BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak-anak yang memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara fisik, emosi, maupun mental dengan anak-anak yang seusianya (Murtie, 2014:8). Istilah anak berkebutuhan khusus merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya (Thompson, 2010:2).
Atmaja (2018:8) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan yang terkait, jika mereka menyadari akan potensi penuh kemanusiaan mereka. Seorang anak dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan yang berbeda dari rata-rata anak normal, dan untuk dapat belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas, dan materi khusus.
Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik secara fisik, emosi dan mental berbeda dengan anak seusianya. Anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan belajar dan memerlukan pendidikan pelayanan khusus mengenai program, pelayanan, fasilitas, dan materi agar anak berkebutuhan khusus dapat belajar secara efektif.
b. Tipe Anak Berkebutuhan Khusus
Adapun tipe anak berekebutuhan khusus, sebagai berikut:
1) Tunanetra
Delphie (2006: 114) memaparkan tunanetra (partiallyseing and legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan untuk menggunakan indera penglihatannya. Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan. Anak yang memiliki gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak
7
penglihatannya, yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang bersangkutan.
Atmaja (2018:23) mengemukakan, klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, sebagai berikut: a) Tunanetra ringan (defective vision/low vision) yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan, tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan; b) Tunanetra setengah berat (partially sighted) yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar maupun mengikuti pendidikan biasa ataupun mampu membaca tulisan bercetak tebal; c) Tunanetra berat (totally blind) yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
2) Tunarungu Wicara
Anak tunarungu wicara (anak dengan hendaya pendengaran dan bicara) tidak pernah mendegar atau mempergunakan panca indera telinga dan mulut. Hendaya pendengaran ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebgian atau seluruh indera pendengaran.
(Delphie, 2006:102)
Atmaja (2018:61) mengemukakan tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar, dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak dengar sama sekali. Anak yang menyandang ketunarunguan dapat diketahui pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat. Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, dan sangat berat yang dalam hal ini dapat dikelompokan menjadi dua golongan, yaitu kurang dengar dan tuli, yang menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi.
8 3) Tunagrahita
Atmaja (2018: 97-98) mengatakan, tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam komunikasi sosial. seorang dikatakan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. Anak berkebutuhan khusus tunagrahita ini sukar untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Delphie (2006) menambahkan, tunagrahita (mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya perkembangan (child with development impairment), memiliki kesulitan dalam belajar karena terhambat perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial, dan fisik.
Tunagrahita diklasifikasikan berdasarkan hasil tes kecerdasan atau tes IQ anak. Tunagrahita ringan (moron atau debil) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 52-68, menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 55-69; Tunagrahita sedang (imbesil) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 36-51, menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 40-54; Tunagrahita Berat (severe) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 20-32, menurut Skala Binet memiliki IQ antara 39-52; Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19-24.
4) Tunadaksa
Tunadaksa (physical disbility) anak memiliki kelaianan pada tulang, persendian, dan saraf yang mneggerakkan otot-otot tubuhnya. Kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu kelaianan pada sistem serebral (cerebral system) dan kelaianan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system). Kelainan pada sistem serebral menyebabkan adanya cerebral palsy. Cerebral palsy adalah kelaianan diakibatkan kesulitan gerak berasal dari disfugsi otak. Kelainan pada sistem otot dan rangka atau hendaya kondisi fisik merupakan
9
ketidakmampuan anak dengan adanya keterbatasan fisik nonsensori (fisik-motorik) (Delphie, 2006: 123-124).
Atmaja (2018: 127) memaparkan, tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal, sebagai akibat bawaan, luka penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
Atmaja (2018:129) menjelaskan, klasifikasi anak tunadaksa yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped).
Tunadaksa ortopedi yaitu anak yang mengalami kelainan pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian, baik itu yang dibawa sejak lahir atau yang diperoleh karena penyakit atau kecelakaan. Tunadaksa saraf yaitu anak yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf otak. Otak memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental. Salah satu bentuk kelainan pada fungsi otak dapat dilihat pada anak Cerebral Palsy.
5) Tunalaras
Tunalaras (emotional or behavior disorder) ialah anak yang memiliki hambatan sosial emosional atau kelaianan perilaku, karakteristik suka membuat keributan secara berlebihan dan berpotensi kearah perilaku kriminal (Delphie, 2006: 80).
