1
TASAWUF DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik
Kitab Tanw
ĩ
rul Qulûb
di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
Penulis:
Dr. H. Subaidi, M.Pd
Dr. H. Barowi, M.Ag
Pengantar:
Prof. Dr. H. Muhtarom
(Direktur Pascasarjana Universitas
Wahid Hasyim Semarang)
Editor :
3
TASAWUF DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik
Kitab Tanw
ĩ
rul Qulûb
di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
Penulis:
Dr. H. Subaidi, M.Pd
Dr. H. Barowi, M.Ag
Pengantar:
Prof. Dr. H. Muhtarom
(Direktur Pascasarjana Universitas
Wahid Hasyim Semarang)
Editor :
TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara
Hak cipta dilindungi undang-undang
Penulis : Subaidi, Barowi Editor : Samidi Khalim Pengantar : Muhtarom Layout : ………. Desain Cover : ………..
TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara Diterbitkan oleh……….. Cetakan I, Desember 2018 viii + 111 hlm., 17 x 24 cm. ISBN : 978-602-364-585-5 Pencetak: ………. Jl……….. Telp.:………. Email:………..
Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari penulis
5
PRAKATA
ْيِحرَّلا ِن ْحّْرلا الله م ْسِب
َ ْيِمَل اَعْلا ِّبَر ِ ِلِل ُدْمَحْلَا
،
ِنْيّلداَو اَيْنُّلدا ِرْوُمُا َلََع ُ ْيِعَت ْ سَن ِهِبَو
،
مَلا َّسلاَو ُةَلا َّصلاَو
َع
َ َ َلَ
َنَِدِّي
ٍدَّمَحُم
َ ْيِلـ ََْرـُلمْا ِماَمِاَو ِءاَيـِبْن َلَا ِدِّي َ َ
ُدْعَب اَّمَأ ، َ ْيِعَ ْجَْا ِهِبْ َصََو ِ ِلَِا َلََعَو
Teriring puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan ke pangkuan Nabi Muhammad Saw., keluarga, para sahabat dan umatnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita, Amin.
Syukur Alhamdulillah, buku berjudul:TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara ini telah selesai penulisannya. Penulis berharap semoga buku ini banyak manfaat bagi pembaca secara umum, khususnya santri, pelajar dan mahasiswa, Amin….
Kritik dan saran dari semua pihak selalu diharapkan demi perbaikan buku ini, dan disampaikan banyak terimakasih.
Jepara, Desember 2018 `al-Faqir,
7
PENGANTAR EDITOR
Buku yang ditulis Dr. H. Subaidi, M.Pd ini merupakan hasil riset di Madrasah Aliyah Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Sebuah upaya untuk menganalisis ajaran tasawuf antara teks dan konteks. Teks yang termaktub dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (sufi dari Irak yang hidup pada abad ke-13) dijadikan sebagai pijakan untuk melihat praktik pendidikan karakter yang diaplikasikan oleh MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi merupakan Ulama Besar dan guru Thariqat al Qadiriyah, thariqat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani dari Irak (1077-1166 M). Amin Al-Kurdi dalam fikihnya bermadzab Syafi’i, dan juga menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang lain, seperti ilmu hadis dan tafsir. Pada dasarnya pemikiran Amin Al-Kurdi memadukan tiga prinsip keislaman, yaitu: akidah, fikih dan tasawuf. Dalam kitab Tanwĩrul Qulûb, Syaikh Amin Al-Kurdi membagi kajiannya menjadi tiga bagian besar yaitu; bidang akidah diniyyah (akidah keagamaan); bidang fikih yang mengikuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i; dan bidang tasawuf yang berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al-Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik itu dalil aqli maupun dalil naqli.
MA Matholi’ul Huda yang berada di Jl. Raya Desa Bugel, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara ini berdiri sejak tahun 1943, namun secara riil beroperasi menerima murid pada tahun 1965. Sebagai lembaga pendidikan Islam telah menerapkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya dalam setiap mata pelajaran dan aktivitas. Pendidikan akhlak yang identik dengan pendidikan karakter menjadi salah satu misi yang diemban oleh MA Matholi’ul Huda. Karakter atau akhlak merupakan tabiat, watak, atau sifat-sifat kejiwaan seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Oleh sebab itu MA Matholiul Huda Bugel Jepara ini bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang menagrah pada mencapai pembentukan karakter (akhlak) anak-anak didiknya secara utuh, terpadu dan seimbang.
Sistem pendidikan yang diterapkan di MA Matholi’ul Huda Bugel inilah yang kemudian dikaji oleh Saudara Dr. Subaidi, M.Pd. Melalui kacamata tasawuf, khususnya ajaran Tasawuf Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam Kitab Tanwĩrul Qulûb. Berdasarkan penelitian Dr. Subaidi, M.Pd, setidaknya ada 34 ajaran tasawuf Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi yang telah diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara.
Adapun nilai-nilai sufistik dalam kitab Tanwĩrul Qulûb yang sudah diaplikasikan dalam KBM di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara melalui model pembiasaan membaca kalimat thayyibah, melantunkan tilawah
ayat-ayat al-Quran, do’a dan dzikir. Pembentukan karakter kepribadian diri melalui pembiasaan disiplin, jujur, dan tanggungjawab dalam semua aktivitas pembelajaran. Pembentukan karakter sosial di MA Matholi’ul Huda ini melalui budaya sikap toleransi, peduli pada lingkungan dan sesama, sikap demokratis.
Masih banyak lagi nilai-nilai sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi yang sudah diterapkan sebagai pendidikan karakter di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Maka untuk lebih jelasnya bagaimana praktik pendidikan karakter tersebut, silahkan pembaca menikmati sajian buku ini; “Tasawuf dan Pendidikan Karakter”.
Semarang, 10 Desember 2018 Editor,
Samidi Khalim
9
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... v Daftar Isi ... vi BAB I Pendahuluan ………... 1 BAB IISufisme dan Pendidikan Karakter ……….. 7
BAB III
Mengenal Syaikh Amin al-Kurdi dan Kitab Tanwĩrul Qulûb ……… 15
BAB IV
Ajaran Tasawuf Dan Pengembangan Pendidikan Karakter ………... 19
BAB V
Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Dalam Pendidikan Karakter di
MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara ………... 88
BAB VI
Penutup ………... 93
Daftar Pustaka ………... 95 Biografi Penulis ……….. 101
BAB I
PENDAHULUAN
emajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi oleh kematangan jiwa adalah bagaikan granat hidup di tangan anak-anak yang akan membahayakan kelangsungan hidup (Madjid, 2000: 582). Disisi lain diungkapkan, kemajuan dan kemakmuran pada masyarakat industri, ternyata menimbulkan kemiskinan baru, yaitu kemiskinan akhlak Islam dan spiritualitas. Hal demikian merupakan gejala menarik, bukan saja yang menimpa pada masyarakat maju dan rasional, namun manakala ketenangan batin sudah lenyap, maka siapa pun akan tertarik dan rindu untuk mencari ketenangan yang tak sebatas kesenangan hedonism (Umar, 2000: 5). Oleh karena itu, akhlak Islami berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah kepada dekadensi moral, sehingga ia akan menghantarkan manusia pada tercapainya keunggulan moral (Ulfah & Istiyani, 2016: 95-96).
