• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Keamanan Laut dan Tnaggung Jawab Indonesia: Tantangan dan Kendala, makalah TNI-AL yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 Keamanan Laut dan Tnaggung Jawab Indonesia: Tantangan dan Kendala, makalah TNI-AL yang"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

Konsep keamanan (Security) yang ada selama ini telah berkembang sejak pasca perang dingin dan berlanjut pada era globalisasi dewasa ini. Konsep ini telah diperluas tidak hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat militeristik, tetapi telah berkembang mengarah pada berbagai aspek seperti perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan

investasi, pemberantasan kejahatan internasional, atau

perdagangan barang terlarang.

Dalam dunia kemaritiman, keamanan maritim juga telah meluas tidak hanya konsep pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap ancaman non militer antara lain perlindungan terhadap kelestarian alam, jalur perdagangan, pemberantasan aksi ilegal di laut, dan lain-lain.

Sebaliknya, karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada aspek keamanan, strategi dan kerjasama maritim regional. Sebagai konsekuensinya, keamanan dalam dunia maritim, secara umum menjadi tanggungjawab dari semua negara untuk menjaganya dari segala bentuk ancaman. Semakin luas wilayah perairan laut suatu negara, semakin besar pula tugas dan tanggung-jawab pemerintah dari negara tersebut. Tanggung jawab ini bukan hanya secara nasional, tetapi juga secara internasional.

(2)

Keamanan laut/maritim bukan hanya menyangkut penegakan hukum di laut semata, kemanan laut dalam arti yang luas adalah laut menjadi wilayah yang aman digunakan oleh pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap berbagai aktifitas penggunaan dan pemanfaatan laut, yaitu:

1. Laut yang bebas dari ancaman kekerasan, termasuk ancaman

penggunaan kekuatan bersenjata yang dinilai mempunyai

kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan

kedaulatan negara.

2. Laut yang bebas dari ancaman terhadap navigasi, yaitu

ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrogagrafi, yang membahayakan keselamatan pelayaran.

3. Laut yang bebas dari pencemaran dan perusakan ekosistem,

yaitu ancaman terhadap kelestarian lingkungan yang dampaknya merugikan bagi masyarakat sekitar dan juga generasi penerus.

4. Laut yang bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku seperti illegal logging, illegal

fishing dan lain-lain. 1

Pemahaman terhadap keamanan laut tersebut di atas sangatlah penting guna menciptakan suatu pendekatan yang komprehensif dan secara integral dalam hal penanganannya. 1

“Keamanan Laut dan Tnaggung Jawab Indonesia: Tantangan dan Kendala” , makalah TNI-AL yang disampaikan pada Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004

(3)

Adapun salah satu isu keamanan laut/maritim yang akhir-akhir ini menjadi perhatian besar dari berbagai negara adalah aktivitas ilegal di laut, salah satunya yaitu perompakan di laut. Kegiatan ini telah meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga mengancam kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu negara dan kawasan sekitar.

Sesuai dengan kondisi-kondisi tersebut di atas, dan perkembangan yang terjadi di dunia maritim, ada dua tantangan yang paling utama dalam dunia maritim, khususnya di Asia:

 Jaminan terhadap jalur laut dalam rangka kelancaran arus barang dan sumber daya alam

 Penghindaran konflik-konflik antar negara dalam hal persaingan/perebutan perdagangan dan sumber daya alam di kawasan2.

Disamping itu, seiring dengan semakin meningkatnya hubungan ekonomi, termasuk perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi yang membawa manusia dan barang. Sektor perhubungan dalam hal ini berfungsi sebagai penunjang utama, bahkan memiliki peranan sangat penting dalam meningkatkan perekonomian suatu negara karena sektor perhubungan akan mempunyai kekuatan untuk

mendorong sektor-sektor produksi. Salah satu bentuk alat

transportasi yang saat ini diangggap relatif murah dan dapat mengangkut kapasitas dalam jumlah besar dengan jarak yang cukup jauh adalah transportasi laut. Dijadikannya transportasi laut sebagai penghubung perdagangan antar negara ini juga didukung 2

Joshua Ho, “The Shifting of Maritime Power and the Implications for Maritime Security in East Asia”, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, June 2004

(4)

dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang telah memperpendek waktu yang ditempuh di laut.

Negara-negara di Asia Timur mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam kegiatan perdagangan dunia. Banyaknya pelabuhan besar di dunia berada di Asia Timur dan pertumbuhan perekonomian yang relatif tinggi serta

dinamis menyebabkan frekuensi

transportasi laut melalui Selat Malaka dan Selat Singapura juga semakin

meningkat. Sebagaimana diketahui

bahwa 6 dari 25 pelabuhan kontainer terbesar berada di Asia Tenggara, yaitu Singapura, Port Kelang (Malaysia), Tanjung Priok (Indonesia), Tanjung Pelepas (Malaysia), Laem Chabang (Thailand) dan Manila,3 dan hampir separuh dari kapal-kapal dagang dunia dimiliki oleh negara-negara Asia. Pertumbuhan ini juga didukung dengan semakin majunya industri kapal di Asia.

Melihat perkembangan di atas, keamanan Selat Malaka dan Selat Singapura, sebagai wilayah yang sangat strategis secara ekonomi dan politis, menjadi faktor penting tidak hanya bagi pihak-pihak yang menggunakan jalur tersebut tetapi juga bagi negara-negara pantai serta kawasan sekitarnya. Isu keamanan di kedua Selat tersebut yang berkembang saat ini meliputi ancaman aksi kejahatan terhadap kapal-kapal, ancaman terhadap keselamatan navigasi, ancaman sumber daya alam, ancaman kedaulatan dan 3

Tamara Rhenee See, “Maritime Piracy in Southeast Asia: Challange and Opportunities for Intra –ASEAN Cooperation”, ISEAS 2004

... karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada

aspek keamanan, strategi dan kerjasama maritim

(5)

hukum. Isu keamanan di kedua selat ini memiliki implikasi gangguan terhadap hubungan internasional negara-negara pantai dimaksud.

Singapura, Malaysia dan Indonesia, sebagai littoral states dari Selat Malaka dan Selat Singapura, adalah negara-negara yang sangat berkepentingan terhadap keamanan dan stabilitas selat-selat ini. Singapura sebagai “trading country

telah diuntungkan secara geografis dan selat-selat ini merupakan jantung bagi

perekonomiannya. Sementara

Indonesia juga mempunyai kepentingan terhadap stabilitas dan keamanan selat-selat tersebut, mengingat selat-selat ini merupakan salah satu pintu masuk jalur perdagangan dari Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan. sehingga

Indonesia juga memperoleh

keuntungan secara ekonomi.

Menurut data di IMB, presentase kejadian perompakan di laut secara global cenderung meningkat. Peningkatan signifikan terjadi di wilayah-wilayah tertentu, seperti Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Singapura, bahkan sebagian besar dari kejadian perompakan di dunia yang dilaporkan terjadi di perairan Asia Timur tersebut. Beberapa kasus perompakan di laut ini juga mulai masuk ke dalam dan terjadi di wilayah teritorial suatu negara, dimana mereka memanfaatkan lemahnya pengamanan laut negara tersebut.

... Pemahaman terhadap keamanan laut tersebut di atas sangatlah penting guna menciptakan suatu Pendekatan yang komprehensif dan secara integral

dalam hal penanganannya.

(6)

Aksi kejahatan di laut tersebut pada awalnya dan pada umumnya adalah dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi. Namun pada perkembangannya dan dalam situasi dewasa ini, fenomena perompakan perlu dipertimbangkan dalam konteks tindakan kekerasan di laut yang lebih luas. Hal ini mengingat semakin dimungkinkannya ancaman aksi terorisme di kedua Selat ini yang dilatarbelakangi masalah non ekonomi (ideologi), dimana sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di laut, serta terhadap kapal-kapal di laut. Kekhawatiran akan adanya tindakan terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura ini didasarkan pada strategisnya jalur ini tidak hanya bagi littoral states, tetapi juga bagi negara pengguna selat, serta adanya jaringan terorisme yang berkembang di Asia Tenggara.

Masalah aksi kejahatan terhadap kapal-kapal perompakan di Selat Malaka dan Selat Singapura saat ini menjadi masalah yang sangat pelik bagi littoral states khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura. Selama ini Selat Malaka dan Selat Singapura sudah dianggap “surga” dan tempat yang sangat ideal untuk melakukan kegiatan kejahatan di laut, mengingat jalur tersebut sangat ramai dilintasi oleh kapal-kapal besar dan kecil, dan juga digunakan sebagai jalur pengapalan energi dan perdagangan bagi negara-negara maju.

Kalangan pengamat maritim internasional memperkirakan apabila penanganan pemberantasan aksi kejahatan di Selat Malaka dan Singapura ini tidak segera diantisipasi, maka masalah ini akan semakin kompleks, seiring dengan kemungkinan ancaman terorisme di berbagai wilayah termasuk di Asia Tenggara.

(7)

Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan baik secara sepihak, bilateral maupun multilateral dalam rangka penanganan terhadap aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura oleh

littoral states. Termasuk adanya upaya dari user states untuk

berpartisipasi dengan berbagai kepentingan yang berbeda dan dalam berbagai cara dalam upaya pengamanan di kedua selat tersebut.

Namun upaya ini belum cukup memadai untuk menekan jumlah aksi kejahatan yang terjadi di kawasan ini. Dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa hambatan-hambatan dan perbedaan-perbedaan yang belum dapat dijembatani. Hambatan-hambatan ini terjadi tidak hanya di lapangan antar otoritas terkait, tetapi juga di tingkat pengambil keputusan yang lebih tinggi, dimana masih adanya perbedaan kepentingan yang lebih besar diantara pihak-pihak yang terkait tersebut.

Buku ini akan mencoba memberikan gambaran mengenai ancaman aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai jalur perdagangan dunia terhadap negara-negara pantai. Buku ini akan memfokuskan pandangan dari 2 negara, yaitu Indonesia dan Singapura, karena kedua negara tersebut, selain berbatasan langsung baik di Selat Malaka maupun di Selat Singapura, Indonesia dan Singapura juga merepresentasikan dua negara yang mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap keamanan di kedua Selat tersebut namun masing-masing masih

mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam upaya

(8)

BAB 2

NILAI STRATEGIS SELAT MALAKA DAN SELAT SINGAPURA

Selat Malaka merupakan wilayah perairan yang sebagian besar terbentang antara Indonesia dan Malaysia, memanjang antara Laut Andaman di barat laut dan Selat Singapura di tenggara sejauh kurang lebih 520 mil laut dengan lebar yang bervariasi sekitar 11-200 mil laut. Sedangkan Selat Singapura yang terapit antara Indonesia dan Singapura terbentang menurut arah Barat-Timur sejauh 30 mil laut dengan lebar sekitar 10 mil laut. Daerah yang tersempit dari jalur ini adalah Phillips Channel yang berada di Selat Singapura, yaitu hanya mempunyai lebar 1.5 mil laut.

Selat Malaka selama ini selalu terkait dengan masalah internasional secara politis maupun ekonomi karena jalur tersebut digunakan oleh berbagai kapal untuk berbagai kepentingan, terutama

kepentingan niaga. Dari perspektif posisi maupun historis

perdagangan di Selat Malaka sudah lama menjadi sentra ekonomi bisnis. Sejarah telah mencatat keberhasilan dan kejayaan dari kerajaan-kerajaan yang tumbuh di sekitar Selat Malaka yang diantaranya Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Malaka dimana perekonomiannya sangat berkembang dengan pesat. Kejayaan mereka pada masa itu, dikarenakan selain karena lokasinya yang sangat strategis, juga karena penguasaan mereka terhadap Selat Malaka dan sekitarnya. Nilai strategis Selat Malaka ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan bangsa Eropa, terutama Inggris, Belanda dan Portugis berlomba-lomba melakukan ekspansi ke wilayah ini.

(9)

Kedua Selat ini merupakan jalur yang relatif singkat dan murah dalam menghubungkan Samudera Indonesia ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya4, yang sekaligus merupakan jalur penghubung antara benua Eropa, Asia Selatan dan Asia Timur serta menghubungkan tiga negara berpenduduk terbesar di dunia, yaitu India, Indonesia dan China. Hal ini menyebabkan Selat Malaka dan Selat Singapura, sebagai satu kesatuan, menjadi jalur yang padat dan mempunyai arti sangat strategis bagi pelayaran internasional.

Lebih dari seperempat perdagangan dunia dan separuh dari perdagangan minyak serta LNG menggunakan perlintasan Selat Malaka dan Selat Singapura. Perlintasan minyak di Selat Malaka mencapai tiga kali lebih besar dibandingkan dengan apa yang melintasi Terusan Suez dan lima belas kali lebih besar dari pada perlintasan minyak melalui Terusan Panama. Apabila dibandingkan dengan Selat Hormuz yang memisahkan Arabian Sea dan Indian Ocean, Selat Malaka dan Selat Singapura keduanya mempunyai nilai strategis yang hampir sama, yaitu merupakan jalur perdagangan energi dunia, namun Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai kelebihan, yaitu selain menjadi jalur pedagangan energi, juga menjadi jalur utama perdagangan non-energi.

Bagi negara-negara pengguna Selat, Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan lifeline yang menopang perekonomian negaranya, antara lain Jepang, Korea Selatan dan China. Sejumlah 80% dari pasokan minyak di Jepang dan China diangkut melalui jalur

4

Mary Ann Palma, “Legal and Political Responses to Maritime Security Challanges in the Straits of Malacca and Singapore”, Institute of International Legal Studies University of the Philippines Law Center, March 2003

(10)

Selat Malaka5. Sebanyak 50.000 kapal ukuran besar menggunakan koridor ini setiap tahun, membawa 25% dari barang perdagangan dunia, 2/3 dari LNG dunia, dan jalur minyak 11 juta barrels perhari serta 14% dari kebutuhan sehari-hari dunia.6 Disamping itu, lebih dari 400 jalur transportasi laut dan 700 pelabuhan di dunia sangat tergantung pada Selat Malaka dan Selat Singapura.

Potensi ekonomi ini menjadi lebih bermakna dan bernilai strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 sebenarnya telah bergeser dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Sementara itu, lebih dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makasar, dan laut-laut Indonesia lainnya. Sebagian besar arus perdagangan tersebut melalui Selat Malaka dan Selat Singapura.

Selain nilai strategis secara ekonomi, Selat Malaka juga mempunyai nilai strategis dalam hal politik dan keamanan, yang tidak hanya bagi negara pantai tetapi juga bagi user states. Salah satu contoh bahwa Selat Malaka mempunyai nilai strategis secara politik dan keamanan adalah bagi negara-negara yang mempunyai kekuatan laut yang besar seperti Amerika Serikat, kedua Selat tersebut merupakan jalur utama bagi mobilitas armada-armadanya dalam melakukan patroli di Samudera Pasifik, Laut Hindia dan Timur

5

Michael Richardson, P. Mukundan, “Political and Security Outlook 2004: Maritime Terrorism and Piracy”, Trends in Southeast Asia Series: 3 (2004)

6

Amita Agarwal, “Hazards of Piracy, Tankers, Oil Spills and Marine Pollution in the Straits of Malacca”, ISEAS 2004

(11)

Tengah.7 Armada AS tersebut tidak hanya melewati Selat Malaka dan Selat Singapura saja, tetapi secara tidak langsung sekaligus merupakan upaya AS untuk menjaga kepentingan AS dan memperkuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Nampaknya, selain penguasaan secara de jure, penguasaan secara de facto terhadap kedua Selat tersebut akan meningkatkan posisi tawar secara politis dan ekonomi bagi pihak-pihak yang dapat memanfaatkannya.

Sebagai perlintasan jalur internasional (international maritime

passage) Selat Malaka dan Selat Singapura telah menjadikan

pelabuhan-pelabuhan laut di sekitarnya seperti Batam, Bintan, Singapura, Tanjung Pelepas, Johor berkembang dengan pesat secara ekonomi dibandingkan daerah lainnya. Kondisi geografi Selat Malaka dan Selat Singapura yang sangat strategis ini telah mendorong negara-negara dan wilayah-wilayah tersebut menjalin kerjasama dalam mengembangkan perekonomian di kawasan, salah satunya adalah pembentukan segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau. Adapun tujuan dari kerjasama-kerjasama ini adalah keinginan untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari jalur perdagangan yang sangat vital ini.

