• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dunia Ini Slalu Berputar

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 83-114)

84 Ketika Metta Memilih

Anak-anak bukannya sama sekali tak mengurus mereka sampai mereka terpaksa tinggal di sini. Secara rutin, anak- anak dan cucu penghuni panti wreda masih mengunjungi penghuni panti, kecuali mereka yang sudah tak punya saudara. Biaya tinggal di panti ini sebenarnya tak bisa dibilang murah. Tapi bagi anak yang tak mau direpotkan untuk mengurus orangtuanya, tempat ini menawarkan solusi.

Aku terkesiap, melihat sosok seorang bapak yang duduk di kursi roda sambil melamun memandangi lapangan rumput di depannya. Aku memang sudah sekitar 10 tahun tidak pernah melihat sosok itu, tapi aku yakin kalau orang itu adalah Pak Nico, mantan atasanku.

Sejak pensiun, Pak Nico bersama anak dan istrinya pindah ke Surabaya dan membuka usaha kuliner di sana. Sejak itu, tak ada info lagi tentang beliau. Harus kuakui, aku juga tak ingin tahu banyak tentang Pak Nico.

Kami di bagian penjualan, malah kalau mau jujur, sebagian besar karyawan di kantor cabang perusahaan ini sangat bersyukur Pak Nico pensiun. Hanya saja, kami tidak berani secara terbuka menyatakan perasaan kami. Di depan karyawan lain, kami terpaksa harus berbasa-basi menyapa beliau dengan penuh rasa hormat. Pura-pura merasa kehilangan dalam acara perpisahan beliau yang pensiun.

Setelah beliau pensiun, kami mengadakan pesta kecil, sarapan nasi kuning bersama.

Hanya sebagian kecil yang merasa kehilangan saat Pak Nico pensiun. Ya orang-orang ini adalah para penjilat dan manusia bermuka dua. Mereka pandai berbicara yang manis-manis dan pura-pura membela apa pun yang jadi kebijakan Pak Nico, meski terkadang di balik itu mereka juga mencibir apa yang dilakukan Pak Nico. Tapi permainan mereka halus, Pak Nico yang memang gila hormat dan mabuk pujian, tak menyadari serigala berbulu domba di sekitarnya. Siapa yang terang-terangan tidak setuju pada Pak Nico, siap-siap saja disingkirkan. Sedikit saja berbuat salah, langsung pecat.

Ada dua hal yang harus jadi perhatian karyawan yang tidak suka pada Pak Nico. Pertama, jangan tunjukkan rasa tidak suka itu di depan Pak Nico, kedua, jangan sampai Anda berselisih paham dengan para serigala berbulu domba atau para penjilat Pak Nico. Jika itu terjadi, Anda bersiap saja untuk dikeluarkan. Alasan bisa dicari, alasan ke pimpinan pusat bisa dibuat, tak ada gunanya Anda membela diri. Pikirkan saja, apakah pimpinan di kantor pusat akan percaya Anda yang seorang staf atau percaya ucapan seorang pimpinan cabang? Jadi, jika Anda mau bertahan? Ikuti saja “aturan” mereka. Kalau tak bisa bersandiwara dan basa-basi di depan mereka, silakan mengundurkan diri.

86 Ketika Metta Memilih

***

“Bu Dita, ayo kita ke ruangan aula,” Suster Anna mengembalikanku ke alam nyata dari lamunan panjangku.

“Eh... ya. Suster, kalau yang duduk di kursi roda itu siapa?” Aku berusaha meyakinkan penglihatanku. Aku merasa senang ngobrol dengan Suster Anna, padahal aku baru mengenalnya saat bertemu beliau di kantor panti wreda tadi. Suster Anna sangat bersahaja dan sangat terbuka dengan pengunjung panti.

“Oh... itu Pak Nico,” jawab Suster Anna dan tetap berdiri di sisiku. “Ibu Dita kenal dengan Pak Nico?” tanya Suster Anna.

“Ya, saya kenal. Dia mantan bos saya dulu,” kataku singkat. “Bagaimana beliau bisa sampai ke sini?” tanyaku.

