i
HALAMAN JUDUL
ADAPTASI KURIKULUM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI: STUDI DESKRIPTIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh:
Virgine Evita Puspawardani NIM: 151134141
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2019
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
iii ESAHAN
iv
PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Tuhan Yesus Kristus atas penyertaan-Nya dan lindungan-Nya.
2. Bapak dan Ibu yang tercinta dan tersayang, Bapak Anang Kristiyanto dan Ibu Soesy Pantjawaradani yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang dan dukungan hingga saat ini.
3. Kakakku Yohana Natalia Vebriana yang mendukungku.
4. Dosen pembimbing Ibu Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. dan Ibu Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., M.A. yang selalu membimbing, dan membantu dalam menyelesaikan tugas akhir.
5. Teman-temanku yang sudah seperti saudara, Vifyn, Tyas, Retikka, Dewi, Nada, Yas, Yunus, Sasa, dan Yolanda yang selalu mendukung dalam doa.
6. Teman-teman kuliah, Halimah, Diyah, Atika, Astri, dan Wulan yang selalu memberikan semangat dan canda tawa.
7. Teman-teman kelas D dan satu angkatan PGSD 2015 yang sudah mengajarkan kekompakan, menghargai perbedaaan, dan saling mendukung.
8. Teman-teman skripsi, Sasa, Zindy, Gea, Intan, Afri, Novi, Tiwi, dan Farika yang saling membantu dalam menyelesaikan tugas akhir dan saling menyemangati.
9. Adik kelasku Gonzaga Annolasto Janarinaldo.
10. Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma.
11. Almamaterku Universitas Sanata Dharma.
v MOTTO
“Ketika kamu malas, kamu sedang mengkhianati orang yang percaya padamu”
(Iqbaal Ramadhan)
“Jika dirimu ingin sama dengan orang lain, tidaklah kamu sedang mengkhianati dirimu yang khas?”
(Pidi Baiq)
“Hidup adalah petualangan yang menantang atau tidak sama sekali”
(Helen Keller)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 8 Juli 2019 Peneliti
Virgine Evita Puspawardani
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Virgine Evita Puspawardani Nomor Mahasiswa : 151134141
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“ADAPTASI KURIKULUM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI: STUDI DESKRIPTIF”
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 8 Juli 2019 Yang menyatakan
Virgine Evita Puspawardani
viii ABSTRAK
ADAPTASI KURIKULUM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI: STUDI DESKRIPTIF
Virgine Evita Puspawardani Universitas Sanata Dharma
2019
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah regular dan mendapatkan fasilitas yang sama dengan anak lainnya. Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan penerapan adaptasi kurikulum sekolah inklusi di Wilayah Kota Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi deskripif.
Subjek penelitian adalah Kepala Sekolah, Guru kelas atas dan bawah, dan Guru Pendamping Khusus (GPK) di SD Wilayah Kota Yogyakarta. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil Penelitian: (1) Kurikulum yang digunakan sekolah adalah adaptasi kurikulum sesuai dengan peraturan pemerintah. (2) Penerapan kurikulum yang diterapkan sekolah adalah adaptasi kurikulum dengan mengadaptasi kurikulum umum (kurikulum 2013) untuk semua anak. Penerapan adaptasi kurikulum untuk anak berkebutuhan khusus menggunakan model kurikulum umum dengan modifikasi. Kurikulum yang diterapkan sekolah berjalan dengan lancar. (3) Kurikulum yang digunakan sudah menumbuhkan karakter pada anak.
Kata Kunci: Pendidikan Inklusi, adaptasi kurikulum.
ix ABSTRACT
CURRICULUM ADAPTATION IN INCLUSIVE ELEMENTARY SCHOOLS:
DESCRIPTIVE STUDY Virgine Evita Puspawardani
Sanata Dharma University 2019
Inclusive education is an education model that provides opportunities for children with disability to study in a regular school and get the same facilities as other student.
The concept of inclusive education represents all aspects related to the openness in accepting children with disability to obtain their rights as a citizens. The main purpose of this research was to describe the process of curriculum adaptation in inclusive elementary school in Yogyakarta.
This research used qualitative research with a descriptive study method. The research subjects were principals, teachers, and shadow teachers in inclusive elementary schools in Yogyakarta. Data collection techniques in this research were obtained by interviews, observation, and documentation. The data obtained were analyzed by data reduction, data presentation, and data conclusion.
The results of this research concluded that (1) The curriculum used by schools were a curriculum that adapt the government regulations. (2) The implementation of the curriculum applied by the school was an adaptation of the curriculum by adapting the general curriculum (curriculum 2013) to all student. The implementation of curriculum adaptation for children with a disability used a general curriculum model with modifications. The curriculum applied by the school runs smoothly. (3) The curriculum used by the school had developed the character of the children.
Keywords: Inclusive Education, curriculum adaptation .
x
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, pernyertaan-Nya, dan lindungan-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ADAPTASI KURIKULUM DI SEKOLAH DASAR INKLUSI: STUDI DESKRIPTIF” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk kelulusan dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini lahir dengan adanya kekurangan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Yohanes Harsoyo S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Penidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Chistiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
3. Ibu Kintan Limiansih, S.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
4. Ibu Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan kritik, saran dan mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Kepala Sekolah SD di Wilayah Kota Yogyakarta yang telah memberi izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.
