• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktris Tanpa Piala Citra

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 60-76)

anak Oma, menantunya, dan dua cucu yaitu Lisa, seorang anak perempuan kelas 5 SD, seorang lagi anak laki-laki yang masih bayi bernama Bryan, serta Imah, seorang pembantu yang masih berusia belasan.

Kakek sudah meninggal sekitar 6 bulan lalu. Pertama karena memang usia sudah cukup tua, 80 tahun, kedua mungkin diperparah stres berkepanjangan dengan suasana rumah yang tidak nyaman. Kata-kata kasar bernada ancaman dari menantunya memperparah kondisi kesehatan sang kakek.

***

“Selamat siang Oma,” sapa Friska.

“Siang,” terdengar jawaban Oma Rita dari dalam rumah. “Masuk saja, pintu tidak dikunci,” lanjut beliau.

Friska membuka pintu lalu masuk. Sekarang Friska sudah tidak segan lagi berada di rumah Oma Rita. Rumah Oma adalah rumah kedua Friska. Friska langsung masuk ke kamar Oma yang berada berada paling depan, dekat ruang tamu. Sekarang, setiap ada waktu luang, Friska sering menyempatkan diri main ke rumah Oma. Biasanya siang hari,

62 Ketika Metta Memilih

saat tidak ada jadwal kuliah. Di sana hanya ada Oma, Bryan, dan Imah, si pembantu. Waktu siang, saat Lisa sekolah, Ranti bekerja, Nero tidak di rumah, Oma lebih leluasa bercerita. Oh ya, dalam kesehariannya, Oma memang sudah tidak bisa melakukan banyak aktivitas. Beliau hanya bisa tiduran dan duduk saja di kamar tidurnya. Kakinya sudah tidak kuat untuk menopang tubuh untuk berdiri, apalagi untuk berjalan. Mandi pun hanya dilap dengan kain basah dan tugas ini dilakukan oleh pembantu.

Hanya sesekali Oma keluar dari kamar tidurnya yang sumpek karena kurang ventilasi dan duduk di ruang tamu. Itu terjadi saat perayaan tahun baru Imlek atau saat ada saudara yang datang sehingga ada yang mampu mengangkat tubuh Oma dan mendudukkannya di kursi roda, lalu mendorongnya ke ruang tamu.

Perkenalan Friska dengan Oma Rita secara tak sengaja. Saat itu Friska mendengar percakapan antara pembantunya dan tukang sayur, waktu Friska akan berangkat kuliah.

“Masih kuat harus kerja, Neng. Buat biaya hidup keluarga. Kalau bisa disisihkan dan ditabung untuk bekal hari tua. Jangan terlalu berharap sama anak. Anak sekarang susah

untuk diandalkan. Kecil kita rawat hingga dewasa, setelah besar mereka menikah, lupa sama orangtuanya,” kata abang tukang sayur.

“Nggak juga Bang. Saya sudah berkeluarga, masih sayang sama orangtua saya di kampung. Saya kerja selain untuk bantu-bantu suami, saya juga menyisihkan uang untuk orangtua saya,” kata Yati, pembantu Friska.

“Memang tidak semua seperti itu, tapi kebanyakan seperti itu Neng. Itu tuh, kayak Oma yang di ujung sono,” kata abang penjual sayur sambil menunjuk. “Oma Rita yang sudah merawat anak yang dipungutnya sejak bayi. Sudah disekolahin sampe sarjana, eh... pas sudah dewasa dan berkeluarga, orangtuanya tidak dirawat dengan baik,” lanjut abang tukang sayur.

“Ssst... Abang jangan ngegosip. Nanti kedengeran orang bisa berabe Bang,” tukas Yati.

“Eh... Abang nggak ngegosip Neng. Ini fakta. Abang denger langsung dari Oma Tince,” kata abang tukang sayur agak ngotot.

64 Ketika Metta Memilih

Friska langsung menghampiri Yati dan tukang sayur. “Bang, rumah Oma Rita yang mana?” tanya Friska. “Saya sedang mencari data orangtua yang layak mendapatkan bantuan dari organisasi sosial kami,” lanjut Friska.

***

Perlu kesabaran ekstra untuk mendapat info lengkap tentang Oma Rita. Keesokan harinya Friska yang belanja sayur dan Yati diminta jangan keluar dulu. Friska berhasil mewawancarai dan mendapat banyak info tentang Oma Rita dari abang tukang sayur. Lalu beberapa hari kemudian, saat lewat depan rumah Oma Tince, Friska berhasil ngobrol dengan Oma Tince. Awalnya hanya tanya seputar tanaman anggrek milik Oma Tince, setelah itu beberapa kali Friska ngobrol dengan Oma Tince di teras rumahnya yang asri. Setelah akrab, Friska berhasil mendapat banyak info tentang Oma Rita.