Pendidikan akhlak Islami dalam konteks pendidikan Islam adalah upaya pendewasaan jiwa peserta didik dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah SWT. Dalam berbagai referensi ilmiah, pendidikan akhlak Islam adalah merubah peserta didik dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari nalar yang belum tunduk kepada Allah menuju nalar yang patuh kepada syari’at, dari hati yang keras dan berkarat menuju hati yang lembut dan jernih. Merubah dari rohani yang jauh dari kesadaran kepada Allah lalai dalam beribadah dan kurang ikhlas melakukannya menuju rohani yang ma’rifat kepada Allah dan senantiasa berbakti kepada-Nya dengan tulus, dari tubuh yang kurang mentaati aturan syari’at menuju menjadi tubuh yang senantiasa memegang aturan-aturan syariat Allah (Hawwa, 2006: 69). Dengan demikian peserta didik akan terus meningkat kecerdasannya, sehingga secara berangsur-angsur akan terbentuk ahlak al-karimah pada jiwa mereka (Mufid, 2016: 255).
Untuk memberikan gambaran jawaban persoalan diatas maka keberadaan pendidikan Islami sangat diperlukan dalam upaya mengembangkan potensi individu dan membentuk generasi yang berakhlak mulia sebagaimana ajaran Islam. Dharma Kesuma mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah mengarah kepada busemata (Kesuma, 2011: 8).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka buku ini berupaya
11 membahas pemikiran Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitab Tanwĩrul Qulûb. Kitab tersebut berisi tentang ajaran sufisme yang dipengaruhi oleh para guru mursyid tariqah. Ajarannya menekankan pada pentingnya pembersihan hati (tashfiyatul qalb) dan perilaku terpuji (al-akhlaq al-mahmudah). Pendidikan sufistik yang berupaya membentuk perilaku terpuji ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia.
Pendidikan Karakter menurut Para Pakar
Sejauh penelusuran penulis telah ditemukan beberapa hasil penulisan yang mendeskripsikan tentang pendidikan karakter baik dalam buku-buku pendidikan karakter pada umumnya, maupun pendidikan karakter lainnya. Namun dalam kajian pustaka ini, penulis akan mendeskripsikan kajian pendidikan karakter hanya pada teks-teks keislaman yang terdapat dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Amin al Kurdi. Adapun beberapa penulisan dimaksud antara laian:
Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3 Nomor 2 November 2015 yang ditulis Rangga Sa’adillah S.A.P.,“Pendidikan Karakter Menurut KH.
Wahid Hasyim”. Penulisan ini mendeskripsikan tentang nilai-nilai
pendidikan karakter yang diajarkan KH. Abdul Wahid Hasyim sejalan dengan tujuan pendidikan karakter yakni membngun kehidupan kebangsaan yang multiKultural, membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikir baik, dan berlaku baik serta keteladanan baik, membangun sikap damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain (Sa’adillah, 2015: 275).
Jurnal Ta’dib Volume 16 No.2 (Desember 2013) yang ditulis oleh Deswita, “Konsep Pemikiran Ibnu Sina tentang Pendidikan Akhlak”. Penulisan ini menjelaskan tentang pendidikan akhlak yang mengintegrasikan nilai-nilai idealitas dengan pandangan pandangan pragmatis. Seperti pendidikan anak harus dimulai dengan pendidikan al-Qur’an tetapi dengan tidak memberatkan jasmani dan akal pikirannya. Dalam mengembangkan pendidikan akhlak, ia menggunakan metode diskusi dan pergaulan anak, Karen pendidikan akhlak anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada, pada dsarnya anak memiliki sifat meniru. Menurut Ibnu Sina sarana pendidikan akhlak, bisa lewat teks-teks Arab klasik atau syi’ir, karena lewat sarana ini banyak nilai kemuliaan yang terkait dengan akhlak mulia.
Penulisan Subaidi, buku berjudul “Abdul Wahab Asy-Sya’rani: Sufisme dan Pengembangan Pendidikan Karakter” tahun 2015. Dari penulisan ini menjelaskan tentang pemikiran Abdul Wahab Asy-Sya’rani terkait dengan pemikiran pendidikan akhlak-tasawuf yang mendorong terhadap pengembangan pendidikan karakter bangsa.
At-Tarbawi, jurnal kajian kependidikan Islam Volume 1 Nomor 1 Januari - Juni 2016, “Pendidikan Karakter berbasis Keagamaan (Studi Kasus di SDIT Nur Hidayah Surakarta)” yang ditulis oleh Fauzi Annur. Dalam tulisan ini mendeskripsikan tentang pendidikan karakter dilaksanakan dalam jalur proses pembelajaran dan diluar proses pembelajaran. Dalam jalur diluar proses pembelajaran, seperti halnya dalam program pembiasaan. Proram ini merupakan pembinaan yang didalamnya terdapat berbagai tema nilai-nilai karakter Islami. Untuk kelas-kelas tertentu sekali dalam seminggu dilakukan halaqah siswa dengan tujuan pengecekan terhadap siswa yang aktif dalam kegiatan peningkatan akhlak Islami tersebut.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya penulisan tentang pendidikan karakter sudah banyak dilakukan, namun analisanya belum pernah dilakukan untuk mengkaji pemikiran Syaikh Muhammad Amin Al- Kurdi dalam kitab Tanwĩrul Qulûb. Kajian-kajian yang ada juga belum spesifik menganalis teks salaf dan tema pendidikan. Oleh karena itu, maka penulisan ini merupakan sesuatu yang baru dalam memperluas kajian pendidikan karakter dalam kitab tersebut.
Alur Pemikiran Buku ini
1. Pendidikan Karakter
Pendidikan dapat diartikan sebagai pembimbingan secara berkelanjutan (Suhartono, 2008: 15). Makna tersebut menunjukkan bahwa manusia sepanjang hidup selalu membutuhkan bimbingan. Pendidikan adalah proses secara terus menerus dialami oleh manusia sepanjang hayatnya (Wiyani, 2013: 5). Pendidikan merupakan seluruh kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di lembaga pendidikan sekolah (Suhartono, 2008: 46). Sedangkan Ki Hajar Dewantara mendifinisikan pendidikan sebagai upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter) pikiran (intelect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan, agar anak dapat tumbuh dengan sempurna (Samani & Hariyanto, 2012: vii).
13 menumbuhkan budi pekerti maka penulisan ini mengkaji lebih detail terkait dengan pendidikan karakter. Secara harfiyah, karakter berarti kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Dalam Kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral (Suhartono, 2008: 20). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Kurniawan, 2014: 28). Karakter merupakan sesuatu yang dibangaun secara terus menerus secara berkesinambungan melalui harmoni pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran. Perbuatan demi perbuatan (Samani & Hariyanto, 2012: 41).
