• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat-Syarat Perjanjian Sewa Menyewa Yang Bersumber

BAB II PENGATURAN HUBUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM

B. Syarat-Syarat Perjanjian Sewa Menyewa Yang Bersumber

Ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tentang perikatan, khususnya yang berkaitan dengan kontrak/perjanjian berlaku terhadap :41

1. Kontrak bernama (kontrak khusus), contaoh : jual beli, sewa menyewa, hibah, pinjam pakai, perdamaian, tukar menukar, dan lain-lain.

2. Kontrak tidak bernama (kontrak umum), contoh : leasing, beli sewa, joint venture, franchise.

Dalam melakukan kontrak tentunya tidak lepas dari apa yang disebut sebagai asas-asas kontrak. Tentunya dalam tinjauan yuridis ini adalah sesuai denganKUH Perdata.

1. Asas-asas Perjanjian dalam KUH Perdata.

a. Hukum Kontrak / Perjanian bersifat mengatur.42 Sebagaimana kita ketahui, hukum dibagi 2 yaitu : 1. Hukum memaksa (dwingend recht)

2. Hukum mengatur (aanvullen recht)

Maka hukum kontrak / perjanjian pada prinsipnya tergolong dalam hukum mengatur. Artinya bahwa hukum tersebut baru akan berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain. Jika para pihak mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam perjanjian maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. Kecuali undang-undang menentukan lain.

41Munir Fuady,Op.Cit., hal. 23.

b. Asas Kebebasan Berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ”.

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan untuk :43 1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian; 3) Memilih kausa perjanjian yang akan dibuatnya;

4) Menentukan objek perjanjian;

5) Menentukan bentuk suatu perjanjian dan;

6) Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

Asas kebebasan berkontrak ini sifatnya universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian yang memiliki ruang lingkup yang sama.44 Sebagai satu kesatuan yang utuh maka penerapan asas ini sebagaimana tersimpul dalam substansi Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) harus dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan lain yaitu :45

1) Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian.

43J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya,Alumni, Bandung, 1993, hal. 36.

44 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47.

2) Pasal 1335 KUH Perdata mengenai pembuatan kontrak dikarenakan kausa yang legal.

3) Pasal 1337 KUH Perdata mengenai kontrak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

4) Pasal 1338 KUH Perdata yang menetapkan kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.

5) Pasal 1339 KUH Perdata yang menunjuk terikatnya perjanjian pada sifat kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

6) Pasal 1347 KUH Perdata yang mengatur mengenai hal-hal yang menurut klebiasaan.

Kebenasan berkontrak harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang.46Hal-hal tersebut di atas yang membatasi bekerjanya asas ini. c. AsasPacta Sunt Sevanda

Asaspacta sunt servanda(janji yang mengikat) ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. Asas ini disebut juga sebagai asas kepastian hukum. KUH Perdata menganut prinsip ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata).

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal didalam hukum Gereja. Disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua

belah pihak dikuatkan dengan sumpah sehingga dikaitkan dengan unsur keagamaan. Dengan perkembangannya pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.47

d. Asas Konsensualisme dari suatu kontrak / perjanjian.

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal tersebut terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian yaitu konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian.48 Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap peleburan perjanjian. Peleburan disini mempunyai arti adanya persetujuan untuk melakukan penggabungan atau penyatuan kehendak yang dituangkan dalam perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber dari moral.49 Asas Konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti50yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata.

e. Asas Kepribadian (Personality).

47H. Salim, Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih,Op. Cit., hal. 3.

48 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, 2001, hal. 82.

49Ibid,hal., 108-109.

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.51 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan :

”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Intinya ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi :

”Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.

Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diperkenalkan dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan :

”Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk

kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.52

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya.

f. Asas Itikad Baik.

Pengaturan Pasal 1338 (3) KUH Perdata yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei-kontrak berdasarkan itikad baik). Dalam praktik asas itikad baik, hakim menggunakan wewenang untuk mancampuri isi perjanjian sehingga tampaknya itikad baik bukan saja ada pada pelaksanaan perjanjian tetapi juga pada saat ditandatanganinya atau dibuatnya perjanjian.53

2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian.

Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak/perjanjian tersebut harus memenuhi syata-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :54

a. Syarat sah yang umum, yaitu :

a) Syarat sah umum berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

52Salim HS,Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak),Sinar Grafika, Cetakan IV, Jakarta, 2006, hal. 12-13.

53Suharnoko,Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 4.