Atmaja (2018:161) memaparkan, tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
Individu tunalaras menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitar. Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud, seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Atmaja (2018:163) menambahkan, bahwa anak dengan hambatan emosional atau
10
kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut: tidak mampu belajar bukan disebabkan oleh faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik, seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Atmaja (2018:164) mengatakan anak tunalaras dapat diklasifikasikan berdasarkan penglihatan dari pemicu tumbuhnya perilaku yang menyimpang sebagai berikut: a) penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi; b) penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial. Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu senang-sedih, lambat cepat marah, dan rileks-tekanan. Secara umum, emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, merasa tertekan, dan merasa cemas.
6) Autisme
Anak autistik (autistic child) mengalami kelainan dalam berbicara, disamping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf. Kelainan lain yang dimiliki anak autistik yaitu perilaku yang ganjil.
Anak autistic mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya (Delphie, 2006: 121).
Atmaja (2018:196) menjelaskan, istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autisme adalah anak yang mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi.
Penyebabnya karena antara jaringan dan fungsi otak tidak sinkron.
Autisme mempunyai kelainan perkembangan sistem saraf yang dialami sejak lahir ataupun saat balita dengan gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar.
11
Klasifikasi anak autisme, berikut: a) klasifikasi autisme berdasarkan saat munculnya kelainan. Autisme infantil yang kelainannya sudah tampak sejak lahir dan autisme fikasi yang pada saat kelahiran dalam keadaan normal, lalu gejala autis muncul setelah beberapa waktu; b) klasifikasi berdasarkan intelektual; c) klasifikasi autisme berdasarkan interaksi sosial;
d) klasifikasi autisme berdasarkan prediksi kemandirian.
7) ADD/ ADHD
Hyperactive (Attention Defict Disorder with Hyperactive) memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka mengganggu teman, sulit berkonsesntrasi, sulit mengikuti perintah, dan bermasalah dalam belajar (Delphie, 2006:73).
Atmaja (2018:235) mengatakan, ADD adalah kependekan dari Attention Deficit Disorder dalam bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan perhatian dengan/ tanpa hiperaktif, lalu ada istilah lain ADHD yang memiliki kepanjangan Attention Deficit Hyperactivity Disorder yang berarti dalam bahasa Indonesia gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. ADHD merupakan suatu gangguan kronis (menahun) yang dapat dimulai pada masa bayi dan dapat berlanjut sampai dewasa. Anak bisa mengalami ADD (Attention Deficit Disorder) karena kurangnya perhatian pada anak sehingga menjadi pendiam dan pemurung sehingga melakukan perilaku aneh didalam kondisi diamnya. Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) terlihat menunjukkan sikap hiperaktif, dan sementara itu juga ada gejala lain yang datang dengan segala jenis macam sifat dan sikap gangguan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan ADD (Attention Deficit Disorder) pada umumnya anak sering tampak tidak teratur, sering melakukan tindakan diluar kepala tetapi mereka tidak menyadari telah melakukan hal yang diluar kepala.
Bentuk gangguan tersebut yang paling sulit untuk didiagnosis. Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) memiliki gejala terlihat seperti emosi yang tidak terkontrol, gerakan fisik, dan perhatian kemana-mana. Gangguan ini menyerang mental seseorang yang dipengaruhi banyak hal, diantaranya kurangnya asupan gizi pada saat kehamilan pada
12
ibu hamil, faktor radiasi yang menyerang anak pada saat balita dan sebagainya.
8) Kesulitan Belajar
Delphie (2006:24) memaparkan kesulitan belajar (learning disability) atau anak yang berprestasi rendah (specific learning disability), memiliki masalah daam perkembangan kognitif, emosi dan sosialnya. Anak memiliki prestasi yang rendah untuk bidang akademik tertentu atau keseluruhan bidang akademik. Kemampuan kognitif anak kurang mampu mengadopsi proses informasi. Perkembangan emosi dan sosialnya sangat memerlukan perhatian.