“Pak Nico diantar anak sulungnya. Kasihan sekali Pak Nico. Usahanya bangkrut karena ditipu rekan bisnisnya, istrinya lari dengan pria lain meninggalkan Pak Nico dan tiga putrinya. Pak Nico terkena stroke dan lumpuh, mulutnya pun mencong dan tak bisa bicara jelas. Dari ketiga putrinya, tak satu pun yang mau merawat ayahnya, Pak Nico depresi berat,” Suster Anna menceritakan data singkat Pak Nico.

“Beliau terkena post power syndrome. Tak bisa terima kalau ia sekarang sudah tidak punya kuasa lagi, sudah tidak sehebat dan sekaya dulu. Penghuni lain hanya perlu sekitar 1-2 bulan untuk bisa berdamai dengan keadaan, tapi beliau susah. Hingga kini, beliau sudah setahun tinggal di sini, tetap belum bisa menerima kenyataan. Kalau Bu Dita perhatikan, semua Opa dan Oma di sini rambutnya beruban, hanya Pak Nico yang rambutnya hitam semua. Jika uban mulai terlihat banyak, beliau selalu minta rambutnya disemir hitam. Beliau sangat keras. Tidak mau dipanggil Opa Nico, maunya dipanggil Pak Nico. Dengan penghuni di sini juga tak ada yang akrab, selalu menyendiri. Yang lain sudah tidak mau dekat-dekat beliau karena susah berkomunikasi dan beliau emosional sekali,” lanjut Suster Anna.

“Ibu Dita mau ngobrol dengan Pak Nico?” tawar Suster Anna.

“Ah, nggak usah, Suster. Lain kali saja,” jawabku.

“Kalau begitu, mari kita ke aula. Acara segera akan dimulai,” ajak Suster Anna.

***

Acara kunjungan ke panti wreda bersama Ci Sherly, kakak perempuanku, dan tiga ibu-ibu dari wihara di Surabaya

88 Ketika Metta Memilih

ini memberi pelajaran hidup yang sangat berarti. Setelah kemarin kami sekeluarga main ke Jatim Park, seharusnya jadwal hari ini hanya main ke mal di Surabaya. Tapi Ci Sherly memaksaku ikut kunjungan kasih ke panti wreda. Jadi, meski berat hati, aku terpaksa ikut. Suami dan putra-putriku ke mal bersama suami dan anak-anak Ci Sherly.

“Ci, aku capek dan ngantuk nih. Aku mau merem sepanjang perjalanan ke rumah Ci Sherly,” kataku pada Ci Sherly yang menyetir. “Sorry ya Cici-Cici, aku mau ngaso sejenak, soalnya kurang tidur,” kataku kepada ibu-ibu yang duduk di kursi tengah. “Silakan,” jawab mereka serempak.

Baru sekitar 15 menit menikmati istirahatku, bunyi BBM masuk berkali-kali menggangguku, ditambah PING!!! beberapa kali. Aku segera melihat BB dan membaca pesan yang masuk.

“Dita, ada kabar duka yang mengejutkan. Pak Pimanto Gerrard bersama istri dan ketiga anaknya meninggal dunia dalam tabrakan. Mobil sedan mereka masuk ke bawah truk. Mobilnya hancur dan korban nyaris tak bisa dikenali,” begitu bunyi BBM Rina, mantan rekan kerjaku yang tinggal di Jakarta. Seketika itu juga rasa kantukku sirna. Dalam satu hari ini, aku mendapatkan kejutan yang sangat mengguncang. Pertama

Pak Nico, mantan bosku, yang tinggal di panti wreda, kedua Pak Pimanto Gerrard sekeluarga meninggal dalam kecelakaan tragis.

Ci Sherly dan ibu-ibu yang duduk di bangku tengah bertanya, “Ada apa, Dit?” Aku menjawab, “Mantan teman sekerja saya bersama anak-anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan.”

Suasana dalam mobil jadi hening.