Mengingat arti pentingnya Selat Malaka dan Selat Singapura ini, keamanan dan keselamatan pelayaran di kedua Selat tersebut telah sekian lama menjadi perhatian dan menjadi kepentingan banyak pihak, mencakup negara-negara yang berbatasan langsung, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, negara-negara pengguna, misalnya AS, Jepang, RRC dan Korea Selatan, dan lain-lain serta pihak industri pelayaran internasional. Potensi gangguan keamanan 7

Mak Joon Num, “Unilateral and Regionalism: Working Together and Alone in the Malacca Straits”, ISEAS 2004

(12)

dan keselamatan terhadap pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura sangat besar sebagaimana tercermin dari naik turunnya jumlah aksi perompakan bersenjata dan kecelakaan kapal laut yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Risiko kerugian secara ekonomi

akan dihadapi sebagai akibat

terganggunya kegiatan pelayaran di

kedua selat tersebut, dan juga risiko bencana lingkungan laut yang dapat ditimbulkan dari kecelakaan kapal-kapal tanker yang melintas dan kemudian menumpahkan muatannya berupa minyak dan gas alam cair. Sesuatu kejadian yang mengakibatkan terganggunya lalu lintas laut atau penutupan terhadap Selat Malaka akan menyebabkan penggunaan

jalur pelayaran alternatif yang lebih jauh, dimana hal ini akan meningkatkan biaya pengapalan, biaya asuransi dan biaya-biaya lain terkait secara signifikan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, dari besarnya arus perdagangan dunia yang melintasi Selat Malaka dan kemudian melintasi juga Selat

Singapura ataupun melakukan transit di Singapura, bisa

diperhitungkan besarnya pemasukan keuangan bagi Singapura dari antara lain jasa kepelabuhanan yang disediakan oleh pelabuhan-pelabuhan laut negara tersebut. Singapura sampai saat ini merupakan pelabuhan tersibuk di dunia, pelabuhan kontainer kedua terbesar, dan merupakan lokasi industri oil refinery ketiga terbesar di

... Selain nilai strategis secara

ekonomi, Selat Malaka juga mempunyai nilai strategis dalam hal politik dan keamanan, yang tidak hanya bagi negara pantai tetapi juga bagi user states.

(13)

dunia, disamping itu lebih dari 135.000 kapal laut berlabuh di Singapura pada tahun 20038. Berdasarkan data pada Juli 2003, sektor maritim telah menyumbang sekitar 6% GDP Singapura dengan nilai S$ 9 milyar. Menyadari peran penting Selat Malaka dan Selat Singapura bagi pelayaran internasional, pemerintah Singapura terus berupaya memperkuat bisnis jasa pelayaran dan kepelabuhanannya untuk menjadi “the International Maritime Center” dan memperkuat

lebih lanjut perannya sebagai “regional transportation hub” di kawasan.

Dari sisi politik, lokasi keberadaan pelabuhan Singapura yang

sangat strategis yang kemungkinan besar hanya dapat disaingi

oleh pelabuhan Tanjung Pelepas Malaysia, telah memberikan posisi tawar secara signifikan kepada Singapura dalam hubungan bilateralnya dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura. Posisi tawar yang demikian ini secara tidak langsung menjadi salah satu sebab Singapura memiliki peran yang diperhitungkan di dunia intenasional.

Berdasarkan fakta di atas, Singapura dengan segala daya dan upaya berkepentingan mengamankan pelayaran di perairan kedua Selat tersebut dengan melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap setiap ancaman bahaya dan gangguan terhadap kebebasan dan keamanan navigasi di Selat Malaka dan Selat Singapura, baik ketika ancaman itu masih berujud potensi dan risiko maupun apabila telah menjadi ancaman nyata.

8

(14)

Berbagai upaya yang dilakukan oleh Singapura untuk melindungi kepentingannya di Selat Malaka dan Selat Singapura adalah9 :

- meningkatkan kemampuan militernya terutama di laut dan

udara;

- melakukan kerjasama keamanan dengan negara pantai lainnya;

- membuka fasilitas pelabuhannya untuk perawatan dalam rangka

perawatan dan perbaikan kapal-kapal militer AS, terutama yang tergabung pada Armada VII10;

- membuka wacana tentang peluang bagi AS untuk berpartisipasi

dalam melakukan patroli di Selat Malaka. Kehadiran Angkatan Laut AS itu dapat dipandang sebagai "jaminan keamanan" bagi negara pulau tersebut;

Setelah Konvensi PBB tentang United Nation Convention on the

Law of the Sea (UNCLOS) 1982 diratifikasi oleh Indonesia dengan UU

RI Nomor 17 tahun 1985 dimana konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif pada tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan diakui secara de jure oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum intenasional tersebut berarti Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah perairan kepulauan.

9

Col Kwek Siew Jin, “The Maritime Priorities of Singapore”, ISEAS 10

(15)

Dalam konteks Selat Malaka dan Selat Singapura dan dengan adanya pengakuan dunia tersebut di atas, Indonesia berpeluang besar menjadikan kedua Selat tersebut sebagai suatu faktor yang bermanfaat secara ekonomi dan politik. Semua negara dapat menggunakan jalur perairan strategis di wilayah tersebut, baik untuk kepentingan perlintasan kapal-kapal niaga maupun kapal-kapal perang. Namun demikian upaya untuk memperoleh manfaat dari peluang ini akan terwujud apabila adanya suatu kondisi yang aman dan terkendali di kawasan laut dimaksud.

Selama ini kegiatan perdagangan dan transportasi internasional melalui Sea Lane of Communication (SLOC) di perairan Indonesia terus meningkat. Sebagai jalur pelayaran

kapal penumpang internasional, Selat

Malaka menghubungkan tujuan dari

Sumatera dan pulau-pulau berdekatan lainnya menuju Singapura dan Malaysia. Departemen Perhubungan memperkirakan kepadatan lalu lintas laut di Selat Malaka menuju pelabuhan-pelabuhan di Indonesia akan mencapai 256 kapal setiap bulan pada tahun 200711. Aktivitas pelayaran yang meningkat tersebut menempatkan laut memegang peranan yang sangat

penting bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan di masa mendatang.

11

Data Departemen Perhubungan yang disampaikan Conference on the Straits of Malacca, Building a Comprehensive Security Environment, Kuala Lumpur, 11-13 Oktober 2004

…. Dari sisi politik, lokasi keberadaan pelabuhan Singapura yang sangat strategis, telah memberikan posisi tawar secara signifikan kepada Singapura dalam hubungan bilateral dengan negara lain

(16)

Selain melakukan kerjasama dengan Malaysia dan Singapura dalam rangka kerjasama Sijori yang bertujuan memberikan nilai tambah secara ekonomi terhadap kawasan Selat, secara terbatas, Indonesia juga telah mengembangkan wilayah Barelang (Batam, Rempang dan Galang) di kepulauan Riau sebagai wilayah berikat dan pengembangan Sabang sebagai salah satu pelabuhan bebas guna mengambil manfaat ekonomi dari keberadaan Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut. Khusus untuk rencana penyempurnaan status Batam dari kawasan berikat (bonded zone) menjadi Free Trade Zone memiliki nilai strategis bagi Indonesia untuk memaksimalkan posisi Batam di Selat Malaka. Selain itu, sejalan dengan era otonomi daerah di Indonesia, Pemerintah-pemerintah Daerah yang daerahnya berbatasan dengan Selat Malaka dan Selat Singapura juga telah menyadari peluang-peluang dimaksud dan mulai membuka diri dengan melakukan kerjasama dengan negara-negara tetangga.

