• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kapan Menyusul?

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 41-60)

42 Ketika Metta Memilih

Dicky tersenyum membaca alinea terakhir sebuah artikel di majalah Buddhis. Pas dan mengena sekali. Mengapa ya, orang kok suka kepo? Hidup sendiri saja belum beres, masih sempat-sempatnya mengusili kehidupan orang lain, yang sebenarnya bukan urusannya dan tidak mengganggu kehidupannya.

Ah... sudahlah. Manusia seperti itu memang banyak “beredar” di muka bumi ini (He-he. Seperti koran atau majalah saja, beredar). Banyak manusia yang susah lihat orang lain senang dan senang lihat orang lain susah. Merasa dirinya sudah sempurna dan merasa dirinya layak menjadi “polisi” bagi manusia lain, merasa pantas jadi “atasan” yang sesuka hati mencela dan mengatur kehidupan orang yang dianggapnya bawahan.

***

“Ssst. Kamu tahu gak, si Ririn sekarang sudah pisah ranjang sama suaminya?” Titin mengawali pagi dengan ngerumpiin teman departemen lain.

“Bener! Saya tahu langsung dari tetangga Ririn” lanjut Titin, yang biasa dipanggil Ci Titin ini, semakin semangat.

“Woiii! Bikin gosip aja pagi-pagi!” tegur Dicky. “Kerjaan kemarin sudah selesai belum? Hari ini deadline-nya,” tegas Dicky, rekan sekerja Titin.

“Ntar ah! Masih pagi ini. Habis ini saya selesaikan. Bawel lo!” Ci Titin melanjutkan gosipnya.

Dicky meninggalkan ruang kerjanya ke departemen personalia, ia akan minta izin cuti dua hari karena ada keperluan keluarga. Saat meninggalkan ruang kerjanya, samar-samar Dicky mendengar Titin menyindirnya, “Tuh... kamu lihat sendiri Dicky, kalau orang yang sudah cukup usia tapi belum nikah, ya seperti itu tuh... rada gak beres,” sindir Ci Titin sambil tertawa cekikikan.

Dicky sudah tidak mau ambil pusing dengan Ci Titin. Selain usia Ci Titin lebih tua, Dicky dan orang-orang di kantor ini sudah maklum dengan mulut usil Ci Titin, si ratu rumpi, si ratu gosip. Sudah beberapa kali Ci Titin ribut dengan karyawan di perusahaan ini, tapi tetap tidak ada kapoknya.

44 Ketika Metta Memilih

Bagi Dicky, menikah atau tidak menikah adalah pilihan, bukan keharusan. Begitulah Dhamma yang dibabarkan Buddha. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan kewajiban suami-istri, bukan kewajiban bahwa seseorang harus menikah. Dalam agama Buddha, tidak pernah ada tentangan ataupun penolakan terhadap pernikahan. Menikah atau tidak adalah pilihan bebas bagi yang akan menjalaninya. Yang terpenting adalah menjalani dan menerima semua konsekuensi atas pilihan yang sudah diambil.

Sudah terlalu banyak ucapan usil Ci Titin yang seharusnya memanaskan telinga Dicky. “Jomblo, tidak laku, kurang beres, dan lain-lain,” kata Ci Titin, baik langsung maupun Dicky dengar dari orang lain.

Beberapa teman yang gerah dengan mulut cerewet Ci Titin sudah pernah mengingatkannya, tapi karena memang sudah bawaan sifatnya, sepertinya sudah tidak bisa diubah atau dimodifikasi agar jadi lebih baik. “Ibarat motor atau mobil tua yang sudah tak ada yang jual spare part-nya, tinggal tunggu mogok saja, lalu dijual kiloan,” kata Valdo.

