• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Metta Memilih ebook

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ketika Metta Memilih ebook"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Penulis Hendry Filcozwei Jan

Penyunting Tasfan Santacitta Handaka Vijjānanda

Penata Andreas Dīpaloka

Penerbit Ehipassiko Foundation 085888503388 | BB 237DE149 ehipassikofoundation@gmail.com

www.ehipassiko.or.id

(5)

Saat ini kita bisa mempelajari ajaran Buddha berkat naskah/kitab/buku yang dituliskan dan

diwariskan oleh para guru Dharma kepada generasi penerus dari berbagai zaman.

Buku Dharma adalah media yang bisa: dipelajari kapan pun,

sarana dana Dharma dan pelimpahan jasa, sarana tebar Dharma yang paling ekonomis,

tak tergantikan oleh metode lisan, melestarikan Dharma lebih lama, kami tak akan bisa menebar

(6)

Bagaimana saya dapat berkontribusi dalam pembabaran Dhamma? Itu pertanyaan yang terlintas dalam benak penulis. Ada banyak cara berkontribusi. Ada yang berkontribusi membabarkan Dhamma dengan cara memberikan ceramah Dhamma, ada yang menulis artikel Dhamma dan menerbitkan buku Dhamma, ada yang menciptakan lagu Buddhis, ada yang bederma, dan lain-lain. Terbitnya buku ini adalah cara penulis ikut berkontribusi. Tampaknya membabarkan Dhamma lewat cerpen (cerita pendek) belum banyak dilirik, maka penulis coba mengisi kekosongan buku cerpen Buddhis di tanah air.

Sebagian besar isi cerpen Buddhis di dalam buku ini adalah “imajinasi liar” penulis, kecuali ada keterangan di akhir cerpen bahwa ini terinspirasi dari kisah nyata. Seperti halnya tulisan di akhir tayangan sinetron, penulis juga menyatakan “Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.”

Di dunia tulis menulis (khususnya menulis fiksi), penulis bebas berkreasi. Mungkin inilah salah satu sisi menarik jadi seorang penulis. Penulis bebas memulai alur cerita dari mana saja (dari depan ke belakang atau flashback), bebas menggunakan sudut pandang aku sebagai siapa saja (laki-laki atau bahkan jadi

(7)

perempuan), penulis bebas mengakhirinya dengan happy ending yang umumnya disukai pembaca ataupun sad ending. Inilah yang jadi pilihan penulis dalam membabarkan Dhamma karena lebih fleksibel. Penulis dapat membabarkan Dhamma dengan cara yang lebih santai dan semoga cara ini menjadi lebih menarik dari sisi pembaca.

Akhir kata, terima kasih buat Linda (istri yang selalu mendukung aktivitas penulis), yang jadi pembaca pertama sekaligus editor. Terima kasih buat Dhika dan Revata, dua putra kami yang telah mewarnai hari-hari kami. Terima kasih kepada MoM Handaka Vijjānanda beserta tim Ehipassiko Foundation yang menerbitkan buku cerpen Buddhis ini dan pihak-pihak lain yang tak dapat disebutkan satu per satu, yang ikut berkontribusi hingga buku ini sampai ke tangan pembaca. Terima kasih kepada Anda yang telah menyisihkan uang untuk mendanai penerbitan buku ini (Anda juga sudah berkontribusi bagi Buddha Dhamma). Semoga buku kumpulan cerpen Buddhis “Ketika Metta Memilih” ini mendapat sambutan yang baik sehingga kita bisa berharap ada buku kumpulan cerpen Buddhis lain yang kembali akan diterbitkan Ehipassiko Foundation. Kritik dan saran bisa dialamatkan ke: hfj1105@yahoo. com

Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitatta.

Semoga semua makhluk bahagia.

Mettācittena, Hendry Filcozwei Jan

(8)

Senarai isi

Pengantar 4

Ketika Metta Memilih 7

Siapa Bilang Tak Boleh Bohong? 16 Seandainya Aku Bisa Kembali ke Masa Lalu 28

Kapan Menyusul? 39

Ego 46

Aktris Tanpa Piala Citra 58

Jimat Kakek Lockyanto 74

Dunia Ini Slalu Berputar 81

20:03 89

Pemain Akrobat Jalanan 102

Penulis 110

Buku ini dipersembahkan untuk

Linda Muditavati, istriku

Anathapindika Dravichi Jan (Dhika), anakku

(9)

Dear Diary,

(10)

10 Ketika Metta Memilih

Ini pacar Metta yang pertama, maunya juga yang terakhir. Tapi itu tidak mudah. Andreas dan Metta berbeda keyakinan. Andreas ketua muda-mudi di gereja. Metta aktif di seksi perpustakaan Pemuda Vihara Vimala Dharma (PVVD).

Cerita perkenalan kami mirip kisah sinetron! Dia yang menyenggol Metta saat Metta sedang belanja di swalayan. Botol shampo dan BlackBerry yang Metta pegang terjatuh. Metta marah besar. Dia berkali-kali minta maaf dan berjanji akan mengganti semua kerusakan BlackBerry Metta. “Saya lagi buru-buru, saya tak bawa uang banyak, ini Rp100.000 panjar ganti ruginya. Bawa saja ke tempat servis, nanti biayanya saya ganti,” katanya sungguh-sungguh. Dia memberikan nomor ponsel dan alamatnya. Dari SMS-an, lalu BBM-an, akhirnya baru tahu kalau kami satu kampus, cuma beda fakultas. Kami jadi makin akrab dan akhirnya Andreas nembak Metta dan Metta terima.

Beberapa kali Andreas bertanya, “Apa Metta bersedia pindah agama agar kita nanti bisa bersatu?”

(11)

hubungan kami.

Kami sama-sama “keras kepala”. Tak ada yang mau “mengalah” untuk urusan agama, tapi juga tak ada yang berani mengambil keputusan untuk berpisah karena sudah terlanjur sayang.

Apakah sebaiknya kami menikah, tapi tetap menjalani keyakinan masing-masing? Apa ini solusi yang terbaik?

Entahlah...

Diary, sudah dulu ya. Besok setelah puja bakti, Metta akan ke rumah Anita, sahabat baik Metta di Taman Kopo Indah 3. Anita besok tidak ikut puja bakti karena harus bantu-bantu perayaan ultah keponakannya. Sorenya, kami mau pesta rujak. Metta dapat tugas belanja buah-buahan di Superindo, swalayan di dekat gerbang Taman Kopo Indah 1.

***

(12)

12 Ketika Metta Memilih

“Lho... kok belanja jauh-jauh ke sini. Bukannya Metta kost di sekitar kampus?” tanya Ko Jason.

“Mau main ke rumah Anita di TKI 3 Ko,” jawabku.

“Tadi naik apa ke sini, trus mau naik apa ke sana?”

“Tadi dari wihara naik angkot, nanti ke rumah Anita mau naik becak, Ko.”

“Naik becak? Cewek cakep naik becak sendirian, entar diculik lho.... Ko Jason antar pakai motor saja, ya? Tapi sebelumnya kita mampir dulu ke rumah Ci Ling-Ling di TKI 2. Ini Ko Jason mau kasih biskuit dan minuman untuk dua keponakan Ko Jason. Setelah itu baru Ko Jason antar Metta ke rumah Anita. Gimana?”

Aku diam sejenak. “Boleh deh.... Waktunya masih agak lama, jadi nggak buru-buru,” aku menerima tawaran Ko Jason.

(13)

yang tidak layak. Nanti yang sudah terpilih Ko Jason antar ke wihara minggu depan. Mau ya bantu seleksi?”

“Wah... anumodana atas sumbangannya. Oke, nanti Metta bantu seleksi bukunya,” jawab Metta riang.

***

“Permisi!” Ko Jason berteriak di depan rumah cicinya. Seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah lalu bergegas membuka pintu pagar.

“Oh... Nak Jason. Ibu dan Bapak tidak ada di rumah. Tadi ke sini cuma antar pulang Visakha dan Jonathan, lalu Ibu dan Bapak pergi lagi,” kata pembantu tersebut.

“Ya Bi. Memang saya cuma janjian sama Visakha dan Jonathan,” jawab Ko Jason. “Metta, mari masuk!”

Dua anak muncul di pintu rumah, keduanya menyapa. “Ciu-ciu** Jason, Namo Buddhaya,” sapa anak perempuan kecil itu sambil beranjali. “Ciu-ciu, Mama dan Papa barusan pergi,” kata anak laki-laki yang lebih besar.

(14)

14 Ketika Metta Memilih

“Oh ya. Nggak apa-apa kok. Ciu-ciu cuma pengen ketemu Visakha dan Jason kok,” jawab Ko Jason.

“Cici, ayo masuk!” sapa mereka bersamaan.

Ko Jason menyerahkan kantong kresek berisi biskuit dan minuman kepada kedua keponakannya tersebut, lalu mengajak Metta ke belakang. “Kita ke gudang, yuk!” kata Ko Jason. ”Bukunya sudah disiapkan.” Metta mengikuti langkah Ko Jason ke belakang.

Metta dan Ko Jason melewati ruang tengah, Metta melihat ada dua altar di sana. Sebuah altar dengan Buddharupang dan satu lagi, altar dengan patung Bunda Maria.

“Kok begini ya?” batin Metta.

***

(15)

“Ah... nggak,” jawab Metta. “Kok kelihatannya nggak seceria tadi?” tanya Ko Jason lagi.

“Ehm... boleh Metta tanya? Tapi maaf ya kalau dianggap lancang,” Metta memberanikan diri. “Oh... nggak apa, silakan saja,” jawab Ko Jason.

“Jonathan itu saudara sepupu Visakha?”

“Bukan. Jonathan itu kakak kandung Visakha. Emang kenapa?”

“Nggak apa sih. Metta pernah lihat Visakha di Taman Putra Vidyasagara. Tapi kok nggak pernah lihat Jonathan?”

(16)

16 Ketika Metta Memilih

ada dua altar,” sambung Ko Jason.

Metta mengangguk perlahan.