Pendidikan karakter merupakan salah satu program prioritas pembangunan nasional oleh pemerintah. Hal ini secara implisit telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007). Keberadaan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari sekian misi, guna mewujudkan visi pembangunan nasional. Diantaranya adalah terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia dan bermoral berasarkan Pancasila. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, penegndalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketramplan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.
Karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain (Depdiknas, 2005: 1270). Pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama orang lain di dunia (Kusuma, 2007: 4). Tujuan dari pendidikan karaker adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak anak didik secara utuh, terpadu dan seimbang (Muslich, 2014: 81).
Konsep pendidikan karakter prespektif Islam lebih dikenal dengan pendidikan akhlak. Secara historis, pendidikan karakter merupakan misi utama para Nabi dan Rasul (Tim Direktorat Pendidikan Madrasah, 2010:
34). Salah satunya adalah misi pendidikan Karakter yang tertuang dalam QS. Al-Ahzab: 21:
َريخلآا َمْوَ يْلاَو َهللَّا وُجْرَ ي َناَك ْنَميل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُأ يهللَّا يلوُسَر يفِ ْمُكَل َناَك ْدَقَل
اًيريثَك َهللَّا َرَكَذَو
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Nabi Saw. diutus Allah sebagai suri teladan bagi umat disetiap waktu, saat dan tempat (Ulwan, 1981: 634). Pendidikan karakter dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nlai-nilai luhur diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Oleh karenanya, pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan tetapi perlu proses, contoh teladan, pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat (Maksudin, 2013: 17).
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak muliasehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Untuk mewujudkan karakter tersebut, khususnya yang mengacu pada nilai-nilai sufistik dan Islam, akan dilakukan kajian secara mendalam dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin al Kurdi terkait dengan pendidikan karakter yang memiliki relevansi dengan pengembangan karakter bangsa.
Teori yang Digunakan
Penulisan ini menggunakan jenis library research dengan metode deskriptif kualitatif. Tujuannya untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemikiran orang secara individu maupun kelompok (Sukmadinata, 2012: 60), dalam konteks penulisan ini adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi dalam kitab Tanwĩrul Qulûb.
Sumber data primernya adalah kitab Tanwĩrul Qulûb (Sugiyono, 2012: 326). Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah buku referensi,
15 jurnal ilmiah, serta data lain yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Selain itu, buku-buku atau penulisan seputar pendidikan karakter lainnya.
Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan dokumen berbentuk tulisan dan karya monumental dari seseorang, yaitu Amin Al-Kurdi sebagai ulama besar lahir pada abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak (Al-Kurdi, t.t.: 3).
Analisis data dalam penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis, penulis berusaha untuk mengumpulkan data dan menyusunnya kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dari data-data tersebut, guna untuk membuka pesan yang terkandung dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, dengan menggunakan metode deduksi (Al-Kurdi, t.t.: 44), artinya secara umum isi dan kandungan teks kitab Tanwĩrul Qulûb yang mendiskusikan soal pendidikan akhlak dan keislaman secara umum kemudian ditarik sebuah kesimpulan khusus yaitu pendidikan karakter.
BAB II
SUFISME DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pengertian Sufisme
ada abad ke-2 hijriah, banyak umat Islam yang memperbincangkan kata tasawuf. Mereka memaknai tasawuf banyak dikaitkan dengan pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Hal demikian merupakan simbol kesederhanaan mereka (Nicholson, 1996: 3).
Tasawuf dalam bahsa inggris di sebut juga sufisme (Sufism). Sufisme Islam adalah proses peleburan dan penggabungan semua jala-jala sistem berpikir dan merasa yang dianut oleh sebagian umat Islam hingga terwujudnya suatu sentrum sebagai identias wujudiah (eksistensi) kemanusiaan yang berorientasi kepada ketuhanan (Siregar, 1999: 12).
Ajaran Islam sufistik adalah ajaran yang lebih mengedepankan aspek hakikat dan substansi ajaran legal-formal.Islam corak seperti ini lebih menekankan titik temu nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran ini menekankan pandangan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Ketidakmampuan seseorang menunaikan ajaran agama yang dianutnya itu wilayah merupakan keterbatasan sebagai manusia. Allah SWT. yang berhak menghitung dan mengukur penyimpangan perbuatan dan perilaku hamba-Nya (Umar/Net/https://www.rmol.co/read/Pengaruh-Ajaran-Sufisme/diakses tanggal 17 Oktober 2018, pukul 10.22 WIB). Artinya, komunikasi dan hubungan langsung dengan Allah berlaku taraf-taraf yang berbeda hingga mencapai “kesatuan paripurna”, yaitu tidak ada yang terasa kecuali Yang Maha Esa. Hal demikian dikatakan tangga transcendental yang tingkatan-tingkatannya berakhir oada dzat yang transenden (Sihab, 2001: 29). Tujuan yang mendasar dari ajaran tasawuf adalah membersihkan hati (tasfiyatul qalb), maka perlu berganti pakaian mewah menjadi pakaian kesederhanaan dan tawadhu’. Orientasi ajaran tasawuf hanya kepada Tuhan, ia tidak merosot kepada derajat umat manusia pada umumnya, hingga kejadian-kejadian dunia tidaklah mempengaruhinya (Sholikhin, 2004: 6).
Sebagaimana terminologi tasawuf yang dijelaskan oleh para ahli, seperti Imam Junaidi al-Baghdai, bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggikan
17 budi pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang teguh janji dengan Allah dalam segala hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam segala syari’at (Kurniawan, 2013: 11-12). Sementara makna tasawuf menurut Imam Ghazali adalah akhlak atau karakter. Orang yang memberikan bekal akhlak atasmu, berarti ia memberikan atas dirimu dalam tasawuf, maka jiwanya adalah menerima (perintah) untuk beramal karena mereka sesungguhnya melakukan suluk kepada sebagian akhlak karena keadaan mereka yang ber suluk dengan nur (cahaya) iman (Kurniawan, 2013: 11-12).
Sedangkan tasawuf menurut Hamka adalah akhlak yang luhur (ihsan) yang merupakan refleksi penghayatan keagamaan esoteric yang mendalam, tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (uzlah). Tasawuf ini menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat dan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan (Kurniawan, 2013: 11-12).
Menurut Junaidy al-Baghdadi dalam Abdullah sebagaimana dikutip Asep Kurniawan bahwa tasawuf adalah membesihkan hati dariapa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggikan budi pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesama umat, memegang teguh janji dengan Allah dalam segala hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam segala syari’at (Abdullah, 2007: 11-12).
Amin Al-Kurdi (t.t.: 406) memberikan pengertian tasawuf adalah ilmu yang bisa mengetahui kondisi baik dan buruknya jiwa, cara menyucikan dari karakter tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat terpuji, cara suluk dan menuju kepada Allah. Adapun obyeknya adalah merupakan pekerjaan hati dan indra dari aspek pembersihan dan membeningkannya. Sedangkan buah dari tasawuh adalah hati menjadi bersih, mengetahui alam ghaib dari segi perasaan dan eksistensi, selamat di akhirat, beruntung dengan ridha Allah, memperoleh kebahagiaan abadi, menyinari hati dan membeningkannya, agar tersingkap hal-hal yang agung dan memperjelas sesuatu, dimana penglihatan hati tidak bisa melihat.
Dari pengertian tasawuf diatas, menurut Amin Al-Kurdi intinya adalah bahwa ajaran tasawuf itu tashfiyatul qalb (pembersihan hati) melalui berbagai jalan dan cara sesuai dengan ajaran yang telah diperoleh dari guru mereka masing-masing, dan diselaraskan dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.. Dengan kata lain ajaran tasawuf perlu merujuk pada pedoman syari’at yang telah digariskan kemudian melandasi perilaku tariqah, menuju hakikat.
Memahami Arti Karakter
Pendidikan karakater belakangan ini menjadi terending topik utama pendidikan. Ia menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Pendidikan karakater diharapkan mampu menjadi basic utama dalam mensuksekan Indonesia Emas 2025. Studi tentang karakter, sudah lama menjadi pokok perhatian para tokoh muslim dunia, para ulama-kyia, para psikolog, para pendidik. Apa pengertian karakter tersebut, bisa dipahami secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan penekanan dan pendekatan mereka masing-masing.
Makna penting pendidikan karakter adalah optimalisasi berbaagai muatan karaketr yang baik dan positif yang menjadi modal dasar pengembangan individu dan bangsa. Aktualisasi pendidikan karakter sebenarnya dapat melalui cita-cita dan tujuan nasional yang mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan membangun manusia Indoesia yang cerdas dan berbudaya. Dalam konteks cerdas dan berbudaya dan kepribadian dimaknai memilki kecerdasan emosional, dengan kata lain berkarakter mulia atau berbudi luhur, dan berakhlakul karimah.
Sedangkan berbudaya memiliki arti sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan nilai kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara dengan penuh tanggung jawab. Lebih lanjut Philips (2000) menyebutkan bahwa pendidikan karakter harus melibatkan semua pihak, antara lain; rumah tangga, sekolah, dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Oleh karenanya langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan jaringan pendidikan yang terputus antara ketiga hubungan tersebut. Charakter building tidak akan berhasil selama antara ketiga komponen tersebut kurang ada keseimbangan dan harmonisasi (Yuliana, 2010: 94-95).
Terminologi karakter memiliki banyak pengertian. Dalam KBBI karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sefiat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
19 yang membedakan seseorang dari pada yang lain (Pusat Bahasa, 2005: 1270). Watak dapat dimaknai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti serta tabiat dasar. Musfiroh (2008: 27) mengatakan bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan ketrampilan (skill) yang meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik. Sedangkan Semiawan (Sudarsono, 1999:17) mendeskripsikan bahwa karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang yang merupakan hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogin atau pengalaman dari seluruh pengaruh lingkungan (Suhardi, 2012: 318-319). Mohammad Fakhry Gaffar (2010: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses tranformasi nilai-nilai kehidupan kehidupan untuk di tumbuhkembangkan dalam keperibadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut ada tiga ide pikiran penting, yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku (Gaffar, 2010: 4).
Pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku (Amin, 1995: 62).
Pendidikan karakter dalam prespektif Islam diartikan dengan pendidikan akhlak. Kata akhlak dari bahsa Arab khuluqun artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan santun, adab dan tindakan. Kata akhlak Kata akhlak juga terambil dari kata khalaqa atau khalqun artinya kejadian, serta erat kaitannya dengan khaliq artinya menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata al-khaliq yang mempunyai arti mencipta, dan makhluq yang artinya diciptakan (Hamid dan Saebani, 2013: 43). Islami dalam Hasan Alwi (2010: 328) artinya bersifat keislaman, atau mengandung unsur-unsur serta nilai-nilai Islam.
Strategi Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil (Nugroho, 2011: 138). Pendidikan Karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mengaplikasikan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan sumbangsih positif kepada lingkungan sekitar. Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi nila-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku, dan agama (Megawangi, 2007: 93).
Menurut Majid dan Andayani (2012: 186) bahwa dalam proses pembentukan dan pendidikan karakter, setidaknya ada tiga strategi yang perlu dialui, yaitu: 1) Moral Knowing/ Learning to Know. Tahapan ini merupakan langkah awal dalam pendidikan karakter. Dalam langkah ini tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. Murid diharapkan harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia atau terpuji dan akhlak buruk atau tercela serta nilai-nilai universal; memahami secara logis dan rasional atas makna penting akhlak mulia dan bahaya akhlak buruk atau tercela dalam kehidupan, mengenal kepribadian Nabi Muhammad Saw. sebagai figur teladan akhlak mulia, sebagaimana ajaran Islam; 2) Moral Loving/ Moral Feeling. Langkah ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Tahap ini menjadi sasaran pendidik dari demensi emosional murid, hati, atau jiwa, bukan lagi akal, rasio dan logika. Seorang guru menyentuh emosi murid sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan kebutuhan terhadap nilai-nilai akhlak mulia dam dirinya. Guna mencapai langkah ini seorang guru bisa memasukkan kisah-kisah yang menyentuh hati, modelling, atau kontemplasi. Dalam hal ini, murid diharapkan juga mampu menilai diri sendiri (muhasabah) atas beberapa kekurangan yang ada; 3) Moral Doing/ Learning to do. Pada tahap ini diharapkan para murid telah mempraktikkan nilai-nilai akhlak terpuji dalam pola kehidupan mereka. Jika selama perubahan tingkah laku terpuji belum terlihat walaupun sedikit, maka
21 selama itu pula seseorang memiliki beberapa pertanyaan yang sesegera mungkin dicari jawabannya. Teladan merupakan guru yang paling baikdalam internalisasi nilai, sedangkan langkah berikutnya adalah pembiasaan dan motivasi (Lickona, 1991: 21).
Sumber dan Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dikembangkan dari sumber-sumber sebagai berikut: 1) Agama. Untuk menjaga tatanan masyarakat Indonesia selalu berdasar pada norma ketuhanan yang tercermin dalam ajaran agama; 2) Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah tertanam kuat sejak nenek moyang bangsa memulai membangun peradaban bangsa Indonesia. Ia menjadi sumber nilai pendidikan karakter yang teruji dari bebrabagai tantangan zaman. Nilai ini diwujudkan dalam setiap tutur kata, berpikir, dan perilaku sehari-hari; 3) Budaya. Nilai ini menjadi dasar dalam memaknai suatu peristiwa, fenomena, dan kejadian yang berlangsung dalam setiap interaksi antar anggota masyarakat; 4) Tujuan Pendidikan Nasional. Tujuan ini terdiri dari berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki waga Negara Indonesia. Hal ini dilakukan agara secara nyata bisa dilaksanakan pendidikan karakter di berbagai lembaga pendidikan.
Berpijk dari sumber-sumber diatas, maka dihasilkan sejumlah nilai-nilai pendidikan karakter untuk pendidikan karakter bangsa, yaitu:
1) Religius: Merupakan sikap yang memegang teguh perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya, seraya saling menjaga kerukunan dan kesatuan antar berbeda pemeluk agama dan keyakinan; 2) Jujur: Merupakan sikap yang selalu berpegang teguh untuk menghindari keburukan dengan menjaga perkataan, perasaan dan perbuatan untuk selalu berkata dengan benar dan dapat dipercaya; 3) Toleransi: Perilaku yang cenderung menghargai perbedaan dengan mengurangi mempertajam perselisihan karena perbedaan. Perilaku ini diwujudkan dengan penerimaan atas perbedaan, dan keragaman sebagai suatu kekayaan bangsa Indonesia untuk mewujudkan fungsi toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 4) Disiplin: Tindakan yang menjaga dan mematuhi anjuran yang baik dan menghindari dan menjauhi segala larangan yang buruk secara konsisten dan berkomitmen; 5) Kerja keras: Mencurahkan segala kemampuan dan kemauan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai hasil yang diharapkan dengan tepat waktu dan berorientasi lebih pada proses dan perkembangan daripada berorientasi pada hasil; 6) Kreatif: Selalu mencari
alternatif penyelesaian suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Ini dilakukan untuk mengembangkan tata cara atau pemahaman terhadap suatu masalah yang sudah ada terlebih dahulu melalui pendekatan sudut pandang yang baru; 7) Mandiri: Meyakini potensi diri dan melakukan tanggung jawab yang diembannya dengan penuh percaya diri dan berkomitmen; 8) Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban dirinya dan orang lain dalam kedudukan yang sama. Ini dilakukan untuk memberikan pengakuan secara setara dalam hak berbangsa seraya merawat kemajemukan bangsa indonesia; 9) Rasa ingin tahu: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait; 10) Semangat kebangsaan: Suatu sudut pandang yang memandang dirinya sebagai bagian dari bangsa dan negaranya. Sudut pandang yang mewujudkan sikap dan perilaku yang akan mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman, serta memahami berbagai faktor penyebab konflik sosial baik yang berasal dari luar maupun dari dalam;11) Cinta tanah air: tekad yang terwujud dalam perasaan, perilaku dan perkataan yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap aspek sosial, fisik budaya, ekonomi, dan politik dari bangsa dan negaranya; 12) Menghargai prestasi: perasaan bangga terhadap kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dirinya sebagai individu maupun dirinya sebagai anggota masyarakat. Perasaan bangsa ini akan mendorong untuk memperoleh pencapaian-pencapaian yang positif bagi kemajuan bangsa dan Negara; 13) Bersahabat/komunikatif: Perilaku yang ditunjukan dengan senantiasa menjaga hubungan baik dengan interaksi yang positif antar individu dalam suatu kelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 14) Cinta damai: Perilaku yang selalu mengutamakan kesatuan rasa dan perwujudan harmoni dalam lingkungan yang majemuk dan multicultural; 15) Senang membaca: Rasa ingin meningkatkan pengetahuan dan pemahaman melalui gemar mencari informasi baru lewat bahan bacaan maupun mengajak masyarakat di lingkungan sekitarnya untuk memupuk perasaan gemar membaca ini; 16) Peduli sosial: Kepekaan akan segala kesulitan yang dihadapi oleh lingkungannya dan masyarakatnya. Kepekaan ini kemudian terwujud dalam tindakan, perasaan, dan perbuatan yang berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang di sekitarnya, yang mana individu tidak terfokus pada dirinya sendiri dan bekerja sama dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi; 17) Peduli lingkungan: Menjadikan pelestarian
23 alam sebagai salah satu dasar perilaku dan kebiasaan yang dicerminkan di lingkungannya agar terus terjadi siklus pembaharuan di alam yang berkesinambungan secara alami. Ini dilakukan agar alam yang ditempatinya tetap lestari dan abadi; 18) Tanggung Jawab : Menyadari bahwa segala hal yang diperbuat oleh dirinya bukan hanya merupakan tugas dan kewajiban bagi dirinya sendiri, namun juga keluarga, lingkungan, masyarakat, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa (Maunah, 2015: 92).
BAB III
MENGENAL SYAIKH AMIN AL-KURDI DAN KITAB
TANWĩRUL QULŪB
Biografi Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi
min Al-Kurdi, nama lengkapnya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, juga dipanggil Syaikh Sulaiman Al- Kurdi. Ia dilahirkan pada abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak (Al-Kurdi,t.t.: 3), sebuah kota yang cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika Serikat atas negeri itu. Ayah Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah seorang Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Guru Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi yang terkenal adalah Syaikh Al-Quthub, Maulana Umar, seorang wali Allah yang tinggal di Irbil, Irak. Ia banyak banyak memperoleh gemblengan dengan berbagai ilmu syari’at dan thariqat, sehingga membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun batin (Al-Kurdi,t.t.: 4).
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah seorang pelajar yang gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu agama dari guru-guru besar yang masyhur kala itu. Setelah menamatkan pelajaran di Irbil, ia memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakal kepada Allah dan do’a dari para guru, ia memulai perjalanan ke Hijaz dengan menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Ia tinggal di Mekkah belajar dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal shalih. Pada tahun 1300 H. ia berangkat ke Madinah dan menetap di sana, belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud. Sepanjang berada di kota Madinah, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi selalu menunaikan ibadah haji setiap tahun (Al-Kurdi,t.t.: 11).
Pada akhir usianya, ia pindah ke Mesir karena didorong rasa rindu dan cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah Saw., dimana pada saat itu sangat banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah. Saat menetap di Mesir inilah ia meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari kitab fiqih as-Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Guru-guru Syaikh Muhammad
25 Amin Al-Kurdi dalam ilmu fiqih antara lain: Syaikh Asymuni dan Syaikh Musthafa ‘Izz as-Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al-Azhar paling terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis dan tafsir, ia belajar dari Syaikh Salim al-Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Musnad as-Syafii, al Muwatha’ Imam Malik, serta Tafsir Baidhawi (Al-Kurdi,t.t.: 13). Ia diangkat sebagai Syaikh besar pada thariqat al-Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Kemasyhurannya menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam Tajuddin as-Subki (Al-Kurdi,t.t.: 55).
Corak pemikiran Syaik Muhammad Amin Al-Kurdi
Amin al-Kurdi adalah seorang Ulama Besar, sekaligus guru Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Corak pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gemblengan guru-gurunya, dengan ilmu-ilmu syari’at dan tasawuf (thariqat), sehingga membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun batin (Al-Kurdi,t.t.: 4). Perjalanan spiritualnya dengan cara mengunjungi orang-orang shalih dan makam orang-orang shalih guna memperoleh bimbingan khusus dari merka.
Corak ilmu syariat atau ilmu fiqih yang ia tekuni adalah fiqih as-Syafi’i secara khusus, dan ajarn fiqih dari madzhab selain Syafi’i pada umumnya. Dalam ilmu hadis dan tafsir seperti hadis-hadis dalam shahih bukhari dan muslim, musnad as-Syafii, al-Muwatha’ Imam Malik, serta Tafsir Baidhawi (Al-Kurdi,t.t.: 13).
