• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEORI TERBENTUKNYA HUKUM DAN AZAS-AZAS

C. Teori Terbentuknya Hukum

2. Aliran Freirechtslehre (Hukum Bebas)

Aliran ini adalah anti tesis dari aliran Legisme, sama seka-li menentang apa yang menjadi paradigma hukum bagi para pengusungnya. Menolak mentah-mentah atas ketundukan hakim terhadap undang-undang, yang menempatkan hakim hanya sekedar pembunyi (corong) dari diktum-diktum yang ada dalam undang-undang, dan memecahkan masalah hu-kum dengan cara deduktif. Lahirnya aliran ini karena aliran legisme dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan dan ketida-kmampuannya memecahkan persoalan-persoalan baru dalam hukum. Aliran ini lahir di Jerman pada abad 19-20 dengan to-koh utama Kantorowics.

Aliran ini berpandangan bahwa terbentuknya hukum bukan di meja-meja lembaga legislatif, tetapi hukum itu ter -bentuk di dalam lingkungan peradilan. Tentu saja bila hukum terbentuk dalam ruang peradilan maka peran hakim sangat dominan, hakim berperan sebagai pembentuk hukum (judge made law). Disini hakim bebas memecahkan masalah dengan merujuk pada peraturan perundangan yang ada atau tidak. Disini kebebasan berfikir hukum hakim benar-benar di jamin, hal primer yang wajib diketahui hakim hanya segala hal yang terkait dengan jurisprudensi (putusan/pemikiran hukum dari hakim lainnya yang pernah dilakukan). Undang-undang men-jadi bahan hukum sekunder. Undang-undang dan kebiasaan bukan sumber hukum, tetapi hanya sebagai sarana pembantu hakim dalam upaya untuk menemukan hukum pada kasus yang konkrit.

Sebab titik tumpunya pada hakim, maka kapasitas keil-muan, professionalitas dan integritas hakim menjadi jami -nan yang menuntun keyaki-nan hakim dalam memecahkan problem hukum yang dihadapinya. Pandangan hakim lebih tertuju pada kasus yang terjadi dan mempertimbangkan ke-gunaan akan putusannya dalam kehidupan sosial kemasyara-katan.

Tujuan dari aliran freierechtslehre menurut R. Soeroso adalah:

1. Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara mem-ber kebebasan kepada hakim tanpa terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari. 2. Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat

kekurangan-kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi.

3. Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasar-kan kepada rechts ide (cita keadilan) https://mattakula. wordpress.com).

Ituah dua kutub ekstrim teori terbentuknya hukum, yang satu mengekang pemikiran hakim hanya tertuju pada un-dang-undang dan yang satu membebaskan seluasnya pemiki-ran hakim. Tesis dan antitesis dua alipemiki-ran penemuan hukum itu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan

3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)

Aliran rechtsvinding merupakan sintesa dari dua ali-ran sebelumnya, menggabungkan dua paham terbentuknya hukum sebelumnya. Aliran penemuan hukum ini muncul, karena perkembangan dan pandangan-pandangan terhadap hukum mengalami perubahan-perubahan, yaitu:

a. Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus berkembang. Sedangkan fakta menyebutkan bahwa pembuat undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat atau proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan undang-undang selalu ke-tinggalan. Akselerasi perkembangan kehidupan masyara-kat yang tidak mampu diimbangi pembuatan hukum, membuka banyak lorong kosong di bidang hukum.

b. Karena undang-undang hanya memberikan pedoman umum saja, sehingga persoalan renik-renik hukum men-jadi masalah tersendiri bagi hakim, dan tidak semua per-soalan hukum termuat dalam undang-undang.

c. Tidak ada undang-undang yang sempurna, ada saja celah yang bisa diterobos, baik dari segi penggunaan istilah ataupun dari penyusunan diktum hukum dalam undang-undang sehingga diperlukan cara lain untuk memahami undang-undang yang ada tersebut.

d. Kemampuan hakim terbatas.

Inti pandangan terbentuknya hukum dari aliran ini adalah bahwa hakim terikat dengan undang-undang, tetapi tidak seketat pada aliran Legisme yang hanya memposisikan ha-kim sebagai pembunyi undang-undang saja. Haha-kim diberikan kebebasan, namun kebebasan itu tidak sebebas dalam aliran freirechtlehre (aliran hukum bebas), kebebasan yang terikat. Tugas hakim dalam aliran ini adalah menyelaraskan undang-undang dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Aliran Rechtsvinding berkeyakinan bahwa jurispudensi sangat penting keberadaannya dan bagus untuk dipelajari. Disana dapat diketemukan metode memutuskan hukum ha-kim dan rasa keadilan yang diyakini oleh haha-kim. Keberadaan

ngan jurisprudensi, keberadaaan undang-undang lebih men-jamin pada kepastian hukum dan unifikasi hukum.

Menurut aliran Rechtvinding, hukum dapat dibentuk le-wat cara-cara sebagai berikut;

a. Lewat pembentukan peraturan perundang-undangan b. Lewat interpretasi terhadap undang-undang, karena

me-nganggap undang-undang itu belum mencakup persoa-lan hukum yang dihadapi dan pemikiran hakim tersendi-ri dalam sidang peradilan (rechtpraak).

c. Lewat penjabaran dan penyempurnaan undang-undang oleh hakim

d. Lewat tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh ma-syarakat (living law)

Pertanyaannya, Indonesia menerapakan aliran hukum yang mana?

Bila melihat pada peraturan hukum yang pernah dan tengah berlaku di Indonesia, kita dapat mengatakan dengan tegas bahwa Indonesia menganut aliran Rechtvinding. Bukti-nya dapat kita temukan dalam peraturan perundangan yang pernah berlaku pada zaman Hindia Belanda dengan singka-tan AB (Algemen Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia). Pada pasal 20 AB diyatakan bahwa “hakim harus mengadili berasarkan undang-undang” dan pada pasal 22 AB dinyatakan bahwa “hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas dan tidak lengkap, maka ia dapat di-tuntut atau dihukum karena menolak mengadili”.

Pada masa sekarang dapat dilihat dalam UU No. 48 Ta-hun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 16 ayat 1 dan pasal 28 ayat 1 sebagai berikut

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, me-ngadili dan memutus suatu perkara yang diajukan de-ngan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, me-lainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” (pasal 16 ayat 1).

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam ma-syarakat” (pasal 28 ayat 1).

Ketika UU No. 4 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diktum yang ter-dapat dalam pasal 28 ayat 1 pada undang-undang terdahulu dimuat kembali dengan redaksi yang sama tetapi diletakkan pada pasal 10 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 dengan redaksi sebagai berikut;

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, me-ngadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Aliran rechtsvinding sepertinya sebagai jembatan dari dua aliran ekstrim sebelumnya, namun pada praktiknya bu-kan persoalan mudah menyelarasbu-kan aturan perundangan dengan kebebasan berfikir hakim dalam menyelesaikan kasus hukum