• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALERGI IMUNOLOGI

Dalam dokumen SOP Lengkap (Halaman 49-54)

1. RENJATAN ANAFILAKSIS

1. Definisi : Renjatan anafilaksis adalah keadaan gawat darurat yang ditandai

dengan penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmhg (hipotensi) akibat respons hipersensitifitas tipe I

2. Diagnosis : Hipotensi, takikardi, akral dingin, oliguri, dapat disertai dengan

•Reaksi sistemik ringan: rasa geli, gatal serta hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitaer mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen.

•Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronchus dan atau edema saluran napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaktik ringan.

•Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang bertambah berat. Spasme bronchus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskuler, aritmia jantung, koma.

3. Diagn. banding : Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik.

4. P. Penunjang : Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah, EKG

5. Penanganan :

A. Untuk renjatan:

1. Adrenalin larutan 1: 1000. 0,3-0,5ml subkutan/ intramuscular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila sengatan di kepala, leher, tangan atau kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infuse adrenalin 1 ml ( 1 mg) dalam dekstrosa 50% 250 cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/mnt dapat ditingkatkan sampai 4 ug/mnt sesuai dengan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jnatung atau gnaguan kardiovaskuler lainnya.

2. Pasang tourniquet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilonggarkan 1-2mnt setiap 10 menit.

3. Oksigen 3-5 l/mnt dengan sungkup atau kanul nasal, bila sesak, mengi dan sianosis.

4. Antihistamin intravena, intramuskuler, atau oral.

Rawat pasien di ICU jika dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi:

1. IVFD D5% dan NaCl 0,45% 2-3 l/m2 permukaan tubuh.

2. Dopamine 0,3-1,2 mg/kgBB/jam bila teknan darah tidak membaik.

3. Kortikosteroid 7- 10 mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam

B. Bila disertai spasme bronchus maka pasien diberkan inhalasi beta2 agonis. Jika spasme bronchus menetap aminofilin 4-6 mg/ kgBB dalam NaCl 0,9 % 10 ml diberikan pelan-pelan dalan 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infuse aminofilin 0,2-1,2 mg/kgBB/jam.

C. Bila disertai dengan edema berta saluran napas atas maka pada pasien dilakukan intubasi dan tracheostomi

D. Pemantauan paling sedikit 24 jam.

6. Komplikasi : Renjatan irreversible, kegagalan multi organ.

7. Prognosis : Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala. 2. ASMA BRONKIAL

1. Definisi : Asma bronchial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang

ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil T, makrofag, neutrofil dan epitel.

2. Diagnosis : Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa

berat di dada akibat factor pencetus. Asma bronchial dibagi menjadi: 1.Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu, asimptomatik, APE di antara serangan normal, asma malam < 2 kali/bulan, APE > 80%, variabilitas < 20%

2.Asma persisten ringan, gejala asma > 1 kali/minggu, < 1 kali/hari, asma malam > 2 kali/bulan, APE > 80%, variabilitas 20-30%

3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta 2 agonis kerja singgkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam > 1 kali/minggu, APE >60% dan < 80% prediksi atau variabilitas > 30%

4.Asma pesisten berat, gejala asma terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE < 60% prediksi atau variabilitas > 30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi kpada semua tingkatan derajat asma

3. Diagn. Banding : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung

4. P. penunjang : Laboratorium: jumlah eosinofil darah dan sputum, foto thoraks,

spirometri, uji tusuk kulit, uji bronchodilator atas indikasi, uji provokasi bronchus atas indikasi, analisa gas darah atas indikasi.

5. Penanganan :

1. Asma intermiten tidak memerlukan obat pengendali.

2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi atau pilihan lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin, anti leukotrien.

3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain kortikosteroid inhalasi + teofilin lepas lambat atau kortikosteroid inhalasi+ LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan atau kortikosteroid inhalasi + antileukotrien

4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi + LABA inhalasi + satu pilihan berikut:

• Teofilin lepas lambat

• Antilleukotrien

• LABA oral

Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta 2 agonis kerja singkat tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik, agonis beta-2 kerja singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat inhalasi.

Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap pelaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen

2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respon terapi awal.

3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromide) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat ( atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta 2).

4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg / hari setara prednisone. 5. Aminofilin tidak dianjurkan. ( bila diberikan dosis awal5-6 mg / kg BB dilanjutkan

infuse aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam. 6. Antibiotic bila ada infeksi sekunder

7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5) hari: inhalasi agonis beta-2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan jika ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.

8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan resiko tinggi : pemeriksaan fisik tambah berat, APE ( arus puncak ekspirasi) > 50% dan < 70% dan tidak ada perbaikan hipoksemia ( dari hasil analisis gas darah) pasien harus dirawat.

Pasien dirawat di ICU bila tidak berespon terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan /buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar pO2 < 60 mmHg dan/ atau pCO2 > 45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat.

6. Komplikasi : Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan

eksaserbasi akut dapat terjadi gagal napas dan pneumothoraks.

3. URTIKARIA KARENA OBAT

1. Definisi : Urtikaria karena obat adalah kelainan kulit dan mukosa yang

diinduksi obat berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan.

2. Diagnosis : Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit,

misalnya:OAINS, sulfonamide, antikonvulsan, penisilin, dan tetrasiklin

Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas: demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam beberapa hari terjadi erosi multiple pada membran mukosa, lepuhan, makula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan pelepasan kulit ≤ 10%.

3. Diagn.banding : Toxic epidermal necroticans (TEN), eritema multiformis

4. P. penunjang : Hitung eosinofil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit, kultus

sputum.

5. Penanganan :

1) Hentikan obat penyebab

2) Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah invasi bakteri 3) Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin

4) Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dari darah dan mukokutan 5) Pemberian makanan tinggi kalori

6) Penggantian cairan dan elektrolit

7) Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera 8) Konsultasi mata

9) Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata

10) Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal 11) Antibiotika tergantung hasil kultur

6. Komplikasi : Sepsis, syok hipovolemik, syok septic

Dalam dokumen SOP Lengkap (Halaman 49-54)

Dokumen terkait