DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
2) Al-Hikdu atau dengki
1) Al-Hasad.
Hakikat al-hasad, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t : 429-430) adalah sikap tidak senang terhadap ni’mat Allah atas saudaranya (orang lain) kemudian ia merasa senang atas hilangnya ni’mat dari saudara tersebut. Sikap dan perilaku hasad tersebut tergolong perilaku dan sikap yang buruk dan juga merupakan penyakit hati yang harus dihindari. Cara memutus perilaku tercela seperti itu dari diri seseorang adalah melalui jalan tasawuf. Perilaku tercela seperti hasad ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
َبَطَلْْا ُراهنلا ُلُكَْتَ اَمَك يتاَنَسَلْْا ُلُكَْيَ ُدَسَْلَْا
“Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Ibnu Majah).2) Al-Hikdu atau dengki
Al-Hikdu, adalah sikap dengki. Artinya, sikap yang didalamnya terdapat rasa memusuhi, benci dan memutus kebahagiaan orang lain. Sifat ini adalah sifat yang tercela yang timbul akibat perilaku hasud, meninggalkan hubungan kekrabatan dan mencari keburukan orang lain. Sifat ini juga sangat berbahaya dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga maupun kemasyarakatan, karena tidak ada orang yang suka dengan seseorang yang berkarakter seperti ini (Al-Kurdi, t.t.: 431).
3) Al-Kibr
Al-Kibr, adalah diri merasa besar dan menganggap orang lain dibawahnya. Padahal dalam ajaran Islam sikap dan perilaku sombong itu termasuk perbuatan iblis, sebagaimana Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t., 431) bahwa sesungguhnya sombong itu awal dari perbuatan maksiat kepada Allah. Sedangkan kata al-kibr terambil dari kata takabur, berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru artinya sombong atau membanggakan diri. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab, kecantikan, dan kekayaan. Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari (Samarqandi, 1986: 501). Lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 431) mengatakan bahwa al-kibr semakna dengan ta`azum, yakni menumbuhkan keagungan dan kebesaran dirinya atas orang lain. Sehubugan
dengan perilaku tercela, secara tegas Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi merujuk terhadap sabda Nabi Saw.:
ٍْبيك ْنيم ٍةهرَذ ُلاَقْ ثيم يهيبْلَ ق يفِ َناَك ْنَم َةهنَْلْا ُلُخْدَي لا
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”Agama Islam mengajarkan agar manusia berakhlak mulia atau berkarakter luhur. Salah satu akhlak atau karakter tercela yang harus dijauhi oleh umat Islam adalah sikap takabur atau sombong. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya di atas orang lain.
4) Al-‘Ujub
Al-‘Ujub, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 432) adalah kesombongan dalam diri dengan rasa paling sempurna dalam segi ilmu dan amal. Sedangkan menurut Bisyr Al-Hafi mendefenisikan pengertian ‘ujub adalah “menganggap hanya amalanku saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Pada era sekarang barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ‘ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsauri, mengatakan bahwa ‘ujub adalah perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebaik amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wira’i dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.
5) Al-Bakhil
Al-Bakhil, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah enggan memberi kepada orang lain khawatir hartanya berkurang (Al-Kurdi, t.t.: 432). Untuk memperkuat penjelasan tentang al-bakhil ini, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengutip firman Allah dalam QS. Ali Imron: 180;
َش َوُه ْلَب ْمَُلَ اًْيرَخ َوُه يهيلْضَف ْنيم ُهللَّا ُمُهَتََآ اَيبِ َنوُلَخْبَ ي َنييذهلا هَبََسَْيَ َلاَو
ْمَُلَ ٌّ ر
31 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat”.
Kata al-bahil banyak diterjemahkan banyak orang dengan istilah kikir, artinya menahan untuk memberi sesuatu yang semestinya diberikan. Seperti pernyataan Al-Jurjani (1988: 42) mendefinisikan bahwa bakhil dengan menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada diri orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau dicegah, mislanya uang, makanan, minuman, dan lain-lain. Sifat ini merupakan sifat seseorang yang amat tercela dan hina, karenan ia tidak akan mengeluarkan harta yang wajib dikeluarkan baik dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga atau menurut ketentuan perikemanusiaan seperti sedekah, infaq, dan hadiah.
6) Ar-Riya’
Riya’ secara bahasa adalah melihat karena ketika berbuat, selalu berusaha agar dilihat dan perhatikan orang lain untuk memperoleh pujian. Sedangkan secara istilah adalah sikap atau tindakan seseorang memperlihatkan amal perbuatan serta ibadah kepada orang lain. Denga arti lain bahwa riya’ adalah melakukan amal ibadah dengan niat karena selain Allah, ingin memperoleh pujian orang lain. Dalam konteks ini, seseorang dalam melakukan amal ibadah diperlukan niat karena Allah bukan karena orang atau manusia. Niat yang hanya karena Allah adalah sangat menentukan kadar iman seseorang dalam melakukan amal ibadah atau pekerjaan, agar amalnya memperoleh ridla Allah. Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang artinya; "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan. " (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 434) memperkuat pernyataan ini dengan mengutip hadits riwayat Ibnu Jurairin at-Thabari bahwa “Allah tidak menerima amal seseorang dimana dalam amal tersebut terdapat riya’ walaupun sebutir dzarrah”. Artinya sikap dan perilaku seseorang yang mengedepankan sifat riya’ merupakan suatu amal yang dicela oleh agama, karena ia merupakan akhlak atau karakter yang harus dijauhi oleh umat Islam.