***

Dear Diary,

Hari ini Metta lega. Pertemuan Metta dengan Ko Jason tadi siang memberi pencerahan. Apalagi dapat pinjaman buku “10 Tahun Melangkah Bersama” dari Ko Jason. Penjelasan Bhante Uttamo tentang pernikahan dari sisi Buddhis membuat Metta yakin, berpisah alias putus (meski pasti akan sangat menyakitkan) merupakan jalan terbaik bagi kami berdua. Metta tidak ingin keluarga Metta kelak seperti keluarga Ci Ling-Ling.

Secara teori, satu keyakinan tentu lebih mudah mencapai kebahagiaan. Metta susah membayangkan satu keluarga, tinggal seatap tapi berbeda prinsip. Ada anak yang agamanya ikut papa, ada anak yang agamanya ikut mama. Kalau hanya punya satu anak bagaimana?

(17)

menjalaninya. Diary, hari-hari ke depan pasti lebih berat karena Metta putuskan akan berpisah secara baik-baik dengan Andreas. Tapi Diary mau kan tetap mendengar curhat Metta?

(18)

“Ma, hari ini Mita kelihatannya agak murung,” kata suamiku saat kami sudah berbaring di kasur dan siap-siap tidur.

“Ya, Pa. Mama juga merasakan itu. Mama sudah tanya sama Yani—Cici Mita—kenapa. Tapi Yani bilang tidak tahu. Mama juga sudah ngobrol langsung sama Mita untuk cari

(19)

tahu, tapi Mita bilang tidak ada apa-apa. Mama tidak mau mendesaknya. Kayaknya Mita ingin coba menyelesaikan sendiri masalahnya,” jawabku.

“Ma, besok kan hari Sabtu, anak-anak libur. Coba deh Mama ajak Mita ngobrol dari hati ke hati, siapa tahu Mita mau cerita. Papa takut jangan-jangan ada masalah serius yang tidak bisa Mita selesaikan sendiri,” lanjut suamiku.

“Ya, Pa...,” jawabku.

***

Sekitar pukul empat sore, aku baru sampai di rumah. Hari ini aku harus lembur menyelesaikan laporan keuangan karena deadline-nya hari ini. Harusnya sejak kemarin sudah selesai, tapi karena kemarin hari libur nasional, baru hari ini bisa kuselesaikan.

Aku mendapati Kalyani, putri bungsuku yang kini duduk di kelas 6 SD, sedang menonton TV di ruang tamu.

(20)

20 Ketika Metta Memilih

sama Papa dan Cici Mita ya? Habis makan malam deh. Sekarang Mama mau mandi dulu, gerah dan capek...,” jawabku.

“Oke deh Ma...,” kata Yani.

“Yani, Cici Mita di mana?” tanyaku.

“Ada di kamar Ma,” jawab Yani.

***

Hmmm... segarnya badan sehabis mandi dan keramas. Aku memandangi foto keluarga di kamar tidurku. Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kedua putriku sudah beranjak remaja, Yani kelas 6 SD, sementara Paramita si sulung sudah kelas 1 SMP.

(21)

“Ma, hari ini Papa pulang agak telat. Masih ada tugas yang harus diselesaikan. Tapi Papa usahakan sebelum pukul tujuh malam, Papa sudah sampai rumah. Hari ini Mama tidak usah beli lauk, Papa yang akan beli makan malam spesial,” begitu bunyi BBM suamiku.

***

Aku melangkahkan kaki dengan perlahan menaiki tangga menuju kamar kedua putriku di lantai dua. Pintu kamar Mita tidak tertutup rapat. Aku mendorong pintu kamar Mita, putri sulungku. Mita tampak sedang duduk di depan meja belajarnya, diam dan termenung. Kuketuk perlahan pintu kamarnya, menanti reaksi Mita atas kehadiranku.

Mita membalikkan badan dan mencoba tersenyum ke arahku, “Ada apa Ma?” tanya Mita.

“Hmmm... anak Mama lagi ada masalah apa nih? Kok dari kemarin sore kelihatan tidak ceria seperti biasa?” tanyaku.

(22)

22 Ketika Metta Memilih

senyaman mungkin untuk mengeluarkan semua curhat mereka. Jadi aku bisa tahu apa pun yang sedang mereka hadapi.

“Mita bingung Ma....”

“Bingung kenapa?”

“Kemarin Mita ke rumah Sherly, tapi Sherly belum pulang dari les, jadi Mita ngobrol sama Mama Sherly. Semula cuma ngobrol hal-hal biasa, tentang pelajaran di sekolah, tentang liburan nanti akan ke mana, sama hal-hal lain. Tapi akhirnya Mama Sherly tanya apa Sherly sudah punya teman cowok yang sedang dekat?” Mita berhenti sejenak.

Aku diam dan tak memberi reaksi berlebihan agar Mita tidak takut untuk meneruskan ceritanya. “... Terus?” pancingku agar Mita untuk melanjutkan ceritanya.

(23)

mereka kini pacaran,” cerita Mita.

“Waktu Sherly cerita ke Mita, Sherly suruh Mita janji agar rahasia ini tidak diceritakan ke siapa pun. Makanya Mita bohong sama Mama Sherly,” Mita menjelaskan duduk persoalannya.

“Soalnya Mama Sherly pernah menemukan surat cinta dari Victor yang bilang Victor cinta banget sama Sherly. Waktu Sherly ditanya mamanya, Sherly membantah. Katanya, Victor yang kasih surat itu, tapi Sherly menolak cinta Victor,” lanjut Mita. “Mama Sherly mengancam akan menghentikan Sherly kalau masih SMP sudah pacaran.” kata Mita sambil menatapku.

“Oh... gitu?” kataku datar.

“Kok Mama tidak marah ketika tahu Mita bohong?” tanya Mita.

(24)

24 Ketika Metta Memilih

dicerna oleh anak SMP seusia Mita. “Secara umum, agama apa pun mengatakan bahwa bohong itu tidak baik. Yang terbaik adalah jujur. Pancasila Buddhis juga mengatakan hal yang sama: musavada veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya ‘aku bertekad melatih diri menghindari berdusta’,” aku berhenti lagi, memberi kesempatan agar Mita memahami apa yang kuucapkan.

“Tapi terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Jujur atau terpaksa bohong? Coba Mita pikirkan contoh yang Mama berikan ini:

“Mita sedang berdiri di depan rumah, lalu ada seorang pria berkaos merah lari sangat kencang dengan wajah ketakutan. Tak lama kemudian ada seorang pria juga berlari ke arah Mita sambil membawa golok. Orang ini bertanya kepada Mita, ke arah mana larinya pria berkaos merah yang tadi lewat sini? Apakah yang akan Mita lakukan? Bohong atau jujur?”

“Kalau Mita jujur, pria berkaos merah tadi mungkin akan tertangkap dan mungkin dibunuh. Kalau bohong, mungkin pria tadi akan selamat,” aku kembali berhenti dan memberi kesempatan Mita mengeluarkan pendapatnya.

(25)

“Mita akan bohong....”

“Nah... itu salah satu contoh dilema, pilihan yang sulit. Dalam kehidupan ini, kita akan menemukan banyak pilihan dan kadang pilihan itu tidaklah mudah,” aku melanjutkan.

“Kalau begitu, kita boleh dong berbohong?” tanya Mita.

“Bukan itu intinya. Apa yang kita tanam, itulah yang kelak akan kita petik. Bohong, apa pun alasannya, tetaplah akan menghasilkan kamma-vipaka, akibat dari perbuatan yang kita lakukan. Dalam menghadapi dilema, yang harus kita pilih adalah perbuatan yang menghasilkan vipaka buruk yang lebih kecil dan vipaka baik yang lebih besar,” aku menjelaskan.

(26)

26 Ketika Metta Memilih

“Ya juga sih... Masa kita langsung bilang makanannya sangat tidak enak Tante. Itu kan tidak sopan?” kata Mita sambil tertawa.

“Nah... Mita sudah mulai mengerti. Mama tidak mengatakan bahwa kita boleh berbohong. Tapi kita harus bijak dalam berpikir dan bertindak. Dan yang harus diingat, apa pun yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik.”

“Ibarat air dalam gelas, perbuatan baik Mama ibaratkan air yang bening dan tanpa rasa, garam adalah simbol perbuatan buruk. Ketika kita melakukan hal buruk, ibarat kita menaburkan sedikit garam ke dalam gelas. Air akan berubah rasa menjadi agak asin. Makin banyak perbuatan buruk yang kita lakukan, air akan menjadi semakin asin. Jika kita berbuat baik, ibarat kita menambahkan air ke dalam gelas. Garam di dalam gelas tidak akan berkurang tapi rasa asin akan semakin berkurang jika kita terus menambahkan air ke dalam gelas,” aku menjelaskan panjang lebar.

(27)

“Kalau Mita sendiri sudah punya pacar belum?” tanyaku sambil tersenyum.

“Ih... Mama. Pasti belum-lah. Kan kata Mama, SMU baru boleh pacaran? Swear deh!” kata Mita sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.

“Baguslah kalau begitu, kamu memang anak baik,” lanjutku penuh kelegaan.

“Kalau yang naksir sih ada beberapa orang. Tapi Mita tolak semua,” Mita tersenyum.

“Kalau nanti sudah waktunya, pasti Mita akan cerita ke Mama deh. Mita akan minta pendapat, dari sekian cowok yang naksir Mita, mana yang lebih oke,” terang Mita.

Aku langsung memeluknya penuh rasa sayang, “Mita memang anak hebat!” kataku.

(28)

28 Ketika Metta Memilih

“Ya... Papa,” Mita yang menjawab panggilan Papanya. “Ma, kita sudah ditungguin Papa tuh!”

Aku menggandeng tangan Mita, “Ayo kita turun.”

“Mama... tunggu sebentar. Mita mau tanya pada Mama, tapi jawab yang jujur ya?” Mita memperlihatkan wajah yang serius.

Aku menghentikan langkahku melihat wajahnya yang serius. Tampaknya ada masalah yang lebih serius dan belum selesai diceritakannya.

“Tolong Mama jawab dengan jujur, Papa cakep atau tidak?” bisik Mita di telingaku. Aku sedikit jengkel dengan ucapan Mita yang ternyata sedang bercanda dan ingin menggodaku.

