• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Hukum Progresif: Satijpto Rahardjo

BAB VIII “MENEMUKAN” ARAH PEMBANGUNAN

A. Pembangunan Hukum “Ke-Indonesiaan”

2. Teori Hukum Progresif: Satijpto Rahardjo

Dalam dimensi tradisi paradigma positivistik dapat dipa-hami prilaku para penegak hukum di Indonesia yang tidak mampu bergerak emansipatoris dan progresif, tetapi sekedar menjadi alat yang instrumentalis, corong undang-undang dan pengetok palu dari teks-teks pasal yang dirumuskan dalam arena ruang kekuasaan. Keadilan kemudian sekedar diukur dari bunyi-bunyi pasal yang kaku dan dogmatik. Sedang-kan terobosan-terobosan penemuan hukum yang responsif dan progresif mati suri. Hukum yang hidup di masyarakat dimarjinalisasi bahkan terhapuskan. Lebih buruk lagi, dite-ngah paradigma sakuralisme kesucian teks-teks pasal yang logis tersebut, aparat penegak hukum di Indonesia telah biasa melangsungkan praktek jual beli pasal untuk mempertebal kantong-kantong saku mereka.

Krisis penegakan hukum di Indonesia yang statis, meru-pakan salah satu dampak dari paradigma penegakan hu-kum di Indonesia yang masih bersandar terhadap tipe tradisi hukum kontinental (rule of law). Tradisi hukum kontinental terklasifikasi sebagai tipe pembangunan hukum yang orto -doks karena mencirikan peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum bersifat positivis-instrumentalis dan menjadi alat yang am -puh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (Abdul Hakim, 1988: 27). Berbeda dengan paradigma responsif yang ada pada hukum adat. Dimana ciri utamanya ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan partisi-pasi yang luas bagi kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangu-nan hukum.

Fenomena ini memperlihatkan, pemikiran hukum di In-donesia ini pada hakikatnya mengalami involutif. Pemikiran-pemikiran hukum tampak statis dan sepi dari perdebatan. Sementara itu, beberapa ahli ilmu sosial berpendapat, bahwa ilmu hukum di Indonesia tidak mengalami kemajuan dengan kata lain terjadi suatu kemandegan (Satjipto Rahardjo: 2009: 22. 52). Dalam involusinya pemikiran hukum tersebut Satjipto Rahardjo memperkenalkan paradigma hukum progresif.

Kehadiran hukum progresif (Satjipto Rahardjo: 2009: 3) bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian ke -benaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang

keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.

Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi kepriha -tinan terhadap keadaan hukum di Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan pembenahan se-cara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan” hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivisme dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut bisa dilihat seti-daknya gejalanya Pada tahun 1970-an ada istilah “mafia pera -dilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineer-ing karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komer -sialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum (Faisal, 2010: 70).

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan ( ac-cording to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hu-kum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determina-si, empati, dedikadetermina-si, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan (Satjipto Rahardjo, 2009: xiii) .

Dari sudut teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan

men-garah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif bersentuhan, dipengaruhi beberapa teori hukum yang telah mendahuluinya, antara lain: konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu dikaitkan de-ngan tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism; Freirerechtslehre; Critical Legal Studies (Shidarta, 2011: 52). Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran hukum tersebut mengkritik doktrin hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak anti terhadap keberadaan sistem hukum positif.

Menjalankan hukum secara progresif tidak semata-mata berpijak pada rule and logic namun juga rule and behavior. Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver Wendell Holmes: “…The live of the law has not been logic. It has been experience”. Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan logi-ka peraturan namun juga harus mempertimbanglogi-kan hukum yang bersumber dari pengalaman empiris misalnya kearifan lokal. Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hukum progresif tidak memposisikan hu -kum sebagai intuisi yang netral. Hu-kum Progresif merupakan hukum yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang le-mah, pro rakyat dan pro keadilan (Sudijono, 2005: 187).

Hukum yang diposisikan sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung me-nguntungkan pihak yang kuat. Sebagaimana telah dikemuka-kan bahwa dalam mewujuddikemuka-kan tujuannya hukum budikemuka-kanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni menu-ju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang

gresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih baik.

Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata kuda” (masinal, atomizing, me-kanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekon-struksi fakta. Dengan demikian Dalam menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesubu-di/doing to the utmost).

Landasan filosofis hukum progresif menurut Satjipto Ra -hardjo, semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bu-kan lagi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice), melainkan menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian dipahami semata-mata se-bagai produk dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, maka bagi Satjipto Rahardjo, hu-kum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan ma-nusia. Hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan. Hukum sebagai kaidah dan pe-doman yang mengatur kehidupan dalam bermasyarakat agar tercipta ketentraman dan ketertiban bersama. Gagasan Hu-kum Progresif menempati posisi huHu-kum tersendiri. Berbagai kalangan dalam penanganan suatu kasus hukum, khususnya di dalam negeri yang menekankan preposisi teori Hukum Pro-gresif. Terutama penekanan pada unsur kemanfaatan berupa ketentraman manusia dalam masyarakat, berbangsa dan ber-negara (Elviandri, et. al, 2017: 23-77).

Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari ke-pentingan manusia. Kualitas hukum ditentukan oleh kemam-puannya untuk mengabdi kepada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan Hukum Progresif menganut ideologi “hukum yang prokeadilan dan hukum yang pro-rakyat”. Dengan ide-ologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum di-tuntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam pene-gakan hukum. Mereka harus memiliki empat dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepen-tingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya) harus men-jadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Asumsi yang mendasari progresivisme hukum adalah: 1) Hukum adalah untuk manusia, dan tidak untuk dirinya sendiri; b) Hukum itu selalu berada pada status law in the mak-ing dan tidak bersifat final; c) Hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak ber-nurani. (Barda Nawawi, 1984: 112)

Asumsi yang mendasari progresivisme hukum tersebut menekankan bahwa Hukum Progresif adalah hukum yang membebaskan. “Hukum untuk manusia” artinya, apabila ter-jadi hambatan-hambatan terhadap pencapaiannya maka di-lakukan pembebasan-pembebasan, baik dalam berilmu, berte-ori, dan berpraktik. Perspektif Hukum Progresif tidak bersifat pragmatis dan kaku, yang menggarap hukum semata-mata menggunakan “rule and logic” atau rechtdogmatigheid, dengan alur berfikir linier, marginal, dan deterministik. Bahwa para

digma Hukum Progresif akan senantiasa mencari keadilan dan kemanfaatan hukum dan harus berani keluar dari alur linier, marsinal, dan deterministic, serta lebih ke arah hukum yang senantiasa berproses (law as process, law in the making).

Taverne, terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi, “berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik, maka de-ngan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”. Kata-kata Taverne itu mencerminkan bahwa baik-nya suatu putusan hakim tidak tergantung kepada baikbaik-nya peraturan yang dibuat. Ia ingin menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang baik dan sempurna sekali pun, jika penerapannya oleh orang yang berprilaku buruk, maka hasilnya akan buruk dan mengecewakan banyak pihak (Elvi-andri dan Farkhani, 2016: 7).

Dengan demikian, hukum progresif sejatinya hanya be -rada ditangan hakim (penegak hukum) yang progresif pula. Maka jika hakim dapat digolongkan kepada dua golongan, yaitu hakim yang hanya berpegang kepada teks formal saja dan hakim yang teks hanya dijadikan panduan, maka hakim golongan kedua dianggap sebagai hakim yang progresif. Se -lanjutnya dalam proses memutus suatu perkara, hakim dapat dibagi kepada dua tipe, yaitu: pertama, adalah hakim yang apabila memeriksa ia bertanya kepada putusan hatinya ter-lebih dahulu dan kemudian baru mencarikan pasal-pasal undang-undangnya untuk legitimasi, kedua, hakim yang apa-bila memeriksa, bertanya kepada “perutnya” terlebih dahulu dan kemudian baru mencarikan pasal-pasal untuk memberi legitimasi. Hakim tipe pertama telah berpikir secara sem-purna karena menggunakan hati nuraninya atau kecerdasan spiritual. Logika yang dibangun tidak hanya menggunakan “logika peraturan” tetapi telah menggunakan “logika

kepatu-tan sosial” (social reasonableness) dan “logika keadilan”. Tipe hakim seperti itulah yang merupakan hakim progresif (Elvi -andri, et. al, 2017: 23-77).

Penegakan hukum dengan pendekatan hukum progresif di Indonesia membutuhkan hakim progresif, yaitu hakim yang mau bertindak dan berpikir luar biasa. Berpikir biasa berarti adalah berpikir, yang secara kaku, memegang aturan yang sudah disepakati. Berpikir yang hanya menggunakan IQ yang bersifat linier, mekanistis, rasional, logis dan ketat ber -dasarkan aturan. Sedangkan berpikir luar biasa adalah cara berpikir progresif yang berani membebaskan diri dari kete-rikatan dengan kalimat-kalimat yang tersusun dalam suatu aturan perundang-undangan. Aturan-aturan itu hanya seba-gai panduan dan selanjutnya ia berpikir secara mendalam untuk mencari makna yang tersembunyi. Tidak hanya logika peraturan, logika kepatutan sosial dan logika keadilan telah menjadi dasar pertimbangan setiap memutuskan perkara dengan pendekatan hukum progresif (Elviandri, et. al, 2017: 23-77).

Dari uraian di atas, penulis meyakini, bahwa hanya ha-kim, yang berpikir progresif dan menggunakan kecerdasan spiritual yang bisa membebaskan negeri ini dari perusak, mafia dan politik kekuasaan yang berpihak. Hakim progresif itu pula yang akan dapat membawa lembaga peradilan (Mah-kamah Agung RI) menjadi peradilan yang Agung dengan lahirnya putusan-putusan yang memberi perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.