• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Hukum Pembangunan: Mochtar Kusumaat-

BAB VIII “MENEMUKAN” ARAH PEMBANGUNAN

A. Pembangunan Hukum “Ke-Indonesiaan”

1. Teori Hukum Pembangunan: Mochtar Kusumaat-

Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hu-kum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak

ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hu-kum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandan-gan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman. Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sa -rana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engenee-ring) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkem-bang (Lilik Mulyadi, t.t: 1-2).

Pemikiran hukum Mochtar dapat dipahami pada peranan hukum dalam pembangunan. Mengenai hal ini dalam salah satu tulisannya Mochtar antara lain mengatakan sebagai beri-kut: “Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari pada kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena itu istilah pembangunan ekonomi sebenarnya kurang tepat, karena kita tidak dapat membangun ‘ekonomi’ suatu masyarakat tanpa menyang-kutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lain-nya”. Yang menjadi pertanyaan kata Mochtar adalah, “ada-kah peranan hukum dalam proses pembangunan itu; dan

bila ada apakah peranannya? Mochtar menjawab dengan mengatakan sebagai berikut: “Apabila kita teliti maka semua masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh peruba-han bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi ‘masyarakat dalam pembangunan’. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perobahan itu terjadi dengan cara yang teratur” (M. Kusumaatmadja, 1975: 3).

Pembangunan menurut Mochtar esensinya adalah pe-rubahan (perobahan: Mochtar). Dengan menggunakan makna ini tampaknya Mochtar lebih memilih makna denotatif dari pembangunan daripada makna konotatifnya yang berten -densi politik. Dalam konteks politik ketika itu, pembangunan adalah jargon politik Orde Baru yang dimaksudkan sebagai anti tesis terhadap orientasi politik Orde Lama yang terlalu ideologis tapi miskin program. Pembangunan dimaksudkan sebagai orientasi politik Orde Baru yang sarat program kerja (karya). Menariknya, meskipun Mochtar adalah bagian dari kekuasaan Orde Baru, namun sosok Mochtar tetap lebih ken-tal sebagai akademisi dan teknokrat hukum daripada seorang politisi partisan, sehingga makna pembangunan hukum di tangan Mochtar relatif lebih netral (Atip Latipulhayat, 2014: 628-630).

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan ja-mannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di

ma-secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban (Lilik Mulyadi, t.t: 1-2).

Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ke-tertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharap-kan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”/”law as a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran se-bagai berikut :

Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum me-mang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pem -bangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan” (M. Kusumaatmadja, 1995: 13).

Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu :

1. Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya;

2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum me-mang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan.

Dalam hubungan dengan fungsi hukum yang telah dike -mukakannya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupa-kan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang menga-tur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan me-liputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan kata lain suatu pendekatan nor-matif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila hen -dak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh (Lilik Mulyadi, t.t: 1-2).

Mengenai peran hukum dalam pembangunan Mochtar menegaskan bahwa hukum harus menjamin agar perubahan tersebut berjalan secara teratur. Penekanan Mochtar pada ka-limat “berjalan secara teratur” menunjukkan bahwa tercapa-inya “ketertiban” sebagai salah satu fungsi klasik dari hukum urgensinya ditegaskan kembali oleh Mochtar dalam menga-wal pembangunan. Perubahan yang merupakan esensi dari pembangunan dan ketertiban atau keteraturan yang meru-pakan salah satu fungsi penting dari hukum adalah tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun. Dengan peran hukum seperti ini, Mochtar ingin membangun hukum yang memberikan orientasi sekaligus koreksi atas jalannya pembangunan, bukan hukum yang hanya memberikan legi-masi kepada kekuasaan. Disini Mochtar memberikan formu -lasi yang tegas bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan sekaligus menepis tudingan bahwa konsep pembangu-nan hukum Mochtar adalah alat untuk melegimasi kekuasaan Orde Baru (Atip Latipulhayat, 2014: 628-630).

bukan-diadaptasi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of social en-gineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila di-jabarkan lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, dipengaruhi cara berpikir dari Herold D. Laswell dan Myres S. Mc Dou-gal (Policy Approach) ditambah dengan teori Hukum dari Ros-coe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi Indonesia. Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Las-well dan Mc Dougal dimana diperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi pada umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses melahirkan suatu kebi-jakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan (Lilik Mulyadi, t.t: 1-2).