***

Dunia ini penuh ketidakpastian dan kejutan. Siapa pun tak akan menyangka nasib Pak Nico yang dulu sangat kaya dan jabatan tinggi akhirnya terserang stroke, depresi berat, dan jadi penghuni panti wreda. Begitu pula Pak Pimanto Gerrard, “tangan kanan” Pak Nico yang menemui ajal dengan sangat tragis. Bukan sendiri, tapi sekeluarga.

Jika semua ini terjadi saat aku masih bekerja, yang ketika itu memang penuh tekanan berat dari kedua atasan tersebut, tentu aku sudah berteriak kegirangan. Tapi setelah makin dalam memahami Dhamma, aku semakin bisa mengendalikan diri. Berbuahnya karma, terutama karma buruk, jangan sampai menyebabkan kita melakukan karma buruk baru.

90 Ketika Metta Memilih

Dulu, ketika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, aku sangat cepat mengumpat dan menyumpahi orang yang aku anggap penyebab masalah itu. Aku sumpahi semoga ia celaka.

Aku jadi teringat Sutta Nipata 148: “Jangan menipu orang lain, atau menghina siapa saja, jangan karena marah dan benci mengharap orang lain celaka.” Kalimat yang sama kita temukan juga di Karaniya Metta Sutta.

Dulu, aku juga sering mempertanyakan kebenaran Dhamma, mengapa orang yang banyak berbuat kejahatan tapi kok jalan hidupnya mulus-mulus saja. Ternyata, hukum sebab- akibat selalu bekerja, hanya kita tidak pernah tahu kapan berbuahnya karena ditentukan oleh banyak faktor. Orang awam menyebutnya “Tuhan tidak pernah tidur” atau “Roda selalu berputar”.

Sama seperti syair lagu Buddhis, Roda Kehidupan, “Dunia ini slalu berputar, bagai roda tiada kendali, lingkaran hidup manusia, putar dan berputar....”

“David, loe orang baru di sini, jangan macam-macam ya! Kalau loe masih coba deketin Debby, loe bakal tahu siapa gue!” ancam Max.

Sehabis melontarkan ancaman ke David, Max langsung melangkah pergi ke ruang kerjanya.

Pagi itu, sekitar pukul 07.15 WIB, suasana kantor masih sepi.

92 Ketika Metta Memilih

David duduk termenung sendiri. Tidak tahu harus berbuat apa. Mendatangi Max lalu minta penjelasan? Itu bukan ide baik. Max tampaknya bukan sedang bercanda. David bisa melihat tajamnya tatapan mata Max saat mengucapkan ancaman itu. Kalimat itu diucapkan dengan sangat tegas. Pasti bukan main-main atau lelucon April Mop. Sekarang baru bulan Maret.

Praktis David tidak konsen untuk mengerjakan tugasnya hari ini. Tadi David sengaja berangkat pagi-pagi dari hotel tempatnya menginap agar bisa bekerja lebih pagi, sebelum karyawan lain datang. David ingin kedua belah pihak tidak saling mengganggu. David bekerja tanpa terganggu karyawan lain dan karyawan lain pun tidak lama terganggu saat David memperbaiki jaringan komputer di kantor ini.

Sebenarnya David ditugaskan untuk mengajarkan program baru yang akan mulai dipakai Mei tahun ini. Tapi karena David juga mengerti tentang komputer, ia dapat tugas tambahan memperbaiki kerusakan printer, komputer yang sering nge-hang, dan lain-lain. Sebenarnya urusan IT bukan urusan David, namun bagian IT di kantor cabang Jakarta ini sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan motor, David diminta bantu-bantu.

Perusahaan makanan ringan tempat David bekerja bermula dari usaha rumahan di Yogya. Sekarang sudah jadi perusahaan

nasional dengan cabang di semua kota besar di Indonesia. Konon kabarnya, nanti kantor pusat akan dipindah ke Jakarta, sekarang kantor pusat masih di Yogya.

David flashback ke awal kedatangannya. Rasanya sikapnya biasa-biasa saja. David merasa tidak ada hal-hal di luar kewajaran yang dilakukannya. Sebagai tamu, apalagi hanya ditugaskan seminggu, tentu David tak berani macam-macam. Ngobrol pun hanya seperlunya saja.

Memang David yang paling sering ngobrol dengan Debby, tapi sama sekali itu bukan pendekatan. David sering ngobrol dengan Debby hanya kebetulan saja. Kebetulan David duduk dekat dengan Debby dan Debby yang sering pulang paling akhir. Jadi, saat David lembur, hanya ada Debby. Ngobrol pun masih soal kerja, tidak nyerempet soal pribadi.

David tak pernah usil menggoda Debby, tidak pernah tanya apakah sudah punya pacar, siapa nama pacarnya, atau hal lain tentang pribadinya. David tidak tertarik dengan data pribadi karyawan, ia ke sini hanya untuk tugas kantor. Tidak ada kata selingkuh dalam kamus David. Istri dan Radick, putranya yang berusia 4 tahun dan sedang lucu-lucunya, itu yang selalu ada di benaknya. Apalagi Radick adalah anak mahal, istilah orang- orang. Kami mendapat Radick setelah 7 tahun kosong.

94 Ketika Metta Memilih

Kalau Debby menawarkan gorengan atau menawarkan apakah mau titip beli makan siang nggak, rasanya itu masih dalam tahap yang wajar. Hanya sebatas perlakuan tuan rumah yang baik kepada tamu.

***

David berbaring di kamar hotel. Seharian ini, tidak banyak yang dikerjakannya. Bukan karena takut ancaman Max.

“Tuduhan tak berdasar dari orang ‘gila’ tak perlu diladeni,” kata Robbin tadi siang.

Ternyata si Max yang ngebet banget sama Debby, Debby sendiri tak menanggapi. Pria obsesif yang terobsesi. “Max sakit jiwa, psikopat!” kata Robbin. Robbin adalah mantan rekan sekerja David di Yogya yang kini ditarik ke Jakarta. “Kalau loe waras, nggak usah diladeni,” lanjut Robbin, “Ntar gue yang ngomong ke Debby agar jaga jarak sama loe. Yang penting loe tahu aja, jika besok Debby nggak bertegur sapa sama loe, itu bukan karena loe berbuat salah. Itu perintah gue.”

flashdisk-nya yang hilang. David ingat, kalau bukan di laci, flashdisk itu pasti diletakkan di meja kerja. Tapi sudah dicari di laci, meja kerja, hingga keranjang sampah, flashdisk tidak juga ditemukan.

Kalau bukan karena flashdisk yang hilang, besok siang David sudah bisa pulang ke Yogya. “Aha, mengapa tak terpikirkan. Kalau tak salah ingat, aku menyimpan file yang sama di laptop. Laptop ada di rumah, tinggal minta Lina kirim file tersebut via email,” kata David pada diri sendiri.

David mengambil BB-nya dan mengetik “Hai, Sayang, lagi apa?”

“Lagi temeni Ray tidur.”

“Sudah selesai kerjaan kantornya?”

“Harusnya sih besok siang sudah bisa pulang. Tapi tadi siang, flashdisk-nya hilang, kayaknya ada yang sabotase nih. Beberapa catatan penting ada di sana. Jadi, tadi seharian hanya cari flashdisk, tapi tak ketemu. Sayang, coba nyalain laptop deh. Seingat David, selain simpan file tersebut di komputer kantor di Yogya, kayaknya pernah back-up data itu

96 Ketika Metta Memilih

di laptop. Moga saja masih ada.”

“Oke. Tunggu sebentar.”

“Sip!”

“Sudah nyala. Apa nama file-nya?”

“Top Secret. Pakai search saja, nggak inget simpan di mana.”

“Oke. Sudah, si doggie lagi cari Top Secret tuh.”

“Sip! Ray sudah tidur?”

“Sudah merem, hampir terlelap.”

“Tada! Si doggie sudah menemukan file Top Secret. Sebentar ya, aku kirim via e-mail.”

“Terima kasih, Sayang.”

David masih belum bisa memejamkan mata setelah selesai BBM-an dengan Lina, istrinya. Jam tidurnya sudah lewat. David jadi senyum-senyum sendiri. Pasti bukan hanya David yang tidak bisa tidur malam ini. Pencuri flashdisk–nya juga kemungkinan akan sulit tidur.

