• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim

BAB II KAJIAN TEORI

D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim

Setelah pulang dari Mekkah, Wahid Hasyim memulai aktifitasnya di dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebuireng. Secara berhati-hati dia menguasai dan mengembangkan ide-idenya tentang pengembangan pendidikan Islam. Di samping itu, dia juga banyak melakukan perjalanan dalam rangka studi komperatif tentang berbagai model pendidikan yang berkembang di lingkungan pesantren maupun di sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah

kolonial. Dia juga banyak menggunakan waktunya untuk menulis di Suara NU

yang berbahasa Melayu, khususnya menyuarakan liku-liku pendidikan Islam di

dunia. Di majalah Soeloeh NU, dimana dia yang menjadi penerbit sekaligus

pemimpinya, juga milik umat Islam waktu itu, di halaman depan sering

membahas persoalan-persoalan tentang pendidikan Islam untuk

menyebarluaskan ide-ide pembaruan dalam pendidikan Islam.

Wahid Hasyim lebih tepat jika disebut sebagai wartawan dari pada menyebutnya sebagai pengarang buku. Dalam dunia kewartawanan dia mempunyai kedudukan yang tidak dapat diabaikan karena kecekatannya dan kecepatannya dia menuliskan buah-buah pikiran yang berharga, yang kebanyakan tidak dapat disangkal kebenarannya. Bahkan kadang-kadang sesudah beberapa waktu kemudian barulah diakui orang kebenaran pendapat dan kebenaran peninjauan Wahid Hasyim dalam suatu masalah. Dia menulis hampir dalam segala bidang agama, baik mengenai sejarah maupun hukum, bidang politik, terutama yang mengenai dunia keIslaman, tetapi juga banyak bersangkut paut dengan kebangsaan Indonesia dalam bidang pendidikan dan pengajaran,, dalam soal-soal mengenai perjuangan dan organisasi umat Islam, mengenai mistik, sosial sekitar persoalan kewanitaan, dan sebagainya. Karangan-karangan itu tersiar dalam berbagai harian, majalah, dan surat kabar, mulai sejak zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi, dan zaman pembangunan. Kadang-kadang karangan itu hanya ditulis sebagai kata pendahuluan dari sebuah buku yang akan diterbitkan orang lain, tetapi isinya sangat luas dan berharga untuk

43

dijadikan bahan pemikiran. Begitu juga terkadang dia menulis khutbah-khutbah

panjang atau sekedar sambutan-sambutan dalam sebuah acara penting.11

Pengaruh lain yang datang dari kesukaan membaca sejak kecil adalah partisipasi aktif Wahid Hasyim dalam dunia pergerakan. Sebagaimana diketahui, pada masa itu telah tumbuh dan berkembang berbagai perkumpulan, seperti Budi utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan NU. Hal ini terjadi khususnya setelah diikrarkannya Sumpah pemuda 1928. Salah satu hal penting yang dipahami Wahid Hasyim dari munculnya berbagai perkumpulan saat itu adalah pentingnya berorganisasi. Dengan berorganisasi, sekelompok manusia disatukan berdasarkan latar belakang dan tujuan yang sama dan selanjutnya secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong Wahid Hasyim mendidrikan Ikatan Pelajar-pelajar Islam pada 1936. Meski sifatnya lokal, anggotanya mencapai lebih dari 300 orang. Tujuan utama pembentukan organisasi ini adalah, untuk memasyarakatkan budaya baca di kalangan para anggotanya. Dari organisasi kecil ini Wahid Hasyim melanjutkan keterlibatannya dalam organisasi-organisasi berskala

Nasional, seperti NU dan Masyumi.12

Di usia 20-an tahun, Wahid Hasyim sudah menghabiskan waktunya untuk aktifitas Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh, antara lain, ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari. Meski anak sang pendiri, tapi karir di ormas terbesar

pengikutnya ini beliau rintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi

Ketua Pendidikan Ma’arif NU. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi dan

berubah menjadi partai politik, tahun 1950, Wahid Hasyim terpilih sebagai

Ketua Biro Politik NU.13

Pada 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la

Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) berdiri pada 1937 dalam kongres Islam adalah federasi organisasi-organisasi Islam yang sangat anti kolonial dan non-koperatif terhadap