1) Kesepakatan kehendak; 2) Berwenang untuk membuat; 3) Perihal tertentu;

4) Kausa yang legal.

b) Syarat sah umum di luar Pasal 1420 KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1335, Pasal 1337, Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata :

1) Syarat itikad baik;

2) Syarat sesuai dengan kebiasaan; 3) Syarat sesuai dengan kepatutan;

4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum. b. Syarat sah khusus yang terdiri dari :

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu; 2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;

3) Syarat akta pejabat tertentu(yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak tertentu;

4) Syarat ijin dari yang berwenang.

Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya suatu kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat-syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut :55

a. Batal demi hukum (void). Kontrak ini tidak mempunyai akibat hukum, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu kontrak. Contoh kontrak untuk melakukan

suatu tindak pidana. Apabila kontrak ini batal maka tidak ada satu pihak. Hal ini terjadi bila dilanggarnya syarat objektif kontrak dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat objektif tersebut adalah perihal tertentu, dan kausa yang legal. b. Dapat dibatalkan (voidable). Kontrak dimana setidak-tidaknya satu pihak

mempunyai pilihan untuk meniadakan kewajiban dalam kontraknya. Kontrak yang dapat dibatalkan ini kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban mereka untuk memenuhinya. Apabila pihak dengan pilihan tadi memilih untuk meratifikasi (yaitu melaksanakan kontrak tersebut) maka kedua belah pihak harus secara penuh melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan beberapa pengecualian yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif itu adalah kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat.

c. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (un-enforceable).

Kontrak ini adalah kontrak yang unsur-unsur esensial untuk mencuptakan kontrak telah terpenuhi namun terdapat perlawanan secara hukumbagi dilaksanakannya kontrak. Jadi kontrak ini terdapat perlawanan hukum bagi pelaksanaannya. Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah dalam kontrak yang dapat dibatalkan ini kontraknya sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkannyakontrak tersebut. Contoh kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang

tidak dalam bentuk tertulis, kendatipun Undang-Undang Penipuan telah mensyaratkan agar dalam bentuk tertulis kontrak ini tidak dapat dilaksanakan. Pihak-pihak bisa saja secara sukarela membuat kontrak yang tidak dapat dilaksanakan.

d. Sanksi Administratif.

Ada juga kontrak yang apabila tidak dipenuhihanya mengakibatkan sanksi administratif saja. Misalnya kontrak yang memerlukan ijin atau pelaporan terhadap instansi tertentu kepada Bank Indonesia untuk kontrakOffshoreLoan

(Peminjaman ke luar negeri).

Uraian tentang syarat sah suatu kontrak adalah sebagai berikut : a. Kesepakatan

Seperti telah disebutkan sesuai Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan. Kesepakatan ini adalah kesepakatan kehendak. Syarat ini bersama dengan syarat kewenangan berbuat merupakan syaratsubjektif dari kontrak.

Suatu kesepakatan kehendak dimulai dari adanya unsur penawaran (offer)

oleh salah satu pihak diikuti oleh penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya, sehingga terjadilah suatu kontrak.56

Apabila dalam suatu kontrak terjadi salah satu unsur-unsur paksaan (dwang) dan kesilapan (dwaling) maka terhadap kontrak tersebut tidak terpenuhi syarat kesepakatan kehendak.

Penjelasan dari unsur-unsur itu adalah :57

1) Unsur Paksaan. Unsur paksaan (dwang,duress) ketentuannya bisa dilihat dalam Pasal 1324KUH Perdata yaitu :

“Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hinggá dapat menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Paksaan dapat merupakan alasan untuk minta pembatalan perjanjian apabila dilakukan terhadap :58

a. Orang atau pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1323 KUH Perdata) b. Suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis

ke atas maupun ke bawah (Pasal 1325 KUH Perdata).

2) Unsur Penipuan (bedrog, fraud, misrepresentation)dalam kontrak. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1328 KUH Perdata yaitu :

”Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikan rupa hingga terang dan nhyta bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan tetapi harus dibuktikan”.

Penipuan harus dibuktikan, tidak dapat dipersangkakan. Dalam bahasa Inggris disebut juga misrepresentation yang diartikan sebagai suatu

57 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993hal. 66.

pernyataan tentang fakta yang tidak benar.59Hal ini diatu dalam ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata.

3) Unsur Kesilapan (dwaling, mistake) dalam suatu kontrak. Unsur ini ketentuannya bisa dilihat pada Pasal 1322 KUH Perdata yaitu :

”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuaali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.