Untuk memahami relasi dan interaksi antara hukum dan pembangunan Mochtar menekankan dua hal yaitu: pertama, persoalan hukum sebagai alat perubahan (pembangunan) dan; kedua, pembinaan atau perkembangan hukum itu sendiri. Berkenaan dengan hal yang pertama Mochtar mengulanginya dengan redaksi yang berbeda, “Mengenai masalah yang per-tama kita di sini ingin kemukakan masalah-masalah yang kita hadapi dalam memperkembangkan hukum sebagai suatu alat pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering)”. Disini kembali Mochtar lebih menekankan kepada fungsi dinamis hukum sebagai alat pembaharuan (perubahan) masyarakat tanpa harus meningggalkan fungsi hukum yang mengatur yang dalam hal ini Mochtar menyebutnya sebagai pemaha-man hukum yang lazim (konvensional) (Atip Latipulhayat, 2014: 628-630).

Dengan demikian, tanpa ragu, dengan pernyataan se-perti itu Mochtar tak hanya telah merekonseptualisasi hukum

dari perannya sebagai pengatur tertib kehidupan sosial (yang telah mapan) ke fungsinya sebagai perekayasa sosial (demi terwujudnya pembangunan nasional), tetapi alih-alih begitu juga telah men”transmigrasi”kan proses penciptaan hukum demi kepentingan pembangunan nasional dari wilayah ke-wenangan yudisial (dengan ‘judge-made law’nya) ke wilayah kewenangan legislatif, yang pada era Orde Baru didominasi oleh kewenangan eksekutif) (S. Wignjosoebroto: 2012).

Dalam perkembangannya selanjutnya, teori hukum pem-bangunan I oleh Mochtar Kusumaatmadja dan teori hukum pembangunan II (1980) melalui konsep pendekatan BSE (Bu-reucratic and Social Engineering) dimodifikasi kembali oleh Romli Atmasasmita dengan menambahkan teori hukum pro-gresif yaitu teori yang diperkenalkan oleh seorang ahli hukum yaitu Satjipto Rahardjo kedalam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja. Secara substansial, baik hukum progresif maupun hukum pembangunan tidak berhenti pada hukum sebagai sistem norma yang hanya bersandar pada rules and logic saja, melainkan juga hukum sebagai sistem perilaku. Kesamaan pandangan keduanya terletak pada fungsi dan peranan hukum dalam bekerjanya hukum dihubungkan de-ngan pendidikan hukum, namun demikian, kedua model hu-kum tersebut berbeda terutama pada tolak pangkal pemiki-rannya. Mochtar Kusumaatmadja beranjak dari bagaimana menfungsikan hukum dalam proses pembangunan nasional, sedangkan Satjipto Rahardjo beranjak dari kenyataan dan pengalaman tidak bekerjanya hukum sebagai sistem perilaku. Perbedaan lain terlihat pada bagaimana hukum pembangu-nan menegaskan bahwa kepastian hukum dalam arti ketera-turan/ketertiban (order) dipertahankan sebagai pintu masuk menuju arah kepastian hukum dan keadilan, sedangkan

hu-hukum tidak dapat memaksakan ketertiban kepada manusia, tetapi hukumlah yang harus ditinjau kembali. Perbedaan lain, dalam hukum pembangunan, bahwa hukum seyogyanya di-perankan sebagai sarana (bukan alat) pembaruan masyarakat (Law as a tool of social engineering), akan tetapi Satjipto Rahardjo lebih menegaskan bahwa model pemeranan hukum demikian dikhawatirkan menghasilkan dark engineering jika tidak di-sertai dengan hati nurani manusianya dalam hal ini penegak hukumnya.

Dari hasil analisis terhadap dua model hukum tersebut, kemudian Romli Atmasasmita merumuskan sebuah sintesis yang disebut model hukum integratif yang memberikan alter -natif solusi dari persoalan hukum dalam masyarakat. Prinsip hukum model integratif tersebut diyakini dapat memberikan konstribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional terutama dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum.