• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Usaha utama 0 2 7 b.Usaha Sampingan 30 100 28 93 2. Tenaga Kerja a.Tenaga Kerja Keluarga 30 100 28 93 b.Tenaga Kerja Sewa - 2 7 3. Jumlah Kepemilikan Sapi Potong a.1-3 30 100 25 83 b.4-6 - 5 13 c. >6 - 1 3 4. Tipe Kandang a.Permanen 20 67 16 53 b.Semi Permanen 10 33 14 47 5. Akses Lahan a. Lahan milik sendiri 28 93 30 100 b. Lahan Sewa 2 7 - 6. Kepemilikan lahan a. 0-1 ha 26 87 25 83 b. 1-3 ha 4 13 4 13 c. >3 ha - 1 3 7.. Akses Finansial a. Tinggi (skor 3) 18 60.00 1 3 b. Sedang (Skor 2) 12 40.00 4 13 c. Rendah (Skor 1) 25 83 1. Status usaha

Status usaha dikategorikan menjadi dua, yaitu sebagai pekerjaan utama dan sebagai usaha sampingan. Klasifikasi ini berdasarkan curahan waktu yang dilakukan peternak dalam melakukan pekerjaanya, dimana curahan waktu yang lebih banyak dapat dikategorikan sebagai pekerjaan utama. Pada tabel 6.3, sebagian besar peternak baik peternak mitra maupun peternak yang tidak bermitra menjadikan usaha ternak sebagai usaha sampingan, hanya ada 1 orang peternak mitra dan dua orang peternak yang tidak bermitra menjadikan usaha sapi sebagai pekerjaan utama. Hal ini dapat dilihat dari curahan waktu peternak dalam satu hari kerja, peternak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan lain tarutama yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata peternak memiliki lahan yang ditanami berbagai tanaman terutama sayuran seperti kentang, wortel dan kubis. Beberapa peternak lain merupakan buruh di perusahaan penggemukan di daerah setempat. Deskripsi status usaha peternak dapat di asosiasikan dengan motivasi peternak dalam mengusahakan sapinya. Rata-rata peternak memiliki tujuan memelihara sapi sebagai tambahan penghasilan maupun tabungan.

Peternak memiliki tujuan memelihara sapi sebagai tabungan:

saya memelihara sapi semenjak tujuh tahun yang lalu sejumlah satu ekor, saya memelihara sapi untuk mendapatkan keuntungan pada hari raya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya bekerja di peternakan/pedagang sebagai pengangkut sapi ‘-Pak Senen (Peternak Mitra)

Pengakuan peternak sebagai petani dan motivasi beternak sebagai tabungan : Saya memelihara sapi semenjak kurang lebih 16 tahun yang lalu, jumlah sapi yang saya pelihara sebesar 2 dan tidak pernah bertambah. Aktivitas saya sehari-hari adalah bertani kubis dan kentang, terkadang jagung. Tergantung pada harga sayuran mana yang sedang bagus. Sedangkan sapi berfungsi untuk berjaga-jaga jika keluarga saya membutuhkan sesuatu. Beberapa hari lalu, saya menjual sapi, karena anak saya akan menikah” Pak haryono (Peternak non mitra)

2. Jumlah kepemilikan sapi, aset dan tipe kandang

Jumlah kepemilikan sapi memiliki asosiasi dengan skala usaha. Skala usaha berpengaruh terhadap kemampuan peternak dalam mengelola usaha sapi potong. Besar kecilnya jumlah ternak yang dimiliki, akan mendorong bangkitnya motivasi peternak untuk mengembangkan ternak sapi potong karena sapi potong merepresentasikan modal yang dimiliki peternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schultze (2007) ternak diasumsikan sebagai representasi modal yang dimiliki peternak rakyat. Hal tersebut sehubungan dengan sikap dan motivasi peternak dalam memelihara ternak sebagai cadangan atau tabungan apabila suatu saat membutuhkan uang tunai. Dalam hal ini, ternak menjadi instrument keuangan bagi peternak rakyat, karena ternak dapat dijual kapan saja ketika membutuhkan uang tunai.

Usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Wanayasa masih tergolong usaha sampingan, hal ini dapat dilihat dari jumlah kepemilikan sapi yang masih rendah yaitu secara keseluruhan rata-rata 1-3 ekor sapi baik mitra maupun tidak bermitra. Hanya ada empat orang peternak dengan kepemilikan 4 ekor sapi, dan 1 orang peternak dengan kepemilikan 7 ekor sapi. Jumlah kepemilikan sapi akan mempengaruhi tipe usaha dan biaya yang dikeluarkan.

Peternak dengan kepemilikan sapi 1-3 ekor sapi adalah peternak yang mengusahakan ternak untuk kepentingan tabungan dan sebagian kecil untuk tambahan pendapatan. Sedangkan peternak dengan kepemilikan 4 ekor sapi ke atas, menggunakan ternak sebagai tambahan pendapatan dan sebagai cabang usaha yang menyumbang hampir 65 persen total pendapatan keluarga. Menurut Rahardi (2003)3 secara umum tipologi usahaternak adalah (1) sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh di bawah 30 persen dari pendapatan keluarga, (2) sebagai cabang usaha, dengan total pendapatan 30-70 persen dari total pendapatan keluarga, (3) usaha pokok, dengan tingkat pendapatan 70-100 persen dari total pendapatan keluarga. Tipe usaha ini mempengaruhi jumlah kepemilikan asset dan tipe kandang. Usaha ternak dengan jumlah kepemilikan sapi 1-3 ekor memiliki aset yaitu gendak, tali, arit, pacul dan keranjang rumput masing-masing 1-2 unit. Sedangkan usaha ternak dengan kepemilikan sapi lebih dari empat memiliki jumlah aset yang lebih banyak.

Karakteristik selanjutnya adalah perkandangan. Kandang berfungsi sebagai tempat peneduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang sapi potong biasanya dibuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang kuat. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara juga harus memungkinkan sirkulasi. Konstruksi kandang sesuai dengan arah a ngin dan deat sungai.

Pada kenyataanya, kandang sapi milik peternak rata-rata adalah kandang permanen dengan ukuran per satuan adalah 2 m2 per ekor. Hanya saja, kondisi kandang tidak sesuai dengan peraturan kandang yang baik. Kandang sapi tidak terlihat bersih dan lantai kandang licin. Fasilitas sirkulasi udara tidak lancer sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Pemilihan lokasi kandang tidak mempertimbangkan letak strategis, dan dibangun di dalam rumah, atau berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal.

Sebagian besar peternak membangun kandang di dalam atau di dekat tempat tinggalnya dengan jarak kurang dari 10 m. Jarak tersebut memungkinkan peternak untuk mengawasi ternak.Padahal idealnya lokasi kandang adalah cukup jauh dari lokasi pemukiman, dan tidak jauh dari lokasi kebun minimum 50 m atau dengan dibangun tembok dan pagar tanaman setinggi tiga meter untuk meredam angin. Lokasi ini juga seharusnya lokasi yang terbuka dan tidak tertutup bangunan (Sarwono dan Arianto, 2001)

Foto 1. Kandang Peternak besar (1) dan Kandang Peternak rakyat (2) 4. Luas dan status pengusahaan lahan

Lahan adalah salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha ternak sapi potong. Beberapa penelitian menyebutkan akses terhadap lahan memiliki peran yang krusial terhadap produktifitas pertanian dan merupakan bahan pertimbangan yang fundamental bagi peningkatan pendapatan peternak di pedesaan. Lahan dalam usaha ternak terkait dengan ketersediaan pakan terutama pakan hijauan yang merupakan komponen penting bagi peningkatan bobot sapi.

Baik peternak mitra maupun tidak bermitra, rata-rata memiliki lahan sendiri dengan rata-rata kepemilikan 0-1 hektar, hanya ada beberapa yang memiliki lahan lebih luas dari pada satu hektar. Lokasi lahan paling jauh adalah

700 m dari tempat tinggal peternak Kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh peternak disebabkan oleh pola pembagian lahan waris yang diterapkan secara turun-temurun. Dari bagian lahan yang diterimanya, kemudian peternak yang sekaligus juga petani membagi lahanya untuk melakukan beberapa usaha tani. Fukui (2009) menyebutkan bahwa petani di Jawa memiliki karakter sebagai pemilik lahan yang terbatas yang disebabkan oleh fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan ini berhubungan dengan peningkatan populasi dan sistem waris. Pada kenyataanya, peternak sekaligus petani di Kecamatan Wanayasa banyak mengalihkan lahanya untuk kepentingan non usaha tani, seperti perumahan.

