• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN AKSI KEJAHATAN DI SELAT MALAKA DAN SELAT SINGAPURA

4.1. Penanganan Aksi Kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura

4.1.1. Dalam Kerangka Konvensi Internasional

Selain diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 100-107, ketentuan dan penanganan mengenai piracy juga telah disampaikan oleh IMO dalam bentuk edaran (circular) kepada semua negara anggota IMO. IMO telah menerbitkan sejumlah edaran untuk membantu negara-negara dalam melakukan pemberantasan terhadap aksi kejahatan di laut, yaitu:

Circular no. 622, Recomendations to Governments for Preventing and Suppressing Piracy and Armed Robery Against Ship, yang merekomendasikan:

- pembentukan national action plans;

- pengaturan operasional dan infrastruktur yang

dianggap perlu;

- sistem komando terpadu;

- manajemen yang efektif dan informasi yang akurat; - rencana keamanan kapal;

- kegiatan patroli bersama;

- penyesuaian peraturan & hukum nasional untuk

- mengakomodasikan bentuk kerjasama ini.

Meskipun Circular 622 ini sangat berguna bagi negara untuk menangani masalah ini, pada pelaksanaannya tidak akan berjalan efektif tanpa disertai dengan kerjasama antar negara dan political will dari negara-negara tersebut untuk memberantas aksi kejahatan di laut.

Circular no 984, Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ship memberikan arahan /strategi untuk tujuan

penyelidikan kasus-kasus yang berkaitan dengan

perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal.

Circular No. 967, Directives for Maritime Rescue Coordination Center, memberikan pedoman kepada SAR

dan MRCC nasional mengenai bagaimana mengatasi ancaman serangan piracy dan armed robbery.

Circular Note No. 623 Guidance to Shipowners and Ship Operators, Shipmasters, and Crews on Preventing and Suppressing Acts of Piracy and Armed Robbery Against Ship. Edaran ini merupakan pengakuan IMO bahwa

industri perkapalan sangat memegang peranan dalam

melakukan pencegahan terjadinya perompakan,

sehingga diharapkan dapat dilakukan kerjasama dengan Pemerintah.

Namun demikian, walaupun Edaran-edaran ini telah

disampaikan kepada seluruh anggota IMO, kekuatan

penerapan dari edaran-edaran IMO tersebut tergantung pada konsistensi dari pelaksanaannya. Selain itu edaran-edaran ini perlu ditindaklanjuti dengan ketentuan-ketentuan yang lebih teknis.

Dalam pelaksanaannya, ketentuan UNCLOS 1982 dalam hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

sesuai dengan Pasal 100, negara-negara diharapkan untuk melakukan kerjasama dalam pemberantasan perompakan di

high seas atau wilayah lain diluar jurisdiksi dari suatu negara.

Dengan demikian, kerjasama internasional ini hanya dapat

diimplementasikan di laut lepas sedangkan pada

perkembangannya, aksi kejahatan di Selat Malaka justru terjadi di laut teritorial. Kelemahan lain dari UNCLOS 1982 adalah struktur organisasi, dimana tidak adanya suatu badan atau

organisiasi yang didirikan untuk tujuan memberantas

perompakan. Implementasi UNCLOS 1982 saat ini sangat tergantung pada sistem kerja dan mekanisme IMO35.

UN General Assembly Resolution A/55/7 tanggal 30

Oktober 2000 juga telah menetapkan sebuah resolusi dimana negara harus mengambil segala tindakan untuk bekerjasama di tingkat regional termasuk untuk saling mendukung kegiatan

investigasi dan kerjasama dengan IMO dalam hal

penyampaian laporan kejadian. Resolusi ini juga mendorong agar semua anggota PBB menjadi pihak pada Convention for

the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA Convention).

Secara umumnya SUA Convention menyatakan hal-hal sebagai berikut36:

1. Negara-negara yang menjadi pihak setuju untuk

bekerjasama dan menjamin bahwa individu-individu yang melakukan pelanggaran tertentu yang membahayakan

35

John Mo, Options to Combat Maritime Piracy in Southeast Asea, Ocean Development & Internastional Law, 2002

36

pelayaran laut internasional akan ditangkap dan didakwa bila individu-individu tersebut memasuki wilayah negara manapun yang menjadi pihak konvensi.