Dalam profil pembangunan bidang kelautan Indonesia, Pemerintah telah menjabarkan ke dalam lima tujuan yang harus dicapai, yaitu: (1) meningkatnya

kesejahteraan masyarakat pesisir, (2) meningkatnya peran sektor kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, (3) peningkatan gizi masyarakat melalui peningkatan daya dukung konsumsi ikan, dan (4) pemeliharaan serta kualitas lingkungannya, (5) peningkatan peran

laut sebagai pemersatu bangsa.12 Melihat nilai strategisnya, maka Selat Malaka dalam profil pembangunan kelautan Indonesia tersebut 12

Wawancara Prof Dr. Ir. Rokhimin Dahuri mengenai “ Reorientasi Pembangunan Berbasis Kelautan” oleh TokohIndonesia.Dotcom

Indonesia berpeluang besar menjadikan kedua selat tersebut sebagai suatu faktor yang bermanfaat secara ekonomi dan politik.

(17)

telah memenuhi syarat sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat menciptakan kesejahteraan bangsa secara berkelanjutan (on a

sustainable basis).

BAB 3

AKSI KEJAHATAN DI LAUT : SUATU ANCAMAN NEGARA-NEGARA PANTAI DI SELAT MALAKA DAN

(18)

3.1. Perompakan (Piracy) dan Perampokan Bersenjata (Armed

Robbery) di Laut

Aksi kejahatan terhadap kapal-kapal laut termasuk aksi kejahatan tertua yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Namun penggunaan istilah pirate/peirato digunakan pertama kali pada sekitar 140 SM oleh Ahli Sejarah Roma Polybius. Istilah

piracy kemudian untuk pertama kali didefinisikan oleh ahli sejarah

Yunani Plutarch pada tahun 100, yaitu orang-orang yang menyerang tanpa dasar hukum tidak hanya terhadap kapal tetapi juga maritime cites.13

Dalam perkembangannya, istilah piracy yang diterjemahkan sebagai perompakan/pembajakan di laut mulai didefinisikan dalam konteks hukum yang lebih jelas dan dibedakan pengertiannya dengan tindakan armed robbery (perampokan bersenjata terhadap kapal di laut), dimana perbedaan dari kedua aksi kejahatan di laut

tersebut berdampak pada cara dan tanggungjawab

penanganannya.

Permasalahan kemudian timbul pada saat dihubungkannya penggunaan istilah antara aksi perompakan (“piracy”) - istilah yang banyak digunakan akhir-akhir ini - dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal (“armed robbery against ships”) dengan pembahasan tentang aksi kejahatan di laut yang terjadi di Selat Malaka dan Selat Singapura.

13

(19)

Menurut pasal 101 UNCLOS 1982, dijelaskan bahwa perompakan di laut dapat disebut piracy apabila memenuhi unsur-unsur:

- merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum;

- untuk tujuan pribadi;

- yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship

atau private aircraft;

- terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara.

Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini adalah merupakan tindakan kejahatan di laut yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Namun pada kenyataannya justru sebagian besar insiden “pembajakan” di laut terjadi di laut teritorial suatu negara.

Sementara itu, International Maritime Organization (IMO) juga membedakan istilah piracy dan armed robbery against ship tersebut berdasarkan locus delicti dari aksi kejahatan tersebut. Perompakan (Piracy) menurut IMO adalah unlawful acts as defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea”14 . Sedangkan berdasarkan pasal 2.2 dari IMO MSC Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes

of Piracy and Armed Robbery Against Ships, Armed robbery against ship didefinisikan pada sebagai berikut:

14

(20)

“Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy”, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State’s jurisdiction over such offenses. 15

Dalam dua definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi piracy maupun armed robbery dimana tindak kejahatan di laut dapat dikatakan armed robbery apabila dilakukan di dalam wilayah jurisdiksi suatu negara, sedangkan aksi piracy dilakukan di luar jurisdiksi suatu negara.

Namun, International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi

piracy yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982

pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa piracy hendaknya diartikan sebagai:

“act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof”.16

Konsekuensinya segala tindakan atapun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan piracy. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi piracy yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers

of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang

15

IMO Draft Code of Practice 16

Robert C. Beckmean, “Combatting Piracy and Armed Robbery Against Ships in Southeast Asia: The Way Forward”, Ocean Development & International Law, 2002

(21)

mempunyai kepentingan besar terhadap keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.

Perbedaan definisi atau pengartian istilah “piracy” di atas, kemudian menimbulkan permasalahan mengenai tanggung jawab dan cara penanganannya ketika diterapkan pada wilayah laut dimana terdapat beberapa wilayah laut teritorial dari beberapa negara yang berhimpitan dan digunakan sebagai jalur internasional yang padat, seperti Selat Malaka dan Selat Singapura.

Disamping itu, dalam penulisan beberapa literatur dan beberapa pengamat yang dirujuk dalam penulisan buku ini selalu menggunakan istilah Piracy secara umum yang dimana didalamnya mencakup juga aksi armed robbery. Penulisan seperti ini biasanya hanya menekankan aspek-aspek penanganan dari aksi kejahatan tersebut secara teknis dan umum, sehingga mengabaikan aspek hukum yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut.

Pada kenyataannya, kerancuan penggunaan istilah antara

piracy dan armed robbery against ships yang dibedakan berdasarkan

faktor di mana tindak kejahatan di laut dilakukan (locus delicti) tidak menghilangkan adanya masalah serius tentang tindak kejahatan terhadap kapal-kapal di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura yang perlu diatasi bersama. Namun demikian, perbedaan definisi ini menjadi permasalahan yang cukup rumit bagi negara-negara pesisir Selat Malaka dan Selat Singapura, terutama dalam rangka menegakkan hukum di wilayahnya. Perbedaan ini pula yang

(22)

menyebabkan data-data yang dikeluarkan oleh IMB, IMO dan otoritas kelautan suatu negara tidak ada keseragaman. Perbedaan definisi dan data-data ini dikhawatirkan akan menimbulkan gambaran yang tidak akurat dan akan melahirkan kesimpulan dan solusi yang kurang tepat.

Menurut Jayant Abhyankar, perompakan di laut sendiri dapat dikelompokan dalam empat jenis kategori17:

Asian Piracy, yaitu perompakan dilaut dengan melakukan

pencurian barang-barang berharga, uang yang terdapat pada kapal atau yang dimiliki oleh anak buah kapal. Perompakan jenis ini banyak dilakukan di Selat Malaka dan Selat Singapura.

South American and West African Piracy, yaitu perompakan

dilaut yang dilakukan dengan cara yang lebih brutal untuk mendapatkan barang-barang berharga di kapal.

 Perompakan yang dilatarbelakangi masalah politik. Perompakan

ini dapat berupa political piracy, atau berupa maritime terrorism yang saat ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius di masa yang akan datang. Sedangkan Political Piracy, yaitu aksi kejahatan di laut dengan tujuan mencari dana untuk membiayai dan mendukung perjuangan ideologi dan politik mereka

 Perompakan di laut dengan cara mengambil alih kapal dan

mengambil seluruh muatan kapal. Perompakan jenis ini juga mulai dilakukan di perairan Asia Tenggara.

17

Jayant Abhyankar, “Piracy, Armed Robbery and Terrorism at Sea in Southeast Asia: a Global and Regional Outlook”, Workshop on Maritime Security, Maritime Terrorism and Piracy in Asia, 23-24 September 2004.

(23)

Dalam perkembangannya banyak faktor-faktor yang menyebabkan maraknya kegiatan aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sedemikian kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak terkait. Adapun faktor-faktor utama tersebut yang dianggap mempunyai peranan besar untuk memicu terjadinya perompakan dan perampokan bersenjata di laut adalah:

- Situasi ekonomi di kawasan sekitar

Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh pada perilaku dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal bagaimana cara mereka mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir selama ini selalu dikaitkan dengan kemiskinan, kurang berpendidikan, tradisional dan hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut atau sebagai nelayan.

Sementara itu tidak jauh dari daerah mereka, berbagai kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia yang membawa berbagai jenis muatan berlayar melalui jalur-jalur yang dapat dikatakan “dikuasai” oleh masyarakat pesisir tersebut. Dengan didorong dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan dengan latar belakang pendidikan yang rendah, hal ini pada akhirnya menimbulkan suatu peluang untuk memperoleh jalan pintas dalam upaya mempertahankan hidup.