Adanya fragmentasi lahan mendorong peternak memiliki karakteristik lain adalah karakteristik produksi, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan produk yang cenderung musiman. Hal ini dikarenakan peternak sebagian besar mengusahakan ternaknya dengan cara integrasi tanaman-ternak. Sistem integrasi tanaman-ternak tersebut mempengaruhi motivasi peternak dalam mengusahakan ternaknya terkait dengan modal dan tenaga kerja yang tersedia dalam satu rumah tangga peternak. Menurut Upton (2000), dengan adanya integrasi dan sistem penanaman atau pengusahaan yang musiman membuat petani menanam satu tanaman tertentu dan atau mengusahakan ternak tertentu tergantung pada kondisi harga komoditi tersebut pada musim tertentu. Pola ini membuat pasokan makanan menjadi terancam, terutama pada saat musim kering. Peternak akan melakukan penanaman maupun usaha ternak pada musim penghujan, hal ini terkait dengan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Sehingga pada saat musim tersebut ketersediaan komoditas tertentu akan melimpah dan harga menjadi turun. Pada musim penghujan ini, peternak harus memilih mengalokasikan lahannya untuk menanam tanaman pangan atau rumput hijauan.

Foto 2. Fragmentasi lahan dan lokasi penanaman rumput gaja 5. Akses terhadap modal dan kredit

Akses terhadap modal serta besarnya modal yang dimanfaatkan, biasanya dapat digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani/ternak. Akses permodalan bisa saja berupa kredit atau pinjaman barang, seperti pinjaman sapi dan obat-obatan pada peternak mitra. Pernyataan tersebut didukung oleh Tamba (2007) bahwa tersedianya akses permodalan berupa kredit akan mempengaruhi kemampuan petani dalam membuat rencana dan melaksanakan usahatani/ternaknya serta memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah usahatani/ternaknya. Selain itu, besar kecilnya modal akan mempengaruhi produktifitas usaha ternak. Jika modal atau bantuan kredit cukup, peternak dapat

mengoptimalkan sumberdaya usahaternaknya dalam meningkatkan keuntungan usaha yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petan (Sudaryanto dan Agustian, 2003).

Pengelolaan usaha sapi potong di kedua pola mitra maupun tidak bermitra memiliki tipe penggunaan modal. Peternak mitra menggunakan modal pinjaman atau sewa berbentuk ternak sapi potong bakalan dan obat-obatan. Sedangkan, modal sendiri digunakan untuk mengusahakan pakan, alat, kandang, dan tenaga kerja. Sedangkan peternak tidak bermitra menggunakan modal sendiri dengan pemanfaatan modal yang masih tergolong rendah, karena keterbatasan peternak dalam mengusahakan usaha ternaknya.

Peternak mitra yang memiliki akses financial yang tinggi adalah peternak yang sudah lama bergabung dan dengan mudah mengajukan tambahan modal berupa ternak kepada pemilik modal, sejumlah peternak ini berarti memiliki kinerja yang baik dimata pemilik modal. Sedangkan peternak dengan akses financial sedang adalah peternak yang harus dinilai dan diperhitungkan secara intensif dan hati-hati dalam mengakses tambahan modal, peternak ini adalah peternak mitra yang memiliki kinerja yang rendah. Peternak tidak bermitra yang memilki akses terhadap financial tinggi adalah peternak yang memiliki cukup aset untuk diagunkan, peternak ini adalah peternak dengan jumlah kepemilikan sapi lebih dari 6 dan atau memilki kemudahan untuk mengakses tambahan modal. Sedangkan peternak dengan akses financial sedang adalah peternak yang masih bisa mendapatkan modal pinjaman secara formal maupun informal dari pedagang. Sedangkan untuk peternak dengan akses financial rendah adalah peternak yang tidak memiliki kesempatan meminjam sama-sekali karena keterbatasan yang dimiliki.