Dicky dan Valdo menghadiri resepsi pernikahan di sebuah hotel berbintang di kawasan Dago, Bandung. Saat Dicky dan Valdo tiba, rekan-rekan kerja mereka di perusahaan garmen itu sudah banyak yang datang. Acara seremonial sudah selesai, sekarang para tamu undangan dipersilakan menikmati hidangan yang telah disediakan.

Dicky dan Valdo bergegas ke pelaminan, menyalami sang raja dan ratu sehari, Kent dan Angel. Setelah itu Dicky dan Valdo langsung masuk ke antrean prasmanan. Saat antre, Valdo mencolek Dicky sambil berbisik, “Dicky, kita pindah ke sebelah sana saja yuk! Di barisan sebelah kanan kita ada Ci Titin.”

Dicky cuek. “Biarin sajalah. Saya sudah kebal dengan sindirannya,” Dicky tak ambil pusing. “Tenang saja, saya yang disindir saja cuek kok,” Dicky menegaskan sikapnya.

Sebagai sahabat baik Dicky, Valdo tidak habis pikir dengan ketenangan Dicky menghadapi mulut usil Ci Titin. Kok bisa ya, Dicky dengan santainya menghadapi perkataan yang demikian pedasnya dan bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, batin Valdo. Padahal menikah atau tidaknya Dicky, tidak ada urusannya sama Ci Titin. Tidak ada pihak yang dirugikan. Mengapa begitu bebalnya Ci Titin dinasihati orang? Haruskah

46 Ketika Metta Memilih

kita berada di posisi lawan bicara kita dulu, baru kita bisa merasakan betapa menyakitkannya sebuah celetukan, batin Valdo lagi.

Benar saja, saat mengambil hidangan, Dicky dan Valdo berhadapan dengan Ci Titin dan beberapa rekan sekantor. Dasar ratu rumpi, sambil mengambil hidangan, mata Ci Titin memandang ke arah Dicky dan nyeletuk cukup kencang “Kapan menyusul?” Kontan saja, celetukan ini disambut tawa cekikikan anggota geng gosip Ci Titin.

Dicky hanya tersenyum.

***

Hari ini kabut duka menyelimuti karyawan perusahaan garmen tempat Dicky bekerja. Thomas, rekan sekerja mereka, meninggal karena kecelakaan. Thomas ditabrak mobil dari belakang saat mengendarai motor. Siapa menyangka bahwa Thomas yang masih muda harus berlalu begitu cepat. Kemarin, hingga usai jam kerja, Thomas masih sehat dan bercanda. Sekarang ia berbaring di dalam peti mati.

Thomas untuk terakhir kalinya. Ada Dicky, Valdo, Ci Titin, Winda, Angel, dan Ririn. Valdo tampaknya tidak dapat menahan dirinya untuk nyeletuk, meski sebenarnya suasana duka cita bukanlah momen yang pas untuk memberi pelajaran bagi Ci Titin. Valdo mendekatkan mulutnya ke telinga Ci Titin, dengan suara berbisik.

Namun, karena suasana hening, pastilah bisikan Valdo terdengar oleh semua yang ada di sekeliling peti mati Thomas: “Kapan menyusul?”

“Braaak...” Ronald membanting buku ke lantai dengan keras. Seluruh mata tertuju padanya. Sedetik kemudian, Ronald tersadar bahwa saat ini ia sedang berada di perpustakaan, bukan di kamar kost-nya.

“Aduh... maaf saya tidak sengaja...,” kata Ronald penuh

penyesalan. Ronald segera berdiri, lalu mengatakan, “Permisi....”

Ronald melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan Vihara Vimala Dharma diikuti pandangan mata umat di perpustakaan dan sekitar perpustakaan. Maksud hati menenangkan diri dari masalah yang dialami dengan membaca, apa daya justru malu luar biasa yang didapat.

Masalah yang dihadapi Ronald bukan problem sederhana. Dilema. Langkah yang akan diambilnya adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Apa yang akan diputuskan, akan menentukan bagaimana masa depannya nanti.

