• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori -Teori yang Mendukung

2.1.1.3 Alat Peraga

Hal ini dibahas dalam (1) pengertian alat peraga, (2) manfaat alat peraga (3) alat peraga matematika Montessori, dan (4) ciri-ciri alat peraga Montessori

2.1.1.3.1 Pengertian Alat Peraga

Alat peraga adalah salah satu sarana yang dipakai oleh pengajar sebagai salah satu sarana untuk mengajar. Ali dalam Sundayana mengungkapkan bahwa alat peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan yang merangsang pikiran, perasaan serta perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat belajar (2014: 7). Simanjuntak bahwa alat peraga adalah alat bantu yang dapat digunakan untuk merangsang beberapa panca indera dari lima panca indera (2008: 80).

Berdasarkan kedua teori tersebut, alat peraga adalah alat bantu pembelajaran untuk menyampaikan pesan dan dapat merangsang beberapa panca indera dari kelima panca indera.

2.1.1.3.2 Manfaat Alat Peraga

Ruseffendi (1979: 1) mengatakan bahwa alat peraga dapat membantu proses belajar mengajar termotivasi, yakni minat belajar akan timbul, konsep abstrak tersajikan konkrit dan karena itu jadi lebih mudah dipahami. Montessori menjelaskan bahwa semua material yang berguna untuk mendorong perkembangan anak secara intelektual dan melatih keterampilan anak (Hainstock, 1997: 82).

Hal tersebut peneliti simpulkan bahwa alat peraga membantu melatih perkembangan anak secara intelektual, minta belajar akan timbul dan mampu melatih konsep dari konkret ke abstark dan lebih mudah dipahami.

2.1.1.3.3 Alat Peraga Matematika Montessori

Ruseffendi dalam Sundayana (2014: 7) menjelaskan bahwa alat peraga adalah alat yang menerangkan atau mewujudkan konsep matematika, sedangkan menurut Pramudjono dalam Sundayana juga memaparkan bahwa alat peraga matematika ialah benda konkret yang dibuat, dihimpun dan disusun secara sengaja dan digunakan untuk membantu menanamkan dan mengembangkan konsep matematika (2014: 7). Kegiatan terhadap objek langsung berupa pengalaman dan penggunaan metode pembelajaran pada anak kelas bawah sangat penting dalam pengembangan dan pemikiran aritmatikanya. Alat peraga matematika Montessori adalah material yang dirancang berdasarkan konsep dan desain yang unggul yang mencakup pemahaman matematika yang ingin dicapai (Lillard, 1997: 137).

Berdasarkan definisi diatas, alat peraga matematika Montessori adalah benda konkret yang menerangkan konsep matematika yang hendak dicapai. 2.1.1.3.4 Ciri-Ciri Alat Peraga Montessori

Pembelajaran Montessori sangat memperhatikan detail-detail dalam lingkungan belajar di kelas, seperti perlengkapan di dalam kelas. Perlengakapan di dalam kelas seperti meja didesain khusus. Meja untuk anak yang dapat duduk berdua dan design meja untuk anak yang dapat duduk sendirian berbeda, bahkan untuk anak yang dapat duduk bertiga atau lebih (Montessori, 2002: 81). Setiap alat peraga Montessori memiliki fungsi masing-masing. Alat peraga Montessori memiliki 5 karakteristik, yaitu (1) menarik (2) bergradasi (3) auto-education dan (4) auto-correction (Montessori, 2002: 170-176) dan kontekstual (Magini, 2013: 58).

2.1.1.3.4.1 Menarik

Menarik dalam pembelajaran Montessori ialah ketika menarik perhatian anak secara spotan terhadap suatu pembelajaran yang ia alami (Montessori, 2002: 74-75). Suatu ketika anak-anak berkonsentrasi belajar atau bekerja dengan alat peraga Montessori, seperti contoh Ratu Margarita dengan seorang gadis kecil di Casa dei Bambini. Ia sempat dicueki oleh seoranga gadis kecil yang sedang asyik bekerja. Sang Ratu kemudian tersenyum karena begitu anak tersebut selesai bekerja, ia menghampiri ratu yang menyapa dengan ramah (Magini, 2013: 56). Ada hal yang lain yang menyebabkan alat peraga Montessori menjadi menarik ialah sesuai dengan kebutuhan. Montessori telah melakukan berbagai observasi kepada anak, yang pertama kali dilakukannya kepada anak

tuna grahita di sebuah rumah sakit jiwa. Ia sangat tergugah untuk membantu anak-anak tersebut keluar dari sebuah penjara rumah sakit jiwa, dengan mengadakan observasi dan uji coba kepada anak-anak tersebut. Anak-anak tersebut diberi alat peraga didaktis untuk meransang mereka belajar. Montessori dalam melakukan eksperiment tersebut, berkali-kali melakukan observasi perilaku anak dan mencatat reaksi mereka serta memodifikasi benda-benda pembelajaran agar sesuai dengan minat serta kebutuhannya (Magini, 2013: 37).

