengan seluruh harta kekayaan bendanya telah disebutkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.95

Karena namanya saja ganti rugi, maka logisnya besarnya ganti rugi adalah sebesar kerugian yang diderita. Namun Pasal 1249 KUHPerdata memberikan perkecualian, yaitu kecuali antara pihak yang telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti kerugian yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi. Dalam hal demikian, maka terlepas dari beberapa jumlah kerugian yang sebenarnya kepada kreditur harus diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut kata-kata Pasal 1249 KUHPerdata, “tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun kurang daripada jumlah itu”. Janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut sebagai ganti rugi atau denda atauschadevergoeding/boete beding.

Ganti rugi sebagaimana yang dikatakan oleh Pasal 1236 dan 1243 KUHPerdata bisa berupa ganti rugi dalam arti :

1) Sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya, untuk mudahnya dapat disebut prestasi pokok perikatannya, yaitu apa yang ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan.

2) Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau prestasi yang tidak sebagaimana mestinya tetapi kreditur mau menerimanya dengan disertai penggantian kerugian sudah tentu dengan didahului proses atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi.

3) Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur, oleh karena keterlambatan prestasi dari kreditur. Jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh kreditur disamping kewajiban perikatannya.

4) Kedua-duanya sekaligus, jadi disini dituntut baik pengganti kewajiban prestasi pokok perikatannya maupun ganti kerugian keterlambatannya.

Apabila perbuatan wanpresati telah dilakukan, maka ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pertama-tama sekali lagi perlu diperhatikan, bahwa menuntut pemenuhan prestasi perikatan adalah hak kreditur berdasarkan perikatannya. Ini harus dibedakan dari menuntut ganti kerugian, sebab ganti rugi dasarnya adalah wanprestasi dari debitur. Jadi dasar tuntutannya lain. Yang pertama didasarkan wanprestasi debitur dalam memenuhi kewajiban perikatannya. Yang sekarang yang ditinjau adalah tuntutan dasar wanprestasi. Pasal-Pasal 1246-1249 KUHPerdata hanya berlaku bagi tuntutan ganti rugi sebagai ganti dan disamping prestasi pokok, tetapi ketentuan-ketentuan itu tidak berlaku dalam hal ganti rugi itu sendiri merupakan prestasi pokok perikatannya, seperti pada perikatan yang lahir karena tindakan-tindakan melawan hukum, namun untuk berlakunya pasal-pasal tersebut tidak dibedakan apakah perikatan itu lahir karena undang-undang atau perjanjian.96

Prinsipnya dalam hal debitur wanprestasi kreditur berhak atas ganti rugi. Ganti rugi bisa diminta sebagai pengganti prestasi pokok debitur maupun dituntut disamping prestasi pokok. Dengan demikian orang dapat tetapi tidak harus menuntut

ganti rugi bersama-sama dengan tuntutan pemenuhan, tetapi ganti rugi disini bukan sebagai pengganti prestasi pokok. Jadi prestasi pokoknya diterima, tetapi disertai dengan protes dan karenanya di samping itu diminta sejumlah uang ganti rugi.97

Mengenai kewenangan kreditur untuk menuntut ganti rugi sebagai ganti prestasi pokok memang bisa menimbulkan permasalahan. Tapi dikatakan bahwa tuntutan atas pemenuhan prestasi pokok didasarkan atas perikatan itu sendiri, sedang tuntutan ganti rugi didasarkan atas wanprestasi debitur.

Apabila prestasinya sudah tidak berguna lagi bagi kreditur, ia tentukan dapat memilih menuntut pembatalan atau pembatalan disertai ganti rugi. Di sini, sebagai disebutkan di atas daalm jumlah ganti rugi yang dituntut, terdapat sejumlah uang sebagai ganti prestasi pokok dan mungkin sebagian lagi merupakan ganti rugi dituntut disamping prestasi pokok, umpama saja karena ia harus menderia kerugian sebagai akibat wanprestasi debitur. Jadi disini yang diterima oleh kreditur berupa ganti rugi sejumlah uang, sekalipun di dalamnya sebenarnya ada sejumlah uang yang mewakili nilai prestasi debitur yang terhutang, yang asalnya mungkin bukan berupa kewajiban membayar sejumlah uang tertentu. Dalam hal demikian, maka sebagai dikemukakan di depan, kewajiban prestasi debitur terhapus dengan pembayaran ganti rugi seperti itu.98

Dalam hal ada prestasi yang keliru, maka ia dapat menolaknya dengan mengembalikan benda prestasi kepada debitur dan menganggap tidak atau belum ada

97Ibid, hal. 90.

prestasi, selanjutnya ia dapat menuntut ganti rugi seperti tersebut di atas, menerima dengan disertai proses selanjutnya ia menuntut ganti rugi (disamping prestasi pokok).99

Apabila kreditur menerima penyerahan tanpa protes, tetapi tidak pernah menyertakan secara tegas bahwa penyerahan itu sudah betul, maka tidak dapat dikatakan bahwa dengan itu ia telah melepaskan haknya untuk menuntut adanya kekurangan pada barang yang diserahkan, ia tetap masih berhak untuk menuntut ganti rugi berdasarkan cacat yang tersembunyi kalau cacat itu tidak tampak dari luar.

