• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

C. Alasan-Alasan yang Menjadi Dasar Perubahan Status PLN dar

1. Alasan Yuridis

Perum dan Persero merupakan badan hukum yang sifatnya dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan pembentukan PLN tersebut menjadi Persero.84

Perusahaan Perseroan (Persero) adalah Perusahaan Negara sebagaimana yang diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-Undang

Pengalihan status PLN dari Perum menjadi Persero didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

83

Laporan PT. PLN (Persero), “Bekerja Secara Berkelanjutan”, Op. cit., hal. 14.

84

Hukum Dagang (KUHD). Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) merupakan peraturan pelaksana dari UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang.85

Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam KUHD. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini ditetapkan bahwa unsur pemilikan Negara atas setiap usaha Negara yang berbentuk Persero disentralisir penatausahaannya kepada Menteri Keuangan.86

Hal ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa pada hakekatnya fungsi utama dari Persero ialah pemupukan dana bagi Negara ataupun sebagai alat untuk mencari sumber keuangan Negara. Dalam hubungan ini masalah penanaman kekayaan Negara dalam modal Persero sangat erat hubungannya dengan kebijaksanaan Keuangan Negara, kebijaksanaan mana dalam keseluruhannya merupakan tugas dari Menteri Keuangan.

87

Berdasarkan pertimbangan tersebut bahwa penanaman kekayaan Negara dalam modal PT. PLN (Persero) bertujuan untuk memupuk dana bagi Negara, maka

85

Konsideran PP No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Perppu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang yang peraturan pelaksananya diatur dalam PP No.12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).

86

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).

87

sebagai suatu syarat utama yang harus diperhatikan dalam hal ini ialah penyertaan modal tersebut hanya akan dilakukan oleh Negara jika Persero tersebut dapat memberikan keuntungan bagi Kas Umum Negara. Berhasil tidaknya sesuatu Persero untuk memenuhi fungsi utamanya, antara lain sangat bergantung dari pengurusan yang dilakukan oleh Direksi Persero yang bersangkutan.

Dalam hubungan ini tentulah merupakan suatu keharusan bagi anggota Direksi yang diangkat mempunyai keahlian atau pengetahuan teknis yang sesuai dengan bidang usaha dari Persero tersebut. Sesuai dengan hal ini, maka baik pengangkatan anggota Direksi (dalam hal modal Persero seluruhnya merupakan milik Negara) ataupun pencalonan anggota Direksi kepada Rapat Umum Pemegang Saham (dalam hal Negara hanya memiliki sebagian modal Persero) dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang saham didasarkan atas usul dari Menteri yang bidangnya sesuai dengan tujuan dan lapangan usaha Persero tersebut (Menteri bidang teknis). Ketentuan yang sedemikian akan dapat pula menjamin tercapainya keserasian antara pengurusan Persero yang harus dilakukan oleh Direksi Persero dan bimbingan yang harus diberikan oleh Menteri bidang teknis yang bersangkutan terhadap Persero tersebut.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero), ”Negara hanya dapat melakukan penyertaan modal dalam sesuatu perseroan terbatas, untuk seluruhnya atau sebagainya, apabila untuk itu telah disediakan modal dari negara berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada dasarnya pemisahan kekayaan

Negara untuk dijadikan penyertaan Negara dalam modal Persero hanya dapat dilakukan melalui (undang-undang) dan dipisahkan dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

Pemisahan kekayaan Negara untuk dijadikan modal nominal dari suatu Persero dapat dilakukan untuk alasan-alasan yaitu:88

a. Pendirian suatu Persero baru; b. Perluasan kapasitas sesuatu Persero;

c. Untuk memperbaiki atau mengadakan reorganisasi keuangan sesuatu Persero yang ternyata mengalami kerugian terus atau yang struktur keuangannya telah memburuk sedemikian rupa, hingga tidak memungkinkan pengurusan yang baik tanpa penambahan modal.

d. Turut sertanya Negara dalam modal perseroan terbatas (swasta) yang telah berdiri.

Dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ditentukan hal-hal yang menjadi alasan yang disyaratkan secara yuridis pengalihan bentuk perusahaan Negara menjadi Persero. Perusahaan Negara yang akan dialihkan bentuknya menjadi Persero harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:89

a. Telah melakukan penyehatan sedemikian rupa sehingga perbandingan antara faktor-faktor produksi menunjukkan perbandingan yang rasional;

b. Telah menyusun neraca dan perkiraan laba/rugi sampai dengan saat dijadikannya sebagai Persero dengan ketentuan bahwa neraca penutupan atau likuidasinya diperiksa oleh Direktorat Akuntan Negara dan disahkan oleh Menteri yang bersangkutan;

c. Telah melunasi semua hutang-hutangnya kepada Kas Umum Negara; d. Ada harapan baik untuk mengembangkan usahanya tanpa rugi.

88

Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).

89

Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).

Perseroan terbatas yang modal sahamnya baik untuk seluruhnya maupun sebagiannya merupakan milik Negara yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini telah berdiri, dinyatakan termasuk dalam Persero setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh Menteri Keuangan.90

Dari tahun 1969 sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) ini, status PLN masih dialihkan dari Perjan menjadi Perum. Sebagaimana dasar hukum PLN sebagai Perum pada masa itu adalah PP No.17 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara. Empat tahun kemudian status PLN sebagai Perum tersebut dialihkan (diubah) menjadi Persero berdasarkan PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Alasan yuridis perubahan status PLN dari Perum menjadi Persero dapat diperhatikan pada bagian konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), menyebutkan:

Termasuk Neraca pembukaan dari Persero juga ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Menimbang bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik, maka Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1990 dinilai memenuhi persyaratan untuk dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969.

90

Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan (Persero).

Alasan utama yang dikemukakan dalam konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) adalah ”...dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik...”. Mulai dari sejak dikeluarkannya PP ini tampaknya usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik tidak kunjung selesai. Persoalan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik bahkan pada rejim privatisasi sekalipun kondisi pengusahaan tenaga listrik di Indonesia tetap pada kondisi kekurangan sumber daya dan kekurangan penyediaan tenaga listrik untuk disalurkan kepada ‘’ stakeholder’’ (rumah tangga,dunia usaha dan pemerintah).

Selama ini ketika pengusahaan tenaga listrik di Indonesia yang dilaksanakan oleh PLN berstatus Perjan maupun Perum cenderung terkendala dalam prosedur birokrasi, sebab Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan bertindak sebagai pemilik perusahaan dan sekaligus sebagai pengelola serta penentu kebijakan pengusahaan tenaga listrik. Tentu dalam kondisi ini pengelolaan ketenagalistrikan dapat dipastikan tidak efektif dengan urusan prosedur birokrasi yang panjang, lama, mengakibatkan pengelolaan ketenagalistrikan dikelola secara tidak profesional.

Birokrasi cenderung membuat segala sesuatu yang diperlukan menjadi lambat sebab dalam birokrasi pengelolaan ketenagalistrikan tersebut melibatkan peran dari instansi-instansi terkait. Dalam posisi status PLN sebagai perjan dan perum, pemilik perusahaan sekaligus sebagai pengelola dan penentu kebijakan pengusahaan tenaga

listrik sama-sama berada pada kewenangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan. Bedanya hanya terletak pada penempatan fungsinya saja, di mana fungsi Perjan adalah murni melaksanakan pelayanan umum sedangkan Perum berfungsi di samping sebagai pelayanan umum juga berfungsi untuk mendapatkan keuntungan. Dalam status PLN sebagai Perum, peran Pemerintah berusaha untuk menjadikan pengusahaan tenaga listrik sebagai entitas bisnis.

Sekalipun kondisi pengusahaan tenaga listrik di Indonesia diubah statusnya dari Perjan menjadi Perum tetap saja pada kondisi ini PLN kekurangan sumber daya dan pasokan listrik kepada masyarakat. Sebab untuk melakukan pengembangan, khususnya disisi pembangkitan, PLN terkendala dalam hal pengambilan keputusan ,karena kebijakan pengembangan harus melibatkan unsur Pemerintah dengan birokrasinya yang rumit, misalnya membangun pembangkitan baru harus mendapat persetujuan Pemerintah.