Selama ini, ia patuh pada apa yang disarankan oleh mamanya. Sejak kecil ia selalu menuruti semua yang dipilihkan mama. Dari TK hingga SMA, semua sekolah adalah pilihan mama. Dianjurkan kuliah di Fakultas Ekonomi, ia ikuti. Kuliah sambil bekerja, ia jalani. Ia bisa memaklumi semua permintaan mamanya karena ia tahu mama tentu sayang pada anaknya.

Soal kuliah sambil bekerja, sepenuhnya Ronald maklum, Ronald paham kondisi keuangan mereka. Ia anak tunggal dan sudah tak punya papa sejak ia duduk di kelas 6 SD. Sebenarnya Ronald bukan anak satu-satunya, ada Kevin,

50 Ketika Metta Memilih

adiknya. Tapi bagi Ronald, Kevin tidak masuk hitungan. Kevin terlahir sebagai anak penyandang down syndrome.

Sejak SMP Ronald sudah membantu mama mencari nafkah. Mama mencari uang dengan segala kemampuannya. Menerima jahitan pakaian, membuat kue lalu dititipkan di kantin sekolah, dan usaha apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ronald yang bertugas mengantarkan jahitan yang sudah selesai ke rumah pelanggan, membeli keperluan untuk menjahit, juga mengantarkan kue ke kantin sekolah.

Ronald, Kevin, dan Mama selalu tinggal bersama. Hanya saat kuliah Ronald merantau ke Bandung, sementara Mama dan Kevin tetap tinggal di Jambi.

Rasanya sudah cukup Ronald menuruti kemauan mama sejak kecil hingga sekarang. Tapi permintaan kali ini, rasanya tidak bisa ia ikuti. Masa calon pendamping hidup pun ia harus ikut dengan keinginan mama?

“Yang akan menikah dan menjalani hidup adalah Ronald, bukan Mama!” ucap Ronald saat terakhir Mama menelepon.

yang menghubungi. Paling Mama mendapat kabar tentang Ronald dari Ii Meilan* yang sering menelepon Ronald. Ronald tahu ini pasti permintaan mama.

***

“Lo nggak salah Ron, mau sampai kapan kamu jadi anak mama?” kata Deddy sambil menekankan kata “anak mama”. “Dari kecil lo udah bantu mama. Sementara Kevin adik lo nggak ngapa-ngapain. Cuma makan-tidur saja,” ujar Deddy. “Udah yuk... kita cabut. Bosen di kost-an mulu,” Deddy sudah memakai sepatu dan melangkah keluar dari kamar kost Ronald.

Ronald dan Deddy pun menuju warnet, tempat mereka biasa bermain games online. Ronald kenal Deddy juga di warnet saat menunggu giliran main games online. Awalnya Ronald main games online hanya iseng karena suntuk dengan tugas kuliah ditambah perselisihannya dengan mama. Hanya pelarian dari masalah, tapi akhirnya Ronald jadi kecanduan, jadi maniak game.

52 Ketika Metta Memilih

“Tika, kamu mau kasih apa sama Mama untuk surprise Hari Ibu ini?” tanya Della.

“Ehm... tahun ini kayaknya aku akan pesan makanan cepat saji dan kirim sekuntum mawar merah,” kata Tika. “Kalau Della?” Viantika balik tanya.

“Aku akan ajak Mama jalan ke mal dan makan berdua. Aku akan ajak Mama menikmati makanan kesukaannya,” Della tersenyum penuh arti. “Emang makanan cepat sajinya tidak basi ketika sampai ke Palembang?” tanya Della sambil mengutak-atik Blackberry-nya.

“Zaman sudah canggih dan serba online gini, masa masih harus kirim dari Bandung ke Palembang? Tinggal telepon ke fast food di Palembang, transfer via e-banking, kasih tahu alamat yang dituju, beres deh. Jadi jarak bukan halangan. Teknologi memungkinkan itu semua. Hanya saja kita belum bisa sentuhan langsung dengan orang di tempat berbeda. Beda dengan Della yang tinggal satu kota dengan Mama, bisa memeluk dan mencium Mama,” kata Tika sambil mengerlingkan mata.

