• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maritime Terrorism: Suatu Potensi Ancaman di Selat Malaka dan Selat Singapura

Berdasarkan data dan analisa diatas, menunjukan bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan jalur perdagangan yang sangat strategis tetapi sangat rentan terhadap gangguan-gangguan dari ekternal maupun internal. Maraknya gangguan aksi bersenjata terhadap kapal-kapal yang melintas, menunjukan bahwa sistem pengamanan di wilayah tersebut sangatlah lemah. Apabila hal ini tidak ditangani dengan serius maka dikhawatirkan dapat membuka peluang bagi jaringan teroris melakukan aksinya di wilayah ini.

Negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat pada umumnya masih sangat tergantung pada komoditi minyak dalam menjalankan perekonomiannya. Permintaan dunia untuk komoditi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (peningkatan 2 juta barrel untuk tahun 2004). Sebagian besar dari eksportir minyak adalah negara-negara Timur Tengah. Dari semua jalur-jalur kapal di dunia, Selat Malaka merupakan kemungkinan target yang paling vital bagi teroris mengingat sepertiga jalur perdagangan dunia, termasuk minyak melalui Selat tersebut.

Sebagai gambaran, apabila terjadi serangan yang

mengakibatkan ledakan pada kapal tanker di Selat Malaka, maupun Selat Singapura diperkirakan dapat memutuskan jalur perdagangan tersebut dalam waktu yang cukup lama. Sejarah membuktikan bahwa embargo minyak Arab pada tahun 1973 telah meningkatkan harga minyak 3 kali lipat dan mengakibatkan gangguan terhadap perekonomian global. Penutupan Selat ini juga akan memperpanjang

jalur pelayaran beberapa hari dengan alternatif melalui Selat Lombok maupun Selat Sunda. Semakin tingginya resiko keamanan di laut dan semakin panjangnya jalur pelayaran, sebagai konsekuensinya, akan menambah biaya operasional maupun asuransi24.

Beberapa preseden sudah terjadi, bahwa kegiatan-kegiatan terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, sudah melakukan segala cara demi tercapai kepentingan politiknya, antara lain penyerangan terhadap gedung World Trade Centre di AS, peledakan bom di tepat umum, pembajakan pesawat dan berbagai bom bunuh diri. Pada tahun 2000 Al Qaeda juga telah melakukan serangan terhadap kapal perang Amerika USS Cole di Yaman. Pada tahun 2002, Kapal tanker Perancis, Limburg yang membawa minyak di perairan Yaman juga diserang oleh sekelompok teroris dengan menggunakan kapal bermuatan bahan peledak. Informasi mengenai rencana-rencana Al Qaeda untuk menggunakan kapal laut sebagai media, atau target aksi mereka juga diperoleh dari hasil investigasi mantan kepala operasi Al Qaeda yang ditangkap di Yaman tahun 2002.

Walaupun pada perkembangannya sampai saat ini belum dapat dibuktikan keterkaitan langsung antara perompakan (piracy) dan aksi terorisme, kemungkinan adanya kerjasama tersebut adalah sesuatu yang masuk akal. Para perompak, karena keahlian dan pengalaman mereka, dapat digunakan oleh para terroris untuk

membajak kapal untuk kemudian digunakan melakukan

penyelundupan, atau dijadikan sebagai floating bomb. Mereka

24

memanfaatkan lemahnya pengawasan keamanan di laut untuk menyerang ke target-target yang telah ditentukan25.

Dalam kasus beberapa aksi kejahatan di laut yang dilakukan oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf di wilayah perairan Philipina Selatan, yang dikategorikan sebagai

Political Piracy, menunjukan bahwa pelaku-pelaku aksi kejahatan di

laut tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu atau sekelompok orang saja tetapi juga dilakukan oleh jaringan-jaringan dari kelompok yang lebih terorganisir dan mempunyai tujuan politik tertentu di suatu negara. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai kemampuan membuat bahan peledak dan mempunyai pusat pelatihan bagi para sukarelawannya. Berdasarkan fakta di atas, maka terlihat adanya “benang merah” antara maritime terrorism dengan piracy/aksi kejahatan di laut yang harus diwaspadai.

Piracy/armed robbery dan maritime terrorism sesungguhnya

mempunyai keterkaitan satu sama lain yang memiliki persamaan dan perbedaan yang mendasar, yaitu:

 Keduanya melakukan tindakan kejahatan di laut dengan kapal sebagai sasaran.

 Keduanya mempunyai persamaan dalam hal modus operandi yang digunakan.

 Keduanya merupakan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik di kawasan.

25

 Piracy dan armed robbery dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, sedangkan terrorism dilatar belakangi oleh masalah politik dan ideologi.