6. Pemeliharaan ternak sapi potong

Periode pemeliharaan sapi bervariasi diantara peternak. Perbedaan periode pemeliharaan disebabkan oleh perbedaan umur bakalan yang digunakan serta terkait dengan tujuan utama peternak memelihara sapi potong yaitu sebagai sumber pendapatan utama maupun sebagai tabungan, dimana peternak dengan orientasi tabungan biasanya lebih lama dalam memelihara. Tabel 6.4 menunjukan bahwa periode pemeliharaan oleh peternak mitra maupun tidak bermitra rata-rata adalah dalam periode 6-12 bulan. Hanya ada beberapa peternak yang sabar menggemukan sapi sampai 18 bulan. Menurut Sugeng (2006) berdasarkan umur sapi yang akan digemukan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga, yaitu untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun lama penggemukan berkisar antara 6-7 bulan, dan untuk sapi bakalan umur 2-2.5 tahun, lama penggemukan 4-6 bulan.

Bakalan yang digunakan diperoleh dari bakalan yang dibeli, bukan bakalan hasil pembibitan sendiri. Pada umumnya bakalan yang digunakan adalah bakalan peranakan simental. Jenis sapi ini sudah menjadi perhatian peternak, dimana peternak cenderung menggunakan bakalan persilangan dari pada bakalan lokal. Hal ini karena sapi hasil persilangan menunjukan produksi yang lebih baik, terlihat dari pertumbuhan bobot badan yang lebih tinggi daripada sapi lokal (Indrayani, 2011). Ditinjau dari umur bakalan yang digunakan, maka penggunaan

bakalan dibagi dua yaitu untuk bakalan yang kurang dari 1 tahun dan bakalan yang berumur 1-2.5 tahun.

Tabel 6.4 menunjukan bahwa peternak mitra lebih menggunakan sapi bakalan cukup umur dibandingkan dengan peternak yang tidak bermitra. Peternak mitra yang menggunakan bakalan kurang dari satu tahun berarti ketersediaan bakalan yang sesuai dengan standar pemilik modal hanya bakalan usia mendekati satu tahun. Pada umumnya peternak yang membeli sapi bakalan dengan umur dibawah 1 tahun disebabkan faktor keterbatasan modal yang dimiliki, dimana sapi yang berumur lebih kecil berarti sapi tersebut lebih murah.

Indrayani (2011) menjelaskan bahwa konsekuansi dari ternak dengan umur bakalan yang masih muda adalah pemeliharaan yang umumnya lebih lama hingga sapi tersebut layak jual yaitu 1.5-2.5 tahun. Kecenderungan berbeda pada usaha penggemukan sapi bakalan dengan menggunakan umur 1.0-2.5 tahun, umumnya melakukan pemeliharaan dalam jangka waktu yang lebih pendek yaitu berkisar 4-12 bulan. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak telah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga apabila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral, dan vitaminnya mencukupi, sapi dapat cepat menjadi gemuk.

Karakteristik selanjutnya adalah pertambahan bobot badan sapi. Usaha penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging dengan pemberian bobot badan yang tinggi melalui pemberian pakan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Berdasarkan tabel 6.4, pertambahan bobot badan sapi untuk peternak mitra maupun tidak bermitra rata-rata berada pada selang 0.50-0.75 kg per hari atau sekitar 0.6 kg per hari untuk peternak mitra dan 0.56 kg per hari untuk peternak yang tidak bermitra. Sedangkan beberapa peternak yang tidak bermitra memiliki pertumbuhan bobot badan tinggi yaitu pada selang lebih dari 0.75 kg per hari. Adanya pertambahan bobot sapi yang rendah menyebabkan harga sapi peternak tidak terlalu tinggi. Potensi pertambahan bobot yang baik adalah 0.8 kg perhari. Hal ini bisa dilihat dengan pertambahan bobot sapi yang dimiliki oleh peternak yang lebih besar yaitu mencapai lebih dari 0.8 kg per hari.