Terdapat kesesatan apabila dikaitkan dengan hakikat benda atau orang dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan.60

b. Kecakapan

Salah satu syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah para pihak dalam keadaan ”cakap berbuat” (bevoegd). Siapakah pihak-pihak yang dimaksudkan cakap ini? Menurut ketentuan yang berlaku bahwa semua orang yang cakap (berwenang) kecuali mereka yang tergolong sebagai berikut yaitu dalam Pasal 1330 KUH Perdata:

”Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah” : 1) Orang-orang yang belum dewasa

59Hardijan Rusli,Op.Cit., hal. 72.

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang yang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Berbicara mengenai syarat-syarat perjanjian sewa menyewa haruslah berpedoman pada syarat-syarat sah dan terjadinya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak yang melakukan perjanjian, para pihak yang melakukan hubungan hukum tersebut haruslah cakap bertindak dalam hukum, harus ada objek yang diperjanjikan dalam suatu hal yang halal. Hal tersebut juga termaksud dengan jelas pada memori Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1963 yang menyebutkan bahwa, hubungan sewa menyewa umumnya tercipta karena ada kata sepakat antara pihak pemilik dan penyewa. Suatu perjanjian merupakan dasar yang umum untuk hubungan sewa menyewa.61

Untuk pencapaian syarat keadilan ataupun kepastian hukum, syarat-syarat

esensial atau pokok mengenai perjanjian mutlak diperlukan. Adapun syarat-syarat dari terjadinya dan sahnya perjanjian sewa menyewa ini terdiri atas syarat subyektif mengenai orang-orang atau para pihak dalam perjanjian sewa menyewa, dan syarat obyektif yakni mengenai objek atau barang yang dijadikan sebagai objek beserta persyaratannya dalam perjanjian sewa menyewa.

Sebagai langkah awal dalam melaksanakan suatu perjanjian sewa menyewa terlebih dahulu haruslah ada persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak

penyewa dengan pihak yang menyewakan yang bersifat bebas dan secara sukarela tanpa adanya suatu paksaan dan tekanan dari pihak mana pun juga, dan dalam kesepakatan tersebut harualah dengan itikad tanpa adanya unsure penipuan ataupun perbuatan melawan hukum lainnya.

Kecakapan juga merupakan hal yang penting dalam melakukan perjanjian sewa menyewa, yaitu penyewa dan yang menyewakan haruslah orang-orang yang cakap untuk membuat dan mengadakan suatu perjanjian yaitu orang-orang dewasa yang sehat pikirannya serta tidak dilarang oleh undang-undang. Pentingnya kecakapan para pihak dalam membuat dan mengadakan perjanjian sewa menyewa adalah dikarenakan akibat dan tanggung jawab yang ditimbulkan dengan terjadinya perjanjian itu dipikul oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian dan hanya orang-orang yang cakap bertindak dalam hukum yang dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik.62

Wiryono Prodjodikoro menyebutkan bahwa : “Subjek yang merupakan seorang manusia, haruslah memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu dewasa, sehat pikirannya, dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau dibatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah”.63

Syarat lain yang mendasari suatu perjanjian sewa menyewa adalah suatu hal (objek) tertentu, dengan maksud objek atau barang dalam suatu perjanjian sewa menyewa haruslah tertentu dan bertujuan untuk mempermudah terjadinya

62Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.67.

pelaksanaan perjanjian tersebut serta untuk lebih mempermudah hak dan kewajiban yang harus dipikul pihak penyewa dan yang menyewakan juga terhadap kemungkinan yang akan timbul dikemudian hari.64

Isi dan ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa menyewa inipun haruslah yang halal dalam arti tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, karena apabila isi serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian sewa menyewa tersebut tidak halal atau bertentangan dengan hukum, maka perjanjian batal demi hukum. Suatu perjanjian sewa menyewa yang diperbuat tanpa suatu sebab adalah merupakan perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan hukum atau diperbuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang (Pasal 1335 KUHPerdata).65

C. Hubungan Para Pihak dilihat dari Hak dan Kewajiban Para Pihak Yang Mengadakan Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Plaza Medan Fair

1. Hak dan Kewajiban Pihak Pertama (Pemilik/Investor).

Hukum Perjanjian sebagai suatu perikatan hukum yang dilahirkan oleh suatu perjanjian mengakibatkan lahirnya hak dan kewajiban yang melakukan perikatan tersebut.66

Perjanjian sewa menyewa gedung Plaza Medan Fair oleh Dina Pendapatan Daerah ini pada hakikatnya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban para pihak

64Moegini Djojodirjo,Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1979, hal. 75.

