DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER
33) Tafaquh fil al-Qur’an (memperdalam al-Qur’an)
33) Tafaquh fil al-Qur’an (memperdalam al-Qur’an)
Kata tafaqquh artinya memperdalam atau memahami, sedanglan al-Qur’an adalah kalam Allah. Tafaqquh al-al-Qur’an adalah memperdalam atau memahami al-Qur’an yang merupakan kalam Allah. Setiap umat Islam berkewajiab untuk memperdalam dan memahami al-Qur’an karena ia adalah perintah Allah. Agma Islam mendorong umatnya untuk memperdalam daan mempelajari al-Qur’an dan mengajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Sebagaimana sabda nabi Saw.:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya” Artinya, sejak masa Rasulullah Saw. umat Islam telah mengetahui pentingnya anjuran (memperdalam, memahami dan mengajarkan al-Qur’an), mereka bersungguh-sungguh dalam membaca, menghafal, memahaminya sekaligus mepraktikkan hukum-hukum yang ada didalamnya. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an berpengaruh pada penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) menuju perilaku terpuji hingga mampu mendekatkan diri kepada Allah. Al-Qur’an telah membrikan dasar sebagai landasan berfikir manusia tentang bagaimana mendidik jiwa manusia agar menghormati orang lain, berkpribadian luhur, berkarakter mulia, beribadah yang benar, dan lain sebagainya. Disamping itu, al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat beriman, agar mau menerima kebenaran yang datang dari Allah atau dari orang-orang yang berilmu guna mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Fushilat: 44:
اوُنَماَء َنييذهليل َوُه ْلُق
َو ْميينِاَذاَء يفِ َنوُنيمْؤُ ي َلا َنييذهلاَو ٌءاَفيشَو ىًدُه
َوُهَو ٌرْ ق
ٍدييعَب ٍناَكَم ْنيم َنْوَداَنُ ي َكيئَلوُأ ىًمَع ْميهْيَلَع
“Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang-orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”.Allah menggambarkan hati orang-orang yang tidak tersentuh oleh (tidak tunduk kepada) ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an, serta tidak berusaha untuk mengingat-Nya, bahwa ia adalah hati yang mati dan lebih keras dibanding batu, karena mereka tidak faham dan mengerti tentang kandungan dalam ayat al-Qur’an. Sebagai umat beriman hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendalami dan mempelajari al-Qur’an, agar hidup mereka tersinari oleh nur atau cahaya al-Quran.
34) Ikhlash
Ikhlas merupakan perbuatan hati (‘amalun qalbiyun) tidak bisa mengetahunya kecuali Allah. Sedangkan lawan dari ikhlas adalah riya’, barangsiapa yang melakukan aktivitas (‘amila ‘amalan) tidak mengandng
89 unsur riya’ maka itulah ikhlas (Al-Kurdi, t.t.: 484). Menurut Ali Ad-Daqqaq bahwa ikhlash adalah menutupi (segala perbuatan) dari pandangan makhluk. Seorang yang mukhlis tidak memiliki riya’. Sedangkan al-Qusyairi mengatakan bahwa ikhlash adalah mengesakan Allah dalam mengerjakanketaatan dengan sengaja. Yaitu, melakukan ketaatan semata-mata untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah tanpa ada tendensi lain, seperti berpura-pura kepada makhluk, mencari pujian manusia atau makna lainselain mendekatakan diri (taqarrub) kepada Allah. Dapat juga dikatan bahwa ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari pandanga makhluk (Isa, 2011: 213).
Keikhlasan merupakan prinsip yang sangat penting dalam beribadah kepada Allah. Ikhlas adalah tindakan dan perbuatan murni yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Secara etimologi, ikhlas sering diartikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri hal yang menjadi tujuan. Dalam kajian sufistik, keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dari sisi niat maupun sisi tindakan (Rifa’i, 2010: 228).
Ikhlas merupakan keadaan hati seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan. Misalnya membantu terhadap orang lain dalam bentuk tenaga, materi, dan pikiran dengan perasaan rela dan tulus. Mengapa bisa begitu? Landasan perbuatan itu semata-mata karena Allah. Dengan keyakinan bahwa apa yang diperbuat akan memperoleh balasan dan pahala dari Allah.