Peneliti juga mengembangakan alat peraga Montessori dengan ciri menarik, yakni bentuk, warna dan sesuai dengan kebutuhan anak. Bentuk yang didesain oleh peneliti juga menarik minat anak dengan adanya penutup yang bisa dibuka pada bagian atas, dan ada laci yang bisa ditarik, tidak hanya itu terdapat mangkuk-mangkuk untuk mewadahi manik-manik. Warna yang dipakai adalah warna-warna yang anak sukai yakni hijau, biru dan merah. Kebutuhan ini terletak dari hasil wawancara yang dilakukan oleh guru kelas II dan sekelompok siswa dan dalam kajian kurikulum 2013, yakni alat peraga dengan materi perkalian dan pembagian.

2.1.1.3.4.2 Bergradasi

Bergradasi dalam alat peraga mengandung makna konsistensi. Penggunaan alat peraga Montessori sebagian besar menggunakan indera yang ada pada tubuh manusia. Setiap alat peraga, terdapat suatu tingkatan yang terus-menerus dan konsisten yang dapat merangsang indera untuk menjadi semakin peka, misalnya, untuk memperkenalkan gradasi bentuk dapat digunakan menara pink (pink tower) yang memiliki 10 kubus yang jika disusun akan semakin

mengkerucut karena setiap kubus memiliki selisih sisi sepanjang 1 cm (Montessori, 2002: 173-175). Bergradasi dalam penggunaan alat, pembelajaran Montessori, selain itu juga bergradasi dalam materi pembelajaran, sebagai contoh

binomial cube. Binominal cube digunakan untuk anak Taman Kanak-Kanak (TK)

bermain menyusun cube berdasarkan warna yang sama. Berbeda dengan anak Taman Kanak-Kanak, penggunaan binominal cube pada tingkatan yang lebih tinggi digunakan untuk pembelajaran materi kuadrat. Tidak hanya itu bergradasi juga dimaksudkan pada pembelajaran tahapan warna dari tua ke muda atau muda ke tua pada alat peraga Montessori yaitu color box (Nienhuis, 2013: 57)

Alat peraga yang dikembangkan peneliti memiliki ciri bergradasi yakni, alat peraga dapat mempelajari konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Sebelum anak mempelajari konsep perkalian dan pembagian dengan hasi di bawah 100, anak mempelajari penjumlahan dan pengurangan paling tidak di bawah 100 juga. Alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti ini, dapat digunakan oleh kelas I dan II pada tingkat Sekolah Dasar. 2.1.1.3.4.3 Auto-Education dan Auto-Correction

Suatu hari seorang anak laki-laki belajar dengan menggunakan alat peraga sylinder. Ia sangat serius melakukan hal tersebut sampai dilakukan berkali-kali tanpa mengenal waktu. Ia sangat “betah” belajar dengan alat tersebut. (Montessori, 2002: 170-171). Ia mencoba menaruh sylider berukuran 10cm ke dalam lubang yang berukuran lebih kecil dari ukuran tersebut, maka sylinder itu tidak masuk kedalam lubang. Ini membuktikan bahwa alat peraga atau alat pembelajaran Montessori memiliki auto-correction sekaligus auto-education.

Auto-correction yang dimaksud sylinder yang ukurannya lebih besar tidak dapat masuk ke lubang yang ukurannya lebih kecil. Ketika salah menaruh sylinder ke salah satu lubang, ia akan mencoba dengan berbagai macam cara. Setiap sylinder harus masuk ke dalam tempatnya dengan pas atau benar. Ketika 1 urutan tergeser maka silinder tidak masuk secara pas. Ketika ia sadar akan kesalahannya, maka ia segera membetulkannya dengan cara menukar-nukarnya dengan sylinder yang lain sampai benar. Alat ini akan mendorong anak untuk melakukan banyak percobaan dan banyak cara sehingga mereka mereka banyak melakukan kesalahan. Melalui kesalahan-kesalahan ini mereka belajar menemukan cara yang tepat. Tujuan dari Montessori itu tidak mengaharapkan anak mengerjakan dengan sempurna saat itu juga, sekali jadi tetapi mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Ada pemahaman guru bahwa harus membenarkan anak-anak itu ketika melakukan kesalahan., tetapi itu bukan tujuan dari anak-anak itu. Tujuannya adalah membiarkan untuk mencoba, konsekuensinya anak yang menemukan dengan berbagai cara bahkan yang kurang tepat dan dari berbagai cara yang berbagai cara yang kurang tepat. Ia akhirnya menemukan cara yang tepat.