65Ibid,hal. 76.

66Kartini Muljadi, Gunawan Widjaya,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2002, hal. 65.

dalam perjanjian sewa menyewa pada umumnya. Dimana terdapat pihak penyewa dan yang menyewakan. Objeknya berupa suatu benda tertentu dalam hal ini adalah gedung. Dalam perjanjian sewa menyewa gedung ini, pemilik menyewakan gedung miliknya tersebut kepada pihak penyewa. Hal tersebut terus berlanjut sesuai dengan perjanjian sewa menyewa yang telah pihak pemilik dan penyewa sepakati.67

Manurut ketentuan hukum perdata antara hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian bersifat timbale balik. Hak dari pihak yang satu merupakan kewajiban dari pihak yang lainnya. Demikian halnya dengan perjanjian sewa menyewa gedung Plaza Medan Fair, apa yang menjadi hak penyewa juga merupakan kewajiban dari pihak pemilik gedung dan begitu pula sebaliknya, kewajiban dari pihak penyewa merupakan hak dari pihak pemilik gedung. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut :

Berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa gedung Plaza Medan Fair, hak dari Pemilik atau Yang Menyewakan adalah :

Yang Menyewakan berhak atas seluruh kewajiban pembayaran yang akan menjadi beban Penyewa serta hak-hak lain yang terdapat atau berhubungan dengan Pelaksanaan Perjanjian ini yang menjadi hak Yang Menyewakan untuk tidak mengembalikan Deposit Sewa, jaminan telepon Penyewa serta pembayaran uang sewa dan Biaya Pemeliharaan yang telah diterima dimuka oleh Yang Menyewakan dari Penyewa apabila Penyewa memutuskan sewa sebelum Jangka Waktu Sewa berakhir.

Mengenai kewajiban-kewajiban pihak Pemilik atau Yang Menyewakan dalam Perjanjian Sewa Menyewa diatur dalam Pasal 1550, Pasal 1551, dan Pasal 1554 KUHPerdata, yaitu :

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa. Di dalam pelaksanaan perjanjian yang menyewakan kepada pihak penyewa haruslah dengan penyerahan secara nyata (Feitelijke Levering).

Pihak yang menyewakan juga berkewajiban untuk memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang itu tetap dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan dalam perjanjian sewa menyewa.

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk memberikan kepada pihak penyewa kenikmatan dan ketentraman atas barang yang disewakannya selama berlangsungnya masa sewa.

Pihak yang menyewakan tidak boleh merubah bangunan serta susunan barang yang disewakan selama masih berlangsungnya perjanjian sewa menyewa (Pasal 1554 KUHPerdata).

Pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa dalam keadaan baik dan terpelihara dari segala-galanya (Pasal 1551 KUHPerdata).68

Kewajiban pihak yang menyewakan seperti tersebut di atas adalah kewajiban mutlak karena apabila ternyata pihak yang menyewakan tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan barang yang disewakannya dalam keadaan baik dan terpelihara dari segala-galanya, ikatan dan hak apapun atas barang yang disewakan, maka pihak yang mneyewakan dapat dituntut telah melakukan ingkar janji atau cidera janji ataupun wanprestasi, diman pihak penyewa dapat menuntut penggantian kerugian ataupun meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa tersebut meski jangka waktu berakhirnya masa sewa belum berakhir.69

68R. Subekti dan R. Tjiptosudibio,Op. Cit,hal. 325.

Hak dan kewajiban pihak penyewa dan pihak yang menyewakan terdapat suatu hubungan atau terciptanya suatu hubungan yang mengikat kedua belah pihak, yang dikatakan sebagai hubungan timbale balik atau bilateral. Artinya suatu pihak memperoleh hak-hak dari perjanjian yang juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak-hak yang diperolehnya. Sebaliknya satu pihak memikul kewajiban-kewajiban dan juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikan dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya sehingga lahirlah suatu hubungan yang dinamakan dengan hubungan sewa menyewa secara mengikat yang mau tidak mau harus ditaati oleh kedua belah pihak.70

Kewajiban dari pemilik sebagai pihak yang menyewakan dalam Perjanjian Sewa Menyewa gedung Plaza Medan Fair adalah sebagai berikut :

1. Menyediakan Objek Sewa

Setelah Penyewa membayar Harga Sewa, Deposit Sewa, Telepon Deposit, dan melaksanakan kewajiban Penyewa yang terdapat dalam Lampiran IV ini, Penyewa berhak untuk menikmati Objek Sewa selama Jangka Waktu Sewa.