Ikhlas merupakan sesuatu yang bersifat batiniah dan teruji kemurniaanya dengan amal saleh. Ia merupakan perasaan halus yang tidak bisa diketahui oleh siapa pun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriah yang boleh dilihat, sedangkan ruh amal perbuatan itu adalah rahasia, yaitu keikhlasan (Rifa’i, 2010: 228).
Hal yang berlawanan dengan ikhlas adalah riya’. Artinya, berbuat sesuatu untuk orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu dari orang tersebut. Berbuat sesuatu dengan tujuan mengharapkan pamrih sering mendatangkan keke-cewaan. Apalagi balasan dan imbalan yang diharapkan tidak pernah terwujud. Batinnya merasa tidak tentram sebelum tercapai balasan yang diinginkannya (Subaidi, 2015: 114).
Menanamkan karakter mulia keikhlasan kepada sese-orang (peserta didik) diakui memang tidak semudah mengatakannya. Namun yang paling penting adalah seorang pendidik berusaha untuk berbuat dan melakukannya secara jujur, dengan cara menanamkan pembiasaan terkait dengan perilaku keikhlasan. Memberikan pencerahan kepada muridnya bahwa ikhlas karena
Allah akan memperoleh pahala. Orang yang melaksanakan suatu aktivitas atau amal perbuatan dilandasi dengan keikhlasan, ia akan lebih cenderung merasa tentram dan nyaman dalam hatinya. Dengan menanamkan nilai-nilai keikhlasan pada murid secara berangsur-angsur ia akan terbiasa melaksanakan suatu akivitas dengan karakter ikhlas (Subaidi, 2015: 115). Karena ikhlas merupakan pondasi amal seseorang sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa: manusia seluruhnya akan hancur, kecuali orang-orang yang berilmu. Semua orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-orang yang beramal. Semua orang yang beramal pun akan hancur, kecuali orang-orang yang ikhlas dan jujur (al-Abrasyi, 1987: 46).
Karakteristik Nilai-Nilai Sufisme Amin al-Kurdi
Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa esensi nilai-nilai pendidikan sufistik memiliki beberapa ciri, antara lain:
Pertama, Taqwa, ajaran dan pendidikan taqwa kepada Allah bisa dikerjakan manusia bisa secara rahasia maupun terang-terangan, wujud dari taqwa menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah perilaku seseorang dengan mengedepankan karakter terpuji berupa wira’i dan istiqamah. Dalam kamus tasawuf dinyatakan bahwa wara’ atau wira’i adalah menjaga diri dari berbuat dosa, atau berbuat maksiat sekecil apapun. Salah satu perilaku akhlak atau karakter terpuji yang sangat penting dimiliki oleh sufi adalah istiqamah. Allah SWT. memerintahkan agar supaya orang-orang beriman menekuni perilaku istiqamah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Fushshilat: 6;
ُلْ ثيم ٌرَشَب َنََّأ اَهنَيإ ْلُق
َليإ اوُمييقَتْساَف ٌديحاَو ٌهَٰليإ ْمُكَُٰلَيإ اَهنََأ هَلِيإ ٰىَحوُي ْمُك
ُهوُريفْغَ تْساَو يهْي
َينيكيرْشُمْليل ٌلْيَوَو
“Katakanlah, bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka istiqamahlah menuju Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menyekutukan-Nya” .Tanda-tanda orang yang berperilaku istiqãmah adalah mampu memelihara hal-hal antara lain; a) memelihara lisan dari membicarakan terhadap orang lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 12; “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”; b) konsisten dalam memegang teguh agama
91 Allah dan dalam menjalankan syari’at agama, baik berupa perintah maupun larangan; c) Bekerja secara konsisten dengan penuh keikhlasan semata-mata karena Allah; d) menghindari sûudzan (buruk sngka) terhadap orang lain; e) menghindari penghinaan terhadap orang lain; f) menginfaqkan harta ke jalan Allah; dan g) menghindari perilaku israf.
Ketaqwaan seseorang tidak akan sempurna dan teguh jika tingkat spiritualnya tidak suci dan bersih (tasfiyah) dari berbagai sifat tercela. Semisal seorang hartawan agar ia mampu meraih derajat taqwa, maka ia hendaknya rajin bersedekah menyalurkan harta bendanya ke jalan Allah, dan teknik memperolehnya juga dengan cara yang halal.
