• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Peternak dengan Kinerja Rantai Nilai Berdasarkan karakteristik peternak

7. PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMBENTUKAN RANTAI PEMASARAN DAN KINERJA RANTAI NILAI

7.6. Hubungan Karakteristik Peternak, Saluran Pemasaran dan Kinerja Rantai Nilai Sapi Potong

7.6.2. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Kinerja Rantai Nilai Berdasarkan karakteristik peternak

Berdasarkan karakteristik peternak rakyat, kinerja rantai nilai masing-masing tipe peternak dan lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran yang terbentuk adalah sebagai berikut :

1. Pada saluran kemitraan (saluran 1), Apabila dibandingkan dengan pemilik modal/peternak besar sekaligus pedagang pemotong, peternak rakyat memiliki kinerja atau kemampuan mengakses lingkungan pendukung yang rendah. Apabila dibandingkan dengan tipe peternak lainnya, peternak mitra memiliki akses lebih baik terutama untuk transportasi, informasi dan pengetahuan, dan akses terhadap organisasi. Kemampuan akses peternak

tipe 1 yang lebih baik sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemilik modal dalam mengakses lingkungan pendukung.Sedangkan tipikal peternak besar/pemilik modal adalah memiliki akses yang tinggi terhadap lingkungan pendukung yang disebabkan besarnya modal dan kemampuan untuk mengakses pasar yang lebih luas.

2. Pada saluran tidak bermitra (2), peternak tipe satu memiliki kinerja akses terhadap lingkungan pendukung yang rendah, baik dari akses terhadap transportasi, akses terhadap keberadaan infrastruktur, akses terhadap informasi dan pengetahuan, akses terhadap keberadaan organisasi, dan tidak terdapat koordinasi berdasarkan hubungan yang terbentuk antar lembaga pemasaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa peternak menghadapi kendala akses dalam transportasi, infrstruktur, informasi dan pengetahuan yang dapat menyebabkan peternak memiliki keterbatasan akses terhadap pasar dan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan peternak tidak konsisten dan rendah. Peternak tidak bermitra tipe satu memiliki ketergantungan terhadap pedagang desa. Kemampuan peternak dalam mengakses lingkungan pendukung sesuai dengan kemampuan pedagang desa dalam mengakses lingkungan pendukung. Peternak tipe satu sebagian besar tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual hasil ternak ke pedagang yang lain, sehingga meskipun peternak telah melakukan usaha dalam jangka waktu yang lama, peternak tidak mengalami kemajuan dalam usahanya atau mengalami peningkatan skala usaha.

3. Pada saluran tidak bermitra (3), peternak tipe dua memiliki akses yang lebih baik terhadap infrastruktur, transportasi, informasi dan pengetahuan serta akses organisasi. Peternak tipe dua memiliki hubungan informal berupa hubungan langgan dengan pedagang Kecamatan, sehingga aliran informasi pasar lebih baik dari pada peternak tipe pertama. Hubungan langgan ini juga mempengaruhi kemampuan peternak dalam menentukan harga, menaikkan kualitas dan kuantitas daging karena keuntungan yang diperoleh besar.Ketergantungan peternak tipe dua kepada pedagang kecamatan dapat dilihat dari kemampuan peternak tipe dua dalam mengakses lingkungan pendukung. Peternak tipe dua memiliki kemampuan akses yang lebih baik seiring dengan kemampuan pedagang kecamatan dalam mengakses lingkungan pendukung.

4. Keterikatan hubungan antar aktor dapat mempengaruhi kinerja peternak maupun lembaga pemasaran sehingga konsistensi kualitas dan kuantitas produk dapat terpenuhi. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa semakin komplek segmen pasar dan kriteria pasar yang dituju, maka structure governance semakin komplek, demikian sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada segmen maupun kriteria pasar yang spesifik. Seluruh hasil akhir produk ditujukan untuk pasar tradisional lokal, sehingga keterikatan hubungan secara formal tidak terjadi di setiap lembaga. Keterikatan hubungan terjadi antara peternak mitra dan pemilik modal, sehingga pemilik modal sekaligus pedagang memiliki kemampuan untuk memasok sapi potong setiap minggu sesuai dengan permintaan konsumennya (pedagang pemotong). Meskipun demikian, karena karakteristik peternak rakyat yang tidak konsisten dalam mengusahakan

tarnak, pemilik modal seringkali tidak bisa bergantung pada peternak mitra. Keterikatan hubungan secara informal terjadi antara pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Hubungaan informal ini ditandai dengan pemenuhan kriteria tarnak yang disyaratkan pedagang pemotong yaitu kekonsistenan bobot sapi dan kondisi sapi yang baik.