Aku pun segera mendekatkan mulutku ke telinga Mita dan sambil berbisik aku berkata, “Ssst... tapi Mita janji ya? Jangan bilang sama Papa,” lalu aku memandang wajahnya dengan wajah seserius mungkin, padahal aku ingin tertawa.

(29)

Mita mengangguk. “Janji ya, jangan bilang ke Papa,” kembali Mita mengangguk. “Tidak,” jawabku. “Papa tidak jelek alias cakep banget.”

Aku tersenyum penuh kemenangan.

(30)

“Dina, Jacko kecelakaan waktu mengendarai motor ke pesta ulang tahun Nia. Sekarang Jacko di rumah sakit,” itu bunyi BBM dari Fanny, sepupu Jacko.

Aku merasakan sekelilingku terasa gelap, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

(31)

“Dina... Dina...,” samar-samar aku mendengar suara orang memanggil namaku.

Aku coba membuka mata dan mencari asal suara tersebut. Walau masih terlihat buram, aku bisa mengenali wajah perempuan yang duduk di sampingku. Mama rupanya yang tadi memanggil-manggil namaku.

“Syukurlah kamu sudah siuman,” kata Mama. “Tadi kamu diantar pulang oleh Robert dan Rosmery. Kamu pingsan di pesta ulang tahun Nia,” lanjut Mama.

Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Mencoba menyusun puzzle ingatanku. Aku ke pesta ulang tahun Nia bersama Rosmery, diantar Robert dengan sedannya. Jacko tidak bisa mengantarku karena ada keperluan penting yang tak bisa ditinggal, tapi Jacko janji akan datang ke pesta Nia. Saat pesta sudah dimulai, Jacko belum datang, ada BBM masuk, aku membaca BBM dari Fanny bahwa Jacko mengalami kecelakaan dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

“Ma, bagaimana kabar Jacko?” tanyaku.

(32)

32 Ketika Metta Memilih

ke kamar begitu mengetahui aku sudah siuman. “Dina, kamu istirahat saja... Jacko sudah ditangani dokter,” Rosmery berusaha menenangkanku.

“Tapi gimana kabar Jacko? Dia baik-baik saja kan?” aku mendesak Rosmery untuk mendapat kepastian tentang Jacko.

“Kata Fanny, Jacko sudah sadar, kaki kiri Jacko yang terluka sudah ditangani dokter. Fanny berpesan agar kamu istirahat saja. Kamu nanti bisa BBM Fanny untuk info lengkapnya. Fanny juga sudah tahu kamu pingsan. Sudah ada yang menjaga Jacko di rumah sakit, semua akan baik-baik saja,” terang Rosmery.

“Dina... kami pulang dulu ya?” Rosmery pamit. “Istirahat saja dulu Dina, semua akan baik-baik saja,” kata Robert. “Kalau perlu bantuan, kami selalu ada untukmu,” tambah Rosmery. “Tante, kami pamit,” kata Rosmery dan Robert.

“Terima kasih...,” jawab Mamaku.

“Terima kasih banyak,” kataku sambil berusaha tersenyum.

(33)

Ingatanku kembali ke masa lalu, saat aku berkenalan dengan Jacko. Waktu itu, aku sedang main ke rumah Rosmery. Saat sedang asyik ngobrol, Robert dan Jacko datang ke rumah Rosmery juga. Mereka, tepatnya Robert hanya mengantarkan novel yang ingin dipinjam Rosmery. Mereka hanya mampir sebentar, setelah berbasa-basi, mereka berdua pergi mengendarai motor masing-masing.

Aku sempat berkenalan dengan Jack Oscar, biasa disapa Jack. Akulah yang kemudian memberi panggilan khusus, Jacko. Dari Rosmery aku diceritakan kisah tragis Jacko.

Jacko lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Semula perjalanan hidupnya mulus, usaha orangtuanya sukses, Cicinya yang bernama Sandra cantik dan pintar, Jacko keren dan juga pintar, kehidupan keluarga mereka juga harmonis. Namun, dua tahun lalu, menjelang kelulusan SMA terjadilah tragedi itu. Mama Jacko dan Ci Sandra meninggal dalam kecelakaan pesawat saat pulang dari Australia.

(34)

34 Ketika Metta Memilih

sampai mabuk-mabukan, mulai menggunakan narkoba dan untungnya Robert berhasil mencegah Jacko terjerumus lebih dalam.

Mama Robert yang seorang psikolog banyak membantu, juga Papa Robert yang seorang pandita. Jacko sering menginap di rumah Robert, rumah Robert menjadi rumah kedua Jacko. Orangtua Robert juga sudah seperti orangtua Jacko.

Singkat cerita, jalinan pertemananku dan Jacko semakin akrab karena aku sahabat Rosmery, Jacko sahabat Robert, dan Robert adalah pacar Rosmery. Akhirnya Jacko jadi pacarku. Seperti kata pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, cinta terjadi karena seringnya bertemu.

Tragedi yang menimpa Jacko tidak berhenti sampai di situ. Sejak tahun awal perkuliahan, Jacko merintis usaha berjualan pulsa elektronik atas saran Robert. “Kamu harus belajar mandiri,” kata Robert. Usaha yang dirintis Jacko terbilang sukses. Tapi uang hasil usahanya lenyap begitu saja. Teman yang sudah dipercayakan mengelola bisnis pulsa melarikan semua uang usahanya.

(35)

kusut. Dalam perjalanan pulang, hujan sangat deras, Jacko menepikan motornya, aku dan Jacko berteduh di depan toko yang sudah tutup.

Di sanalah Jacko menceritakan kejadiannya. Semua uang dilarikan temannya, ponsel temannya tersebut tak bisa dihubungi, dan sang teman menghilang bagai ditelan bumi. Teman yang sudah banyak dibantunya malah mengkhianati kepercayaannya. “Jika aku berhasil menemukannya, akan kubunuh dia...,” kata Jacko geram.

“Jacko, yang sabar ya,” kataku.

“Apa salahku? Aku sudah mengikuti apa yang Buddha ajarkan. Aku berusaha tidak melakukan perbuatan buruk, melakukan banyak kebajikan, mengapa aku harus ditipu temanku sendiri?” Jacko mengumpat.

“Kita cari dia dulu saja, semoga saja nanti bisa ketemu dan dia bisa mengembalikan uangnya,” aku berusaha menasihati Jacko.

(36)

36 Ketika Metta Memilih

belalang itu, aku bergeser menjauh. Aku merasa geli dengan banyak serangga, termasuk belalang. “Jacko, untuk apa belalang itu? Lepaskan saja. Kasihan,” kataku.

“Kalau aku ketemu dia, akan aku bunuh,” Jacko masih geram pada teman yang menipunya. “Tapi, sebelum dibunuh, dia akan merasakan ini dulu...,” kata Jacko dengan geram. Dengan gerakan cepat, sebelah kaki belalang itu dipatahkan lalu dibuang.

Aku kaget dengan perilaku Jacko. “Jacko, jangan diteruskan!” aku berteriak kencang di sela-sela suara hujan. “Kalau kamu patahkan lagi kaki belalang itu apalagi kau bunuh, kita putus saja dan aku akan pulang jalan kaki sendiri,” aku mengancam Jacko.

Jacko terkesiap melihat reaksiku. “Kamu serius?” suara Jacko melunak.

“Ya... sangat serius,” aku berkata pelan namun penuh ketegasan.

“Oke, aku minta maaf,” kata Jacko.

(37)

Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu kamarku. “Dina, Robert dan Rosmery sudah datang,” kata Mama. Suara ketukan Mama membuyarkan lamunanku. “Suruh mereka tunggu sebentar ya Ma. Dina mau ganti pakaian dulu,” jawabku.

Kami akan ke rumah sakit, membesuk Jacko. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Rosmery memberikan penjelasan bahwa kaki kiri Jacko yang tergilas motor terpaksa diamputasi sebatas lutut.

“Dina, kamu harus kuat menerima kenyataan ini, harus tegar, dan bisa tersenyum untuk membangkitkan semangat Jacko yang down,” Rosmery menasihatiku. Aku sempat shock, tapi tidak lama karena memang tidak boleh lama. Dalam hitungan menit, aku akan segera bertemu Jacko di rumah sakit. Yang terpenting bagiku, Jacko selamat.

***

(38)

38 Ketika Metta Memilih

“Saya sungguh beruntung,” kata Jacko. “Fanny menceritakan, karma baik masih berpihak ke saya. Saat tabrakan, saya terlempar dari motor dan pingsan. Kaki kiri dilindas motor dari arah belakang dan dari arah berlawanan, sebuah bus nyaris melindas kepala saya. Untungnya ada pejalan kaki yang berteriak dan memberi tanda agar bus berhenti. Jarak kepalaku dengan ban bus itu tinggal satu meter saat bus berhenti,” cerita Jacko.

Fanny sempat bertemu dengan dua orang yang mengantarkan saya ke rumah sakit. Saya sungguh berhutang nyawa pada orang yang menghentikan bus itu dan pada orang-orang yang berbaik hati mengantar saya ke rumah sakit.

Setelah ngobrol sebentar, Robert dan Rosmery pamit untuk menunggu di luar, memberikan kesempatan kepada kami untuk bicara empat mata.

“Aku bahagia kamu selamat,” kataku.

(39)

“Masa aku akan meninggalkan kamu saat seperti ini?” aku meyakinkan Jacko. “Aku tetap akan mendampingi kamu sampai akhir hayat... asal kamu janji, lain kali akan lebih berhati-hati dan tidak jadi orang yang emosian,” lanjutku.

“Aku janji...,” kata Jacko tersenyum manis sekali sambil mengangkat telapak tangannya seperti seorang yang sedang diambil sumpah jabatan.

***

“Masa lalu tidak perlu disesali karena tak bisa diubah. Kita juga tak boleh merisaukan masa depan, yang belum pasti. Kita harus konsentrasi pada apa yang kita jalani saat ini. Yang kita jalani saat ini akan menentukan apa yang akan terjadi pada kita di masa depan,” begitu kata bijak yang kubaca di salah satu artikel Dhamma.