Dengan demikian, terbentuknya kepribadian taqwa ini mengandung beberapa karakter unggul yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan, seperti adanya kejujuran, tasamuh (toleransi), ikhlas, al-wafa’ bil ‘ahdi (menepati janji), tawadhu’ (rendah diri), tawakal (rasa pasrah kepada Allah), ridha, qana’ah (menerima pemberian Allah). Proses internalisasinya berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan seiring dengan berjalannya waktu.
Kedua, pendidikan mengikuti (ittiba’) sunnah Nabi Saw. Dalam segi ucapan dan perilaku, wujudnya menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah perilaku yang baik (husnul khuluq). Salah satu perilaku (sunnah) Nabi Saw. adalah shalat malam (qiyãmullaĩl) sebagaimana dalam Abu Abdillah (2010: 281-282) bahwa shalat malam (qiyãmullaĩl) termasuk bagian dari shalat sunnah yang tidak ditentukan bilangan raka’atnya. Oleh karenanya berapapun raka’at yang dilakukan seseorang, sedikit maupun banyak hukumnya boleh, seperti sabda Rasulullah Saw.:
)ملسم هاور( َرَ ثْكَتْسيا َءاَش ْنَمَو َلَقَ تْسيا َءاَش ْنَمَف ٍعوُضْوَم ُْيرَخ ُة َلاهصلا
“Shalat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barangsiapa berkehendak, ia (boleh) menyedikitkan bilangan rakaatnya dan barangsiapa bekehendak, ia (boleh) memperbanyak (bilangan rakaatnya) – yang dimaksud dalam hal ini adalah shalat sunnah (HR. Muslim).Adapun cara pelaksanaan shalat malam (qiyãmullaĩl) adalah dua rakaat salam, sebagaimana sabda Nabi:
َم يلْيلهلا ُةَلاَص
َعْكَريب ريتْوُ يْلَ ف َحْبُصلا مُكُدَحَا َييشَخ اَذياَف َنَْثَم َنَْث
“Shalat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat, maka apabila salah seorang di antara kalian takut akan masuk waktu subuh lakukanlah shalat satu rakaat”. Ketiga, pendidikan memalingkan diri dari makhluk dengan penuh kesabaran dan tawakal. Artinya seseorang hendaknya selalu menyerahkan semua urusan kehidupan dunia ini hanyalah kepada Allah (tafwidl ilallah), menjauhkan diri dari sifat ketergantungan kepada manusia. Manusia hanyalah sebagai jembatan dalam kehidupan, segala sesuatunya yang mensekenario hanyalah Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang artinya; “hanya kepada Allah-lah kamu sekalian bertawakal apabila engkau golongan orang-orang mukmin” (Al-Kurdi, t.t.: 475).
Dalam konteks ini, Rasulullah Saw. memberikan tuntunan melalui hadits yang artinya; “apabila engkau sekalian bertawakal kepada Allah dengan sungguh sungguh bertawakal maka Allah akan memberi rizki kepada kamu sekalain sebagaimana Allah memberi rizki terhadap burung yang pergi di pagi hari dalam kondisi lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang”. (HR. Imam Ahmad, Nasai, Tirmidzi dan Hakim).
Sejalan dengan sikap sabar, Diah Rahmawati (2001: 56), menjelaskan bahwa sabar memberikan implikasi positif dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah memiliki ketahanan dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Dengan kesabaran akan mampu menjaga dan terhindar dari penyakit mental dan gangguan jiwa serta dapat diupayakan pencegahannya. Bagi seorang sufi, kesehatan mental untuk taqarrub kepada Allah SWT. adalah sebuah keharusan, karena pola menuju Allah itu jalan salah satunya adalah melalui metode zikirullah, sedangkan zikirullah itu membutuhkan hati yang sehat, jangan sampai spiritualnya terganggu, dengan kata lain kurang sehat. Artinya, dalam taqarrub kepada Allah melalui metode zikir ini dibutuhkan kesehatan hati (kebeningan hati) gunan menangkap sinar cahaya ketuahan.
Keempat, pendidikan sikap riḍā terhadap pemberian Allah, baik pemberian itu sedikit maupun banyak, wujudnya adalah sikap qanā’ah dan berserah diri terhadap pemberian Allah SWT. Secara istilah, riḍā merupakan sikap menerima dengan lapang dada dan tenang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah berupa hal yang menyenangkan atau tidak. Ia merupakan pintu menuju Allah paling agung, jika memang hati seorang hamba juga merasa tenang dalam naungan hukum Allah SWT. (At-Tusi, 1960: 80).