Atmaja (2018:258) memaparkan diagnosis kesulitan belajar menjadi tiga jenis, yaitu Diseleksia, Dysgraphia, dan Diskalkulia. Berikut penjelasan mengenai pengertian Diseleksia, Dysgraphia, dan Diskalkulia:
a) Pengertian Anak Diseleksia, kata diseleksia berasal dari bahasa Yunani, Dys yang artinya sulit, dan Lex yang berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Diseleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada anak yang disebabkan oleh kesulitan pada anak dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Anak yang mengalami diseleksia memiliki tanda, seperti tidak bisa membedakan huruf yang mirip, tidak bisa mengeja (membaca secara terbalik), dan tidak paham bacaan (tidak mampu menjelaskan apa yang dibaca).
b) Pengertian anak Dysgraphia adalah kesulitan dalam menuliskan atau mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk tulisan karena anak-anak tidak bisa menyusun kata dengan baik dan mengoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Biasanya anak sangat fasih berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tetapi mempunyai kesulitan menulis.
c) Pengeretian anak Diskalkulia, diskalkulia juga dikenal dengan “math difficulty” karena gangguan ini menyangkut pada kemampuan kalkulasi dan matematis. Kesulitan ini dapat terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak
13
yang bersangkutan akan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Masalah yang dihadapi anak diskalkulia, yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
9) Tunaganda
Tunaganda (multiple handicapped) merupkan kelainan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuan pada aspek intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi masyarakat. Kelainan perkembangan ganda juga mencakup kelainan perkembangan fungsi adaptif. Mereka umumnya memerlukan layanan-layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus (Delphie, 2006:13).
10) Tunawicara
Sartika (2013:7) menytakan tunawicara atau hambatan bicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain.
11) Anak berbakat (giftedness and special talents)
Anak berbakat memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, fisik, dan perilaku sosial (Delphie, 2006:138). Anak dengan potensi dan kecerdasan atau bakat istimewa adalah anak yang memiliki skor intelegensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talend=ted) seperti musik, seni, olahraga, dan kepemimpinan (Triani, 2013:24).
12) Lamban Belajar (Slow learner)
Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Anak lamban belajar butuh waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik (Triani, 2013:24).
14 2. Pendidikan Inklusi
a. Pengertian Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013:26) menjelaskan, pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tingalnya. Direktorat PSLB (2004) menambahkan, bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan maupun sistem pembelajaran yag disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Maka, sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membagun masyarakat yang inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (Ilahi, 2013: 27).
Beberapa pengertian pendidikan inklusi yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan, bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah regular dan mendapatkan fasilitas yang sama dengan anak lainnya.
b. Tujuan Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013: 380) memaparkan tujuan pendidikan inklusi untuk semua kelompok termarginalisasi, tetapi kebijakan dan praktik inklusi anak penyandang cacat telah menjadi katalisator utama untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan inklusi, yaitu:1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; 2) mewujudkan
15
penyelengaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Berdasarkan paparan tujuan pendidikan inklusi yang telah dijelaskan, tujuan inklusi adalah memberikan kesempatan untuk anak berkebutuhan khusus untuk memeroleh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya tanpa adanya diskriminatif dalam memeroleh pendidikan.
c. Karakteristik Pendidikan Inklusi
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 (dalam Ilahi, 2013: 42) menjelaskan, sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Ilahi (2013: 43) memaparkan karakter pendidikan inklusif tentu saja sangat terbuka dan menerima tanpa syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan mereka dalam satu wadah yang sudah direncanakan dengan matang.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013:44) menambahkan empat karakteristik pendidikan inklusi, antara lain: 1) proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespons keragaman individu;
2) mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar; 3) anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; 4) diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Berdasarkan pernyataan yang dijelaskan sebelumnya, karakteristik pendidikan inklusi yaitu memberi kesempatan untuk anak dalam mengembangkan kreativitas dan keterampilan tanpa batasan, hambatan, memberikan pembelajaran keberagaman dalam kelas, dan memeroleh kesan bermakna dalam hidup saat proses belajar.
16 d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013: 48) menyatakan prinsip pendidikan inklusi berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memeroleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus. Jaminan akses dan peluang bagi semua anak yang dimaksud pada prinsip pendidikan inklusi adalah anak-anak Indonesia mendapatkan jaminan masuk ke sekolah umum atau jaminan bersekolah dan kesempatan bersekolah untuk memeroleh pendidikan.
Salamanca pada dokumen Kerangka Aksi tahun 1994 (dalam Ilahi, 2013:
49) menambahkan, prinsip dasar pendidikan inklusi pertama adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya. Bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya, yang dimaksud pernyataan di atas adalah setiap anak dapat berkesempatan bersekolah tanpa melihat perbedaan yang ada didalam diri anak, seperti kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki anak.
3. Sekolah Dasar Inklusi
Murtie (2014:225) memaparkan sekolah inklusi merupakan sekolah yang dibuat untuk mendidik anak-anak pada umumnya namun menyediakan tempat juga bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu didik. Sekolah ini sebagai sebuah pendidikan alternatif yang terintegrasi antar siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus. Layanan yang diberikan dalam sekolah inklusi meliputi layanan sekolah reguler dengan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus yang didampingi oleh shadow teacher/ guru pendamping. Selain itu, sekolah inklusi juga mengembangkan pendidikan khusus bagi siswa reguler dan siswa khusus berkenaan dengan potensi masing-masing. Sehingga siswa reguler bisa mengembangkan bakat dan minat mereka, serta siswa khusus dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal.
17 4. Aspek Penyelenggaraan Sekolah Inklusi
Terdapat delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi, sebagai berikut:
a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasi Semua Anak
Kustawan (2013: 90) memaparkan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SD/MI pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang memiliki sekolah. Sumber daya yang dimiliki sekolah antara lain: 1) sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, 2) sumber daya sarana dan prasarana, dan 3) sumber daya biaya. Satuan pendidikan harus mengalokasikan kursi peserta didik (quota) paling sedikit 1 (satu) peserta didik yang memiliki hambatan/ gangguan/ kelainan dalam satu rombongan belajar yang akan diterima.
Dalam pelaksaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidikan khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus.
Persyaratan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus, perlu adanya pedoman misalnya setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan / melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/ dokter spesialis untuk calon peserta didik yang memiliki hambatan/ gangguan penglihatan dan pendengaran. Anak yang memiliki hambatan kecerdasan atau anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa harus menyerahkan/ melampirkan hasil pemeriksaan tes IQ dari psikolog.
b. Identifikasi
Upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/ kelainan/
gangguan fisik, intelektual, mental, emosional, dan sosial. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013:93) Identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan
18
(phisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai.
Kustawan (2013:95) menyatakan, Identifikasi dilakukan untuk lima keperluan, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).
Tujuan dilaksanakan identifikasi adalah menghimpun informasi atau data seorang anak akan mengalami kelainana penyimpangan dalam pertumbuhan/ perkembangannya. Hasil identifikasi dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus dan untuk menyusun program pelaksanaan penanganan berkaitan dengan hambatan.
c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)
Kurikulum tidak sekedar dijabarkan sebagai serangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan sebagai serangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan anak didik oleh pendidiknya, tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut kependidikan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak dalam rnagka mencapai hakikat tujuan pendidikan sebenarnya (Ilahi, 2016: 169).
Kustawan dan Hermawan (2013:107-108) memaparkan kurikulum perlu fleksibel atau disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan yang dimiliki bervariasi. Sekolah regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusif ramah anak harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan, dan karakteristik anak agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill). Kurikulum yang disusun bersifat inklusif, proses belajar mengajar yang efektif, lingkungan sekolah yang mendukung, sumber daya yang barasas pemerataan dan standarisasi dalam hal-hal tertentu (monitoring, evaluasi, dan tes).
d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak Kustawan (2013: 111) Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksibel atau ramah anak secara garis besar
19
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diperlajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
20 e. Penataan Kelas Ramah Anak
Dalam penataan kelas ramah anak, kelas harus dirancang agar menyenangkan, nyaman, dan aman serta dapat menimbulkan gairah atau motivasi anak untuk giat belajar. Kustawan (2013: 115) memaparkan pengaturan ruang belajar, hal-hal yang harus diperhatikan: 1) ukuran dan bentuk kelas, 2) bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik, 3) jumlah anak didik dalam kelas, 4) jumlah anak didik dalam setiap kelompok, 5) jumlah kelompok kelas, dan 6) komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan anak didik kurang pandai,
Dalam penataan kelas ramah anak, kelas harus dirancang agar menyenangkan, nyaman, dan aman serta dapat menimbulkan gairah atau motivasi anak untuk giat belajar. Kustawan (2013: 115) memaparkan pengaturan ruang belajar, hal-hal yang harus diperhatikan: 1) ukuran dan bentuk kelas, 2) bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik, 3) jumlah anak didik dalam kelas, 4) jumlah anak didik dalam setiap kelompok, 5) jumlah kelompok kelas, dan 6) komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan anak didik kurang pandai,