Ternyata, Oma Rita dan Oma Tince adalah orang lama di kompleks ini, jadi mereka sudah lama saling kenal. Bahkan Opa Tanto, suami Oma Tince adalah teman sekolah Tante Rita.

suami tidak mempunyai anak. Mereka mengadopsi seorang anak perempuan yang mereka beri nama Ranti. Ranti dirawat dengan baik, disekolahkan hingga jadi sarjana. Ranti kerja dan kariernya pun cukup bagus, sayang kisah asmaranya kurang bagus. Ranti menikah dengan Nero, supir di perusahaan tempatnya bekerja. Setelah menikah, Ranti dan suami tinggal di rumah Oma Rita.

Awalnya semua berjalan lancar, tapi sejak Nero berhenti kerja karena malu dengan teman-teman sekerja, semua mulai berubah. Sikap Nero mulai kasar terhadap mertua. Ranti bukannya mengingatkan Nero, tapi diam saja seolah perlakuan kasar Nero adalah hal yang wajar. Sungguh ironis perlakuan seorang anak perempuan terhadap ibunya, padahal ia sendiri sudah menjadi ibu.

Lisa, anak sulung mereka pun perlahan-lahan ikut berlaku kasar. Omongan dan sikap mereka semakin lama semakin tidak sopan dan cenderung kurang ajar kepada kedua orangtua tersebut.

Akhirnya, Oma Tince yang rutin main ke rumah Oma Rita pun mundur teratur. Obrolan mereka hanya berlanjut lewat telepon. Itu pun lebih sering Oma Tince yang menelepon karena jika tagihan telepon Oma Rita melonjak, Oma bisa

66 Ketika Metta Memilih

dimarahin sama anak dan menantunya, bahkan Lisa, sang cucu berani mengomeli neneknya.

***

“Gimana kabar Oma hari ini?” sapa Friska. “Baik Friska...,” Oma Rita tersenyum. Siang ini, seperti biasa Friska menyempatkan diri mampir dan berbincang santai menemani Oma Rita. Hanya itu yang bisa Friska lakukan. Oma Rita hanya butuh teman bercerita dan Friska hanya meminjamkan telinganya untuk mendengarkan cerita dan keluh kesah Oma Rita. Friska juga selalu mengajak Oma Rita membaca paritta bersama- sama, hal yang nyaris tak pernah beliau lakukan sejak terbaring sakit.

Pada hari Minggu, Ci Ranti bersama suami dan anaknya seharian di luar rumah. Mereka ke wihara lalu main ke mal atau tempat wisata dan baru tiba di rumah kembali sekitar pukul 18.00. Di rumah hanya Oma Rita dan Imah, sang pembantu. Jadwal Friska pada hari Minggu adalah mengunjungi Oma setelah pulang dari wihara. Selain mendengar curhat Oma dan baca paritta, Friska juga sering memutarkan ceramah Dhamma atau lagu Buddhis dari ponselnya untuk didengarkan bersama Oma Rita.

Rencana awal memang Friska ingin memasukkan Oma Rita sebagai orang yang menerima bantuan, tapi niat itu dibatalkan. Bisa-bisa anak dan menantu Oma Rita marah besar. Mereka pasti merasa dipermalukan, masa Oma Rita digolongkan orang yang tak mampu? Jelas mereka orang mampu, hanya saja memang tidak ada niat membahagiakan Oma Rita dalam sisa hidupnya.

Semua penghuni rumah ini, tak satu pun yang bersikap baik pada Oma Rita. Satu per satu kedok mereka terungkap, dan ternyata benar apa yang dikatakan Tante Tince terhadap seisi rumah ini.

Pernah Friska main ke rumah Oma Rita. Karena sudah terbiasa, Friska tidak lagi mengetuk pintu. Samar-samar Friska mendengar suara Oma Rita berteriak, “Imah, Oma mau pipis...!” Teriakan itu berkali-kali, tapi tak ada sahutan. Friska memberanikan diri masuk ke rumah diam-diam dan langsung ke kamar belakang, kamar Imah.

Ketika Friska sampai ruang tamu, terdengar suara “Ya! Nenek bawel!” balas Imah.

Ketika berpapasan dengan Friska, Imah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Imah menyapa, “Eh, Cici Friska, baru datang?”

68 Ketika Metta Memilih

“Ya, tadi ketuk pintu, tak ada jawaban, kebetulan saya kebelet, jadi langsung mau ke belakang...,” Friska menjawab seolah ia tak mendengar suara apa pun.