2. Konvensi ini berisi daftar tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan keamanan navigasi, termasuk diantaranya pengambilalihan kendali kapal secara paksa maupun dengan ancaman atau melakukan tindakan kriminal

terhadap anak buah kapal37. Konvensi ini tidak

menyebutkan istilah piracy, tetapi hanya memperluas ruang

lingkup punishable offence, termasuk didalamnya

pembajakan kapal laut dan armed robbery.

3. Pelanggaran-pelanggaran tersebut diantaranya, bila

seseorang secara melanggar hukum dan secara sengaja:  menghentikan atau mengambil alih suatu kapal dengan

kekerasan atau jenis ancaman apapun atau dengan bentuk intimidasi apapun, atau

 melakukan tindakan kejahatan terhadap seseorang di

atas kapal dan bila tindakan tersebut dapat

membahayakan keselamatan pelayaran kapal tersebut 38

4. Konvensi berlaku dimanapun tindak kejahatan dilakukan, apakah di laut wilayah, perairan negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif, ataupun di laut bebas.

5. Negara-negara yang menjadi pihak dari konvensi diwajibkan untuk melakukan peradilan terhadap pelanggaran yang 37

SUA Convention, Pasal 3 38

memang merupakan jurisdiksi peradilan negara dimaksud, bila pelanggaran dilakukan:

 terhadap atau di atas suatu kapal negara tersebut,  di dalam wilayah atau laut wilayah negaranya,  oleh seseorang berkebangsaan negaranya,

 oleh seseorang yang berada di wilayah negaranya.39

6. Bila para pelanggar berada di wilayahnya, negara pihak dari

konvensi wajib melakukan penahanan dan dapat

menyerahkan para pelanggar ke negara lain atau mendakwa para pelanggar di pengadilan negaranya sendiri.40

7. Konvensi mempunyai ketentuan-ketentuan yang

memudahkan penyerahan seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap konvensi dari satu negara ke negara lain walaupun tanpa adanya perjanjian ekstradisi antara kedua negara41.

8. Negara yang menjadi pihak konvensi diwajibkan untuk mengadakan kerjasama satu sama lain dalam penanganan proses hukum dari tindak kejahatan tersebut42.

9. Negara yang menjadi pihak pada konvensi juga diwajibkan untuk bekerjasama dalam upaya pencegahan tindak pelanggaran seperti yang tertera di dalam konvensi, terutama dengan cara:

39

SUA Convention, Pasal 6 40

SUA Convention Pasal 7 dan 10 41

SUA Convention, Pasal 11 42

 mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di dalam maupun di luar wilayahnya, dan

 saling tukar menukar informasi dengan cara yang diatur oleh hukum nasionalnya dan melakukan koordinasi maupun bentuk kerjasama lain yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.43

Menghadapi kelemahan ketentuan UNCLOS 1982 dalam mengantisipasi penyerangan terhadap kapal-kapal di Selat Malaka dan Selat Singapura, SUA Convention dalam hal ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan antisipasi terhadap kemungkinan aksi-aksi penyerangan terhadap kapal laut apabila negara-negara kawasan atau pun littoral states menjadi pihak pada Konvensi ini.

Namun demikian, ketentuan SUA Convention dalam hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan. SUA Convention dianggap hanya memfokuskan aksi-aksi kejahatan di laut yang berdampak pada keamanan navigasi internasional, antara lain upaya aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang sedang melintas, dimana pengambilalihan kontrol kapal oleh para pelaku kejahatan dapat mengganggu lalu lintas laut di kawasan tersebut. Namun sebaliknya SUA Convention ini sulit diterapkan pada aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang berlabuh (anchorage) di wilayah teritorial suatu negara. Apabila aksi kejahatan di kapal-kapal tesebut hanya melakukan pencurian barang-barang berharga dari anak buah kapal 43

maupun muatan kapal, maka tentunya tidak memberikan dampak secara langsung apapun terhadap keamanan navigasi di laut. Dalam hal ini tentunya hukum nasional negara dimana kapal tersebut berlabuh yang harus diterapkan44.

4.1.2.Dalam Kerangka Kerjasama Bilateral, Regional dan