Selain data penting yang dilindungi password yang susah dibobol, David biasa menyimpan foto dan video cewek- cewek cantik dalam 2 folder. Dalam folder foto, ada beberapa foto animasi. Ketika dibuka, ada gambar wanita cantik yang menari, ada yang menyanyi, tapi ada yang tiba-tiba saja akan berubah jadi gambar yang sangat menyeramkan, seolah gambar keluar dari layar monitor plus suara yang sangat keras.

Di folder video, ada juga video adegan-adegan lucu yang diunduh dari YouTube. Tapi saat ditonton, tiba-tiba video lucu itu akan menampilkan gambar seram dengan suara keras. Dijamin kaget sekaget-kagetnya. Ha-ha-ha. Siapa suruh ambil barang milik orang tanpa izin. Besok tinggal lihat saja, wajah siapa yang sepertinya kurang tidur dan muka tidak enak dilihat, kemungkinan dia-lah yang mencuri flashdisk David.

***

98 Ketika Metta Memilih

sambil mengirim pesan via BBM ke istri bahwa hari ini ia bisa pulang ke Yogya. “Radick pasti gembira kalau nanti dapat hadiah robot,” batin David. Habis jam makan siang, ia akan main ke mal dan mencari mainan robot sebagai oleh-oleh untuk Radick.

David tersenyum mengingat kejadian tadi pagi. Max datang kesiangan, wajahnya kuyu, matanya merah. Benar atau tidak Max yang mencuri flashdisk-nya, David tidak terlalu peduli. Semua orang menanggung akibat dari perbuatannya sendiri. Meski ada juga rasa karuna* melihat penampilan Max hari ini. Salah sendiri mengapa mencuri. Bagi Buddhis, itu bertentangan dengan sila kedua Pancasila Buddhis, adinnadana veramani sikkhapadang samadiyami.** Yang jelas, dalam agama apa pun, mencuri adalah perbuatan buruk yang harus dihindari.

“David, hari ini kamu belum bisa pulang dulu. Kamu pulang besok saja. Pak Wibowo, pemilik perusahaan ingin bertemu langsung dengan kamu,” kata Pak Johnson.

“Baik, Pak Johnson,” hanya itu yang bisa terucap dari mulut David. “Kalau boleh tahu, ada apa ya Pak?” tanya David hati- hati.

* karuna = kewelasan terhadap orang yang menderita

** adinnadana veramani sikkhapadang samadiyami (aku bertekad melatih

diri menghindari mencuri), satu dari lima tekad umat Buddha yang tertuang dalam Pancasila Buddhis.

“Saya tidak boleh mengatakannya, biar Pak Wibowo yang langsung menyampaikan kepada David,” jelas Pak Johnson dengan wajah sumringah.

“Baik, Pak!” kata David.

Ada rasa lega ketika menatap wajah Pak Johnson saat berbicara tadi. Pastinya ini kabar baik. Tapi tentang apa ya?

***

“David, loe nggak jadi pulang malam ini kan?” tanya Robbin. “Ya, kata Pak Johnson, saya pulang besok.”

“Pas banget. Habis jam kantor, kita ke rumah sakit ya? Kita besuk Rommy, dia tabrakan tadi pagi.”

“Nggg... kalau sekarang saja gimana?”

“Sore ini aku nggak bisa. Kata Pak Johnson aku ditunggu Pak Wibowo.”

100 Ketika Metta Memilih

kamu, pasti diizinkan. Tugas kamu sudah selesai, bukan?” “Siiip!”

***

David tiba kembali di kantor menjelang pukul 19.15 WIB. Padat sekali acara hari ini. Tugas selesai, rencana pulang ke Yogya malam ini. Rencananya mau makan siang lalu cari oleh- oleh untuk Radick di mal. Belum terlaksana, Pak Johnson kasih kabar bahwa Pak Wibowo ingin ketemu langsung hari ini pukul 19.30 WIB. Eh... Robbin, ngajak besuk Rommy, teman kuliah kami dulu yang dirawat di rumah sakit karena tabrakan. Sebelum besuk, David minta diantar ke mal dulu, makan siang dan beli mainan robot. Kalau tidak beli oleh- oleh, bisa-bisa jagoan kecilnya akan ngambek. Radick akan menutup kedua belah pipinya dengan telapak tangan dan David tidak boleh mencium pipi-nya yang chubby itu.