Masalah lain sehubungan dengan tuntutan ganti rugi yang juga perlu mendapat pembahasan adalah mengenai nasib dari kewajiban pihak lainnya dalam perjanjian timbal balik kalau salah satu pihak wanprestasi.Memang dengan menuntut penggantian prestasi pokok, ia dapat melepaskan haknya untuk menuntut pemenuhan prestasi pihak lawan, jadi membebaskan debitur dari kewajiban perikatannya. Secara teoritis, tanpa adanya pembatalan perjanjian debitur dapat dapat membebaskan diri dari kewajiban perikatannya. Namun dalam prakteknya baik karena keteledoran maupun karena pembatalan membawa konsekuensi lain yang memberatkan, serngkali muncul tuntutan ganti rugi tanpa disertai dengan tuntutan pembatalan, dan dalam peristiwa seperti itu penyelesaiannya adalah dengan menerima bahwa perjanjian tersebut secara diam-diam telah dibatalkan.100

99J. Satrio,Op. Cit, hal. 75.

Seandainya para pihak menerimanya tidak ada masalah, tetapi debitur mengemukakan bahwa kreditur yang secara diam-diam menganggap bahwa perikatan telah hapus telah bertindak bertentangan dengan Pasal 1266 KUHPerdata, karena dalam hal perikatan tidak batal demi hukum dan para pihak telah mengaturnya secara lain dalam perjanjian maka pembatalannya harus dituntut dan diputuskan oleh Hakim. Mengenai hal ini pendapat Pengadilan berubah-ubah, ada yang membenarkan keberatan seperti itu tetapi ada pula yang menolaknya.

Tuntutan ganti rugi pada pokoknya ada kalanya dianggap sebagai suatu rangsangan agar debitur mau melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik. Kalau debitur tidak memenuhi atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya kewajiban perikatannya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepada debitur, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi dari debitur. Kalau debitur tidak dapat membuktikan adanya keadaan overmacht, maka tidak berprestasinya debitur dalam melaksanakan perjanjian yang telah disepakati para pihak atau tidak berprestasi debitur sebagaimana yang dituntut oleh kreditur, dapat dipersalahkan kepadanya atau dikatakan debitur wanprestasi dan Hakim akan mengabulkan tuntutan ganti rugi kreditur. Jadi kreditur mendasarkan tuntutannya pada dan karenanya harus membuktikan adanya perikatan yang mengandung suatu kewajiban bagi debitur, adanya unsur salah pada debitur (karena tidak atau tidak sebagaimana mestinya dipenuhinya kewajiban debitur) dan adanya kerugian pada kreditur. Jadi prinsip dasarnya adalah kreditur wajib mebuktikan adanya kerugian.

Untuk mengatasi kesulitan pembuktian, maka kepada para pihak dalam perjanjian diberikan kesempatan untuk menetapkan lebih dahulu, berapa besarnya ganti kerugian yang akan dipikul oleh debitur dalam hal ini wanprestasi, tanpa perlu pembuktian berapa kerugian yang sebesarnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1249 KUHPerdata.

Mengenai pembuktian sebab dari timbulnya kerugian, Pasal 1244 KUHPerdata memberikan suatu ketentuan umum yang menyimpang dari apa yang disebutkan di atas, yang apada intinya mengatakan bahwa jika adala alasan untuk itu, debitur dapat dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa hak tidak dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu overmacht. Di sini dengan tegas disebutkan bahwa pembagian kewajiban pembuktian seperti itu hanya berlaku untuk perikatan dengan isi yang memberikan hasil sesuatu yang bersifat positif.

Ketentuan mengenai keadaan memaksa (force majure) yang diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan :

Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Menurut Undang-Undang ada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi untuk keadaaan memaksa, yaitu :

1) Tidak memenuhi prestasi,

3) Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Buku III (tiga) KUHPerdata tidak memuat suatu ketentuan umum mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan memaksa atau force majure itu. Pasal 1244 KUHPerdata menamakan keadaan memaksa itu sebab yang halal. Pasal 1245 KUHPerdata menamakannya keadaan memaksa atau hal kebetulan (overmacht atau

toeval) dan Pasal 1444 KUHPerdata menamakannya hal kebetulan yang tidak dapat

diperkirakan.

Perjanjian Sewa Menyewa gedung ini terdapat ketentuan mengenai force majure, yaitu bahwa para pihak menyetujui bahwa kedua-duanya tidak bertanggung jawab atas keterlambatan, biaya, kerugian atau pengeluaran yang disebabkan oleh keadaan force majure, termasuk kebakaran, pemogokan, banjirm kerusuhan, perang, pemberlakuan atau perubahan undang-undang dan peraturan-peraturan yang melarang setiap pihak manapun untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya di dalam perjanjian ini, atau setiap bencana alam lain maupun atau setiap kejadian lain apapun yang di luar penguaasaan wajar dari masing-masing pihak. Dalam halforce majure Perjanjian Sewa Menyewa gedung ini dapat diakhiri untuk jangka waktu yang ditetapkan atau tidak ditetapkan yang dapat diterima dan wajar bagi kedua belah pihak sesuai dengna kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

C. Ketentuan Mengenai Akta Perjanjian Sewa Menyewa Dalam Bentuk