Pertumbuhan bobot badan sapi dipengaruhi oleh pemberian pakan oleh peternak. Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan. Berbeda dengan cara tradisional, usaha penggemukan yang berorientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keuntungan dalam waktu yang relatif singkat. (Abidin, 2002). Pengelolaan pakan sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Karena itu, cara-cara pengelolaanya harus dipahami oleh peternak. Peternak di lokasi penelitian sebagian besar menggunakan pakan hijauan sebagai pakan utama. Hijauan yang diberikan pada ternak sapi umumnya berasal dari rumput lapangan dan rumput unggul (rumput gajah) yang ditanam di areal kebun rumput milik peternak maupun lahan marginal seperti pematang sawah. Beberapa peternak menggunakan pakan tambahan yaitu limbah dari hasil pertanian yang tersedia di sekitar wilayah produksi

Tabel 6.4 Sebaran karakteristik pemeliharaan ternak sapi potong No Karakteristik Pemeliharaan Tarmac Tipe Peternak Kemitraan (orang. n=30)

Persentase Tidak bermitra (orang,n=30)

Persentase

1. Periode Pemeliharan

Ternak Sapi Potong (bulan)

a. < 6 2 7 6 20

b. 6-12 24 80 21 70

c. >12 4 13 3 10

2. Umur sapi bakalan a. < 1 tahun (belum cukup umur)

11 3 21 70

b. 1-2.5 tahun (cukup umur)

19 63 9 30

3. Pertambahan bobot badan sapi (Kg/hari) a. < 0.5 4 13 8 27 b. 0.50-0.75 22 73 19 63 c. >0.75 4 13 3 10 4. Penggunaan Pakan a. Dengan Konsentrat 5 17 3 10 b. Tanpa Konsentrat 25 83 27 90 5. Obat-obatan a. Teratur (periode tertentu) 20 67 12 40 b. Tidak teratur 7 23 10 33 c. Tidak mengkonsumsi 3 10 8 27 6. Akses terhadap Penyuluhan a. Ada (skor 2) 100 30 b. Tidak (skor 1) 0 70

Seharusnya, pemberian pakan untuk ternak sapi potong bila ternak dikandangkan yaitu berupa hijauan (70 persen) dan konsentrat (30 persen). Pemberian pakan yang baik ini akan meningkatkan bobot sapi secara optimal. Acuan terbaik adalah sesuai dengan definisi dari society for range management (1974) dalam Santosa (2003) bahwa satu unit ternak adalah setara dengan seekor sapi induk dewasa seberat 455 kg yang kebutuhan konsumsinya adalah 9.1 kg hijauan dalam bentuk batang kering per hari. Dengan demikian seekor sapi jantan dengan bobot badanya 700 kg atau seekor sapi muda yang bobot badanya 225 kg perhitungan konsumsi pakan sehari-harinya adalah sebagai berikut. Kebutuhan seekor sapi jantan seharusnya adalah 14 kg (700/455 x 9.1 kg =14 kg), dan kebutuhan konsumsi seekor sapi muda adalah 4.5 kg hijauan dalam bentuk bahan kering.

Akan tetapi pada kenyataanya, pakan sapi yang diberikan rata-rata oleh peternak baik mitra maupunt tidak bermitra adalah hijauan segar sebesar 10-15 Kg perhari atau 2-3 kg perhari rumput kering. Sebagian peternak baik mitra (5 orang) dan tidak bermitra (3 orang) menggunakan pakan penguat dengan variasi yang berbeda-beda seperti dedak, kulit ubi, wortel dan menggunakan mineral.Campuran dari berbagai jenis pakan penguat disebut konsentrat. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari sekitar pukul 6.00

WIB dan sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Untuk peternak yang juga menyertakan konsentrat, pemberian konsentrat dilakukan sebelum memberikan pakan hijauan. Harga konsentrat yang mahal menjadi faktor penyebab peternak tidak menggunakan konsentrat dalam pemberian pakan sapi.