Perlakuan Ranti, Nero, dan Lisa pun tak berbeda dengan Imah, sang pembantu. Friska juga pernah memergoki perlakuan tak pantas Ranti, Nero, dan Lisa pada Oma Rita. Waktu itu Friska akan main ke rumah teman. Tapi entah mengapa, ada dorongan hati untuk mampir ke rumah Oma Rita sejenak. Friska berbelok dari rencana semula, melewati depan rumah Oma Rita.

Biasanya, di hari Sabtu Friska sering main ke rumah Oma Rita karena jadwal kuliahnya kosong. Lisa, cucu Oma Rita, sebenarnya juga tidak sekolah pada hari Sabtu, tapi biasanya Lisa tidak di rumah. Lisa lebih sering main ke rumah temannya. Ranti bekerja Senin hingga Sabtu sedangkan Nero yang kini makelar motor, memang jarang di rumah.

Dari kejauhan Friska melihat Cici Ranti seperti mengusir tukang bakso, untungnya Cici Ranti tidak melihat kehadiran Friska karena Cici Ranti membelakangi Friska. Friska berhenti sejenak lalu memperhatikan Ci Ranti dari kejauhan. Setelah

tukang bakso menjauh, Cici Ranti masuk ke rumahnya. Ketika tiba di depan rumah Oma Rita, samar-samar Friska mendengar teriakan Oma, “Bakso! Bakso!”

“Permisi,” sapa Friska.

“Ya! Sebentar,” terdengar suara Ci Ranti. “Eh, Friska, ayo masuk...,” kata Ci Friska ramah. “Ada perlu apa Friska?” tanya Ci Ranti.

“Nggak ada apa-apa kok. Cuma mau ngobrol saja sama Oma,” Friska menjelaskan maksud kedatangannya.

“Makan bakso dulu yuk...,” ajak Ci Ranti.

“Terima kasih Ci, saya sudah kenyang,” jawab Friska. “Friska langsung ke kamar Oma Rita ya?” Friska minta izin.

“Oh silakan. Imah! Ambilkan minum untuk Non Friska,” teriak Ci Ranti.

70 Ketika Metta Memilih

Tak ingin memfitnah, keesokan harinya Friska pun melakukan konfirmasi. Ternyata benar, abang tukang bakso pun mendengar Oma Rita minta bakso, tapi Ci Ranti mengusir abang tukang bakso agar segera pergi. Begitu teganya Ci Ranti tidak membelikan seporsi bakso yang cuma sepuluh ribu rupiah seporsi. Padahal, “tanggung jawab” untuk berbakti bagi seorang anak pungut atau lazim disebut anak hasil adopsi, seharusnya jauh lebih besar daripada seorang anak kandung. Untungnya saat itu Friska bisa mengalihkan pembicaraan agar Oma Rita tidak bicara soal bakso. Friska menceritakan cerita-cerita lucu sehingga Oma Rita tertawa.

Itu baru rahasia kecil. Ada banyak cerita buruk yang sebenarnya tidak ingin Oma Rita ungkapkan karena Oma sangat sayang kepada anak dan cucunya, meski Ranti bukan anak kandungnya. Hanya saja terkadang Oma keceplosan.

Friska menyimpannya dalam memori saja, ternyata biaya berobat, termasuk ongkos taksi saat berobat, semua menggunakan uang tabungan Oma Rita. Oma Rita dulunya orang kaya, simpanannya berupa perhiasan emas cukup banyak. Satu per satu dijual untuk biaya berobat.

Mereka tega makan enak dan hanya mengirimkan aroma makanan lezat ke kamar Oma. Oma teriak-teriak minta pun

tidak diberikan. Tapi begitu tamu datang, segala yang ada dihidangkan untuk tamu. Bahkan sampai pesan makanan delivery untuk tamu.

Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan Friska, Ci Ranti selalu bercerita bahwa Oma Rita sudah mulai pikun, ngomongnya sering ngaco. Sudah makan, bilang belum makan. Tapi selama ngobrol empat mata dengan Oma Rita, Friska menyimpulkan semua itu tidak benar. Friska lebih percaya pada omongan Oma Rita daripada Ci Ranti atau penghuni lain rumah itu. Tapi Friska menyimpan rapat semua rahasia ini agar semua berjalan lancar. Ia bisa sering berkunjung dan ngobrol dengan Oma Rita tanpa mendapat reaksi negatif dari Ci Ranti sekeluarga. Mereka tahu Friska memang relawan organisasi sosial yang sering melakukan banyak aktivitas sosial.

Mereka juga tahu Friska sudah tidak memiliki kakek dan nenek dari pihak Mama maupun Papa. Kunjungan rutin ke Oma Rita hanyalah kerinduan sosok seorang cucu kepada neneknya.