(40)

40 Ketika Metta Memilih

Ah... aku masih saja mengingkari kenyataan bahwa kita tak bisa kembali ke masa lalu. Harusnya aku tetap bersyukur karena berhasil mencegah Jacko membunuh belalang dengan penuh kebencian.

(41)

Hidup ini sudah sulit, jangan dipersulit lagi. Banyak hal yang sebenarnya bukan persoalan tapi oleh manusia dijadikan persoalan. Menyelesaikan permasalahan hidup kita sendiri saja sudah cukup berat, mengapa harus menambah beban dengan mempersoalkan kehidupan orang lain yang jelas-jelas bukan urusan kita?

(42)

42 Ketika Metta Memilih

Dicky tersenyum membaca alinea terakhir sebuah artikel di majalah Buddhis. Pas dan mengena sekali. Mengapa ya, orang kok suka kepo? Hidup sendiri saja belum beres, masih sempat-sempatnya mengusili kehidupan orang lain, yang sebenarnya bukan urusannya dan tidak mengganggu kehidupannya.

Ah... sudahlah. Manusia seperti itu memang banyak “beredar” di muka bumi ini (He-he. Seperti koran atau majalah saja, beredar). Banyak manusia yang susah lihat orang lain senang dan senang lihat orang lain susah. Merasa dirinya sudah sempurna dan merasa dirinya layak menjadi “polisi” bagi manusia lain, merasa pantas jadi “atasan” yang sesuka hati mencela dan mengatur kehidupan orang yang dianggapnya bawahan.

***

“Ssst. Kamu tahu gak, si Ririn sekarang sudah pisah ranjang sama suaminya?” Titin mengawali pagi dengan ngerumpiin teman departemen lain.

(43)

“Bener! Saya tahu langsung dari tetangga Ririn” lanjut Titin, yang biasa dipanggil Ci Titin ini, semakin semangat.

“Woiii! Bikin gosip aja pagi-pagi!” tegur Dicky. “Kerjaan kemarin sudah selesai belum? Hari ini deadline-nya,” tegas Dicky, rekan sekerja Titin.

“Ntar ah! Masih pagi ini. Habis ini saya selesaikan. Bawel lo!” Ci Titin melanjutkan gosipnya.

Dicky meninggalkan ruang kerjanya ke departemen personalia, ia akan minta izin cuti dua hari karena ada keperluan keluarga. Saat meninggalkan ruang kerjanya, samar-samar Dicky mendengar Titin menyindirnya, “Tuh... kamu lihat sendiri Dicky, kalau orang yang sudah cukup usia tapi belum nikah, ya seperti itu tuh... rada gak beres,” sindir Ci Titin sambil tertawa cekikikan.

(44)

44 Ketika Metta Memilih

Bagi Dicky, menikah atau tidak menikah adalah pilihan, bukan keharusan. Begitulah Dhamma yang dibabarkan Buddha. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan kewajiban suami-istri, bukan kewajiban bahwa seseorang harus menikah. Dalam agama Buddha, tidak pernah ada tentangan ataupun penolakan terhadap pernikahan. Menikah atau tidak adalah pilihan bebas bagi yang akan menjalaninya. Yang terpenting adalah menjalani dan menerima semua konsekuensi atas pilihan yang sudah diambil.

Sudah terlalu banyak ucapan usil Ci Titin yang seharusnya memanaskan telinga Dicky. “Jomblo, tidak laku, kurang beres, dan lain-lain,” kata Ci Titin, baik langsung maupun Dicky dengar dari orang lain.

Beberapa teman yang gerah dengan mulut cerewet Ci Titin sudah pernah mengingatkannya, tapi karena memang sudah bawaan sifatnya, sepertinya sudah tidak bisa diubah atau dimodifikasi agar jadi lebih baik. “Ibarat motor atau mobil tua yang sudah tak ada yang jual spare part-nya, tinggal tunggu mogok saja, lalu dijual kiloan,” kata Valdo.

(45)

Dicky dan Valdo menghadiri resepsi pernikahan di sebuah hotel berbintang di kawasan Dago, Bandung. Saat Dicky dan Valdo tiba, rekan-rekan kerja mereka di perusahaan garmen itu sudah banyak yang datang. Acara seremonial sudah selesai, sekarang para tamu undangan dipersilakan menikmati hidangan yang telah disediakan.

Dicky dan Valdo bergegas ke pelaminan, menyalami sang raja dan ratu sehari, Kent dan Angel. Setelah itu Dicky dan Valdo langsung masuk ke antrean prasmanan. Saat antre, Valdo mencolek Dicky sambil berbisik, “Dicky, kita pindah ke sebelah sana saja yuk! Di barisan sebelah kanan kita ada Ci Titin.”

Dicky cuek. “Biarin sajalah. Saya sudah kebal dengan sindirannya,” Dicky tak ambil pusing. “Tenang saja, saya yang disindir saja cuek kok,” Dicky menegaskan sikapnya.

(46)

46 Ketika Metta Memilih

kita berada di posisi lawan bicara kita dulu, baru kita bisa merasakan betapa menyakitkannya sebuah celetukan, batin Valdo lagi.

Benar saja, saat mengambil hidangan, Dicky dan Valdo berhadapan dengan Ci Titin dan beberapa rekan sekantor. Dasar ratu rumpi, sambil mengambil hidangan, mata Ci Titin memandang ke arah Dicky dan nyeletuk cukup kencang “Kapan menyusul?” Kontan saja, celetukan ini disambut tawa cekikikan anggota geng gosip Ci Titin.

Dicky hanya tersenyum.

***

Hari ini kabut duka menyelimuti karyawan perusahaan garmen tempat Dicky bekerja. Thomas, rekan sekerja mereka, meninggal karena kecelakaan. Thomas ditabrak mobil dari belakang saat mengendarai motor. Siapa menyangka bahwa Thomas yang masih muda harus berlalu begitu cepat. Kemarin, hingga usai jam kerja, Thomas masih sehat dan bercanda. Sekarang ia berbaring di dalam peti mati.

(47)

Thomas untuk terakhir kalinya. Ada Dicky, Valdo, Ci Titin, Winda, Angel, dan Ririn. Valdo tampaknya tidak dapat menahan dirinya untuk nyeletuk, meski sebenarnya suasana duka cita bukanlah momen yang pas untuk memberi pelajaran bagi Ci Titin. Valdo mendekatkan mulutnya ke telinga Ci Titin, dengan suara berbisik.

Namun, karena suasana hening, pastilah bisikan Valdo terdengar oleh semua yang ada di sekeliling peti mati Thomas:

(48)

“Braaak...” Ronald membanting buku ke lantai dengan keras. Seluruh mata tertuju padanya. Sedetik kemudian, Ronald tersadar bahwa saat ini ia sedang berada di perpustakaan, bukan di kamar kost-nya.

“Aduh... maaf saya tidak sengaja...,” kata Ronald penuh

(49)

penyesalan. Ronald segera berdiri, lalu mengatakan, “Permisi....”

Ronald melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan Vihara Vimala Dharma diikuti pandangan mata umat di perpustakaan dan sekitar perpustakaan. Maksud hati menenangkan diri dari masalah yang dialami dengan membaca, apa daya justru malu luar biasa yang didapat.

Masalah yang dihadapi Ronald bukan problem sederhana. Dilema. Langkah yang akan diambilnya adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Apa yang akan diputuskan, akan menentukan bagaimana masa depannya nanti.

Selama ini, ia patuh pada apa yang disarankan oleh mamanya. Sejak kecil ia selalu menuruti semua yang dipilihkan mama. Dari TK hingga SMA, semua sekolah adalah pilihan mama. Dianjurkan kuliah di Fakultas Ekonomi, ia ikuti. Kuliah sambil bekerja, ia jalani. Ia bisa memaklumi semua permintaan mamanya karena ia tahu mama tentu sayang pada anaknya.

(50)

50 Ketika Metta Memilih

adiknya. Tapi bagi Ronald, Kevin tidak masuk hitungan. Kevin terlahir sebagai anak penyandang down syndrome.

Sejak SMP Ronald sudah membantu mama mencari nafkah. Mama mencari uang dengan segala kemampuannya. Menerima jahitan pakaian, membuat kue lalu dititipkan di kantin sekolah, dan usaha apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ronald yang bertugas mengantarkan jahitan yang sudah selesai ke rumah pelanggan, membeli keperluan untuk menjahit, juga mengantarkan kue ke kantin sekolah.

Ronald, Kevin, dan Mama selalu tinggal bersama. Hanya saat kuliah Ronald merantau ke Bandung, sementara Mama dan Kevin tetap tinggal di Jambi.

Rasanya sudah cukup Ronald menuruti kemauan mama sejak kecil hingga sekarang. Tapi permintaan kali ini, rasanya tidak bisa ia ikuti. Masa calon pendamping hidup pun ia harus ikut dengan keinginan mama?

“Yang akan menikah dan menjalani hidup adalah Ronald, bukan Mama!” ucap Ronald saat terakhir Mama menelepon.

(51)

yang menghubungi. Paling Mama mendapat kabar tentang Ronald dari Ii Meilan* yang sering menelepon Ronald. Ronald tahu ini pasti permintaan mama.

***

“Lo nggak salah Ron, mau sampai kapan kamu jadi anak mama?” kata Deddy sambil menekankan kata “anak mama”. “Dari kecil lo udah bantu mama. Sementara Kevin adik lo nggak ngapa-ngapain. Cuma makan-tidur saja,” ujar Deddy.

“Udah yuk... kita cabut. Bosen di kost-an mulu,” Deddy sudah memakai sepatu dan melangkah keluar dari kamar kost Ronald.

Ronald dan Deddy pun menuju warnet, tempat mereka biasa bermain games online. Ronald kenal Deddy juga di warnet saat menunggu giliran main games online. Awalnya Ronald main games online hanya iseng karena suntuk dengan tugas kuliah ditambah perselisihannya dengan mama. Hanya pelarian dari masalah, tapi akhirnya Ronald jadi kecanduan, jadi maniak game.

(52)

52 Ketika Metta Memilih

“Tika, kamu mau kasih apa sama Mama untuk surprise Hari Ibu ini?” tanya Della.

“Ehm... tahun ini kayaknya aku akan pesan makanan cepat saji dan kirim sekuntum mawar merah,” kata Tika. “Kalau Della?” Viantika balik tanya.

“Aku akan ajak Mama jalan ke mal dan makan berdua. Aku akan ajak Mama menikmati makanan kesukaannya,” Della tersenyum penuh arti. “Emang makanan cepat sajinya tidak basi ketika sampai ke Palembang?” tanya Della sambil mengutak-atik Blackberry-nya.

“Zaman sudah canggih dan serba online gini, masa masih harus kirim dari Bandung ke Palembang? Tinggal telepon ke fast food di Palembang, transfer via e-banking, kasih tahu alamat yang dituju, beres deh. Jadi jarak bukan halangan. Teknologi memungkinkan itu semua. Hanya saja kita belum bisa sentuhan langsung dengan orang di tempat berbeda. Beda dengan Della yang tinggal satu kota dengan Mama, bisa memeluk dan mencium Mama,” kata Tika sambil mengerlingkan mata.

(53)

Mama. Telepon masuk dari Mama pun sedang tak ingin dijawabnya.

Mengapa sih harus ada banyak agama? Mengapa pula aku harus ketemu gadis manis yang menarik perhatian dan cocok denganku tapi kami berbeda keyakinan, batin Ronald.

“Ron, kok ngelamun,” sapa Ko Ananda. “Ada masalah apa nih?” tanya Ko Ananda.

“Ng-nggak ada apa-apa kok,” Ronald berusaha menutupi.

“Tak usah sungkan, jika ada masalah ceritakan saja. Siapa tahu Ko Ananda bisa kasih solusi.” Hening sejenak.

“Oh ya, Ron, nanti ikut kan acara kunjungan ke panti wreda pada awal tahun?” lanjut Ko Ananda.

“Pasti ikut Ko!” Ronald pura-pura bersemangat. “Kapan acaranya?” tanya Ronald lagi.

(54)

54 Ketika Metta Memilih

Ananda. “Oke, Ko Ananda pulang dulu ya? Ada janji sama teman. Kalau ada yang ingin dibicarakan, main saja ke rumah. Sore ini dari sekitar jam 15:00 sampai 18:00, Ko Ananda ada di rumah. Namo Buddhaya.” Ko Ananda pamit sambil beranjali.

Ko Ananda pasti tahu aku sedang ada masalah, sampai memberitahukan ia punya waktu luang jam sekian sampai jam sekian, batin Ronald.

Ko Ananda adalah sosok yang sudah sangat familiar bagi muda-mudi di Vihara Vimala Dharma Bandung. Sosok yang “dituakan” dan sering diminta pendapat oleh muda-mudi yang sedang mengalami problema kehidupan. Ko Ananda mengenal hampir semua aktivis wihara, termasuk latar belakang keluarga mereka. Ko Ananda sering bertanya bagaimana kabar keluarga para aktivis bila sedang ngumpul di wihara.

***

(55)

“Silakan diminum, Den,” kata pembantu Ko Ananda yang mengantar dua gelas kosong, sebotol soft drink, dan pisang goreng.

“Terima kasih,” kata Ronald.

“Ayo tak usah malu, silakan dicicipi hidangannya,” kata Ko Ananda ramah.

“Ehm... langsung saja Ko,” ujar Ronald setelah meneguk soft drink.

***

“Ko, mama saya tidak setuju saya pacaran dengan cewek yang beda agama. Saya bertengkar dengan mama tentang hal ini. Selama ini, saya selalu menurut pada apa yang mama mau. Tapi untuk soal pasangan hidup, saya akan menentukan pilihan saya sendiri. Ini hidup saya, saya yang akan menjalaninya. Sudah seminggu ini saya jadi tidak menjawab telepon mama,” cerita Ronald.

(56)

56 Ketika Metta Memilih

“Ini masalah yang banyak dialami muda-mudi zaman sekarang. Bukan hanya mudi Buddhis, tapi muda-mudi berbagai agama. Pada dasarnya, semua agama punya pandangan yang sama soal ini. Pasangan hidup yang ideal adalah pasangan yang satu keyakinan, atau satu agama dalam bahasa awamnya. Dalam Dhamma, disebutkan untuk mencapai pernikahan bahagia, pasangan yang akan menikah sebaiknya punya 4 kesepadanan, yakni samma saddha atau sepadan keyakinan, samma sila atau sepadan moralitas, samma cagga atau sepadan kedermawanan, samma pannya atau sepadan kebijaksanaan.”

Ko Ananda berhenti sejenak.

“Sekarang Ko Ananda tanya, apakah Ronald ingin pindah keyakinan?”

“Tidak, Ko!”

“Pacar Ronald yang mau beralih keyakinan menjadi umat Buddha?”

(57)

“Hmmm... dari awal saja sudah ada permasalahan. Dan ke depannya, tentu problemnya masih banyak. Kalau nekat menikah dengan komitmen jalani keyakinan masing-masing, problem tidak selesai sampai di situ. Waktu menikah, salah satu terpaksa berbohong, seolah mengikuti agama pasangannya. Setelah punya anak, agama apa yang akan diajarkan kepada anak? Jika kelak salah seorang sakit, akan didoakan sesuai agama yang sakit atau yang sehat? Begitu pula saat meninggal, apakah prosesinya sesuai agama yang meninggal atau sesuai agama pasangan yang menyelenggarakan prosesinya? Beda keyakinan tentu lebih banyak mendatangkan permasalahan,” jelas Ko Ananda.

Ronald terdiam. Ia tak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Hanya lebih mementingkan egonya. Ronald hanya merasa selama ini terlalu diatur oleh mamanya. Saat pilihan hatinya tidak disetujui, egonya memberontak. Pasangan hidup harus pilihannya, bukan pilihan mamanya.

(58)

58 Ketika Metta Memilih

“Nanti kamu telepon mama ya. Minta maaf atas sikapmu selama ini yang telah menyiksa beliau. Tidak baik mendiamkan mama, apalagi sebentar lagi Hari Ibu. Jasa seorang ibu sangat besar. Kita tak mungkin bisa kita membalas jasa baik mereka,” lanjut Ko Ananda.

Ronald mengangguk, meski ego-nya belum bisa sepenuhnya menerima saran Ko Ananda. “Ko, terima kasih atas waktu dan sarannya.”

***

Dalam kamar kost-nya, Ronald masih bimbang. Ego-nya masih menolak untuk menelepon mama duluan dan meminta maaf atas kesalahannya. Sudah pukul 23:00, mata Ronald masih sulit terpejam.

“Hanya ada satu guru yang kupuja...,” ringtone Sang Guru lewat suara Meicie Widjaja terdengar dari BlackBerry Ronald. Ronald terkesiap. Siapa yang menelepon malam-malam begini?

(59)

“Ron, Mama sudah tidak ada...,” jawab Ii Meilan sambil menangis. “Tadi Kevin yang menangis terus dan memanggil-manggil Mama. Tetangga sebelah rumah mengetuk pintu rumah dan Kevin membukanya. Tetangga bilang Mama sudah terbaring di lantai dan sudah tidak bernapas!”

(60)

Matahari sore masih tampak garang menyinari teras sebuah rumah di Tangerang. Rumah bercat biru itu kusam, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh subur di halaman rumah, pertanda sudah lama tak tersentuh tangan penghuni.

Rumah itu ditempati enam orang. Oma Rita, lalu Ranti,

(61)

anak Oma, menantunya, dan dua cucu yaitu Lisa, seorang anak perempuan kelas 5 SD, seorang lagi anak laki-laki yang masih bayi bernama Bryan, serta Imah, seorang pembantu yang masih berusia belasan.

Kakek sudah meninggal sekitar 6 bulan lalu. Pertama karena memang usia sudah cukup tua, 80 tahun, kedua mungkin diperparah stres berkepanjangan dengan suasana rumah yang tidak nyaman. Kata-kata kasar bernada ancaman dari menantunya memperparah kondisi kesehatan sang kakek.

***

“Selamat siang Oma,” sapa Friska.

“Siang,” terdengar jawaban Oma Rita dari dalam rumah. “Masuk saja, pintu tidak dikunci,” lanjut beliau.

(62)

62 Ketika Metta Memilih

saat tidak ada jadwal kuliah. Di sana hanya ada Oma, Bryan, dan Imah, si pembantu. Waktu siang, saat Lisa sekolah, Ranti bekerja, Nero tidak di rumah, Oma lebih leluasa bercerita.

Oh ya, dalam kesehariannya, Oma memang sudah tidak bisa melakukan banyak aktivitas. Beliau hanya bisa tiduran dan duduk saja di kamar tidurnya. Kakinya sudah tidak kuat untuk menopang tubuh untuk berdiri, apalagi untuk berjalan. Mandi pun hanya dilap dengan kain basah dan tugas ini dilakukan oleh pembantu.

Hanya sesekali Oma keluar dari kamar tidurnya yang sumpek karena kurang ventilasi dan duduk di ruang tamu. Itu terjadi saat perayaan tahun baru Imlek atau saat ada saudara yang datang sehingga ada yang mampu mengangkat tubuh Oma dan mendudukkannya di kursi roda, lalu mendorongnya ke ruang tamu.

Perkenalan Friska dengan Oma Rita secara tak sengaja. Saat itu Friska mendengar percakapan antara pembantunya dan tukang sayur, waktu Friska akan berangkat kuliah.

(63)

untuk diandalkan. Kecil kita rawat hingga dewasa, setelah besar mereka menikah, lupa sama orangtuanya,” kata abang tukang sayur.

“Nggak juga Bang. Saya sudah berkeluarga, masih sayang sama orangtua saya di kampung. Saya kerja selain untuk bantu-bantu suami, saya juga menyisihkan uang untuk orangtua saya,” kata Yati, pembantu Friska.

“Memang tidak semua seperti itu, tapi kebanyakan seperti itu Neng. Itu tuh, kayak Oma yang di ujung sono,” kata abang penjual sayur sambil menunjuk. “Oma Rita yang sudah merawat anak yang dipungutnya sejak bayi. Sudah disekolahin sampe sarjana, eh... pas sudah dewasa dan berkeluarga, orangtuanya tidak dirawat dengan baik,” lanjut abang tukang sayur.

“Ssst... Abang jangan ngegosip. Nanti kedengeran orang bisa berabe Bang,” tukas Yati.

(64)

64 Ketika Metta Memilih

Friska langsung menghampiri Yati dan tukang sayur. “Bang, rumah Oma Rita yang mana?” tanya Friska. “Saya sedang mencari data orangtua yang layak mendapatkan bantuan dari organisasi sosial kami,” lanjut Friska.

***

Perlu kesabaran ekstra untuk mendapat info lengkap tentang Oma Rita. Keesokan harinya Friska yang belanja sayur dan Yati diminta jangan keluar dulu. Friska berhasil mewawancarai dan mendapat banyak info tentang Oma Rita dari abang tukang sayur. Lalu beberapa hari kemudian, saat lewat depan rumah Oma Tince, Friska berhasil ngobrol dengan Oma Tince. Awalnya hanya tanya seputar tanaman anggrek milik Oma Tince, setelah itu beberapa kali Friska ngobrol dengan Oma Tince di teras rumahnya yang asri. Setelah akrab, Friska berhasil mendapat banyak info tentang Oma Rita.

Ternyata, Oma Rita dan Oma Tince adalah orang lama di kompleks ini, jadi mereka sudah lama saling kenal. Bahkan Opa Tanto, suami Oma Tince adalah teman sekolah Tante Rita.

(65)

suami tidak mempunyai anak. Mereka mengadopsi seorang anak perempuan yang mereka beri nama Ranti. Ranti dirawat dengan baik, disekolahkan hingga jadi sarjana. Ranti kerja dan kariernya pun cukup bagus, sayang kisah asmaranya kurang bagus. Ranti menikah dengan Nero, supir di perusahaan tempatnya bekerja. Setelah menikah, Ranti dan suami tinggal di rumah Oma Rita.

Awalnya semua berjalan lancar, tapi sejak Nero berhenti kerja karena malu dengan teman-teman sekerja, semua mulai berubah. Sikap Nero mulai kasar terhadap mertua. Ranti bukannya mengingatkan Nero, tapi diam saja seolah perlakuan kasar Nero adalah hal yang wajar. Sungguh ironis perlakuan seorang anak perempuan terhadap ibunya, padahal ia sendiri sudah menjadi ibu.

Lisa, anak sulung mereka pun perlahan-lahan ikut berlaku kasar. Omongan dan sikap mereka semakin lama semakin tidak sopan dan cenderung kurang ajar kepada kedua orangtua tersebut.

(66)

66 Ketika Metta Memilih

dimarahin sama anak dan menantunya, bahkan Lisa, sang cucu berani mengomeli neneknya.

***

“Gimana kabar Oma hari ini?” sapa Friska. “Baik Friska...,” Oma Rita tersenyum. Siang ini, seperti biasa Friska menyempatkan diri mampir dan berbincang santai menemani Oma Rita. Hanya itu yang bisa Friska lakukan. Oma Rita hanya butuh teman bercerita dan Friska hanya meminjamkan telinganya untuk mendengarkan cerita dan keluh kesah Oma Rita. Friska juga selalu mengajak Oma Rita membaca paritta bersama-sama, hal yang nyaris tak pernah beliau lakukan sejak terbaring sakit.

(67)

Rencana awal memang Friska ingin memasukkan Oma Rita sebagai orang yang menerima bantuan, tapi niat itu dibatalkan. Bisa-bisa anak dan menantu Oma Rita marah besar. Mereka pasti merasa dipermalukan, masa Oma Rita digolongkan orang yang tak mampu? Jelas mereka orang mampu, hanya saja memang tidak ada niat membahagiakan Oma Rita dalam sisa hidupnya.

Semua penghuni rumah ini, tak satu pun yang bersikap baik pada Oma Rita. Satu per satu kedok mereka terungkap, dan ternyata benar apa yang dikatakan Tante Tince terhadap seisi rumah ini.

Pernah Friska main ke rumah Oma Rita. Karena sudah terbiasa, Friska tidak lagi mengetuk pintu. Samar-samar Friska mendengar suara Oma Rita berteriak, “Imah, Oma mau pipis...!” Teriakan itu berkali-kali, tapi tak ada sahutan. Friska memberanikan diri masuk ke rumah diam-diam dan langsung ke kamar belakang, kamar Imah.

Ketika Friska sampai ruang tamu, terdengar suara “Ya! Nenek bawel!” balas Imah.

(68)

68 Ketika Metta Memilih

“Ya, tadi ketuk pintu, tak ada jawaban, kebetulan saya kebelet, jadi langsung mau ke belakang...,” Friska menjawab seolah ia tak mendengar suara apa pun.

Perlakuan Ranti, Nero, dan Lisa pun tak berbeda dengan Imah, sang pembantu. Friska juga pernah memergoki perlakuan tak pantas Ranti, Nero, dan Lisa pada Oma Rita. Waktu itu Friska akan main ke rumah teman. Tapi entah mengapa, ada dorongan hati untuk mampir ke rumah Oma Rita sejenak. Friska berbelok dari rencana semula, melewati depan rumah Oma Rita.

Biasanya, di hari Sabtu Friska sering main ke rumah Oma Rita karena jadwal kuliahnya kosong. Lisa, cucu Oma Rita, sebenarnya juga tidak sekolah pada hari Sabtu, tapi biasanya Lisa tidak di rumah. Lisa lebih sering main ke rumah temannya.

Ranti bekerja Senin hingga Sabtu sedangkan Nero yang kini makelar motor, memang jarang di rumah.

(69)

tukang bakso menjauh, Cici Ranti masuk ke rumahnya.

Ketika tiba di depan rumah Oma Rita, samar-samar Friska mendengar teriakan Oma, “Bakso! Bakso!”

“Permisi,” sapa Friska.

“Ya! Sebentar,” terdengar suara Ci Ranti. “Eh, Friska, ayo masuk...,” kata Ci Friska ramah. “Ada perlu apa Friska?” tanya Ci Ranti.

“Nggak ada apa-apa kok. Cuma mau ngobrol saja sama Oma,” Friska menjelaskan maksud kedatangannya.

“Makan bakso dulu yuk...,” ajak Ci Ranti.

“Terima kasih Ci, saya sudah kenyang,” jawab Friska. “Friska langsung ke kamar Oma Rita ya?” Friska minta izin.

“Oh silakan. Imah! Ambilkan minum untuk Non Friska,” teriak Ci Ranti.

(70)

70 Ketika Metta Memilih

Tak ingin memfitnah, keesokan harinya Friska pun melakukan konfirmasi. Ternyata benar, abang tukang bakso pun mendengar Oma Rita minta bakso, tapi Ci Ranti mengusir abang tukang bakso agar segera pergi. Begitu teganya Ci Ranti tidak membelikan seporsi bakso yang cuma sepuluh ribu rupiah seporsi. Padahal, “tanggung jawab” untuk berbakti bagi seorang anak pungut atau lazim disebut anak hasil adopsi, seharusnya jauh lebih besar daripada seorang anak kandung. Untungnya saat itu Friska bisa mengalihkan pembicaraan agar Oma Rita tidak bicara soal bakso. Friska menceritakan cerita-cerita lucu sehingga Oma Rita tertawa.

Itu baru rahasia kecil. Ada banyak cerita buruk yang sebenarnya tidak ingin Oma Rita ungkapkan karena Oma sangat sayang kepada anak dan cucunya, meski Ranti bukan anak kandungnya. Hanya saja terkadang Oma keceplosan.

Friska menyimpannya dalam memori saja, ternyata biaya berobat, termasuk ongkos taksi saat berobat, semua menggunakan uang tabungan Oma Rita. Oma Rita dulunya orang kaya, simpanannya berupa perhiasan emas cukup banyak. Satu per satu dijual untuk biaya berobat.

(71)

tidak diberikan. Tapi begitu tamu datang, segala yang ada dihidangkan untuk tamu. Bahkan sampai pesan makanan delivery untuk tamu.

Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan Friska, Ci Ranti selalu bercerita bahwa Oma Rita sudah mulai pikun, ngomongnya sering ngaco. Sudah makan, bilang belum makan. Tapi selama ngobrol empat mata dengan Oma Rita, Friska menyimpulkan semua itu tidak benar. Friska lebih percaya pada omongan Oma Rita daripada Ci Ranti atau penghuni lain rumah itu. Tapi Friska menyimpan rapat semua rahasia ini agar semua berjalan lancar. Ia bisa sering berkunjung dan ngobrol dengan Oma Rita tanpa mendapat reaksi negatif dari Ci Ranti sekeluarga. Mereka tahu Friska memang relawan organisasi sosial yang sering melakukan banyak aktivitas sosial.

Mereka juga tahu Friska sudah tidak memiliki kakek dan nenek dari pihak Mama maupun Papa. Kunjungan rutin ke Oma Rita hanyalah kerinduan sosok seorang cucu kepada neneknya.

(72)

72 Ketika Metta Memilih

Friska saja,” kata Oma Rita.

“Terima kasih Oma.... Niat Friska main ke sini dengan dengan niat tulus, Oma tidak perlu kasih apa-apa ke Friska,” kata Friska dengan mata berkaca-kaca.

“Friska harus ambil, Oma tulus memberikan ini kepada Friska. Friska sudah Oma anggap cucu Oma sendiri,” lanjut Oma.

Akhirnya Friska terpaksa mengambilnya karena Oma Rita bersikukuh memberikan cincin itu ke Friska. Daripada nanti terdengar Imah lalu dilaporkan ke Ci Ranti, bisa gawat. Bisa-bisa Friska sudah tidak boleh ke sini, Oma juga diomelin. Cincin emas tanpa surat itu akhirnya Friska jual dengan bantuan teman yang memiliki toko emas. Uangnya Friska belikan makanan yang diinginkan Oma setiap kali Friska datang. Juga sebagian disumbangkan kepada yang membutuhkan atas nama Oma Rita.