Pemikiran Amin Al-Kurdi berdasarkan atas tiga prinsip keislaman yang sangat kuat, yaitu akidah, fiqih dan tasawuf. Ketiganya tidak keluar dari nash al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw., juga diperkuat dengan ijma’, sehingga ia mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat Islam yang hidup di akhir zaman untuk taqlid (mengikuti) kepada ajaran para imam mujtahid dari faham ahlussunnah dan imam madzhab empat. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan bahwa ia terlepas dari Madzhab yang empat serta hanya menggali langsung
dari kitab al-Qur’an dan sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan.
Amin al Kurdi diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al-Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Karena kemasyhurannya menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi.
Kitab Tanwĩrul Qulûb
Kitab Tanwĩrul Qulûb terbagi atas tiga bagian besar yaitu; 1) bagian akidah diniyyah (akidah keagamaan) yang terdiri atas 3 bab (Al-Kurdi, t.t.: 9). 2) bagian fiqih mengukuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i yang terdiri atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 93), dan 3) bagian tasawuf dibagi atas 22 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 401). Terkait dengan pembahasan akidah dengan jelas, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al-Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan dalil-dalil aqli dan naqli serta menolak syubhat yang dimunculkan oleh ajaran sesat di luar Ahlussunah wal Jama’ah (Al-Kurdi,t.t.: 42).
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa Allah memiliki 20 sifat yang wajib atas Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, Mutakaliman. Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutu Lilhawadits, Qiyamuhu Bighayrih, Ta’addud, Ajzu, Karahah, Jahil, Maut, Samamu, Umyu, Bukmu, Kaunuhu ‘Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan, Kaunuhu Asama, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkama (Al-Kurdi,t.t.: 11). Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya (Kurdi,t.t.: 25). Dalil atas sifat ini adalah surat Al-Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.”
Dalam bab Fiqih, ia menjelaskan secara lengkap hampir seluruh permasalahan merujuk pada fiqih Imam Syafi’i. Meskipun pembahasannya tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafi’i, karena di samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis-27 hadis Nabi. Dalam kitab ini juga terdapat pembahasan bab Farã’idh (warisan) dengan cukup luas.
Sedangkan dalam pembahasan tasawuf, ia memulai dengan pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawuf, yaitu: 1). Taqwa kepada Allah, wara’ dan istiqamah, 2). Mengikuti sunnah Nabi perkataan dan perbuatannya, 3). Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal kepada Allah, 4). Ridha 5). Taubat dan Syukur kepada Allah. Demikian pemahaman Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi atas tiga prinsip dasar akidah, fiqih dan tasawuf, sehingga ia mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab yang Empat. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan bahwa ia terlepas dari Madzhab yang empat serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan. Menurutnya, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu orang-orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya kecintaan pada hal-hal yang bersifat kebendaan duniawi. Di samping tidak tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang Empat.
BAB IV
AJARAN TASAWUF
DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
Tasawuf dan Pengembangan Karakter
emperbincangkan ajaran tasawuf erat sekali dengan mendiskusikan soal akhlak atau karakter Islam. Akhlak menjadi pondasi dan dasar dari pelaksanaan ajaran tasawuf, sehingga dalam praktik, tasawuf sudah seharusnya mementingkan akhlak atau karakter.
1. Prinsip Takhalli: Menjauhkan Diri Dari Karakter Tercela
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa akhlak atau karakter itu ada dua bagian, yaitu ruang lingkup karakter tercela (akhlak adz-dzamĩmah) dan ruang lingkup karakter terpuji (akhlak al-hamĩdah). Akhlak atau karakter tercela, merutnya termasuk najis ma’nawiyah dimana dengan akhlak atau karakter ini seseorang tidak mungkin bisa taqarrub kepada Tuhan yang Maha Suci. Akhlak atau karakter tercela mengantarkan manusia menuju kehancuran, karena Allah melarang pribadi seorang yang beriman dan beragama Islam memiliki sifat tercela.
Diantara karakter tercela yang perlu dihindari adalah; setiap ucapan dan perbuatan yang dilarang al-Qur’an, setiap sesuatu yang diharamkan Allah, jika direnungkan ternyata merupakan perbuatan yang keji, buruk dan maksiat yang menimbulkan kerugian, setiap cerita mengenahi orang-orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan al-Qur’an bertujuan agar umat Islam menjauhinya, dan setiap ancaman yang diancamkan Allah. Adapun jenis-jenis sifat akhlak atau karakter tercela, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah digambarkan seperti; hasad, hiqd, al-kibr, al-‘ujub, al-bahil, riya’, cinta jabatan dan kedudukan, pemarah, menggunjing, adu domba, pembohong, banyak omong, dan lainnya (Al-Kurdi, t.t.: 429).
Adapun penjelasan secara rinci tentang karakter tercela yang harus dijauhi oleh para pelaku ajaran tasawuf adalah sebagai berikut:
29
1) Al-Hasad.
Hakikat al-hasad, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t : 429-430) adalah sikap tidak senang terhadap ni’mat Allah atas saudaranya (orang lain) kemudian ia merasa senang atas hilangnya ni’mat dari saudara tersebut. Sikap dan perilaku hasad tersebut tergolong perilaku dan sikap yang buruk dan juga merupakan penyakit hati yang harus dihindari. Cara memutus perilaku tercela seperti itu dari diri seseorang adalah melalui jalan tasawuf. Perilaku tercela seperti hasad ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
َبَطَلْْا ُراهنلا ُلُكَْتَ اَمَك يتاَنَسَلْْا ُلُكَْيَ ُدَسَْلَْا
“Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”. (HR. Ibnu Majah).
2) Al-Hikdu atau dengki
Al-Hikdu, adalah sikap dengki. Artinya, sikap yang didalamnya terdapat rasa memusuhi, benci dan memutus kebahagiaan orang lain. Sifat ini adalah sifat yang tercela yang timbul akibat perilaku hasud, meninggalkan hubungan kekrabatan dan mencari keburukan orang lain. Sifat ini juga sangat berbahaya dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga maupun kemasyarakatan, karena tidak ada orang yang suka dengan seseorang yang berkarakter seperti ini (Al-Kurdi, t.t.: 431).
3) Al-Kibr
Al-Kibr, adalah diri merasa besar dan menganggap orang lain dibawahnya. Padahal dalam ajaran Islam sikap dan perilaku sombong itu termasuk perbuatan iblis, sebagaimana Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t., 431) bahwa sesungguhnya sombong itu awal dari perbuatan maksiat kepada Allah. Sedangkan kata al-kibr terambil dari kata takabur, berasal dari bahasa Arab takabbara-yatakabbaru artinya sombong atau membanggakan diri. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab, kecantikan, dan kekayaan. Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di hindari (Samarqandi, 1986: 501). Lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 431) mengatakan bahwa al-kibr semakna dengan ta`azum, yakni menumbuhkan keagungan dan kebesaran dirinya atas orang lain. Sehubugan
dengan perilaku tercela, secara tegas Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi merujuk terhadap sabda Nabi Saw.:
ٍْبيك ْنيم ٍةهرَذ ُلاَقْ ثيم يهيبْلَ ق يفِ َناَك ْنَم َةهنَْلْا ُلُخْدَي لا
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
Agama Islam mengajarkan agar manusia berakhlak mulia atau berkarakter luhur. Salah satu akhlak atau karakter tercela yang harus dijauhi oleh umat Islam adalah sikap takabur atau sombong. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya di atas orang lain.