Riya’ telah dikategorikan perbuatan syirik kecil; demikian ini ungkapan yang dikemukakan Rasulullah Saw.:
هنيإ
َفَوْخَأ
اَم
َخَأ
ُفا
ْمُكْيَلَع
ُكْرِّيشلا
،ُرَغْصَلأْا
اْوُلاَق
اَمَو
ْرِّيشلا
ُك
ُرَغْصَلأْا
َي
َلْوُسَر
؟يالله
َلاَق
،ُءَيِّيرلا
ُلْوُقَ ي
ُالله
هزَع
هلَجَو
َمْوَ ي
يةَماَييقْلا
اْوُ بَهْذا
َليإ
ْييذهلا
َرُ ت
َنْوُءا
يفِ
اَيْ نُّدلا
ْلَه
َنْوُديَتَ
ُمُهَدْنيع
َءاَزَْلْا
ور(
ها
)دحمأ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah SAW?”, Beliau menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat, terhadap mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?” (HR. Ahmad).
Oleh karenanya, ada tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat, Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari hadits riwayat Imam Bukhari:
َلاَقَ ف َمهلَسَو يهْيَلَع ٌالله ىهلَص هيبهنلا َلَأَس اًّييباَرْعَأ هنَأ ،ُهْنَع ُالله َييضَر ىَسْوُم ْيبَأ ْنَع
ُليتاَقُ ي ُلُجهرلاَو ،ُهُنا َكَم ىَُيريل ُليتاَقُ ي ُلُجهرلاَو ،ًةهييَحم ُليتاَقُ ي ُلُجهرلا ،يالله َلْوُسَر َي
اَيْلُعْلا َييه يالله َةَميلَك َن ْوُكَتيل َلَتاَق ْنَم َمهلَسَو يهْيَلَع ُالله ىهلَص ُّيب هنلا َلاَقَ ف ،يرْكِّيذليل
يالله يلْييبَس ْيفِ َوُهَ ف.
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah Saw. menjawab “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari).33 Agar seseorang bisa menghindari sifat dan perilaku yang mengandung riya’ maka diharapakan mengikuti petunjuk Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa seseorang:
اَذيإ ُطَشْنَ يَو ،ُهَد ْحَو َناَك اَذيإ ُلُسْكَي ،ٌتاَمَلاَع ْييئاَرُمْليل ،ُهَهْجَو ُالله َمهرَك ٌّ ييلَع َلاَق
همُذ اَذيإ ُصُقْ نَ يَو ، َنَْثُأ اَذيإ يلَمَعْلا يفِ ُدْييزَيَو ،يساهنلا يفِ َناَك
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan.”7) Al-Ghadlab
Ghadhab secara harfiah berarti “marah” atau “pemarah”. Sifat pemarah dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. sifat ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu marah”.
Islam memberikan rambu-rambu cara menghindari sifat ghadhab, antara lain: merenungkan dan memahami ayat Al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah; munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari Allah; takut akan murka Allah; merenungkan dan memahami dampak negatif ghadhab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam; membayangkan dan merenungkan paras buruk orang lain yang sedang marah. Selanjutnya membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri; dan memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Oleh karena itu, orang yang beriman hendaknya bisa menghindari sifat-sifat ghadlab, antara lain:
a) Merenungkan dan memahami ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah.
b) Munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari Allah.
d) Merenungkan dan memahami dampak negatif gadab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam.
e) Membayangkan paras buruk orang lain yang sedang marah dan selanjutny membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri.
f) Memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Rasulullah Saw. mengajarkan agar seseorang melakukan hal-hal berikut:
a) Mohon perlindungan kepada Allah dari gadlab. b) Duduklah bila kemarahan belum reda.
c) Apabila belum merasa reda, berbaringlah. Berbaring di tanah dimaksudkan agar manusia merasakan bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak memiliki daya upaya kecuali atas kehendak-Nya.
d) Apabila belum reda, berwudu atau mandilah. Hal ini dikarenakan emosi berasal dari api dan api akan padam jika disiram dengan air atau tanah (Zubaidi, 2016: 2001).
8) Al-Ghibah
Dalam bahasa Indonesia ghibah diartikan menggunjing. Secara bahasa ghibah artinya tidak ada. Artinya, menyebutkan orang lain yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak senang oleh yang bersangkutan, namun jika keburukan yang disebut itu tidak tebukti atau tidak ada pada orang yang bersangkutan itu disebut dengan istilah buhtan atau kebohongan besar. Dengan demikian walaupun keburukan yang diungkap oleh si penggunjing memang disandang oleh yang di pergunjingkan maka tetaplah dilarang (Sanusi, 2012: 58-59).
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, ucapan, perbuatan, agama, keduniaan, hingga pada pakaian, rumah atau kendaraannya (Al-Kurdi, t.t.: 436).
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah ra. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya
35 yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Saw. lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah”
Termasuk contoh ghibah adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan. Larangan perilaku tercela ini merujuk pad firman Allah dalam QS. al-Hujurat; 12;