Kendatipun status PLN dirubah dari Perjan ke Perum hingga menjadi PT. PLN (Persero) dengan alasan untuk tujuan efektifitas tetap saja tujuan tersebut tidak bisa dicapai khususnya dalam hal subsidi. Sebab pada kenyataannya subsidi untuk PT. PLN (Persero) mesti ditempuh melalui birokrasi panjang mulai dari tahap pengajuan subsidi dari pihak PT. PLN (Persero) sendiri kepada Menteri ESDM sebagai Menteri teknis, kemudian Menteri ESDM menyampaikan usulan tersebut kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Keuangan, juga harus mendapat persetujuan dari legislatif.

Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham akan menentukan besaran subsidi yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah. Jika dengan pertimbangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan tersebut disetujui maka permohonan pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) tersebut baru kemudian bisa diberikan kepada PT. PLN (Persero) untuk dipergunakan menutupi beban biaya produksi. Panjangnya mekanisme birokrasi seperti dijelaskan diatas sudah pasti membutuhkan waktu yang lama untuk dapat direalisasi sementara kebutuhan akan pengembangan tenaga listrik sangat diperlukan. Ternyata dengan kondisi status PLN sebagai PT. PLN (Persero) tetap saja pengelolaan usaha tenaga listrik menghadapi kendala menjadi tidak efektif.

Berubahnya status PLN dari Perjan ke Perum dan dirubah lagi menjadi PT. PLN (Persero) dengan alasan untuk tujuan efisiensi, tetap saja tujuan efisiensi tersebut tidak maksimal tercapai. Sebab setiap tahunnya permintaan akan tenaga listrik baik untuk rumah tangga, dunia usaha dan pemerintah sangat tinggi sedangkan sumber dana investasi dari APBN, dana internal, dan pinjaman/hutang tidak sebanding dengan kebutuhan dana untuk pengembangan (lihat tabel 9).

Langkah-langkah yang telah dilakukan PT. PLN (Persero) untuk melaksanakan efisiensi dilakukan dengan cara menekan biaya operasional utamanya biaya produksi, misalnya secara bertahap mengganti penggunaan bahan bakar minyak dari HSD dan MFO untuk menjalankan mesin pembangkit yang selama ini harus diimpor dengan menggunakan mata uang dollar menjadi gas yang dapat diperoleh dan dibeli di dalam negeri dengan menggunakan mata uang rupiah. Pelaksanaan

efisiensi yang terus dilakukan PT. PLN (Persero) sampai saat ini dengan banyak membangun pembangkitan yang tidak menggunakan bahan bakar minyak (HSD dan MFO) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pembangkitan yang menggunakan batubara, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pembangkitan yang menggunakan air yang dibangun didaerah yang dekat dengan sumber air yang terdapat didaerah-daerah pegunungan, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).pembangkitan yang menggunakan panas bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) pembangkitan yang dapat menggunakan gas dan batubara.

Upaya penggantian penggunaan bahan bakar minyak HSD dan MFO yang selama ini harus import dengan pembayarannya menggunakan dollar ($ US) akan sangat berpengaruh dapat dilakukannya penghematan/efisiensi karena kemampuan membeli bahan bakar minyak tersebut tidak tergantung lagi kepada nilai kurs rupiah terhadap dollar.