(73)

masing-masing. Duh... Oma, sungguh malang nasibmu.

***

“Tok. Tok. Tok,” terdengar ketukan keras di pintu kamar Friska. Mata Friska masih ngantuk, semalam ia mengerjakan tugas sampai pukul setengah dua belas.

“Ada apa Ma?” tanya Friska. “Ini kan hari Minggu? Friska masih ngantuk Ma,” jawab Friska.

“Itu, di rumah Oma Rita ramai sekali. Kata tukang sayur, Oma Rita meninggal,” teriak Mama.

“Sabbe sangkhara anicca,” Friska seolah terbang dari kasurnya. Langsung cuci muka, ganti pakaian, dan bergegas ke rumah Oma.

(74)

74 Ketika Metta Memilih

Friska menyentuh bahu Ci Ranti. “Sudahlah Ci, Oma sudah tenang sekarang. Oma sudah terbebas dari penderitaan.”

Ci Ranti menatap wajah Friska. “Maafkan Oma Rita ya Friska?”

“Tentu Ci....”

Serombongan famili Ci Ranti datang. Ci Ranti kembali menyambut mereka dengan ledakan tangis. “Mama sudah tidak ada...,” tangis histeris Ci Ranti kembali meledak.

Friska segera pamit. “Dunia ini memang panggung sandiwara. Ketika Oma masih ada, mereka tidak memperlakukannya secara baik. Tapi ketika telah meninggal dan di hadapan banyak pelayat, Ci Ranti menangis histeris, menceritakan penyesalannya belum sempat membahagiakan mamanya. Basi banget,” batin Friska.

(75)

“Semoga dengan timbunan jasa kebaikannya, Oma Rita terlahir di alam bahagia. Sadhu. Sadhu. Sadhu,” ucap Friska.

Catatan:

Menyuapkan sebutir bakso dengan penuh kasih sayang kepada orangtua yang masih hidup, jauh lebih baik daripada satu meja penuh hidangan mewah di altar sembahyang.

(76)

“Gila... nama Lockyanto muncul lagi. Sakti banget kakek itu,” ujar seorang tukang becak. “Dua bulan lalu dapat hadiah motor dari undian mi instan, sebulan lalu dapat hadiah kulkas dari undian sabun, sekarang dapat mesin cuci dari undian deterjen,” imbuh tukang becak yang mangkal di depan gerbang kompleks perumahan.

(77)

Temannya yang sesama penarik becak, berjalan mendekat dan ikut membaca selebaran yang tertempel di gerobak rokok itu.

“Betul Jay. Kayaknya dia pakai dukun tuh...,” kata tukang becak yang lain. “Kalau tahu tempat dukunnya, pasti saya samperin. Saya mau minta jimat keberuntungan, biar nama saya juga bisa muncul di kertas pengumuman pemenang undian seperti ini,” lanjutnya penuh semangat.

“Ya, nggak usah capek-capek narik becak, tinggal pasang togel atau kirim undian,” lanjut tukang becak yang dipanggil Jay oleh temannya itu.

Ibu tua pemilik gerobak rokok melongokkan kepala dari gerobak rokoknya, “Hei..., kalian berdua jangan asal fitnah ya? Kalian anak kemarin sore. Mangkal di sini baru seumur jagung, asal njeplak saja,” kata ibu tua pemilik gerobak rokok agak sewot.

“Mulut kamu harus disekolahin tuh.... Jangan sembarangan bilang Kakek Lockyanto pakai dukun, pakai jimat!” tambahnya.

(78)

78 Ketika Metta Memilih

kirim undian, nggak pernah dapet hadiah. Apa namanya kalau bukan pakai dukun atau pakai jimat keberuntungan?” kilah Si Jay.

Seorang anak laki-laki berseragam SD yang sedari tadi berdiri menanti angkot ikut mendengarkan percakapan dua tukang becak dan ibu tua pemilik gerobak rokok.

“Kalau kamu mau tahu cerita sebenarnya tentang Kakek Lockyanto, tanya kakek anak ini!” kata ibu tua pemilik gerobak rokok sambil menunjuk.

“Lho emangnya siapa anak ini? Cucu si kakek atau cucu dukun?” tanya Si Jay.

“Masih aja asal njeplak! Kakek anak itu salah satu orang lama di kompleks ini. Pasti dia tahu semua cerita tentang Kakek Lockyanto!” kata ibu tua pemilik gerobak rokok.

***

(79)

“Kenal, memang kenapa?” tanya Kakek Adi.

“Tadi siang waktu akan berangkat ke sekolah, Adi denger pembicaraan dua tukang becak dan ibu pemilik gerobak rokok di dekat gerbang kompleks perumahan. Kata tukang becak, Kakek Lockyanto itu sakti, sering dapet hadiah undian. Mungkin Kakek Lockyanto pakai jimat dari dukun. Si ibu marah dan bilang jangan asal fitnah. Kalau ingin tahu cerita sebenarnya tentang Kakek Lockyanto, tanya kakek Adi,” Adi menceritakan peristiwa tadi siang.

“Oh ya Kek, kok ibu itu kenal Adi dan kakek?” tanya Adi penasaran.

“Oh itu Ibu Kokom. Dulu ia jualan rokok di dalam kompleks, letaknya di ujung sana,” Kakek Adi menunjuk ke arah barat. “Waktu Adi masih kecil, saat sore, Kakek sering menggendong Adi keliling kompleks. Pas lewat gerobak rokok Ibu Kokom, Adi minta dibelikan permen atau makanan ringan lain. Dari sanalah Ibu Kokom kenal kita berdua. Namun karena sepi pembeli, akhirnya Ibu Kokom pindah jualan ke depan, dekat gerbang kompleks perumahan,” kata Kakek sambil menerawang jauh.

(80)

80 Ketika Metta Memilih

“Di dunia ini, banyak orang seperti dua tukang becak tadi. Susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah. Melihat orang-orang mendapat kebahagiaan, jadi iri lalu menebar fitnah. Dalam ajaran Buddha, kamma-vipaka atau akibat perbuatan kita, bukan jatuh dari langit secara tiba-tiba. Adi tentu pernah mendengar ungkapan: apa yang kita tanam, itu yang akan kita petik. Pernah denger belum?” tanya Kakek Adi.

“Pernah Kek. Guru sekolah minggu juga pernah bilang seperti itu,” kata Adi.

“Nah... Kakek Lockyanto adalah orang yang sangat rajin menanam kebajikan. Beliau ini dokter. Semasa masih sehat dan praktik, beliau tidak pernah memasang tarif kepada pasiennya. Jika mampu, silakan bayar seikhlasnya. Jika tidak mampu, tak usah bayar. Bahkan obat pun diberikan secara gratis,” cerita Kakek Adi.

(81)

yang sering memberikan makanan buat mereka. Rumah orang pernah kemalingan, tapi rumah mereka aman-aman saja,” Kakek berhenti sejenak.

“Kakek ingat dulu waktu musim kemarau panjang. Pemerintah sudah mencoba hujan buatan. Cuaca sudah mendung beberapa hari, tapi di daerah sini tidak juga turun hujan. Siang itu cuaca mulai mendung, lalu kami warga kompleks dikejutkan dengan teriakan adanya kebakaran. Di blok tempat Kakek Lockyanto tinggal terjadi kebakaran. Warga mencoba memadamkan api sebisanya dan ada yang menelepon dinas pemadam kebakaran. Ajaibnya siang itu turun hujan deras. Berkat hujan deras dan bantuan dari mobil pemadam kebakaran, dua rumah menjelang rumah Kakek Lockyanto, api akhirnya berhasil dipadamkan. Rumah Kakek Lockyanto tidak terbakar.”

“Begitu juga saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Saat itu banyak rumah orang keturunan Tionghoa dijarah, rumah mereka juga aman dari penjarahan karena dijaga warga sekitar,” cerita Kakek Adi.

(82)

82 Ketika Metta Memilih

bohong yang mengarah ke fitnah, itu menanam karma buruk. Meski tidak diucapkan pun, jika kita berpikir buruk tentang seseorang, kita menanam karma buruk lewat pikiran. Segala keberuntungan yang diterima Kakek Lockyanto bukanlah hal yang ajaib. Semua itu proses yang alami. Ibarat petani, Kakek Lockyanto telah banyak menanam padi, sekarang padinya sudah menguning, tinggal memanen. Dan... hebatnya, kebajikan Kakek Lockyanto tidak pernah berhenti. Beliau selalu ingat untuk menanam kebajikan setiap saat,” Kakek Adi mengisahkan.

“Kalau diperhatikan, nama awal beliau: Locky, mirip dengan kata Lucky, yang dalam bahasa Indonesianya berarti keberuntungan. Tapi itu bukanlah rahasia keberuntungan beliau. Jika ingin punya jimat keberuntungan seperti Kakek Lockyanto, caranya mudah saja. Selalu melakukan kebajikan, itulah rahasia jimat keberuntungan,” Kakek Adi mengakhiri ceritanya.

***

Catatan:

(83)

Bangunan ini besar dan kokoh, halamannya luas, lantainya cukup bersih. Jika ini rumah, pasti akan jadi tempat tinggal yang menyenangkan. Sayangnya ini adalah panti wreda atau orang awam lebih sering menyebutnya panti jompo. Tempat para lansia yang “dibuang” oleh keluarganya. Bisa jadi karena anak yang tak mau repot “mengurus” orangtuanya yang sudah tak berdaya atau mereka punya cukup banyak uang tapi tinggal sendirian tanpa sanak saudara. Di sinilah mereka berkumpul.

(84)

84 Ketika Metta Memilih

Anak-anak bukannya sama sekali tak mengurus mereka sampai mereka terpaksa tinggal di sini. Secara rutin, anak-anak dan cucu penghuni panti wreda masih mengunjungi penghuni panti, kecuali mereka yang sudah tak punya saudara. Biaya tinggal di panti ini sebenarnya tak bisa dibilang murah. Tapi bagi anak yang tak mau direpotkan untuk mengurus orangtuanya, tempat ini menawarkan solusi.