4) Al-‘Ujub
Al-‘Ujub, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 432) adalah kesombongan dalam diri dengan rasa paling sempurna dalam segi ilmu dan amal. Sedangkan menurut Bisyr Al-Hafi mendefenisikan pengertian ‘ujub adalah “menganggap hanya amalanku saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Pada era sekarang barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ‘ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsauri, mengatakan bahwa ‘ujub adalah perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebaik amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wira’i dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.
5) Al-Bakhil
Al-Bakhil, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah enggan memberi kepada orang lain khawatir hartanya berkurang (Al-Kurdi, t.t.: 432). Untuk memperkuat penjelasan tentang al-bakhil ini, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengutip firman Allah dalam QS. Ali Imron: 180;
َش َوُه ْلَب ْمَُلَ اًْيرَخ َوُه يهيلْضَف ْنيم ُهللَّا ُمُهَتََآ اَيبِ َنوُلَخْبَ ي َنييذهلا هَبََسَْيَ َلاَو
ْمَُلَ ٌّ ر
31 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat”.
Kata al-bahil banyak diterjemahkan banyak orang dengan istilah kikir, artinya menahan untuk memberi sesuatu yang semestinya diberikan. Seperti pernyataan Al-Jurjani (1988: 42) mendefinisikan bahwa bakhil dengan menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada diri orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau dicegah, mislanya uang, makanan, minuman, dan lain-lain. Sifat ini merupakan sifat seseorang yang amat tercela dan hina, karenan ia tidak akan mengeluarkan harta yang wajib dikeluarkan baik dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga atau menurut ketentuan perikemanusiaan seperti sedekah, infaq, dan hadiah.
6) Ar-Riya’
Riya’ secara bahasa adalah melihat karena ketika berbuat, selalu berusaha agar dilihat dan perhatikan orang lain untuk memperoleh pujian. Sedangkan secara istilah adalah sikap atau tindakan seseorang memperlihatkan amal perbuatan serta ibadah kepada orang lain. Denga arti lain bahwa riya’ adalah melakukan amal ibadah dengan niat karena selain Allah, ingin memperoleh pujian orang lain. Dalam konteks ini, seseorang dalam melakukan amal ibadah diperlukan niat karena Allah bukan karena orang atau manusia. Niat yang hanya karena Allah adalah sangat menentukan kadar iman seseorang dalam melakukan amal ibadah atau pekerjaan, agar amalnya memperoleh ridla Allah. Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang artinya; "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan. " (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 434) memperkuat pernyataan ini dengan mengutip hadits riwayat Ibnu Jurairin at-Thabari bahwa “Allah tidak menerima amal seseorang dimana dalam amal tersebut terdapat riya’ walaupun sebutir dzarrah”. Artinya sikap dan perilaku seseorang yang mengedepankan sifat riya’ merupakan suatu amal yang dicela oleh agama, karena ia merupakan akhlak atau karakter yang harus dijauhi oleh umat Islam.
Riya’ telah dikategorikan perbuatan syirik kecil; demikian ini ungkapan yang dikemukakan Rasulullah Saw.:
هنيإ
َفَوْخَأ
اَم
َخَأ
ُفا
ْمُكْيَلَع
ُكْرِّيشلا
،ُرَغْصَلأْا
اْوُلاَق
اَمَو
ْرِّيشلا
ُك
ُرَغْصَلأْا
َي
َلْوُسَر
؟يالله
َلاَق
،ُءَيِّيرلا
ُلْوُقَ ي
ُالله
هزَع
هلَجَو
َمْوَ ي
يةَماَييقْلا
اْوُ بَهْذا
َليإ
ْييذهلا
َرُ ت
َنْوُءا
يفِ
اَيْ نُّدلا
ْلَه
َنْوُديَتَ
ُمُهَدْنيع
َءاَزَْلْا
ور(
ها
)دحمأ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah SAW?”, Beliau menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat, terhadap mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?” (HR. Ahmad).
Oleh karenanya, ada tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat, Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari hadits riwayat Imam Bukhari:
َلاَقَ ف َمهلَسَو يهْيَلَع ٌالله ىهلَص هيبهنلا َلَأَس اًّييباَرْعَأ هنَأ ،ُهْنَع ُالله َييضَر ىَسْوُم ْيبَأ ْنَع
ُليتاَقُ ي ُلُجهرلاَو ،ُهُنا َكَم ىَُيريل ُليتاَقُ ي ُلُجهرلاَو ،ًةهييَحم ُليتاَقُ ي ُلُجهرلا ،يالله َلْوُسَر َي
اَيْلُعْلا َييه يالله َةَميلَك َن ْوُكَتيل َلَتاَق ْنَم َمهلَسَو يهْيَلَع ُالله ىهلَص ُّيب هنلا َلاَقَ ف ،يرْكِّيذليل
يالله يلْييبَس ْيفِ َوُهَ ف.
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah Saw. menjawab “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari).
33 Agar seseorang bisa menghindari sifat dan perilaku yang mengandung riya’ maka diharapakan mengikuti petunjuk Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa seseorang:
اَذيإ ُطَشْنَ يَو ،ُهَد ْحَو َناَك اَذيإ ُلُسْكَي ،ٌتاَمَلاَع ْييئاَرُمْليل ،ُهَهْجَو ُالله َمهرَك ٌّ ييلَع َلاَق
همُذ اَذيإ ُصُقْ نَ يَو ، َنَْثُأ اَذيإ يلَمَعْلا يفِ ُدْييزَيَو ،يساهنلا يفِ َناَك
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan.”
7) Al-Ghadlab
Ghadhab secara harfiah berarti “marah” atau “pemarah”. Sifat pemarah dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. sifat ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu marah”.
Islam memberikan rambu-rambu cara menghindari sifat ghadhab, antara lain: merenungkan dan memahami ayat Al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah; munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari Allah; takut akan murka Allah; merenungkan dan memahami dampak negatif ghadhab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam; membayangkan dan merenungkan paras buruk orang lain yang sedang marah. Selanjutnya membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri; dan memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Oleh karena itu, orang yang beriman hendaknya bisa menghindari sifat-sifat ghadlab, antara lain:
a) Merenungkan dan memahami ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah.
b) Munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari Allah.
d) Merenungkan dan memahami dampak negatif gadab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam.
e) Membayangkan paras buruk orang lain yang sedang marah dan selanjutny membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri.
f) Memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.
Rasulullah Saw. mengajarkan agar seseorang melakukan hal-hal berikut:
a) Mohon perlindungan kepada Allah dari gadlab. b) Duduklah bila kemarahan belum reda.
c) Apabila belum merasa reda, berbaringlah. Berbaring di tanah dimaksudkan agar manusia merasakan bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak memiliki daya upaya kecuali atas kehendak-Nya.
d) Apabila belum reda, berwudu atau mandilah. Hal ini dikarenakan emosi berasal dari api dan api akan padam jika disiram dengan air atau tanah (Zubaidi, 2016: 2001).