5. Pengaruh keberadaan pedagang terlihat dari harga, biaya, dan marjin pemasaran yang diperoleh masing-masing saluran pemasaran. Dari ke tiga tipe peternak di atas, terbentuk empat saluran pemasaran yang bervariasi baik dari segi keterlibatan lembaga pemasaran maupun aliran uang, produk dan informasi. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, saluran kemitraan merupakan alternatif saluran yang paling efisien dibandingkan ke empat saluran yang lain. Hal ini bisa dilihat dari besarnya biaya pemasaran, marjin pemasaran yang kecil, farmer’s share yang besar, dan R/C rasio yang paling besar. Marjin pemasaran yang kecil menunjukan bahwa biaya pemasaran yang terbentuk di saluran tersebut kecil. Farmer’s share yang besar menunjukan bahwa harga yang diterima pihak peternak kemitraan mendekati harga tingkat akhir, hal ini disebabkan peternak mitra melalui pemilik modal dapat langsung mengakses ke pedagang pemotong. Saluran yang paling tidak efisien adalah saluran dua. Hal ini bisa dilihat dari biaya pemasaran yang besar, marjin pemasaran yang besar, farmer’s share terkecil dan R/C rasio terkecil. Adanya marjin yang besar menunjukan bahwa rantai pemasaran yang terbentuk panjang, sehingga informasi harga tidak menyebar dengan baik.

6. Berdasarkan hasil analisis biaya dan marjin, farmer’s share yang terbentuk di keempat saluran menunjukan nilai yang cukup besar yaitu lebih dari 80 persen di masing-masing saluran dan nilai R/C yang lebih dari satu. Nilai farmer’s share dan rasio kentungan yang cukup besar sebenarnya telah ditemukan dibeberapa penelitian sebelumnya yaitu sebesar 72-78 persen. (Hasanah 2000, Fauzi dan djajanegara 2004, Wahyuni 2006, Ratniati 2007).Besarnya farmer’s share tersebut menunjukan bahwa presentase harga yang harus dibayarkan oleh konsumen ke peternak besar. Harga yang diterima oleh peternak merupakan harga yang didapatkan dari pedagang perantara berdasarkan informasi harga pasar yang dimiliki oleh pedagang.

Adanya farmer’s share yang besar terutama bagi peternak mitra menunjukan bahwa peternak seharusnya memiliki insentif untuk mengusahakan tarnak dengan skala usaha yang lebih besar ketika terjadi kenaikan harga sapi maupun daging sapi. Akan tetapi pada kenyataanya peternak tidak merespon kenaikan harga tersebut dengan menambah jumlah ternaknya dalam jangka pendek. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kenaikan jumlah sapi potong dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian Sukanata (2008) dan Bappenas (2010) yang menyebutkan bahwa harga daging sapi domestik tidak berpengaruh pada penawaran daging sapi peternak rakyat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam penelitian Sukanata (2008) total penawaran sapi potong lebih responsif terhadap produksi dari pada harga sapi. Sedangkan penelitian Bappenas (2010) dalam blue print swasembada daging 2014 menyebutkan bahwa kenaikan harga daging domestik sebesar 1 persen hanya direspon dengan penawaran peternak rakyat sebesar 0.23 persen.

Alasan ketidak-responsifan peternak terhadap harga adalah karakteristik peternak rakyat yang memelihara sapi untuk tabungan dan memanfaatkannya sebagai tenaga kerja, sehingga kurang memperhatikan rugi laba. Jika pemeliharaan ternak sudah dirasa cukup dan sapi tersebut diperkirakan tidak dapat tumbuh besar lagi, maka peternak akan menjual sapinya tersebut. Fenomena di lapangan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, peternak rakyat baik peternak mitra maupun tidak bermitra, memiliki karakteristik usaha sampingan dan sederhana tidak memungkinkan peternak untuk menambah jumlah sapi baik dari segi jumlah sapi per-rumah tangga maupun peningkatan bobot badan sehingga pemenuhan kebutuhan akan daging terpenuhi. Peternak cenderung mengusahakan sapi untuk tambahan pendapatan bukan sebagai usaha utama, sehingga peternak tidak mementingkan hitungan keuntungan yang didapatkan dari per ekor tarnak. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan peternak yang mengusahakan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Peternak tersebut bergantung sepenuhnya terhadap usaha ternaknya sehingga cenderung memiliki usaha yang lebih banyak untuk meningkatkan bobot badan sapi sehingga tarnak sapi dapat menghasilkan keuntungan bagi rumah tangga peternak. Peternak besar adalah peternak komersial dengan manajemen usaha ternak yang jauh lebih baik dari pada peternak rakyat.