Dalam sebuah kesempatan ngobrol empat mata dengan Friska, Oma memberikan sebuah cincin emas seberat 5 gram kepada Friska. “Ini untuk apa Oma?” tanya Friska. “Untuk

72 Ketika Metta Memilih

Friska saja,” kata Oma Rita.

“Terima kasih Oma.... Niat Friska main ke sini dengan dengan niat tulus, Oma tidak perlu kasih apa-apa ke Friska,” kata Friska dengan mata berkaca-kaca.

“Friska harus ambil, Oma tulus memberikan ini kepada Friska. Friska sudah Oma anggap cucu Oma sendiri,” lanjut Oma. Akhirnya Friska terpaksa mengambilnya karena Oma Rita bersikukuh memberikan cincin itu ke Friska. Daripada nanti terdengar Imah lalu dilaporkan ke Ci Ranti, bisa gawat. Bisa- bisa Friska sudah tidak boleh ke sini, Oma juga diomelin. Cincin emas tanpa surat itu akhirnya Friska jual dengan bantuan teman yang memiliki toko emas. Uangnya Friska belikan makanan yang diinginkan Oma setiap kali Friska datang. Juga sebagian disumbangkan kepada yang membutuhkan atas nama Oma Rita.

Friska pernah bertanya “Mengapa Oma tidak pindah saja? Ikut saudara yang lain?” Selain sangat sayang anak dan cucunya, meski perlakuan mereka tidak baik ke Oma, tampaknya memang tidak ada pilihan lain. Saudara lain juga punya kesibukan dan beban sendiri untuk mengurusi keluarga

masing-masing. Duh... Oma, sungguh malang nasibmu.

***

“Tok. Tok. Tok,” terdengar ketukan keras di pintu kamar Friska. Mata Friska masih ngantuk, semalam ia mengerjakan tugas sampai pukul setengah dua belas.

“Ada apa Ma?” tanya Friska. “Ini kan hari Minggu? Friska masih ngantuk Ma,” jawab Friska.

“Itu, di rumah Oma Rita ramai sekali. Kata tukang sayur, Oma Rita meninggal,” teriak Mama.

“Sabbe sangkhara anicca,” Friska seolah terbang dari kasurnya. Langsung cuci muka, ganti pakaian, dan bergegas ke rumah Oma.

Di sana sudah ramai. Sanak saudara Oma Rita sudah cukup banyak yang berkumpul. Friska langsung masuk ke kamar Oma, di sana ada Ci Ranti yang menangis histeris. “Mama, mengapa Mama tinggalkan Ranti?! Mengapa Mama pergi begitu cepat?!”

74 Ketika Metta Memilih

Friska menyentuh bahu Ci Ranti. “Sudahlah Ci, Oma sudah tenang sekarang. Oma sudah terbebas dari penderitaan.”

Ci Ranti menatap wajah Friska. “Maafkan Oma Rita ya Friska?” “Tentu Ci....”

Serombongan famili Ci Ranti datang. Ci Ranti kembali menyambut mereka dengan ledakan tangis. “Mama sudah tidak ada...,” tangis histeris Ci Ranti kembali meledak.

Friska segera pamit. “Dunia ini memang panggung sandiwara. Ketika Oma masih ada, mereka tidak memperlakukannya secara baik. Tapi ketika telah meninggal dan di hadapan banyak pelayat, Ci Ranti menangis histeris, menceritakan penyesalannya belum sempat membahagiakan mamanya. Basi banget,” batin Friska.

Untuk urusan akting, aktris tanah air peraih Piala Citra pun kalah dari Ci Ranti. Ya, Ci Ranti memang layak disebut aktris tanpa Piala Citra. Ci Ranti adalah sosok Malin Kundang versi wanita di era modern, anak durhaka dan wanita tanpa naluri keibuan.

“Semoga dengan timbunan jasa kebaikannya, Oma Rita terlahir di alam bahagia. Sadhu. Sadhu. Sadhu,” ucap Friska.

Catatan:

Menyuapkan sebutir bakso dengan penuh kasih sayang kepada orangtua yang masih hidup, jauh lebih baik daripada satu meja penuh hidangan mewah di altar sembahyang. Mengenang seorang sahabat terbaik yang telah pergi, Uci, sumber inspirasi cerpen ini.

“Gila... nama Lockyanto muncul lagi. Sakti banget kakek itu,” ujar seorang tukang becak. “Dua bulan lalu dapat hadiah motor dari undian mi instan, sebulan lalu dapat hadiah kulkas dari undian sabun, sekarang dapat mesin cuci dari undian deterjen,” imbuh tukang becak yang mangkal di depan gerbang kompleks perumahan.

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 60-76)

Dokumen terkait