• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aksi Kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura

Sejak ratusan tahun silam aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura telah ada dan tidak henti-hentinya mengundang masalah bagi para penguasa pada saat itu. Namun demikian isu keamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura belum menonjol karena frekuensi aksi kejahatan laut masih dianggap relatif kecil dan

tidak terlalu signifikan. Namun sejalan dengan semakin

meningkatnya frekuensi pelayaran sejak tahun 1990, aksi kejahatan di laut semakin meningkat. Kondisi ini yang menyebabkan pada tahun 1991 dan 1992 negara-negara littoral States melakukan kerjasama coordinated patrol di Selat Malaka dan Selat Singapura. Kerjasama ini pada saat itu cukup efektif dalam menekan aksi-aksi kejahatan di laut tersebut.

Seiring dengan berlakunya UNCLOS 1982 pada tahun 1994, terjadi perubahan persepsi wilayah laut di Asia Tenggara dan juga terjadi penambahan wilayah, yang sebelumnya 3 mil laut diukur dari titik terluar menjadi 12 mil laut. Namun penambahan wilayah laut yang diatur dalam UNCLOS 1982 ini tidak diikuti dengan peningkatan kemampuan untuk melakukan penegakan hukum di laut yang memadai terhadap aksi-aksi kejahatan tersebut yang sebagian besar dilakukan di dalam area 12 mil laut.19 Sehingga, hal ini memberi konsekuensi meningkatnya aksi–aksi kejahatan di perairan Asia Tenggara.

Berdasarkan data IMB yang mengartikan istilah perompakan secara berbeda dengan istilah dalam UNCLOS 1982, hampir

19

setengah dari aksi kejahatan di seluruh dunia yang dilaporkan adalah terjadi Asia Tenggara dan jumlah laporan tersebut meningkat dari 170 kejadian pada tahun 2002 menjadi 189 kejadian pada tahun 2003. Sebagian aksi kejahatan tersebut terjadi Selat Malaka dan Selat Singapura, dimana antara tahun 2002 dan 2003 terjadi peningkatan serangan perompakan di Selat Malaka yang cukup signifikan sehingga Selat tersebut dianggap sebagai perairan yang paling rawan terhadap aksi perompakan.

Sebagai gambaran oleh IMB, pada tahun 2002 telah terjadi serangan perompak di Selat Malaka sebanyak 16 kali, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 28 kali. Sementara Selat Singapura terjadi penurunan dari 5 kali menjadi hanya 2 kali. Sedangkan pada pertengahan pertama tahun 2004 aksi perompakan di Selat Malaka sudah mencapai 20 kejadian, dan di Selat Singapura 7 kejadian. Peningkatan pada paruh pertama tahun 2004 sebesar 33% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, perompakan yang terjadi di perairan Indonesia tercatat sebanyak 121 serangan pada tahun 2003, meningkat cukup tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu 103 kejadian20.

Namun demikian, walaupun beberapa unsur-unsurnya (pasal 101 UNCLOS) terpenuhi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar aksi kejahatan di Selat Malaka dan Singapura ini, sesuai dengan UNCLOS 1982, tidak dapat dikatakan sebagai “piracy” mengingat di Selat Malaka yang terbentang sepanjang 520 mil laut hampir tidak terdapat laut bebas. Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah perairan nasional yang tunduk pada 20

ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni 2004

kedaulatan negara-negara pesisirnya (littoral States), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk sebagian besar tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak dimuat dalam pemberitaan, tulisan-tulisan dan IMB, istilah yang tepat adalah “armed robbery against ships”, karena terjadi di laut teritorial.

Aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura dilakukan dalam bentuk pencurian isi kapal, pencurian kapal, pembunuhan awak kapal, penyanderaan, dan penculikan awak kapal. Aksi-aksi ini dilakukan tidak hanya pada saat kapal melintas tetapi juga terhadap kapal yang sedang berlabuh. Pola yang digunakan oleh pelaku kejahatan di laut adalah menyerang kapal dengan naik ke dek kapal di malam hari.