 Maritime terrorism diperkirakan mempunyai dampak yang lebih luas dan besar dari pada piracy/armed robbery, karena salah satu tujuannya adalah menarik perhatian dunia, sehingga semaksimal mungkin mengusahakan agar serangan-serangan yang dilakukan dapat berakibat serius dan fatal.26 Sedangkan aksi piracy/armed robbery cenderung dilakukan diam-diam dan tanpa mengundang perhatian.27

Adapun serangan terorisme di laut dapat dilakukan dalam 2 bentuk yaitu, pertama, melakukan serangan terhadap kapal penumpang dan kapal kargo/tanker, dan yang kedua melakukan serangan dari laut, termasuk menggunakan kapal terhadap target-target di darat/pelabuhan.28 Kedua serangan tersebut tentunya hanya dapat dilakukan apabila didukung dengan persenjataan dan sistem komunikasi yang cukup canggih. Walaupun ancaman terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura masih berupa skenario-skenario yang dikembangkan dari investigasi dan pengamatan dari beberapa pakar dan sumber, Singapura dan beberapa negara-negara pengguna Selat saat ini mengkhawatirkan skenario tersebut dapat menjadi kenyataan, terutama dengan adanya jaringan teroris yang merupakan turunan dari Al Qaeda yang disebut kelompok Jemaah Islamiyah di wilayah Asia Tenggara. Kekhawatiran ini semakin berkembang, seiring dengan berbagai

26 Ibid 27

Mark Valencia, The Politics of Anti-Piracy and Anti –Terrorism Responses in Southeast Asia, ISEAS 2004 28

aksi-aksi terorisme di Indonesia dan semakin besarnya inisiatif dan pengaruh AS di wilayah ini.

Mengingat Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap

berbagai aksi kejahatan di laut

dikhawatirkan kelemahan-kelemahan

pengamanan dan nilai strategis dari kedua Selat ini akan dimanfaatkan oleh jaringan terorisme. Kondisi ini menjadi salah satu sebab AS dan beberapa negara lainnya berupaya memperoleh

“pembenaran” untuk berpartisipasi

dalam pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura.

Pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut tidak hanya dalam rangka pengamanan kawasan terhadap serangan terorisme, tetapi juga mencegah digunakan Selat sebagai jalur penyelundupan atau transportasi bahan-bahan kimia yang berbahaya yang digunakan oleh jaringan terorisme. Pakar terorisme di Amerika, Asia dan Eropa telah memperingatkan bahwa dalam melakukan tindakannya, teroris akan melakukan penyerangan dengan menggunakan bahan kimia dan biologi yang berbahaya29.

Dalam kaitan ini, AS secara aktif memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep-konsep mulai dari tindakan pencegahan sampai dengan tindakan yang lebih ekstrem, yaitu penggelaran Angkatan Lautnya di wilayah ini. Beberapa konsep yang diajukan

29

Michael Richardson, Op.Cit.

Adanya “benang merah” antara

maritime terrorism

dengan piracy/aksi kejahatan di laut yang

tersebut adalah dalam rangka tindakan berusaha mencari dukungan tentang konsep interdiksi di laut dalam rangka kebijakan non-proliferasi Weapon of Mass Destruction (WMD), dimana perlunya dilakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal dari negara-negara tertentu. Untuk ini, pada bulan April 2004 AS telah pula menggulirkan gagasan Regional Maritime Security Initiative untuk kawasan Asia Tenggara dalam rangka menerapkan Proliferation

Security Initiative (PSI) dengan melakukan tukar menukar informasi

dan melakukan tindakan pengawasan, identifikasi dan pencegahan kapal-kapal di laut teritorial maupun di laut internasional. Gagasan ini

awalnya akan memfokuskan pada wilayah Selat Malaka.30 Gagasan

ini kemudian dikaitkan dengan pernyataannya mengenai kemungkinan penggelaran Angkatan Laut AS di perairan Selat Malaka (oleh Admiral Thomas Fargo)31. Dalam hal in, AS

berpendapat bahwa adanya kemungkinan dalam aksi “perompakan”

(piracy), kapal laut akan digunakan sebagai living bomb untuk menghancurkan kapal-kapal laut lainnya.

Dalam perkembangannya, Singapura telah menyatakan persetujuannya terhadap gagasan AS di Selat Malaka tersebut. Sedangkan Indonesia dan Malaysia menolaknya dan beralasan bahwa sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, tanggung jawab keamanan maritim Selat Malaka sepenuhnya merupakan tanggung jawab bersama littoral States. Berbagai alasan dan keberatan diwacanakan, termasuk argumentasi bahwa keberadaan kekuatan AS di Selat Malaka justru dapat menyulut ekstrimisme dan militansi gerakan terorisme. Namun demikian disadari bahwa, kerjasama dengan AS atau pihak ketiga lainnya tetap diperlukan tidak hanya 30

Mark J. Valensia, Op.Cit. 31

dalam upaya penangkalan aksi terorisme, tetapi juga aksi kejahatan maritim lainnya, terhadap keamanan selat sepanjang hal itu sejalan dengan Pasal 43 dan Pasal 100 UNCLOS. Bantuan atau kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk bantuan peningkatan kemampuan negara-negara pantai, pertukaran informasi/ intelijen, dan bantuan dana.