Sebagai contoh, krisis ekonomi di Asia 1997-1998 telah menjadi salah satu pemicu meningkatnya aksi kejahatan di kawasan Selat Malaka dan Selat Singapura. Sekelompok orang

(24)

tertentu berusaha mencari uang dengan berbagai cara termasuk melakukan aksi kejahatan di laut. Hal ini terlihat kenaikan yang cukup signfikan sejak tahun 1996 upaya-upaya aksi kejahatan di perairan Asia.

- Lemahnya kontrol pemerintahan terhadap permasalahan di dalam negeri

Pemerintahan yang tidak dapat mengontrol permasalahan dan perkembangan yang terjadi di dalam negerinya, akan menimbulkan peluang bagi sekelompok orang untuk melakukan tindakan sepihak yang menguntungkan dirinya. Kontrol ini dapat secara efektif dilakukan apabila Pemerintah mempunyai political

will dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

Karena dari sudut hukum tata negara, Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyat.

Sedangkan masalah-masalah publik seperti pemenuhan

kebutuhan pokok rakyat adalah merupakan tugas Pemerintah.

Masalah aksi kejahatan di laut yang terjadi saat ini, masih dinilai sebagai aksi kejahatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dengan dilatar belakangi oleh masalah ekonomi. Banyak diantara mereka melakukan aksi-aksi ini hanya untuk mempertahankan hidup dan mereka menganggap Pemerintah tidak cukup memberi perhatian bagi kebutuhan mereka. Dalam hal ini, ketidakmampuan Pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban melindungi kepentingan umum secara bijaksana akan mendorong sekelompok masyarakat untuk melakukan tindakan untuk kepentingan kelompoknya.

(25)

Disinilah, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari Pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik kepada masyarakatnya.

- Rendahnya kemampuan para penegak hukum dan sarana pendukungnya

Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, penegakan hukum di kapal dan penegakan hukum di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain dan lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di

laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi

kesempatan atau peluang aksi kejahatan di laut. Untuk itu, segala kelalaian dari petugas pelabuhan, pengusaha kapal, aparat terkait serta tindakan kriminal dari para pelaku kejahatan di laut seyogyanya harus dianggap suatu pelanggaran yang serius.

Rendahnya kemampuan para penegak hukum, baik yang bertugas di darat maupun di laut, untuk mengamankan wilayah laut yang sangat luas merupakan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk lebih leluasa melakukan tindak kriminal. Selain itu aksi-aksi kejahatan tersebut bukan hanya dilatarbelakangi tidak adanya pengawasan dari aparat terhadap suatu wilayah, tetapi juga karena tidak adanya penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan secara profesional oleh para penegak hukum tersebut terhadap para pelaku-pelaku aksi perompakan di laut tersebut.

(26)

Rendahnya kemampuan para aparat hukum ini dapat dilihat dan dinilai dari latar belakang individunya (latar belakang

pendidikan, moral, komitmen, dll) maupun

kelengkapan-kelengkapan pendukung. Pada akhirnya, kelemahan kemampuan para penegak hukum ini akan berdampak pada pendekatan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal tindakan pencegahan, pengawasan maupun penindakan terhadap aksi-aksi kejahatan di laut yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Selain itu, kurangnya koordinasi antar penegak hukum terkait menyebabkan lambatnya tindakan pencegahan dan

penangkapan. Kurangnya koordinasi juga mengakibatkan

lamanya waktu yang diperlukan sejak laporan diterima sampai dengan tindakan. Koordinasi dan kerjasama antar aparat terkait ini sangat diperlukan mengingat perompakan di laut ini adalah suatu bentuk kejahatan yang mempunyai lingkup luas bahkan terkait tidak hanya hukum nasional tetapi juga hukum internasional, dan penanganannya juga melibatkan tidak saja angkatan laut dan kepolisian, tetapi juga aparat di pelabuhan. Sehingga kecepatan dan ketepatan dalam melakukan koordinasi adalah sesuatu hal yang mutlak.

Dalam kasus penegakan hukum di perairan Indonesia, apabila dibandingkan dengan luas wilayah perairan Indonesia yang menjadi wilayah sasaran tugas pengamanan dan penegakan hukum dilaut, maka tidak ada keseimbangan antara luas wilayah dengan sarana dan prasarana yang ada. Sedangkan peralatan

(27)

yang dimiliki oleh para pelaku aksi kejahatan sudah sedemikian majunya.

- Lemahnya kerjasama negara-negara kawasan

Aksi kejahatan di laut dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara, khususnya di wilayah-wilayah perairan sempit seperti di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dengan mobilitas pelaku kejahatan yang sangat tinggi, serta target aksi kejahatan di laut juga dapat dengan mudah berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya, bahkan antar negara. Hal ini menjadikan aksi kejahatan ini tidak lagi dapat ditangani hanya oleh satu negara, tetapi diperlukan suatu kerjasama dengan negara di kawasan.

Ada kecenderungan bahwa para perompak memanfaatkan keterbatasan aparat suatu negara dalam melakukan pengawasan dan pengejaran, khususnya apabila pengejaran tersebut sudah mengarah ke wilayah perairan negara lain. Sebagaimana diketahui, pengejaran kapal-kapal patroli terhadap para pelaku kejahatan di laut yang masuk ke dalam wilayah teritori negara lain, justru akan menimbulkan protes dari negara yang bersangkutan, apabila dilakukan tanpa adanya koordinasi.

Hal ini menunjukkan bahwa pada pelaksanaannya, kerjasama secara konkrit negara-negara kawasan saat ini selalu terbentur pada isu-isu yang terkait dengan kedaulatan dan isu perbatasan. Dalam kondisi seperti ini, sangat diperlukan suatu kerjasama tidak hanya dalam melakukan suatu pengawasan terhadap aksi-aksi kejahatan laut, tetapi juga kerjasama dalam

(28)

melakukan koordinasi terhadap pengejaran di lapangan dan penegakan hukum.

- Lemahnya sistem hukum di bidang maritim

Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik

horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan

perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal.

Selain harus dapat menjamin interaksi dan terciptanya koordinasi yang harmonis dan optimal, sistem hukum yang harus ditegakkan saat ini seyogyanya tidak bisa lagi memandang para pelaku kejahatan di laut merupakan tindakan kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya tersebut. Seyogyanya aksi kejahatan di Selat yang sangat strategis ini dikenai hukuman yang seberat-beratnya, karena tindakannya akan membahayakan perekonomian dan keamanan negara.

Sebagai ilustrasi beberapa hukum nasional yang digunakan dan dijadikan rujukan oleh Indonesia dalam penegakan hukum di laut masih terjadi ketidak sinkronan satu sama lain18, selain itu juga masih mengacu pada hukum Belanda (1939) yang tentunya tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Peratuan

perundang-18

“Peranan Polri dalam Menegakkan Hukum di Laut (Suatu Refleksi Pelaksanaan Hukum di Laut yang telah dilakukan oleh Polri), makalah yang disampaikan pada Lokakarya Hukum Laut Internasional Deplu, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.

(29)

undangan nasional yang dijadikan dasar dalam hal penegakan hukum maritim adalah:

 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Stbl 442 tentang Ketentuan-ketentuan Menegakkan Ketertiban dan Keamanan dalam Daerah Laut RI.

 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Stbl No. 525/1935 tentang Kepolisian di Laut.

 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Acara Pidana.

 Undang-Undang No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.

 Keppres RI No 65 tahun 1980 tentang Konvensi International tentang Keselamatan Jiwa di Laut.

 Undang-Undang No 17 tahun 1985 tentang Hukum laut Internasional (1982 United Convention on the Law of the Sea).

- Kondisi Geografis

Kondisi geografis suatu wilayah dapat menjadi faktor pemicu suburnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para perompak dalam melalukan aksinya tentunya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, tentunya para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukannya di perairan lepas/terbuka. Sementara itu pulau-pulau yang tersebar, seperti di Selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan tempat yang ideal untuk bersembunyi atau melarikan diri. Sehingga kehadiran mereka setelah melakukan kejahatan akan sulit terdeteksi oleh aparat.