11 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 192

12Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: …, h. 105 13

44

penjajah. Sedangkan Masyumi sendiri pertama kali didirikan pada Oktober

1943.14

Pos pertama yang diduduki Wahid Hasyim ketika NU bergabung dengan Masyumi adalah sebagai Wakil Ketua Masyumi, sementara Ketua Masyumi saat

itu dijabat ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari. Karena KH. Hasyim Asy’ari tetap memilih di Jombang, memimpin pondok pesantrennya, maka yang menjalankan tugas sehari-hari adalah Wakil Ketua yaitu Wahid Hasyim.

Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, Wahid Hasyim menjadi

Wakil Kepala Kantor Urusan Agama Pusat, Shumubu. Sekali lagi, di sini yang

menjabat sebagai kepalanya adalah KH. Hasyim Asy’ari.

Shumubu dapat dikatakan kelanjutan dari Kantoor vor Inlandse Zaken

(Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda. Lembaga Shumubu pertama kali dipimpin orang jepang, Kol. Horie, kemudian digantikan Hoesain Djajadiningrat. Sesuai dengan perubahan kebijakan Jepang yang lebih konsiliatori terhadap kalangan Islam, lembaga ini mengalami reorganisasi; KH.

Hasyim Asy’ari kemudian diangkat sebagai Kepala Shumubu.

Karir Wahid Hasyim dalam pentas politik Nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan penting telah disandang, baik kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 7 Desember 1944, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro, dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda, dia juga diangkat menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia juga merupakan tokoh termuda dari Sembilan tokoh Nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi

negara.15

14

Untuk lebih mengetahui sejarah dari MIAI dan Masyumi, Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pustaka Grafiti, 1987), Cet.I, h.26-28&45-71

45

Setelah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk sebagai ganti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hanya dua wakil Islam yang duduk di sana. Mereka adalah Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo (wakil dari Muhammadiyah) dan berhasil turut menyelamatkan persatuan bangsa Indonesia dari perpecahan karena perbedaan aspirasi tentang dasar negara.

Di dalam kabinet pertama, dibentuk presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946.

Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950, dia diangkat menjadi Menteri Agama, tepatnya pada tanggal 20 Desember 1949. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.

Langkah pertama yang diambil Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama adalah menentukan di mana kantor kementerian tersebut. Karena memang belum punya gedung, dia akhirnya menyewa ruangan di Hotel Des Indes di Jl. Gajah Mada Jakarta (yang sekarang menjadi Duta Merlin). Dikamar No.4 hotel tersebut, Wahid Hasyim memulai tugasnya sebagai Menteri Agama. Sekitar sebulan kemudian, berkat jasa Menteri Dalam Negeri, Anak Agung Gde Agung, kantor kementerian ini pindah ke sebuah paviliun di Jl. Merdeka Utara No.7. Meski ruangannya tidak besar, dia cukup memadai mengingat personil mengingat personil Kementerian Agama RIS waktu itu hanya tujuh orang, termasuk Menteri.

Dalam urusan kementerian ini pun, paling tidak dia sudah memiliki pengalaman pada masa Jepang. Namun, keberadaan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pada masa kemerdekaan menjadi khusus, jika dilihat dari konteks situasi saat itu dan apa yang dihasilkan Wahid Hasyim dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama.

Ada dua hal yang dianggap dua concerns utama Wahid Hasyim ketika dia

menjabat Menteri Agama. Pertama, pemantapan peran lembaga ini dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga dia tidak dicurigai sebagai departemen

46

orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen-departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan umum dan Islam secara seimbang. Dari perhatian kedua ini, kita dapat melihat dari lahirnya Perguruan Tinggi Agama Islam

Negeri (PTAIN)─yang di kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama

Islam Negeri (IAIN)─sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern,

dan pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Selain kedua hal tersebut tentu masih banyak kebijakan-kebijakan penting Wahid Hasyim selaku Menteri Agama.

Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karir seseorang baru dimulai pada usia 40, Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu.

Dokumen terkait