Ronald hanya terdiam mendengar percakapan teman-teman di wihara setelah usai kebaktian. Boro-boro menyenangkan

Mama. Telepon masuk dari Mama pun sedang tak ingin dijawabnya.

Mengapa sih harus ada banyak agama? Mengapa pula aku harus ketemu gadis manis yang menarik perhatian dan cocok denganku tapi kami berbeda keyakinan, batin Ronald.

“Ron, kok ngelamun,” sapa Ko Ananda. “Ada masalah apa nih?” tanya Ko Ananda.

“Ng-nggak ada apa-apa kok,” Ronald berusaha menutupi.

“Tak usah sungkan, jika ada masalah ceritakan saja. Siapa tahu Ko Ananda bisa kasih solusi.” Hening sejenak.

“Oh ya, Ron, nanti ikut kan acara kunjungan ke panti wreda pada awal tahun?” lanjut Ko Ananda.

“Pasti ikut Ko!” Ronald pura-pura bersemangat. “Kapan acaranya?” tanya Ronald lagi.

“Tanggal pasti belum diputuskan, tapi sebelum tanggal 5 Januari kayaknya. Itu dalam rangka Hari Metta,” jelas Ko

54 Ketika Metta Memilih

Ananda. “Oke, Ko Ananda pulang dulu ya? Ada janji sama teman. Kalau ada yang ingin dibicarakan, main saja ke rumah. Sore ini dari sekitar jam 15:00 sampai 18:00, Ko Ananda ada di rumah. Namo Buddhaya.” Ko Ananda pamit sambil beranjali.

Ko Ananda pasti tahu aku sedang ada masalah, sampai memberitahukan ia punya waktu luang jam sekian sampai jam sekian, batin Ronald.

Ko Ananda adalah sosok yang sudah sangat familiar bagi muda-mudi di Vihara Vimala Dharma Bandung. Sosok yang “dituakan” dan sering diminta pendapat oleh muda-mudi yang sedang mengalami problema kehidupan. Ko Ananda mengenal hampir semua aktivis wihara, termasuk latar belakang keluarga mereka. Ko Ananda sering bertanya bagaimana kabar keluarga para aktivis bila sedang ngumpul di wihara.

***

Setelah janjian via BBM, akhirnya sore itu Ronald main ke rumah Ko Ananda. Halaman rumah Ko Ananda tampak asri. Mereka berdua duduk santai di teras.

“Silakan diminum, Den,” kata pembantu Ko Ananda yang mengantar dua gelas kosong, sebotol soft drink, dan pisang goreng.

“Terima kasih,” kata Ronald.

“Ayo tak usah malu, silakan dicicipi hidangannya,” kata Ko Ananda ramah.

“Ehm... langsung saja Ko,” ujar Ronald setelah meneguk soft drink.

***

“Ko, mama saya tidak setuju saya pacaran dengan cewek yang beda agama. Saya bertengkar dengan mama tentang hal ini. Selama ini, saya selalu menurut pada apa yang mama mau. Tapi untuk soal pasangan hidup, saya akan menentukan pilihan saya sendiri. Ini hidup saya, saya yang akan menjalaninya. Sudah seminggu ini saya jadi tidak menjawab telepon mama,” cerita Ronald.

56 Ketika Metta Memilih

“Ini masalah yang banyak dialami muda-mudi zaman sekarang. Bukan hanya muda-mudi Buddhis, tapi muda- mudi berbagai agama. Pada dasarnya, semua agama punya pandangan yang sama soal ini. Pasangan hidup yang ideal adalah pasangan yang satu keyakinan, atau satu agama dalam bahasa awamnya. Dalam Dhamma, disebutkan untuk mencapai pernikahan bahagia, pasangan yang akan menikah sebaiknya punya 4 kesepadanan, yakni samma saddha atau sepadan keyakinan, samma sila atau sepadan moralitas, samma cagga atau sepadan kedermawanan, samma pannya atau sepadan kebijaksanaan.”