Mereka tidak hanya menyerang kapal-kapal bermuatan kecil tetapi juga kapal-kapal tanker, kargo, bahkan kapal-kapal yang bermuatan bahan-bahan berbahaya. Dalam beberapa kasus political piracy, aksi-aksi tersebut mencakup tindak kejahatan terhadap kapal-kapal dan penculikan terhadap awaknya untuk kemudian meminta uang tebusan dengan jumlah tertentu.21 Antara Januari sampai Juni 2003, Selat Malaka berada pada posisi pertama

dalam hal terjadinya piracy dengan menggunakan senjata api (50,9% dari jumlah global), posisi pertama atas insiden yang menggunakan

21

Disarikan dari berbagai sumber literatur mengenai aksi kejahatan dilaut di Selat Malaka

...sebagian besar tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak dimuat dalam pemberitaan,

tulisan-tulisan dan IMB, istilah yang tepat

adalah “armed

robbery

pisau (31,3% dari jumlah global) dan juga posisi pertama atas insiden dengan menggunakan “other weapon” l (23% dari jumlah global).22

Dari gambaran di atas, International Maritime Bureau membuat suatu laporan dalam bentuk tabel mengenai perbandingan jumlah kejahatan laut di 4 wilayah (perairan Indonesia, perairan Malaysia, Selat Malaka dan Selat Singapura) dimana untuk Selat Malaka dan Selat Singapura menunjukan peningkatan kejadian yang cukup signifikan pada tahun 2003-2004.

TABEL :

Aksi kejahatan di laut diparuh pertama tahun 2003 dan 2004

Wilayah 2003 2004 Perairan Indonesia 64 50 Selat Malaka 15 20 Perairan Malaysia 5 5 Selat Singapura 0 7

Sumber : ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni 2004

Sebagai gambaran, dibawah ini disampaikan beberapa kasus aksi kejahatan laut yang terjadi di Selat Malaka dan sekitarnya:

22

Graham Gererd Ong, “Ship Can Be Dangerous Too: Coupling Piracy and Maritime Terrorism in Southeast Asia’s Maritime Security Framework”, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No.1 (2004)

- Pada bulan Juli 2003, sebuah upaya pembajakan terjadi 3 kali

berturut-turut di perairan Selat Malaka terhadap kapal tanker bermuatan LPG, kapal tanker bermuatan gas, dan kapal tanker bermuatan minyak. Penyerang menembakkan senapan mesin, namun berhasil digagalkan.

- Pada tanggal 26 Maret 2003, terjadi serangan terhadap kapal

bernama Dewi Madrim, sebuah kapal yang mengangkut bahan kimia berukuran kecil, di sebelah timur Propinsi Riau. Sekitar 10 orang Perompak bersenjata api dan pisau menaiki kapal tersebut dan memotong jalur komunikasi kapal tersebut, dan mengikat para awak kapal.23 Para pelaku tersebut kemudian mengambil alih navigasi kapal dan membawa kapal dengan kecepatan rendah. Setelah beberapa saat para perompak tersebut meninggalkan kapal dan membawa uang, peralatan dan barang-barang milik awak kapal.

- Pada tanggal 8 April 2003, Kapal Trimanggada (Cargo) dalam

perjalanannya di Selat Malaka diapit oleh oleh 3 buah kapal motor dan dipaksa untuk segera mematikan mesin. Para pelaku bersenjata api tersebut kemudian menaiki kapal dan menyandera dan menculik kapten kapal dan 1 orang krunya untuk kemudian meminta uang tebusan kepada pemilik kapal.

- Pada tanggal 5 Januari 2004, kapal Tanker Cherry 201 diserang

dan dibajak oleh orang-orang bersenjata di Selat Malaka. Para pembajak kemudian menyandera 13 anak buah kapal. Setelah 1 bulan melakukan negosiasi, para pembajak kemudian menembak mati 4 ABK, dan sisanya melompat ke laut.

23

3.3. Maritime Terrorism: Suatu Potensi Ancaman di Selat Malaka