8) Al-Ghibah
Dalam bahasa Indonesia ghibah diartikan menggunjing.Secara bahasa ghibah artinya tidak ada. Artinya, menyebutkan orang lain yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak senang oleh yang bersangkutan, namun jika keburukan yang disebut itu tidak tebukti atau tidak ada pada orang yang bersangkutan itu disebut dengan istilah buhtan atau kebohongan besar. Dengan demikian walaupun keburukan yang diungkap oleh si penggunjing memang disandang oleh yang di pergunjingkan maka tetaplah dilarang (Sanusi, 2012: 58-59).
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, ucapan, perbuatan, agama, keduniaan, hingga pada pakaian, rumah atau kendaraannya (Al-Kurdi, t.t.: 436).
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah ra. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya
35 yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Saw. lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah”
Termasuk contoh ghibah adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan. Larangan perilaku tercela ini merujuk pad firman Allah dalam QS. al-Hujurat; 12;
هوُمُتْهيرَكَف اًتْ يَم يهييخَأ َمَْلْ َلُكَْيَ ْنَأ ْمُكُدَحَأ ُّبيُيََأ اًضْعَ ب ْمُكُضْعَ ب ْبَتْغَ ي َلاَو
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasajijik kepadanya.”
9) An-Namĩmah atau adu domba
Pengertian an-namĩmah menurut para ahli, diantaranya adalah: Imam al-Baghawi, namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani mengatakan bahwa namimah adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa ‘aib ataupun bukan.
Adapun terminologi namimah menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 437) adalah memindahkan perkataan sebagian orang kepada orang lain dengan tujuan merusak antara mereka. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, lebih lanjut mengatakan bahwa kaum muslimin ber-ijma’ (sepakat) bahwa namimah hukumnya haram, karena ia tergolong perilaku yang bernilai dosa besar. Dalil keharaman namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, yaitu dalam QS.al-Qalam:10-11:
( ٍينيهَم ٍف هلاَح هلُك ْعيطُت َلاَو
01
( ٍمييمَنيب ٍءاهشَم ٍزاهَهَ )
00
)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”
Lebih lanjut Amin Al-Kurdi memperkuat terkait dengan larangan namimah dengan mengutip hadits nabi Saw.:
ماهَنَ َةهنَلْْا ُلُخْدَيَلا
“Tidak akan masuk surga orang yang mengumbar fitnah”
Islam mengajarkan agar seseorangan bisa menjauhi karakter tercela seperti namimah, karena pelaku namimah diancam dengan adzab di alam kubur, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah Saw. melewati dua kuburan, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari). Hal tersebut juga diperkuat dengan sabda nabi Saw. berikut:
ينَبَهذَعُ ي اَُهَآَر ينْيَذَللَا يْينَلُجَرلا ينَع َمهلَسَو يهْيَلَع ُهللَّا ىهلَص ُ يبهنلا ََبْخَأ ْدَقَ ف
يفِ
ْوَ بلا َنيم َءاَْبيتْسيلاا ُرَخلآا كُْتَْيَو ،يساهنلا َْينَب يةَمْييمهنليبَ اَُهَُدَحَأ ييشَْيَ ،اَيهَيرْوُ بُ ق
. يل
“Nabi memberi khabar tentang dua laki-laki yang disiksa dalam kubur; salah satunya berjalan dengan mengumbar namimah anatara manusia, yang lainya tidak bersih setelah kencing”.
10) Al-Kidzb atau Pendusta.
Pendusta merupakan sifat seseorang yang berkata tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Dalam berkata, seseorang tidak diperbolehkan berdasarkan kejahilan, tetapi seharusnya berdasarkan informasi yang akurat. Sebagaimana ungkapan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa dikatakan pendusta atau al-kidzb adalah orang yang menginformasikan sesuatu tetapi tidak sesuai dengan kenyataan fakta-faktanya. Dan sifat demikian termasuk karakter yang tercela dan termasuk perbuatan dosa. Agar sesorang menjauhi sifat pendusta ini,lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mempertegas dengan mengutip sabda nabi Saw.;
يهْيَلَع ُالله ىهلَص يالله ُلْوُسَر َلاَق :َلاَق ُهْنَع ُالله َييضَر دْوُعْسَم ينب يالله يدْبَع ْنع
َْلْا َليإ ْييدْهَ ي هيبْلا هنيإَو،يِّيبْلا َليإ ْييدْهَ ي َقْديِّصلا هنيإَف، يقْديِّصليبَ ْمُكْيَلَع : َمهلَسَو
،يةهن
37
َو ُقُدْصَي ُلُجهرلا ُلاَزَ ي اَمَو
،اًقْ ييِّديص يالله َدْنيع َبَتْكُي هتََّح َقْديِّصلا ىهرَحَتَ ي
ْمُكهييإَو
اَمَو ،راهنلا َليإ ْييدْ هَي َرْو ُجُفْلا هنيإَو ،يرْوُجُفْلا َليإ ْييدْهَ ي َبيذَكْلا هنيإَف،َبيذَكْلاَو
يع َب َت ْكُي هتََّح َبيذَكْلا ىهرَحَتَ يَو ُبيذْكَي ُلُجهرلا ُلاَزَ ي
هذ َك يالله َد ْن
ًبَا
“Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd ra, ia berkata:“Rasûlullâh Saw. bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong)”.
2. Prinsip Tahalli: Menghiasi Diri Dengan karakter Terpuji
Beberapa ajaran tasawuf yang relevan dengan nilai-nilai karakter terpuji prespektif Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah: al-aqĩdah as-shahĩhah (akidah yang benar), taubat, al-I’rădh ‘anil ma’siyat (berpaling dari maksiat) dan wa an-nadm ‘ala fi’liha (menyesal atas melakukannya), al-hayă’ minallah (malu kepada Allah), taat, sabar, wara’, zuhud, qanaah, ridla, syukur, memuji kepada Allah, sidqul hadĩts (jujur dalam berbicara), al-wafa’ (menepati janji), adăul amănah (menjalankan amanah), tarkul khiyănat (meninggalkan berkhiyanat), menjaga hak bertetangga, pemurah, ifsyăussalam (menebar kedamaian), berperilaku baik, cinta akhirat, tidak cinta dunia, tidak membuat sakit terhadap orang lain, khauf, roja’, tawakal, menjaga harga diri, mahabatullah (cinta Allah), mengharap wushul kepada Allah, al-adab (berbudi pekerti), muhăsabatun nafs (evaluasi diri), husnudzan (berperasangka baik), al-mujăhadah (mujahadah), meninggalkan riya’ dan perdebatan, dzikrul maut (ingat mati), tafaquh filqur’an (memperdalam al-Qur’an), ikhlash. Dan apabila seorang murid melakukan berbagai akhlak atau karakter terpuji seperti ini dalam mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang yang berbahagia dunia dan akhirat (Al-Kurdi, t.t.: 440-441).