Selain pakan, faktor lain yang sangat penting dalam keberhasilan pemeliharaan sapi adalah penanganan kesehatan sapi. Penyakit biasanya ditimbulkan dari parasit dalam, terutama pada ternak muda dan ternak yang sedang bertumbuh. Parasit ini menyebabkan ternak menjadi kurus dan lemah. Selain itu, penyakit lain yang menular seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), dan lain lain. Penanganan penyakit salah satunya melalui pemberian obat-obatan secara teratur. Pengobatan yang dilakukan peternak pada ternak sapi potong meliputi pemberian vitamin, obat cacing, antibiotik dan pemberian obat lainnya. Obat-obatan berupa vitamin biasanya diberikan pada saat awal sapi sampai kandang atau awal masa pemeliharaan, dan selanjutnya enam bulan berikutnya. Namun berdasarkan data responden, belum semua ternak terutama ternak yang tidak bermitra memberikannya secara teratur. Sedangkan untuk pengobatan cacing umumnya diberikan secara teratur satu kali dalam tiga bulan. Antibiotik diberikan jika ternak mengalami luka, atau penyakit kulit. Pemberian vitamin dan antibiotic dengan injeksi biasanya menggunakan jasa petugas kesehatan hewan, akan tetapi pada kenyataanya pemberian vaksin ini dilakukan oleh peternak yang lebih besar dan dianggap memiliki pengetahuan dalam pemberian vaksin ini. Hal ini disebabkan tidak adanya tenaga kesehatan yang mengetahui secara spesifik tentang sapi potong di Kecamatan Wanayasa.

Upaya pencegahan penyakit juga merupakan hal penting dalam usaha penggemukan sapi potong. Selah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan melalui kegiatan sanitasi kandang secara teratur, hal ini agar ternak sapi yang digemukan dalam keadaan sehat dan mampu bertambah bobot badanya secara optimal. Kegiatan sanitasi kandang yang dilakukan meliputi pembersihan lantai kandang, selokan, tempat pakan, tempat air minum, dan peralatan. Akan tetapi pada kenyataanya, kondisi kandang peternak, terutama peternak yang tidak bermitra memiliki kondisi yang kotor dan tidak terawat . 7. Lembaga pendukung dan akses terhadap lembaga pendukung (Penyuluhan)

Terjadinya interaksi antara peternak dengan penyuluh menunjukkan terjadinya komunikasi antara kedua belah pihak, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi tersebut dapat membuka cara berpikir dan wawasan peternak sehingga peternak lebih terbuka dalam menerima pengetahuan baru. Menurut Kartasapoetra (1987) hubungan yang kontinu antara penyuluh dan peternak dapat menciptakan rasa kekeluargaan serta mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi. Tabel 6.4 menunjukan bahwa terdapat dukungan layanan penyuluhan pada kedua pola mitra sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban antar ke dua belah pihak dan tidak terdapat layanan penyuluhan (70 persen) untuk tidak bermitra dan terdapat layanan penyuluhan (30 persen) untuk peternak tidak bermitra lainnya . Hal tersebut menggambarkan bahwa proses interaksi langsung maupun tidak langsung antara peternak dengan penyuluh belum terjalin dengan baik.Parameter rendahnya layanan penyuluhan dari penyuluh pertanian, terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

- Tingkat layanan informasi oleh kedua pola peternak terutama dalam informasi tentang akses teknologi dan kebijakan masih bersifat kadang-kadang, ketika sedang ada proyek baru yang diperkenalkan.

- Tingkat pelayanan mencari mitra usaha, terutama pada pola tidak bermitra tergolong sangat kurang. Penyuluh melakukan layanan ini, apabila ada evaluasi program pemerintah tentang percepatan swasembada daging

- Tingkat penyuluhan dalam memberi dukungan pengembangan

pengetahuan di kedua pola usaha masing-masing tergolong kurang, hal ini dilakukan dua kali dalam setahun.

- Materi pengembangan usaha yang diajarkan penyuluh kepada peternak di kedua pola usaha sebenarnya tergolong sesuai yaitu tentang kesehatan ternak dan manajemen pengelolaan sapi potong yang baik, akan tetapi pemberian materi tersebut tidak berlanjut. Hal ini karena kompetensi penyuluh adalah penyuluh pertanian, bukan penyuluh peternakan.

Hal tersebut menggambarkan bahwa peran penyuluh pertanian di dua pola usaha belum maksimal dalam merubah perilaku berusaha peternak ke arah yang lebih optimal. Penyuluh belum optimal dalam berkomunikasi dengan peternak, sehingga pengelolaan usaha sapi potong dari tahun ke tahun relative menghadapi permasalahan yang sama. Adanya program kemitraan dengan peternak yang lebih besar, membuat peternak terbantu dalam hal kegiatan teknis seperti pengetahuan dalam memberikan pakan yang baik, memelihara sapi untuk mendapatkan bobot yang optimal dan pelayanan kesehatan.

7. PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMBENTUKAN RANTAI