Aku terkesiap, melihat sosok seorang bapak yang duduk di kursi roda sambil melamun memandangi lapangan rumput di depannya. Aku memang sudah sekitar 10 tahun tidak pernah melihat sosok itu, tapi aku yakin kalau orang itu adalah Pak Nico, mantan atasanku.

Sejak pensiun, Pak Nico bersama anak dan istrinya pindah ke Surabaya dan membuka usaha kuliner di sana. Sejak itu, tak ada info lagi tentang beliau. Harus kuakui, aku juga tak ingin tahu banyak tentang Pak Nico.

(85)

Setelah beliau pensiun, kami mengadakan pesta kecil, sarapan nasi kuning bersama.

Hanya sebagian kecil yang merasa kehilangan saat Pak Nico pensiun. Ya orang-orang ini adalah para penjilat dan manusia bermuka dua. Mereka pandai berbicara yang manis-manis dan pura-pura membela apa pun yang jadi kebijakan Pak Nico, meski terkadang di balik itu mereka juga mencibir apa yang dilakukan Pak Nico. Tapi permainan mereka halus, Pak Nico yang memang gila hormat dan mabuk pujian, tak menyadari serigala berbulu domba di sekitarnya. Siapa yang terang-terangan tidak setuju pada Pak Nico, siap-siap saja disingkirkan. Sedikit saja berbuat salah, langsung pecat.

Ada dua hal yang harus jadi perhatian karyawan yang tidak suka pada Pak Nico. Pertama, jangan tunjukkan rasa tidak suka itu di depan Pak Nico, kedua, jangan sampai Anda berselisih paham dengan para serigala berbulu domba atau para penjilat Pak Nico. Jika itu terjadi, Anda bersiap saja untuk dikeluarkan. Alasan bisa dicari, alasan ke pimpinan pusat bisa dibuat, tak ada gunanya Anda membela diri. Pikirkan saja, apakah pimpinan di kantor pusat akan percaya Anda yang seorang staf atau percaya ucapan seorang pimpinan cabang?

(86)

86 Ketika Metta Memilih

***

“Bu Dita, ayo kita ke ruangan aula,” Suster Anna mengembalikanku ke alam nyata dari lamunan panjangku.

“Eh... ya. Suster, kalau yang duduk di kursi roda itu siapa?” Aku berusaha meyakinkan penglihatanku. Aku merasa senang ngobrol dengan Suster Anna, padahal aku baru mengenalnya saat bertemu beliau di kantor panti wreda tadi. Suster Anna sangat bersahaja dan sangat terbuka dengan pengunjung panti.

“Oh... itu Pak Nico,” jawab Suster Anna dan tetap berdiri di sisiku. “Ibu Dita kenal dengan Pak Nico?” tanya Suster Anna.

“Ya, saya kenal. Dia mantan bos saya dulu,” kataku singkat. “Bagaimana beliau bisa sampai ke sini?” tanyaku.

(87)

“Beliau terkena post power syndrome. Tak bisa terima kalau ia sekarang sudah tidak punya kuasa lagi, sudah tidak sehebat dan sekaya dulu. Penghuni lain hanya perlu sekitar 1-2 bulan untuk bisa berdamai dengan keadaan, tapi beliau susah. Hingga kini, beliau sudah setahun tinggal di sini, tetap belum bisa menerima kenyataan. Kalau Bu Dita perhatikan, semua Opa dan Oma di sini rambutnya beruban, hanya Pak Nico yang rambutnya hitam semua. Jika uban mulai terlihat banyak, beliau selalu minta rambutnya disemir hitam. Beliau sangat keras. Tidak mau dipanggil Opa Nico, maunya dipanggil Pak Nico. Dengan penghuni di sini juga tak ada yang akrab, selalu menyendiri. Yang lain sudah tidak mau dekat-dekat beliau karena susah berkomunikasi dan beliau emosional sekali,” lanjut Suster Anna.

“Ibu Dita mau ngobrol dengan Pak Nico?” tawar Suster Anna.

“Ah, nggak usah, Suster. Lain kali saja,” jawabku.

“Kalau begitu, mari kita ke aula. Acara segera akan dimulai,” ajak Suster Anna.

***

(88)

88 Ketika Metta Memilih

ini memberi pelajaran hidup yang sangat berarti. Setelah kemarin kami sekeluarga main ke Jatim Park, seharusnya jadwal hari ini hanya main ke mal di Surabaya. Tapi Ci Sherly memaksaku ikut kunjungan kasih ke panti wreda. Jadi, meski berat hati, aku terpaksa ikut. Suami dan putra-putriku ke mal bersama suami dan anak-anak Ci Sherly.

“Ci, aku capek dan ngantuk nih. Aku mau merem sepanjang perjalanan ke rumah Ci Sherly,” kataku pada Ci Sherly yang menyetir. “Sorry ya Cici-Cici, aku mau ngaso sejenak, soalnya kurang tidur,” kataku kepada ibu-ibu yang duduk di kursi tengah. “Silakan,” jawab mereka serempak.

Baru sekitar 15 menit menikmati istirahatku, bunyi BBM masuk berkali-kali menggangguku, ditambah PING!!! beberapa kali. Aku segera melihat BB dan membaca pesan yang masuk.

“Dita, ada kabar duka yang mengejutkan. Pak Pimanto Gerrard bersama istri dan ketiga anaknya meninggal dunia dalam tabrakan. Mobil sedan mereka masuk ke bawah truk. Mobilnya hancur dan korban nyaris tak bisa dikenali,” begitu bunyi BBM Rina, mantan rekan kerjaku yang tinggal di Jakarta.

(89)

Pak Nico, mantan bosku, yang tinggal di panti wreda, kedua Pak Pimanto Gerrard sekeluarga meninggal dalam kecelakaan tragis.

Ci Sherly dan ibu-ibu yang duduk di bangku tengah bertanya, “Ada apa, Dit?” Aku menjawab, “Mantan teman sekerja saya bersama anak-anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan.”

Suasana dalam mobil jadi hening.

***

Dunia ini penuh ketidakpastian dan kejutan. Siapa pun tak akan menyangka nasib Pak Nico yang dulu sangat kaya dan jabatan tinggi akhirnya terserang stroke, depresi berat, dan jadi penghuni panti wreda. Begitu pula Pak Pimanto Gerrard, “tangan kanan” Pak Nico yang menemui ajal dengan sangat tragis. Bukan sendiri, tapi sekeluarga.

(90)

90 Ketika Metta Memilih

Dulu, ketika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, aku sangat cepat mengumpat dan menyumpahi orang yang aku anggap penyebab masalah itu. Aku sumpahi semoga ia celaka.

Aku jadi teringat Sutta Nipata 148: “Jangan menipu orang lain, atau menghina siapa saja, jangan karena marah dan benci mengharap orang lain celaka.” Kalimat yang sama kita temukan juga di Karaniya Metta Sutta.

Dulu, aku juga sering mempertanyakan kebenaran Dhamma, mengapa orang yang banyak berbuat kejahatan tapi kok jalan hidupnya mulus-mulus saja. Ternyata, hukum sebab-akibat selalu bekerja, hanya kita tidak pernah tahu kapan berbuahnya karena ditentukan oleh banyak faktor. Orang awam menyebutnya “Tuhan tidak pernah tidur” atau “Roda selalu berputar”.

(91)

“David, loe orang baru di sini, jangan macam-macam ya! Kalau loe masih coba deketin Debby, loe bakal tahu siapa gue!” ancam Max.

Sehabis melontarkan ancaman ke David, Max langsung melangkah pergi ke ruang kerjanya.

Pagi itu, sekitar pukul 07.15 WIB, suasana kantor masih sepi.

(92)

92 Ketika Metta Memilih

David duduk termenung sendiri. Tidak tahu harus berbuat apa. Mendatangi Max lalu minta penjelasan? Itu bukan ide baik. Max tampaknya bukan sedang bercanda. David bisa melihat tajamnya tatapan mata Max saat mengucapkan ancaman itu. Kalimat itu diucapkan dengan sangat tegas. Pasti bukan main-main atau lelucon April Mop. Sekarang baru bulan Maret.

Praktis David tidak konsen untuk mengerjakan tugasnya hari ini. Tadi David sengaja berangkat pagi-pagi dari hotel tempatnya menginap agar bisa bekerja lebih pagi, sebelum karyawan lain datang. David ingin kedua belah pihak tidak saling mengganggu. David bekerja tanpa terganggu karyawan lain dan karyawan lain pun tidak lama terganggu saat David memperbaiki jaringan komputer di kantor ini.

Sebenarnya David ditugaskan untuk mengajarkan program baru yang akan mulai dipakai Mei tahun ini. Tapi karena David juga mengerti tentang komputer, ia dapat tugas tambahan memperbaiki kerusakan printer, komputer yang sering nge-hang, dan lain-lain. Sebenarnya urusan IT bukan urusan David, namun bagian IT di kantor cabang Jakarta ini sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan motor, David diminta bantu-bantu.

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian pada sel surya yang digunakan, hasil pembacaan sensor pada lintasan hitam maupun putih, pengujian kecepatan dari mobile

Plagiat.. berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar mengajar, karena tujuan setiap proses belajar megajar adalah diperolehnya hasil belajar yang optimal. Hal ini

- Bahwa terdakwa selaku Ketua Kelompok Tani Sariah mengetahui adanya bantuan sosial tersebut dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Simalungun, dan

Air pemadam kebakaran yang terkontaminasi harus dibuang sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku.. Tindakan

Interaksi antara tingkat energi dan protein dalam ran- sum terhadap konsumsi ransum berpengaruh nyata (P < 0.01). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.. Hal

Pada bagian ini akan diberikan analisis terkait hasil yang didapatkan dalam eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan algoritma Simulated Annealing dan Simulated

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar yang

Saudara ditugasi untuk menjadi ketua tim dalam tugas audit operasional atas proyek pembangunan gedung Kantor Gubernur Propinsi PQR. Gedung proyek tersebut dibangun di atas tanah