Selain untuk tujuan efisiensi dan efektifitas pengusahaan tenaga listrik sebagaimana yang disebutkan pada konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), dalam konsideran PP tersebut juga disebutkan ”...sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969” dengan alasan-alasan dalam pertimbangan undang-undang ini:91

91

Konsideran dalam UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang- Undang.

a. Perusahaan-perusahaan Negara sebagai unit ekonomi yang tidak terpisah dari sistem ekonomi Indonesia perlu segera disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966;

b. Dalam kenyataannya terdapat usaha Negara dalam bentuk Perusahaan Negara berdasarkan Undang-Undang No.19 Prp Tahun 1960 yang dirasakan tidak efisien, sehingga dipandang perlu untuk segera menerbitkannya kembali; dan c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969

(Lembaran-Negara tahun 1969 No.16, Tambahan Lembaran-Negara No. 2890) tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara yang dikeluarkan atas Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditetapkan menjadi Undang- undang.

Munculnya UU No.9 Tahun 1969 di atas, alasan dalam pertimbangannya karena untuk disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

Jika diperhatikan isi dan jiwa yang terkandung di dalam pertimbangan TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966, pemerintah ingin menjadikan perusahaan-perusahaan Negara sebagai unit ekonomi tidak terpisah dari sistem ekonomi Indonesia dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik dimaksud dalam konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).92

92

Konsideran PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) menghubungkan ketentuan ini dengan konsideran yang terdapat dalam konsideran UU No.9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang, sementara di dalam konsideran UU No.9 Tahun 1969 ini alasan dalam pertimbangannya karena untuk disesuaikan pengaturan dan pembinaannya menurut isi dan jiwa TAP

Alasan dalam pertimbangan TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 secara yuridis untuk menanggulangi penderitaan rakyat yang makin meningkat akibat dari kemerosotan ekonomi Indonesia yang disebabkan oleh faktor-faktor missmanagemen, pemborosan, birokrasi, korupsi, dan sebagainya, ditambah dengan pemberontakan dari gerakan G.30.S./PKI dan penyelewengan-penyelewengan terhadap Undang- Undang Dasar 1945, maka perlu diperbaharui kebijaksanaan di bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

Maka langkah pertama kearah perbaikan ekonomi rakyat ialah penilaian kembali daripada semua landasan-landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai yakni masyarakat Indonesia yang sejahtera berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.

Pemerintah dalam hal ini sadar akan hakikat sumber pokok daripada kemerosotan ekonomi, maka untuk melaksanakan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia tersebut kembali ke pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yang pada intinya mengandung jaminan-jaminan ketentuan atau garansi-garansi obyektif yang memungkinkan dan bahkan mewajibkan pengawasan yang efektif oleh rakyat Indonesia terhadap kebijaksanaan Pemerintah melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat.

MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

Pada bagian penutup TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 khususnya pada Pasal 70 ditentukan dengan tegas, segala ketetapan, peraturan, dan ketentuan- ketentuan lain yang tidak sesuai dengan isi atau jiwa ketetapan ini dinyatakan tidak berlaku. Berarti konsideran yang disebutkan dalam PP No.23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) tunduk pada TAP MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.

Alasan yuridis yang dikemukakan di atas tidak berdampak pada pengelolaan PT. PLN (Persero) menjadi efektif. Subsidi yang diberikan kepada PT. PLN (Persero) mesti ditempuh melalui birokrasi panjang mulai dari tahap pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) sendiri kepada Menteri ESDM sebagai Menteri teknis, kemudian Menteri ESDM menyampaikan usulan tersebut kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Keuangan. Mekanisme panjang tersebut sudah pasti membutuhkan waktu yang lama dan birokrasi yang sulit terealisasi sementara kebutuhan akan pengembangan pusat-pusat pembangkitan tenaga listrik sangat diperlukan.

Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham baru akan menentukan berapa jumlah nominal subsidi yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah, jika dengan pertimbangan Pemerintah cq Kementerian Keuangan tersebut disetujui maka permohonan pengajuan subsidi dari PT. PLN (Persero) tersebut baru kemudian bisa diberikan kepada PT. PLN (Persero) untuk dipergunakan menutupi beban biaya produksi PT. PLN (Persero).

Untuk efisiensi produksi tenaga listrik melalui diversifikasi pembangkitan yang menggunakan dari Bahan Bakar Minyak menjadi bahan bakar gas, uap, air, dan panas bumi.93

Dokumen terkait