Seorang anak tidak bisa dicetak oleh seorang guru, tetapi Ia tumbuh menjadi seseorang karena apa yang Ia lakukanya, bukan di cetak guru maupun dengan bimbingan guru. Metode Montessori bertentangan dengan pemelajaran tradisional. Guru sebaiknya memiliki daya observasi yang kritis, bahkan disuatu titik dia harus bisa menghitung berapa alat itu menarik bagi seorang anak (Montessori, 2002: 174-175). Alat tabung sylinder memungkinkan anak auto- edukasi karena memungkinkan pendidikan sensorik yang bermetode. Tidak

melalui didikan seorang guru dengan gaya bank, tetapi semata-mata dengan sistem penyimpulan. Gaya bank yang dimaksud ialah ruang gerak anak yang disediakan bagi kegiatan anak hanya sebatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Para murid atau anak adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Kegiatan yang terjadi di dalam kelas bukan proses komunikasi, melainkan guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” (Freire, 1985: 50). Auto-education yang dialami anak ini adalah kesadaran bahwa ia menyimpulkan didalam benaknyan ia melakukan cara yang kurang tepat untuk dapat memasukkan sylinder ke dalam lubangnya. Sistem penyimpulan yang dimaksud ialah ketika anak belajar dan menyadari bahwa ia melakukan cara yang tidak tepat, seperti contoh sylinder tadi sehingga ia tidak dapat memasukkan sylinder dengan diamerter 10 cm di lubang yang tepat ia membuat kesimpulan pembelajaran “cara yang saya gunakan tidak tepat, maka saya harus menggunakan cara yang lain”. Ini membuktikan bahwa mereka belajar dari alat tersebut yang memiliki sehingga mereka dapat menyadari sendiri kesalahan yang mereka lakukan dan memuat kesimpulan pembelajaran.

Alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti mengandung ciri

auto-education dan auto-correction. Auto-correction terlihat dari manik-manik yang

dihitung ketika mempelajari konsep perkalian dan pembagian. Jika anak salah mengambil jumlah manik yang dimaksud, maka hasil perhitungan akan salah, maka dari itu untuk memperkecil kesalahan yang terjadi, peneliti menggunakan mangkuk besar sebagai media untuk mengambil manik. Hal ini juga terdapat pada kartu soal, anak dapat melihat cara dan jawaban yang benar pada kartu soal bagian

belakang. Cara yang kurang tepat yang dilakukan anak, seperti salah melakukan operasi hitung membuat anak sadar akan kesalahannya, selain itu dengan alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti anak dapat belajar secara mandiri tanpa dipandu guru selama proses pemakaian alat peraga.

2.1.1.3.4.4 Kontekstual

Montessori memtuskan membuat huruf-huruf tegak bersambung menggunakan karton dan membuat huruf yang sama dengan menggunakan amplas, karena tidak adanya ketersediaan kayu untuk membuat huruf tersebut dengan biaya yang terbatas (Magini, 2013: 58). KBBI menyatakan bahwa konteks berarti keseluruhan budaya atau situasi tempat.

Alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti memiliki ciri kontekstual yakni pada pembuatan alat peraga. Alat peraga yang dikembangkan oleh peneliti terbuat dari bahan-bahan yang dapat didapat dengan mudah di lingkungan SD. Kayu pinus yang dipilih untuk pembuatan alat, didapat didaerah sekitar Pugeran, satu daerah dengan SD penelitian yang dipilih oleh peneliti.

Berdasarkan uraian ciri-ciri diatas, peneliti menggunakan kelima ciri tersebut untuk mengembangkan alat peraga bernama kotak perkalian dan pembagian. Ciri menarik terletak pada bentuk, warna dan sesuai kebutuhan pada alat peraga kotak perkalian dan pembagian. Bergradasi terletak pada pemakaian alat tersebut, alat peraga ini dapat dipakai untuk kelas I yakni penjumlahan dan pengurangan pada kelas II pada materi perkalian dan pembagian. Auto-education dan Auto-correction terletak pada manik-manik hijau dan katu jawaban kartu soal,

dan terkahir kontektual terdapat pada pembuatan yang menggunakan potensi lokal yang ada di wilayah sekitar yakni kayu pinus.