Melalui kemitraan dengan peternak besar, seharusnya peternak dapat memiliki kinerja rantai nilai yang lebih baik sehingga mampu menambah penghasilan peternak sekaligus mampu meningkatkan skala usaha peternak. Adanya kemitraan dapat memutus panjangnya rantai sehingga peternak memiliki kemampuan untuk mengakses lingkungan pendukung dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.Akan tetapi, konsep kemitraan sapi potong adalah konsep bagi hasil, dimana peternak bertindak sebagai penyewa sapi. Pembagian kentungan dan resiko yang dimiliki oleh kedua belah pihak tidak sebanding. Pemilik modal memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan peternak mitra, sehingga pemilik modal terkadang lebih memiliki motivasi sosial untuk membantu peternak rakyat dari pada untuk mendukung permintaan pasokan sapi dari pada motif ekonomi. Adanya pembagian hasil dan peraturan kemitraan juga menjadi alasan peternak tidak bermitra tidak bergabung dengan kemitraan ini. Peternak menganggap bahwa pola bagi hasil tidak memberikan pendapatan yang besar

Hal-hal tersebut di atas lah yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Peternak rakyat memang memiliki jumlah yang lebih besar dari pada peternak komersil. Akan tetapi, peternak rakyat tidak memilki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan daging sapi sesuai yang ditetapkan, sebalikanya peternak dengan manajemen yang lebih baik memilki potensi sebagai pihak yang dapat memenuhi kebutuhan daging sapi. Adanya konsep kemitraan antar peternak besar atau perusahaan dengan peternak rakyat mampu meningkatkan kinerja peternak rakyat, sehingga pemantapan sistem kemitraan yang professional dan terintegrasi menjadi salah satu rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan.

8. KESIMPULAN 8.1 Kesimpulan

1. Peran kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran yaitu dapat memperpendek rantai pemasaran sapi potong. Dengan adanya sistem kemitraan, jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran sapi potong menjadi berkurang terutama jumlah pedagang perantara. Dengan demikian, peternak rakyat mampu mengakses kinerja pemasaran dengan lebih baik dibandingkan peternak yang bekerja di sistem tidak bermitra. 2. Sejalan dengan pendeknya rantai pemasaran di saluran kemitraan, peternak

memiliki akses yang lebih baik terhadap lingkungan pendukung terutama akses keberadaan alat transportasi, akses informasi dan pengetahuan, dan akses terhadap keberadaan organisasi. Adanya akses yang lebih baik tersebut dipengaruhi oleh kemampuan pemilik modal/peternak besar dan pedagang pemotong dalam mengakses lingkungan pendukung. Peran kemitraan juga terlihat pada pembentukan structure of governance dimana peternak bermitra memiliki keterikatan hubungan dengan pemilik modal, sehingga aliran informasi tentang produk, aliran produk sapi potong dan sistem pembayaran lebih baik dibandingkan lembaga yang bekerja pada sistem tidak bermitra. 3. Sejalan dengan pendeknya rantai pemasaran, saluran kemitraan merupakan

saluran yang paling efisien. Hal ini terkait dengan kecilnya biaya, kecilnya marjin pemasaran, besarnya farmer’s share (95 persen), dan besarnya R/C rasio.

8.2 Saran

1) Berkenaan dengan analisis rantai pemasaran dan kinerja, peternak sebaiknya bekerja dalam secara bersama-sama dengan membentuk kelompok atau bergabung dengan kemitraan. Kelompok ini bisa berbentuk kelompok ternak, kelompok usaha bersama maupun penguatan sistem kemitraan.Sistem kemitraan ini tidak hanya berkaitan dengan sistem bagi hasil semata, dimana tidak ada jaminan atas kemakmuran peternak maupun peningkatan kemampuan pedagang untuk meningkatkan kinerja, akan tetapi sistem kemitraan yang mengarah pada kemitraan yang bersifat professional dengan menganggap peternak dan pedagang memiliki kedudukan yang sama. Peternak tidak hanya berfungsi sebagai buruh atau pekerja yang membesarkan ternak tanpa memperhitungkan keuntungan yang diperoleh, akan tetapi peternak juga harus ikut serta dalam memperhitungkan peningkatan kualitas ternak yang diperhitungkan dari kenaikan bobot sapi potong.

2) Berkenaan dengan analisis kinerja rantai nilai, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan lembaga pemasar terutama peternak sebagai upaya memperbaiki rantai nilai (up grading). Strategi tersebut harus berkaitan dengan perbaikan infrastruktur jalan dan fasilitas, menyediakan alat transportasi murah yang bisa diakses dengan mudah (penyewaan kendaraan imasing-masing kecamatan), membentuk kelompok ternak untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan secara cepat dan merata, atau memberdayakan penyuluh untuk memberikan penyuluhan terkait dengan proses budidaya yang baik dan benar. Dengan adanya perbaikan lingkungan pendukung, niscaya peternak dan lembaga pemasar lain dapat memperbaiki kinerja rantai nilai sapi potong peternakan rakyat.

3) Berkenaan dengan keterbatasan penelitian, diperlukan adanya penelitian tentang pengaruh karakteristik peternak terhadap kinerja peternak dalam rantai nilai serta optimalisasi biaya yang dilakukan dengan menggunakan analisis ekonometrik dalam lingkup cakupan wilayah yang lebih luas. Selanjutnya, sehubungan dengan pola kemitraan dan pola tidak bermitra, penelitian yang perlu dilakukan adalah penelitian mengenai pengaruh karakteristik peternak dengan dua pola yang berbeda terhadap efisiensi produksi dan kinerja rantai nilai masing-masing peternak.