• Tidak ada hasil yang ditemukan

7. PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMBENTUKAN RANTAI PEMASARAN DAN KINERJA RANTAI NILAI

7.2 Akses Terhadap Lingkungan Pendukung

7.3.1 Akses Terhadap Infrastruktur dan Ketersediaan Transportasi

Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan akses yang memiliki peran signifikan terhadap kemampuan lembaga pemasaran dalam mengakses pasar (Muchara 2011). Infrastruktur dalam usaha ternak penggemukan sapi potong yang dimaksudkan di sini adalah ketersediaan akses jalan, akses terhadap lembaga kesehatan hewan, akses pasar hewan, akses rumah potong hewan yang memadai, dan akses terhadap pusat informasi harga. Ton (2012) menyebutkan bahwa dalam rantai nilai, keterbatasan akses infrastruktur yang dimiliki aktor dapat diartikan sebagai ketiadaaan fasilitas pemasaran seperti jalan penghubung yang baik, pasar yang baik, dan rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan kualias. Selain itu keberadaan sarana transportasi dapat diartikan sebagai ketersediaan alat angkut untuk mengangkut ternak. Adanya infstruktur yang baik ditunjang dengan ketersediaan alat transportasi sangat membantu peternak dan pedagang dalam meningkatkan kinerjanya.

Pada table 7.1, kemampuan aktor dalam mengakses infrastruktur bervariasi tergantung kepada lokasi aktor tersebut berada dan tipe aktor atau lembaga yang diidentifiksi di bab sebelumnya. Kemampuan akses infrastruktur yang dimiliki oleh peternak mitra tergolong sedang (53 persen). Kemampuan akses sedang dapat diartikan bahwa peternak mitra memiliki akses terhadap keberadaan jalan yang baik (aspal) karena lokasi tempat tinggal atau kandang peternak berada dekat dengan akses Jalan Raya. Akan tetapi, peternak mitra tidak memilki akses terhadap keberadaan fasilitas lain, seperti fasilitas pasar hewan dan fasilitas RPH. Kemampuan peternak mitra rendah (47 persen) disebabkan peternak berada di lokasi jauh dari pusat Kecamatan dan tidak memiliki akses langsung terhadap pasar.

Kemampuan peternak tidak bermitra tipe satu tergolong rendah (31 persen), peternak dengan akses rendah ini berarti tidak memiliki akses terhadap keberadaan infrastruktur fisik yang memadai. Kemampuan peternak tidak bermitra tipe dua digolongkan memiliki akses sedang terhadap keberadaan infrastruktur (83 persen). Peternak tidak bermitra tipe dua memiliki lokasi tempat tingga dekat dengan pusat kecamatan dan mampu mengakses jalan raya (beraspal). Kemampuan peternak dalam mengakses infrastruktur tersebut kemudian mempengaruhi peternak untuk mengakses pasar. Hal ini dapat dibuktikan dengan akses pedagang yang dimiliki oleh peternak. Peternak tidak bermitra tipe satu dengan akses yang rendah menjual ke pedagang desa disebabkan oleh ketidak mampuan peternak membawa ternak ke pusat Kecamatan. Sedangkan peternak tipe dua, dengan akses sedang langsung terhadap pedagang tingkat Kecamatan. Perbedaan kemampuan akses ini kemudian mempengaruhi nilai marjin yang terbetuk di masing-masing rantai.

Kemampuan pedagang desa untuk mengakses infrastruktur tergolong sedang (100 persen). Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan yang harus dilalui pedagang desa yaitu jalan desa yang berjarak lebih dari 20 Km dari pusat kecamatan, dan hampir 50 Km dari pusat pasar di Kabupaten dengan kondisi infrastruktur jalan yang rusak dan landscape pegunungan yang berkelok-kelok. Meskipun demikian, pedagang desa masih tetap memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengakses jalan yang baik ketika menjual produknya. Kemampuan pedagang kecamatan dan pedagang pemotong dalam mengakses infrastruktur dan transportasi tergolong tinggi dengan skor 3. Kemampuan akses tersebut dapat dilihat dari bagaimana situasi yang dihadapi pedagang dalam menjual dan membeli produknya. Meskipun pedagang kecamatan harus menempuh jarak 30-35 Km ke pusat kota, akan tetapi ketersediaan kendaraan dan infrastruktur jalan yang bagus memungkinkan pedagang kecamatan mengantarkan ternak tepat pada waktunya. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong juga dapat dengan mudah mengakses pasar hewan dan berbagai fasilitas yang tersedia di pasar tersebut. Akses lain adalah akses ke rumah potong hewan di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, dimana RPH di kedua kabupaten tersebut telah dilengkapi fasilitas pemotongan dan tergolong dalam RPH kelas B, sedangkan RPH di kecamatan Wanayasa merupakan RPH tipe C atau tipe RPH dengan daya tamping kurang dari 20 ternak per pemotongan.

Tabel 7.1. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan infrastruktur

Tingkat Akses Nilai Akses

Jumlah Persentase (%) 1. Peternak mitra (n=30) Tinggi - Sedang 16 53 Rendah 14 47 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi 20 31 Sedang 2 3 Rendah 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang 5 63 Rendah 3 38 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi Sedang 5 100 Rendah 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi 2 100 Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi 2 67 Sedang 1 33 Rendah

Akses selanjutnya adalah akses terhadap keberadaan alat transportasi untuk mengangkut ternak. Pada table 7.2 Kemampuan aktor dalam mengakses alat trasportasi bervariasi tergantung pada ketersediaan modal. Kemampuan peternak mitra dalam mengakses transportasi tergolong sedang (93 persen). Peternak tersebut tidak memiliki akses sarana transportasi sendiri, akan tetapi peternak dapat dengan mudah menyediakan alat transportasi sehubungan dengan sistem kemitraan yang diikuti. Peternak yang tidak memiliki akses sama sekali (7 persen) yaitu peternak yang mengalami kesulitan baginya untuk menghubungi pemilik modal. Kemampuan akses peternak tidak bermitra tipe satu terhadap transportasi tergolong sedang (63 persen) dan tinggi (57 persen). Kemampuan peternak yang sedang adalah peternak yang tidak memiliki alat transportasi akan tetapi dengan mudah menghubungi pedagang kapanpun dia membutuhkan. Kemampuan peternak tinggi dapat diartikan bahwa peternak memiliki alat transportasi.

Akses pedagang desa terhadap ketersediaan transportasi yaitu rendah (20 persen), sedang (20 persen) dan tinggi (60 persen). Kemampuan pedagang desa yang rendah ketika pedagang desa tidak memiliki ketersediaan transportasi dan

sangat tergantung kepada pedagang tingkat atasnya, sehingga biaya transportasi menjadi lebih tinggi. Kemampuan pedagang desa yang sedang yaitu ketika pedagang desa tidak memiliki alat transportasi akan tetapi dapat mengakses alat transportasi dengan cara menyewa secara kolektif. Pedagang yang memiliki akses tinggi berarti memiliki alat transportasi. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong memiliki akses yang tinggi terhadap transportasi (100 persen).

Tabel 7.2 Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan transportasi

Tingkat Akses Nilai Akses

Jumlah Persentase (%) 1.Peternak mitra (n=30) Tinggi Sedang 21 70 Rendah 9 30 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi Sedang Rendah 22 100 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang 5 63 Rendah 3 38 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi 3 60 Sedang 1 20 Rendah 1 20 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi 2 100 Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi 3 100 Rendah Sedang