2.1.1.4 Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika membahas belajar dan pembelajaran, pengertian matematika, dan pembelajaran matematika

2.1.1.4.1 Belajar dan Pembelajaran

Belajar dan pembelajaran akan di bahas dalam subbab belajar dan pembelajaran

2.1.1.4.1.1 Belajar

Susanto mengatakan (2013: 4) belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep,pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relative tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak. Belajar menurut Piaget merupakan adapatasi yang bersifat menyeluruh dan bermakna dari dalam diri sesorang sehingga ia mengalami perubahan (Semiawan, 2008: 11). Sejalan dengan pendapat Piaget, Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar didasarkan oleh dua asumsi, yaitu asal perolehan pengetahuan dan proses perolehan. Pengetahuan akan didapatkan bila seseorang mengalami proses interaktif yang menekankan keaktifan dengan lingkungan sekitarnya. Proses perolehan terjadi karena adanya adanya hubungan antara informasi yang diterimanya saat ini dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya (Dahar, 2002: 75). Belajar (learning) didefinisikan sebagai pengembangan pengetahuan, ketrampilan, atau sikap yang baru ketika seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan sekitarnya (Smaldino dkk, 2012:

11). Siregar dan Nara menjelaskan bahwa belajar merupakan sebuah proses yang kompleks yang didalamnya terkandung aspek bertambahnya jumlah pengetahuan, adanya kemampuan mengingat dan mereproduksi, adanya penerapan ilmu pengetahuan, menyimpulkan makna, menafsirkannya pada realitas serta adanya perubahan sebagai pribadi (2010: 4-5). Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotorik (Bahri, 2011: 13). Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, memperbaiki perilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian (Suyono dan Hariyanto, 2011: 9). Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010: 2).

Hal ini menunjukkan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja maupun tidak sengaja dan memiliki makna dari dalam diri seseorang dengan melalui proses perolehan serta asal perolehan sebuah pengetahuan secara menyeluruh.

2.1.1.4.1.2 Pembelajaran

Pembelajaran merupakan usaha yang dilaksanakan dengan sengaja, terarah dan terencana, dengan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan serta pelaksanaannya terkendali, dengan maksud agar terjadi belajar pada diri seseorang (Siregar dan Nara, 2010: 13).

Pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seseorang guru dan peserta didik, dimana diantara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya (Trianto, 2009: 17).

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh beberapa ahli, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.

2.1.1.4.2 Pengertian Matematika

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mengatakan (2007: 143) Matematika merupakan suatu ilmu umum yang berdasarkan pada perkembangan tekhnologi, disiplin ilmu dan mampu meningkatkan kemampuan pikir manusia. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyampaian masalah sehari-hari (Susanto, 2013: 185). Matematika adalah ilmu tentang suatu yang memiliki pola keteraturan dan urutan yang logis (Walle: 13). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Matematika merupakan bagian dari Ilmu pengetahuan yang bersifat pasti (eksakta) dan pengetahuan yang diperoleh dari hasil proses belajar (Haryono, 2014: 6). Johnson & Rising dalam Runtukahu dan Kandou (2014: 28) menyatakan matematika ialah bahasa simbol tentang berbagai gagasan dengan menggunakan istilah-istilah yang didefinisikan secara jelas, cermat, dan akurat. Ruseffendi dalam Heruman menjelaskan bahwa

matematika adalah bahasa simbol; ilmu tentang pola keteraturan yang berstruktur (2008: 1).

Pengertian-pengertian dari berbagai sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu terkait dengan keteraturan, bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasioanl yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan berargumen serta memberikan konstribusi dalam pemecahan masalah bilangan dan kehidupan sehari- hari.

2.1.1.4.3 Pembelajaran Matematika

Belajar matematika akan membuat siswa belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. (Susanto, 2013: 183). Piaget menyarankan agar pembelajaran matematika lebih ditekankan pada aktivitas, pengalaman dan penggunaan metode yang aktif (Suparno, 2001: 149).

Pembelajaran matematika peneliti simpulkan merupakan pembelajaran yang membuat siswa belajar bernalar secara kritis, dengan menggunakan metode membuat anak aktif.

Dokumen terkait