(30)

3.2. Aksi Kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura

Sejak ratusan tahun silam aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura telah ada dan tidak henti-hentinya mengundang masalah bagi para penguasa pada saat itu. Namun demikian isu keamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura belum menonjol karena frekuensi aksi kejahatan laut masih dianggap relatif kecil dan

tidak terlalu signifikan. Namun sejalan dengan semakin

meningkatnya frekuensi pelayaran sejak tahun 1990, aksi kejahatan di laut semakin meningkat. Kondisi ini yang menyebabkan pada tahun 1991 dan 1992 negara-negara littoral States melakukan kerjasama coordinated patrol di Selat Malaka dan Selat Singapura. Kerjasama ini pada saat itu cukup efektif dalam menekan aksi-aksi kejahatan di laut tersebut.

Seiring dengan berlakunya UNCLOS 1982 pada tahun 1994, terjadi perubahan persepsi wilayah laut di Asia Tenggara dan juga terjadi penambahan wilayah, yang sebelumnya 3 mil laut diukur dari titik terluar menjadi 12 mil laut. Namun penambahan wilayah laut yang diatur dalam UNCLOS 1982 ini tidak diikuti dengan peningkatan kemampuan untuk melakukan penegakan hukum di laut yang memadai terhadap aksi-aksi kejahatan tersebut yang sebagian besar dilakukan di dalam area 12 mil laut.19 Sehingga, hal ini memberi konsekuensi meningkatnya aksi–aksi kejahatan di perairan Asia Tenggara.

Berdasarkan data IMB yang mengartikan istilah perompakan secara berbeda dengan istilah dalam UNCLOS 1982, hampir

19

(31)

setengah dari aksi kejahatan di seluruh dunia yang dilaporkan adalah terjadi Asia Tenggara dan jumlah laporan tersebut meningkat dari 170 kejadian pada tahun 2002 menjadi 189 kejadian pada tahun 2003. Sebagian aksi kejahatan tersebut terjadi Selat Malaka dan Selat Singapura, dimana antara tahun 2002 dan 2003 terjadi peningkatan serangan perompakan di Selat Malaka yang cukup signifikan sehingga Selat tersebut dianggap sebagai perairan yang paling rawan terhadap aksi perompakan.

Sebagai gambaran oleh IMB, pada tahun 2002 telah terjadi serangan perompak di Selat Malaka sebanyak 16 kali, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 28 kali. Sementara Selat Singapura terjadi penurunan dari 5 kali menjadi hanya 2 kali. Sedangkan pada pertengahan pertama tahun 2004 aksi perompakan di Selat Malaka sudah mencapai 20 kejadian, dan di Selat Singapura 7 kejadian. Peningkatan pada paruh pertama tahun 2004 sebesar 33% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, perompakan yang terjadi di perairan Indonesia tercatat sebanyak 121 serangan pada tahun 2003, meningkat cukup tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu 103 kejadian20.

Namun demikian, walaupun beberapa unsur-unsurnya (pasal 101 UNCLOS) terpenuhi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar aksi kejahatan di Selat Malaka dan Singapura ini, sesuai dengan UNCLOS 1982, tidak dapat dikatakan sebagai “piracy” mengingat di Selat Malaka yang terbentang sepanjang 520 mil laut hampir tidak terdapat laut bebas. Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah perairan nasional yang tunduk pada 20

ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni 2004

(32)

kedaulatan negara-negara pesisirnya (littoral States), Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk sebagian besar tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak dimuat dalam pemberitaan, tulisan-tulisan dan IMB, istilah yang tepat adalah “armed robbery against ships”, karena terjadi di laut teritorial.

Aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura dilakukan dalam bentuk pencurian isi kapal, pencurian kapal, pembunuhan awak kapal, penyanderaan, dan penculikan awak kapal. Aksi-aksi ini dilakukan tidak hanya pada saat kapal melintas tetapi juga terhadap kapal yang sedang berlabuh. Pola yang digunakan oleh pelaku kejahatan di laut adalah menyerang kapal dengan naik ke dek kapal di malam hari.

Mereka tidak hanya menyerang kapal-kapal bermuatan kecil tetapi juga kapal-kapal tanker, kargo, bahkan kapal-kapal yang bermuatan bahan-bahan berbahaya. Dalam beberapa kasus political piracy, aksi-aksi tersebut mencakup tindak kejahatan terhadap kapal-kapal dan penculikan terhadap awaknya untuk kemudian meminta uang tebusan dengan jumlah tertentu.21 Antara Januari sampai Juni 2003, Selat Malaka berada pada posisi pertama

dalam hal terjadinya piracy dengan menggunakan senjata api (50,9% dari jumlah global), posisi pertama atas insiden yang menggunakan

21

Disarikan dari berbagai sumber literatur mengenai aksi kejahatan dilaut di Selat Malaka

...sebagian besar tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak dimuat dalam pemberitaan,

tulisan-tulisan dan IMB, istilah yang tepat

adalah “armed

robbery

(33)

pisau (31,3% dari jumlah global) dan juga posisi pertama atas insiden dengan menggunakan “other weapon” l (23% dari jumlah global).22

Dari gambaran di atas, International Maritime Bureau membuat suatu laporan dalam bentuk tabel mengenai perbandingan jumlah kejahatan laut di 4 wilayah (perairan Indonesia, perairan Malaysia, Selat Malaka dan Selat Singapura) dimana untuk Selat Malaka dan Selat Singapura menunjukan peningkatan kejadian yang cukup signifikan pada tahun 2003-2004.

TABEL :

Aksi kejahatan di laut diparuh pertama tahun 2003 dan 2004

Wilayah 2003 2004 Perairan Indonesia 64 50 Selat Malaka 15 20 Perairan Malaysia 5 5 Selat Singapura 0 7

Sumber : ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report 2003 dan Report 1 January 2004-30 Juni 2004

Sebagai gambaran, dibawah ini disampaikan beberapa kasus aksi kejahatan laut yang terjadi di Selat Malaka dan sekitarnya:

22

Graham Gererd Ong, “Ship Can Be Dangerous Too: Coupling Piracy and Maritime Terrorism in Southeast Asia’s Maritime Security Framework”, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No.1 (2004)

(34)

- Pada bulan Juli 2003, sebuah upaya pembajakan terjadi 3 kali

berturut-turut di perairan Selat Malaka terhadap kapal tanker bermuatan LPG, kapal tanker bermuatan gas, dan kapal tanker bermuatan minyak. Penyerang menembakkan senapan mesin, namun berhasil digagalkan.

- Pada tanggal 26 Maret 2003, terjadi serangan terhadap kapal

bernama Dewi Madrim, sebuah kapal yang mengangkut bahan kimia berukuran kecil, di sebelah timur Propinsi Riau. Sekitar 10 orang Perompak bersenjata api dan pisau menaiki kapal tersebut dan memotong jalur komunikasi kapal tersebut, dan mengikat para awak kapal.23 Para pelaku tersebut kemudian mengambil alih navigasi kapal dan membawa kapal dengan kecepatan rendah. Setelah beberapa saat para perompak tersebut meninggalkan kapal dan membawa uang, peralatan dan barang-barang milik awak kapal.

- Pada tanggal 8 April 2003, Kapal Trimanggada (Cargo) dalam

perjalanannya di Selat Malaka diapit oleh oleh 3 buah kapal motor dan dipaksa untuk segera mematikan mesin. Para pelaku bersenjata api tersebut kemudian menaiki kapal dan menyandera dan menculik kapten kapal dan 1 orang krunya untuk kemudian meminta uang tebusan kepada pemilik kapal.

- Pada tanggal 5 Januari 2004, kapal Tanker Cherry 201 diserang

dan dibajak oleh orang-orang bersenjata di Selat Malaka. Para pembajak kemudian menyandera 13 anak buah kapal. Setelah 1 bulan melakukan negosiasi, para pembajak kemudian menembak mati 4 ABK, dan sisanya melompat ke laut.

23

(35)

3.3. Maritime Terrorism: Suatu Potensi Ancaman di Selat Malaka dan Selat Singapura

Berdasarkan data dan analisa diatas, menunjukan bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan jalur perdagangan yang sangat strategis tetapi sangat rentan terhadap gangguan-gangguan dari ekternal maupun internal. Maraknya gangguan aksi bersenjata terhadap kapal-kapal yang melintas, menunjukan bahwa sistem pengamanan di wilayah tersebut sangatlah lemah. Apabila hal ini tidak ditangani dengan serius maka dikhawatirkan dapat membuka peluang bagi jaringan teroris melakukan aksinya di wilayah ini.

Negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat pada umumnya masih sangat tergantung pada komoditi minyak dalam menjalankan perekonomiannya. Permintaan dunia untuk komoditi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (peningkatan 2 juta barrel untuk tahun 2004). Sebagian besar dari eksportir minyak adalah negara-negara Timur Tengah. Dari semua jalur-jalur kapal di dunia, Selat Malaka merupakan kemungkinan target yang paling vital bagi teroris mengingat sepertiga jalur perdagangan dunia, termasuk minyak melalui Selat tersebut.

Sebagai gambaran, apabila terjadi serangan yang

mengakibatkan ledakan pada kapal tanker di Selat Malaka, maupun Selat Singapura diperkirakan dapat memutuskan jalur perdagangan tersebut dalam waktu yang cukup lama. Sejarah membuktikan bahwa embargo minyak Arab pada tahun 1973 telah meningkatkan harga minyak 3 kali lipat dan mengakibatkan gangguan terhadap perekonomian global. Penutupan Selat ini juga akan memperpanjang

(36)

jalur pelayaran beberapa hari dengan alternatif melalui Selat Lombok maupun Selat Sunda. Semakin tingginya resiko keamanan di laut dan semakin panjangnya jalur pelayaran, sebagai konsekuensinya, akan menambah biaya operasional maupun asuransi24.

Beberapa preseden sudah terjadi, bahwa kegiatan-kegiatan terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, sudah melakukan segala cara demi tercapai kepentingan politiknya, antara lain penyerangan terhadap gedung World Trade Centre di AS, peledakan bom di tepat umum, pembajakan pesawat dan berbagai bom bunuh diri. Pada tahun 2000 Al Qaeda juga telah melakukan serangan terhadap kapal perang Amerika USS Cole di Yaman. Pada tahun 2002, Kapal tanker Perancis, Limburg yang membawa minyak di perairan Yaman juga diserang oleh sekelompok teroris dengan menggunakan kapal bermuatan bahan peledak. Informasi mengenai rencana-rencana Al Qaeda untuk menggunakan kapal laut sebagai media, atau target aksi mereka juga diperoleh dari hasil investigasi mantan kepala operasi Al Qaeda yang ditangkap di Yaman tahun 2002.

Walaupun pada perkembangannya sampai saat ini belum dapat dibuktikan keterkaitan langsung antara perompakan (piracy) dan aksi terorisme, kemungkinan adanya kerjasama tersebut adalah sesuatu yang masuk akal. Para perompak, karena keahlian dan pengalaman mereka, dapat digunakan oleh para terroris untuk

membajak kapal untuk kemudian digunakan melakukan

penyelundupan, atau dijadikan sebagai floating bomb. Mereka

24

(37)

memanfaatkan lemahnya pengawasan keamanan di laut untuk menyerang ke target-target yang telah ditentukan25.

Dalam kasus beberapa aksi kejahatan di laut yang dilakukan oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf di wilayah perairan Philipina Selatan, yang dikategorikan sebagai

Political Piracy, menunjukan bahwa pelaku-pelaku aksi kejahatan di

laut tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu atau sekelompok orang saja tetapi juga dilakukan oleh jaringan-jaringan dari kelompok yang lebih terorganisir dan mempunyai tujuan politik tertentu di suatu negara. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai kemampuan membuat bahan peledak dan mempunyai pusat pelatihan bagi para sukarelawannya. Berdasarkan fakta di atas, maka terlihat adanya “benang merah” antara maritime terrorism dengan piracy/aksi kejahatan di laut yang harus diwaspadai.

Piracy/armed robbery dan maritime terrorism sesungguhnya

mempunyai keterkaitan satu sama lain yang memiliki persamaan dan perbedaan yang mendasar, yaitu:

 Keduanya melakukan tindakan kejahatan di laut dengan kapal sebagai sasaran.

 Keduanya mempunyai persamaan dalam hal modus operandi yang digunakan.

 Keduanya merupakan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik di kawasan.

25

(38)

 Piracy dan armed robbery dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, sedangkan terrorism dilatar belakangi oleh masalah politik dan ideologi.

 Maritime terrorism diperkirakan mempunyai dampak yang lebih luas dan besar dari pada piracy/armed robbery, karena salah satu tujuannya adalah menarik perhatian dunia, sehingga semaksimal mungkin mengusahakan agar serangan-serangan yang dilakukan dapat berakibat serius dan fatal.26 Sedangkan aksi piracy/armed robbery cenderung dilakukan diam-diam dan tanpa mengundang perhatian.27

Adapun serangan terorisme di laut dapat dilakukan dalam 2 bentuk yaitu, pertama, melakukan serangan terhadap kapal penumpang dan kapal kargo/tanker, dan yang kedua melakukan serangan dari laut, termasuk menggunakan kapal terhadap target-target di darat/pelabuhan.28 Kedua serangan tersebut tentunya hanya dapat dilakukan apabila didukung dengan persenjataan dan sistem komunikasi yang cukup canggih. Walaupun ancaman terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura masih berupa skenario-skenario yang dikembangkan dari investigasi dan pengamatan dari beberapa pakar dan sumber, Singapura dan beberapa negara-negara pengguna Selat saat ini mengkhawatirkan skenario tersebut dapat menjadi kenyataan, terutama dengan adanya jaringan teroris yang merupakan turunan dari Al Qaeda yang disebut kelompok Jemaah Islamiyah di wilayah Asia Tenggara. Kekhawatiran ini semakin berkembang, seiring dengan berbagai

26 Ibid 27

Mark Valencia, The Politics of Anti-Piracy and Anti –Terrorism Responses in Southeast Asia, ISEAS 2004 28

(39)

aksi-aksi terorisme di Indonesia dan semakin besarnya inisiatif dan pengaruh AS di wilayah ini.

Mengingat Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap

berbagai aksi kejahatan di laut

dikhawatirkan kelemahan-kelemahan

pengamanan dan nilai strategis dari kedua Selat ini akan dimanfaatkan oleh jaringan terorisme. Kondisi ini menjadi salah satu sebab AS dan beberapa negara lainnya berupaya memperoleh

“pembenaran” untuk berpartisipasi

dalam pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura.

Pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut tidak hanya dalam rangka pengamanan kawasan terhadap serangan terorisme, tetapi juga mencegah digunakan Selat sebagai jalur penyelundupan atau transportasi bahan-bahan kimia yang berbahaya yang digunakan oleh jaringan terorisme. Pakar terorisme di Amerika, Asia dan Eropa telah memperingatkan bahwa dalam melakukan tindakannya, teroris akan melakukan penyerangan dengan menggunakan bahan kimia dan biologi yang berbahaya29.

Dalam kaitan ini, AS secara aktif memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep-konsep mulai dari tindakan pencegahan sampai dengan tindakan yang lebih ekstrem, yaitu penggelaran Angkatan Lautnya di wilayah ini. Beberapa konsep yang diajukan

29

Michael Richardson, Op.Cit.

Adanya “benang merah” antara

maritime terrorism

dengan piracy/aksi kejahatan di laut yang

(40)

tersebut adalah dalam rangka tindakan berusaha mencari dukungan tentang konsep interdiksi di laut dalam rangka kebijakan non-proliferasi Weapon of Mass Destruction (WMD), dimana perlunya dilakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal dari negara-negara tertentu. Untuk ini, pada bulan April 2004 AS telah pula menggulirkan gagasan Regional Maritime Security Initiative untuk kawasan Asia Tenggara dalam rangka menerapkan Proliferation

Security Initiative (PSI) dengan melakukan tukar menukar informasi

dan melakukan tindakan pengawasan, identifikasi dan pencegahan kapal-kapal di laut teritorial maupun di laut internasional. Gagasan ini

awalnya akan memfokuskan pada wilayah Selat Malaka.30 Gagasan

ini kemudian dikaitkan dengan pernyataannya mengenai kemungkinan penggelaran Angkatan Laut AS di perairan Selat Malaka (oleh Admiral Thomas Fargo)31. Dalam hal in, AS

berpendapat bahwa adanya kemungkinan dalam aksi “perompakan”

(piracy), kapal laut akan digunakan sebagai living bomb untuk menghancurkan kapal-kapal laut lainnya.