Jalanan sangat padat, macet di mana-mana. Besuk Rommy sebentar, langsung balik ke kantor. Untung nggak telat untuk ketemu Pak Wibowo. Kalau telat, bisa-bisa tamat riwayat karier David. Gila... macetnya Jakarta! Nyaris tak ada jalan yang tak macet.

ke ruangan Pak Wibowo. Singkat cerita, David nantinya akan ditarik ke Jakarta setelah kantor pusat resmi dipindahkan ke Jakarta. Pak Wibowo pernah nyasar ke blog David yang berisi beberapa rancangannya yang memenangkan lomba. Ada rancangan botol minuman unik karya David yang memenangkan lomba desain botol soft drink, ada rancangan kotak bekal anak yang multifungsi, dan lain-lain. Pak Wibowo ingin keahlian David ini dipakai untuk desain aneka kemasan produk baru perusahaan ini. Perusahaan ini akan memperluas usahanya. Selama ini hanya memproduksi makanan ringan, nantinya akan memproduksi minuman ringan bersoda, teh siap minum, jelly, biskuit, dan lain-lain.

Baru beberapa langkah David keluar dari ruangan Pak Wibowo, ada panggilan masuk. Robbin memanggil, tulisan yang tertera di ponselnya. Aduh... ada apa lagi nih, pikir David. David melihat jam di ponsel. Pukul 20:03 WIB.

Angka yang sangat familiar di matanya, tapi apa? Astaga!!! David langsung tersentak kaget. Itu tanggal pernikahannya: 20 Maret 2003 atau 2003 2003 atau David biasa hanya menulisnya 2003. Langsung ia pencet tombol merah, mematikan panggilan masuk dari Robbin.

Segera David menghubungi nomor Lina, istrinya. “Lina, sekarang di mana?” kataku panik.

102 Ketika Metta Memilih

“Sudah di bandara dong. Bukankah pukul 20.10 ini Papa mendarat di Yogya? Ada yang salah? Papa lupa?” suara panik bercampur nada kesal terdengar dari suara Lina.

“Amituofo. Mama sayang... Papa lupa. Habis BBM Mama tadi siang bahwa Papa akan pulang dengan pesawat pukul 19.00, tiba di Yogya pukul 20.10, dan minta Mama jemput di bandara, ada banyak sekali kejadian tak terduga. Intinya Papa pulang besok. Maaf sekali, Papa benar-benar lupa mengabarkan hal ini.” David mencoba menjelaskan mengapa ia sampai lupa. “Tahu nggak, barusan Robbin telepon dan jam di ponsel menunjukkan pukul 20:03 sehingga Papa ingat ke Mama,” kata David.

“Untung saja tidak lupa tanggal pernikahan serta nama istri dan anak sendiri. Kalau lupa, jangan balik lagi deh!” kata Lina.

“Mama ke bandara sama siapa?” tanya David.

“Sama Radick, Sandra dan Viana, anaknya. Radick lagi main sama Viana,” jawab Lina.

“Hmmm... gini, segera pulang ya? Sekarang sudah malam. Mama mau minta oleh-oleh apa? Besok Papa cariin. Oh ya, ini Papa sudah beliin mainan robot untuk Radick. Papa barusan kirim fotonya via BBM. Coba cek lalu kasih lihat ke

Radick. Yang paling penting, ada kabar gembira. Papa akan segera dipromosi dan kita akan pindah ke Jakarta,” David tak sabar untuk menyampaikan berita gembira ini.

“Oh ya?” terdengar nada sangat gembira dari ucapan Lina. “Selamat ya!” ucap Lina. “Radick, ini mainan robot dari Papa,”

Dalam dokumen Ketika Metta Memilih ebook (Halaman 83-114)

Dokumen terkait