Ko Ananda berhenti sejenak.

“Sekarang Ko Ananda tanya, apakah Ronald ingin pindah keyakinan?”

“Tidak, Ko!”

“Pacar Ronald yang mau beralih keyakinan menjadi umat Buddha?”

“Hmmm... dari awal saja sudah ada permasalahan. Dan ke depannya, tentu problemnya masih banyak. Kalau nekat menikah dengan komitmen jalani keyakinan masing-masing, problem tidak selesai sampai di situ. Waktu menikah, salah satu terpaksa berbohong, seolah mengikuti agama pasangannya. Setelah punya anak, agama apa yang akan diajarkan kepada anak? Jika kelak salah seorang sakit, akan didoakan sesuai agama yang sakit atau yang sehat? Begitu pula saat meninggal, apakah prosesinya sesuai agama yang meninggal atau sesuai agama pasangan yang menyelenggarakan prosesinya? Beda keyakinan tentu lebih banyak mendatangkan permasalahan,” jelas Ko Ananda.

Ronald terdiam. Ia tak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Hanya lebih mementingkan egonya. Ronald hanya merasa selama ini terlalu diatur oleh mamanya. Saat pilihan hatinya tidak disetujui, egonya memberontak. Pasangan hidup harus pilihannya, bukan pilihan mamanya.

“Ron, ketidaksetujuan mamamu ada benarnya. Beliau juga ingin kelak kamu hidup bahagia. Jangan sakiti hati mama yang telah merawatmu sejak bayi hingga sekarang hanya demi seorang wanita yang baru kamu kenal beberapa bulan ini,” akhirnya Ko Ananda memecah keheningan.

58 Ketika Metta Memilih

“Nanti kamu telepon mama ya. Minta maaf atas sikapmu selama ini yang telah menyiksa beliau. Tidak baik mendiamkan mama, apalagi sebentar lagi Hari Ibu. Jasa seorang ibu sangat besar. Kita tak mungkin bisa kita membalas jasa baik mereka,” lanjut Ko Ananda.

Ronald mengangguk, meski ego-nya belum bisa sepenuhnya menerima saran Ko Ananda. “Ko, terima kasih atas waktu dan sarannya.”

***

Dalam kamar kost-nya, Ronald masih bimbang. Ego-nya masih menolak untuk menelepon mama duluan dan meminta maaf atas kesalahannya. Sudah pukul 23:00, mata Ronald masih sulit terpejam.

“Hanya ada satu guru yang kupuja...,” ringtone Sang Guru lewat suara Meicie Widjaja terdengar dari BlackBerry Ronald. Ronald terkesiap. Siapa yang menelepon malam-malam begini?

Diraihnya BB dari atas meja, “Ii Meilan Memanggil” tulis di layar BB. Langsung dijawabnya, “Ya Ii, ada apa?”

“Ron, Mama sudah tidak ada...,” jawab Ii Meilan sambil menangis. “Tadi Kevin yang menangis terus dan memanggil- manggil Mama. Tetangga sebelah rumah mengetuk pintu rumah dan Kevin membukanya. Tetangga bilang Mama sudah terbaring di lantai dan sudah tidak bernapas!”

Semua menjadi gelap, langit seakan runtuh. Ronald pun pingsan....

Matahari sore masih tampak garang menyinari teras sebuah rumah di Tangerang. Rumah bercat biru itu kusam, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh subur di halaman rumah, pertanda sudah lama tak tersentuh tangan penghuni.

Rumah itu ditempati enam orang. Oma Rita, lalu Ranti,

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 41-60)

Dokumen terkait