Dalam perkembangannya, Singapura telah menyatakan persetujuannya terhadap gagasan AS di Selat Malaka tersebut. Sedangkan Indonesia dan Malaysia menolaknya dan beralasan bahwa sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, tanggung jawab keamanan maritim Selat Malaka sepenuhnya merupakan tanggung jawab bersama littoral States. Berbagai alasan dan keberatan diwacanakan, termasuk argumentasi bahwa keberadaan kekuatan AS di Selat Malaka justru dapat menyulut ekstrimisme dan militansi gerakan terorisme. Namun demikian disadari bahwa, kerjasama dengan AS atau pihak ketiga lainnya tetap diperlukan tidak hanya 30

Mark J. Valensia, Op.Cit. 31

(41)

dalam upaya penangkalan aksi terorisme, tetapi juga aksi kejahatan maritim lainnya, terhadap keamanan selat sepanjang hal itu sejalan dengan Pasal 43 dan Pasal 100 UNCLOS. Bantuan atau kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk bantuan peningkatan kemampuan negara-negara pantai, pertukaran informasi/ intelijen, dan bantuan dana.

3.4. Dampak Aksi Kejahatan di Selat Singapura dan Selat Malaka

a. Dampak Secara Politik

Kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi telah mendorong perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dengan terbentuknya masyarakat dunia yang semakin terbuka. Keterbukaan tersebut memberi peluang terjadinya penetrasi terhadap informasi yang kurang tepat atau kurang akurat serta mempunyai sudut pandang yang berbeda sehingga membentuk suatu opini atau pandangan, bahkan solusi yang tidak sesuai dengan permasalahannya. Saling ketergantungan antar negara atau bangsa dalam berbagai bidang tidak jarang berkembang menjadi suatu kompetisi yang ketat maupun dalam hal perebutan pengaruh baik pada lingkup global maupun regional.

Dalam konteks strategis, diperkirakan ancaman dan gangguan terhadap kepentingan Indonesia di masa datang dapat berupa kejahatan lintas negara, terorisme dan bentuk-bentuk kejahatan terorganisasi lainnya serta gangguan keamanan laut seperti pembajakan dan perompakan32. Gangguan-gangguan

32

(42)

tersebut saat ini telah menjadi ancaman yang nyata bagi Indonesia dan beberapa negara lainnya. Ancaman ini semakin nyata bagi Indonesia mengingat selama ini kelautan Indonesia tidak diadministrasikan berdasarkan sistem pemerintahan maritim yang baik.

Saat ini masalah kejahatan maritim dan kekhawatiran adanya aksi terorisme di Selat Malaka menjadi isu yang mulai menjadi perhatian di dunia internasional. Berdasarkan data dari IMB, Indonesia memang menjadi tempat yang paling banyak terjadi perampokan di laut, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura. Bahkan isu ini menjadi berkembang dengan adanya dugaan bahwa gerakan separatis di Aceh (GAM) menjadi salah satu pelaku dari aksi-aksi kriminal di Selat Malaka tersebut33. Kondisi ini menyebabkan semakin buruknya citra Indonesia

mengenai Selat Malaka serta direfleksikan sebagai

ketidakmampuan Indonesia melakukan pengawasan dan

pengamanan di laut teritoralnya, yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh negara tetangga dan negara di luar kawasan untuk memperjuangkan kepentingan politis dan ekonominya di kawasan tersebut.

Dalam konteks hubungan antara negara pantai,

semaraknya aksi kejahatan di laut ini, dapat memicu suatu hubungan yang kurang baik di antara mereka, mengingat kondisi, latar belakang dan kepentingan yang berbeda di negara-negara pantai tersebut. Hal ini dapat tercipta apabila suatu negara menginginkan suatu tindakan yang tegas dan serius dalam

33

(43)

penanganannya, sementara itu negara lain mempunyai keterbatasan dan kelemahan dalam melakukan penanganannya. Kegagalan dalam menunjukkan komitmen yang serius dari salah satu negara pantai dapat berakibat melemahnya semangat kerjasama yang sudah terbentuk, dan pada akhirnya mendorong adanya aksi sepihak dari negara-negara tetangga.

Kehadiran AS di kawasan ini, termasuk juga negara-negara maju lainnya telah menunjukkan besarnya kepentingan mereka terhadap stabilitas keamanan, politik dan ekonomi di kawasan ini. Namun di sisi lain, kehadiran pihak ketiga tersebut, dengan alasan ingin berpartisipasi dalam hal pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut, dapat menjadi suatu ancaman dalam bentuk lain, terutama bagi negara-negara pantai. Kehadiran beberapa negara maju ini justru dapat menimbulkan kesan

ketidakmampuan negara-negara pantai dalam melakukan

kerjasama pengamanan di Selat dan dalam jangka panjang dapat memancing pemikiran dan upaya-upaya dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan kehadiran pihak-pihak selain

littoral states di Selat Malaka di masa yang akan datang.

Namun sesungguhnya kehadiran negara adidaya seperti AS, di kawasan ini juga tidak akan menjamin terjadinya stabilitas keamanan yang menyeluruh di kawasan ini. Kehadiran negara adidaya tersebut justru akan dapat mengundang ancaman yang lebih besar, yaitu ancaman terorisme. Sebagaimana diketahui, Al Qaeda dan jaringannya selama ini telah menargetkan sasaran-sasaran yang menjadi kepentingan AS dan negara-negara sekutunya seperti yang terjadi di beberapa tempat. Kehadiran

(44)

negara-negara adidaya tersebut justru dapat memecahkan semangat kerjasama yang selama ini terbentuk di antara negara pantai. Semakin besar perbedaan-perbedaan mendasar yang ada diantara negara pantai, semakin besar peluang negara-negara maju tersebut untuk ikut serta berpartisipasi dalam melakukan penegakan hukum di kawasan tersebut.

Aksi kejahatan di laut juga akan memperlemah stabilitas politik dalam negeri suatu negara dimana apabila aksi kejahatan di laut ini tidak segera diantisipasi, maka akan menciptakan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pemerintahan suatu negara, tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga dunia internasional. Faktor penegakan hukum dalam hal ini, menjadi sangat penting untuk menunjukkan wibawa hukum nasional tidak hanya dimata masyarakat di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.

b. Dampak Secara Ekonomi

Dari berbagai literatur mengenai kemaritiman dunia, perairan (laut) nusantara (archipelagic waters) merupakan salah satu primadona di muka bumi. Dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan terbentangnya landas kontinen yang begitu luas, perairan Indonesia mempunyai potensi sumber daya laut hayati dan nonhayati yang sangat besar. Dipandang dari segi estetika, perairan Indonesia memiliki nilai yang sangat tinggi bagi pariwisata bahari. Dari sisi ekonomi dan industri, perairan Indonesia sangat menguntungkan bagi alur transportasi laut dan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat berupa promosi kesehatan pencegahan hipertensi sejak dini adalah peningkatan pengetahuan partisipan yang dibuktikan

sebagai pengenalnya. Syam’un, Divisi II / Cirebon dipimpin oleh Kolonel Asikin, dan Divisi III / Priangan dipimpin oleh Arudji Kartawinata. Posisi Arudji sebagai Panglima

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan perkembangan kemampuan moral yang berkarakter pada anak usia dini dengan menerapakan metode demonstrasi

Mesin penerjemah (machine translation) merupakan alat penerjemah otomatis pada sebuah teks dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Ada beberapa pendekatan untuk

Suatu Negara akan semakin kuat pertahanannya bila saja bangsa tersebutbersatu padu untuk memperjuangkan Negara dalm melindungi dan membela hak hak yang dimiliki didalam suatu

Berdasarkan kutipan diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode interview adalah metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang valid secara

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis bahwa, Pengelolaan Pendayagunaan Sumber Daya Air berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan adanya

 ELEMEN & NODE PADA STRUKTUR  SISTEM KOORDINAT LOKAL & GLOBAL  PRINSIP KEKAKUAN DAN FLEKSIBILITAS.. by Erwin Rommel