• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUBUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM

A. Pengertian Perjanjian di Indonesia

Sumber hukum Perjanjian di Indonesia yang berbentuk perundang-undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku III. Bagian-bagian Buku IIIyang berkaitan dengan

Kontrak adalah sebagai berikut :

1. Pengaturan tentang perikatan perdata. Pengaturan ini merupakan pengaturan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku karena undang-undang.

2. Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari kontrak. Pengaturan perikatan yang timbul dari kontrak ini menurut KUH Perdata diatur dalam Bab II Buku III. 3. Pengaturan tentang hapusnya perikatan. Pengaturan ini terdapat dalam Bab IV

Buku III.

4. Pengaturan tentang kontrak-kontrak tertentu. Pengaturan ini terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III.

Perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut : perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja, persskutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utama dan perdamaian. Di luar

KUH Perdata dikenal perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan yang dijadikan sumber-sumber hukum dalam merancang suatu kontrak atau perjanjian di Indonesia adalah :34

1. KUH Perdata, yang terdiri dari Buku III Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864.

2. Undang-undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

3. Pasal 5 sampai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia mengatur tentang pembebanan Jaminan Fiducia. 4. Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Secara umum, Perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Suatu perjanjian akan melahirkan perikatan pada pihak-pihak yang membuatnya seperti dinyatakan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa “tiap-tip perikatan dilshirkan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang”.

Meskipun bunyi Pasal 1313 KUHPerdata di atas tidak dinyatakan bahwa suatu perikatan lahir karena perjanjian atau undang-undang tetapi pasal tersebut

34H. Salim, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih,Perancangan Kontrak dan Memorandum Of Understanding (MOU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 3.

bermaksud menyatakan bahwa diluar perjanjian karena hal-hal yang ditetapkan undang-undang tidak akan ada perikatan.35

Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan, karena setiap perjanjian akan selalu melahirkan perikatan maka perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara “sukarela” mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Pernyataan sukarela menunjukkan pada kita semua bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.

35 Muljadi, Kartini dan Gunawan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Cetakan Kedua, Jakarta, Grafindo Persada, 2004, hal. 2.

Selanjutnya pernyatan “dalam lapangan harta kekayaan”, dimaksud untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan di sini adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan.

“Segala kebendaan milik debitur, baikyang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi tanggungan segala perikatannya perseorangan”.36

Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, Pasal 1548 KUHPerdata merumuskan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.

M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa, “sewa menyewa adalah

persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk dinikmati sepenuhnya (volledige genot)”.37

Sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat perseorangan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini kepemilikan terhadap objek sewa tersebut tidaklah beralih kepada penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari yang menyewakan. Sewa menyewa tidak memindahkan hak milik dari si yang menyewakan kepada si penyewa. Karena selama

36Ibid, hal. 2-3.

berlangsungnya masa persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntutan pihak ketiga atas benda atau barang yang disewanyaagar pihak penyewa dapat menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama masa sewa berlangsung.38

Pasal 1576 KUHPerdata menyebutkan, “dengan dijual barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya, tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang”. Berdasarkan pasal tersebut bahwa apabila objek yang disewakan itu dijual oleh pemilik sebelum habis masa sewanya dan hal ini tidak pernah dibicarakan sebelumnya oleh si penyewa, maka perjanjian sewa menyewa itu tetap berlangsung dan tidak dapat berakhir.

R. Subekti menyatakan, “jika ada suatu perjanjian yang demikian, si penyewa tidak berhak menuntut suatu ganti rugi apabila tidak ada suatu janji tegas, tetapi jika ada suatu janji tersebut belakangan ini, ia tidak diwajibkan mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi terutang belum dilunasi.39

Pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari gangguan serta tuntutan dari pihak ketiga selama pihak-pihak penyewa menikmati barang yang disewa atau selama jangka waktu persewaan berlangsung, dan dalam hal ini merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang menyewakan.40

38Ibid.

39R. Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 71.

B. Syarat-Syarat Perjanjian Sewa Menyewa Yang Bersumber Dalam Hukum