93 Orang yang mempunyai sikap qanā’ah menurut Amin Syukur adalah orang yang hatinya menerima kenyataan kaya itu bukan kaya harta, tetapi kaya hati. Kaya raya dengan hati yang rakus, maka akan tersiksa dengan sikapnya itu. Orang yang qanā’ah itu tetap bekerja sebagaimana manusia pada umumnya, tetapi ia tidak menggantungkan hasil kepada pekerjaannya itu. Amal usaha tidak bisa menjadi pedoman, tidak bisa di-cagerke (Jawa) hasilnya. Jika hanya berpegang teguh terhadap pekerjaan, maka akan menemui kekecewaan bila menjumpai kegagalan di kemudian hari, kata ibn Atha’illah dalam al-Hikam (Syukur, 2001: 69-70).
Qanā’ah merupakan tirai kehidupan. Apabila seseorang mempunyai banyak rezeki ia tidak sombong, tetapi justru ingat terhadap orang-orang miskin sehingga gemar bersedekah. Sifat qanā’ah yang dimiliki oleh seorang muslim akan dapat menimbulkan rasa senang dan tentram dalam hatinya, dalam kajian pendidikan karakter diistilahkan lapang dada (insyirah). Sebab apapun yang dimiliki orang lain walaupun berlebih-lebihan tidak akan berpengaruh pada kehidupannya. Orang yang memiliki sifat qanā’ah tidak akan iri atau dengki terhadap kehidupan (rezeki) orang lain, karena ia yakin sekali bahwa rezeki seseorang yang menentukan adalah Allah SWT. (Zubaidi, 2015: 103).
Dalam mendiskusikan term qanā’ah, menurut Nurcholish Madjid diistilahkan lapang dada (insyirah), hal ini bagian dari pendidikan tasawuf, karena menurutnya ada dua dimensi yang harus diperhatikan, yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Hubungannya dengan dimensi kemanusiaan salah satunya adalah menghajatkan penanaman sikp lapang dada (insyirah) (Madjidi, 1997: 128-138).
Sejalan dengan pemikiran ini, Hamka sebagaiamana Novi Maria Ulfah dan Dwi Istiyani mendasarkan lima hal dalam qona’ah yaitu:
a) menerima dengan rela akan apa yang ada;
b) memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha; c) menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan;
d) bertawakal kepada Tuhan;
e) tidak tertarik oleh tipu daya dunia (Ulfah, 2016: 100).
Kelima, pendidikan ruju’ ilallah; atau dengan istilah lain taubat sebagaimana pernyataan ar-Râzi (t.t.: 55) bahwa taubat berarti kembali dari dosa menujun kebaikan atau meninggalkan dosa. Wujud dari perilaku ini menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah selalu bersyukur kepada
Allah, atas semua karunia yang diberikan baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan. Dalam literatur sufistik, sebagaimana Ibnu Qudamah (2000: 289) bahwa perilaku yang mendatangkan dosa itu di maknai sebagai ḥijab (tirai penghalang) dari al-Mahbub (Kekasih: Allah). Oleh karena itu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disukai oleh al-Mahbub (Allah) adalah wajib, hal ini dapat dilakukan dengan jalan al-‘ilm (pengetahuan), an-nadm (penyesalan) dan al-‘azm (kemauan atau niat) (Zubaidi, 2015: 151).
Taubat merupakan salah satu tangga (maqam) dalam dunia sufistik dan ia merupakan tangga pertama yang merupakan pondasi dasar. Demikian pula perjalanan seorang sufi, ia hendaknya harus melewati tangga taubat ini, karena ia merupakan kesadaran esoteris. Kesadaran esoteris menurut (Suteja, 2011: 15) adalah sebuah kesadaran yang senantiasa meneguhkan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi sumber segala bentuk kesadaran. Kesadaran akan hadirnya kekuatan Ilahiah bisa menghadirkan kesadaran praksis yang amat signifikan bagi pengembangan kepribadian baik privat maupun sosial. Sebagaimana firman Allah “bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, agar supaya kamu sekalian menjadi orang yang beruntung” (Al-Kurdi, t.t.:418). Sebagaimana pesan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dengan menyatakan bahwa hendaknya seseorang melakukan tiga hal dalam kehidupan, salah satunya adalah bersegeralah untuk bertaubat kepada Allah SWT. (Al-Kurdi, t.t.: 451).
95