6. Guru SD di Wilayah Kota Yogyakarta yang sudah membantu penulis dalam mengambil data.
7. Kedua orang tuaku, Bapak Anang Kristiyanto dan Ibu Soesy Pantjawaradani yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang dan dukungan hingga saat ini.
8. Kakakku Yohana Natalia Vebriana yang mendukungku.
9. Teman-temanku yang sudah seperti saudara, Vifyn, Tyas, Retikka, Dewi, Nada, Yas, Yunus, Sasa, dan Yolanda yang selalu mendukung dalam doa.
10. Teman-teman kuliah, Halimah, Diyah, Atika, Astri, dan Wulan yang selalu memberikan semangat dan canda tawa.
11. Teman-teman kelas D dan satu angkatan PGSD 2015 yang sudah mengajarkan kekompakan, menghargai perbedaaan, dan saling mendukung.
xi
12. Teman-teman skripsi, Sasa, Zindy, Gea, Intan, Afri, Novi, Tiwi, dan Farika yang saling membantu dalam menyelesaikan tugas akhir dan saling menyemangati.
13. Adik kelasku Gonzaga Annolasto Janarinaldo.
Peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih banyak kekurangan.
Semoga skripsi ini berguna bagi pembaca sekaligus menjadi sumber belajar bagi peneliti lain yang memiliki tujuan mengembangkan penidikan inklusi.
Yogyakarta, 8 Juli 2019 Peneliti
Virgine Evita Puspawardani
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Asumsi Penelitian ... 5
F. Definisi Operasional ... 5
BAB II LANDASAN TEORI ... 6
A. Kajian Pustaka ... 6
1. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ... 6
2. Pendidikan Inklusi ... 14
3. Sekolah Dasar Inklusi ... 16
4. Aspek Penyelenggaraan Sekolah Inklusi... 17
5. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel) ... 22
B. Penelitian yang Relevan ... 28
C. Kerangka Berpikir ... 32
xiii
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
A. Jenis Penelitian ... 36
B. Setting Penelitian ... 36
1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36
2. Subjek Penelitian ... 37
3. Objek Penelitian ... 37
C. Desain Penelitian ... 37
D. Teknik Pengumpulan Data ... 39
1. Observasi ... 39
2. Wawancara ... 40
3. Dokumentasi ... 41
E. Instrumen Penelitian ... 42
1. Pedoman Observasi ... 42
2. Pedoman Wawancara ... 43
3. Pedoman Dokumentasi ... 44
F. Kredibilitas dan Transferabilitas ... 44
1. Kredibilitas ... 44
2. Transferbilitas ... 46
G. Teknik Analisis Data ... 46
1. Reduksi Data ... 46
2. Display Data ... 47
3. Verifikasi Data... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Deskripsi Penelitian ... 49
B. Hasil Penelitian ... 50
1. Hasil Wawancara ... 50
2. Observasi ... 65
3. Dokumentasi ... 66
C. Pembahasan ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Keterbatasan Penelitian ... 75
C. Saran ... 76
xiv
DAFTAR PUSTAKA ... 77 BIOGRAFI PENULIS ... 114
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Literature Map ... 32
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pedoman Observasi ... 40
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara ... 41
Table 3.3Pedoman Dokumentasi ... 44
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ... 49
Tabel 4.2 Jadwal Pelaksanaan Observasi Kelas... 50
Tabel 4.3 Jadwal Pelaksanaan Studi Dokumentasi ... 50
Tabel 4.3.1 Hasil Dokumentasi ... 67
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian ... 80
Lampiran 2 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 81
Lampiran 3 Reduksi Hasil Wawancara ... 79
Lampiran 4 Reduksi Hasil Observasi ... 95
Lampiran 5 Hasil Dokumentasi ... 96
Lampiran 6 Display Data, Observasi, dan Dokumentasi ... 97
Lampiran 7 Struktur Kurikulum ... 100
Lampiran 8 RPP Sekolah Cinta Kasih (SD b) ... 101
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan yang dikonsepkan untuk anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan inklusi, melalui pendidikan inklusi anak yang memiliki kebutuhan khusus dapat ikut serta belajar bersama dengan teman sebayanya di sekolah reguler (Ilahi, 2013: 23). Pendidikan inklusi tidak hanya terfokus pada kekurangan atau keterbatasan anak berkebutuhan tetapi lebih terfokus pada kelebihan maupun potensi dalam diri anak tersebut agar dapat lebih berkembang (Ilahi, 2013:28). Anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki kelebihan dan potensi yang berbeda-beda, oleh sebab itu pendidikan inklusi diharapkan sebagai wadah untuk menuntun anak berkebutuhan khusus mengembangkan kelebihan dan potensi yang mereka miliki. Demi menunjang kelancaran proses pengembagan potensi setiap peserta didik khususnya anak berkebutuhan khusus, penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah ditetapkan Direktorat PSLB 2004 menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Selain penyesuaian kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan maupun sistem pembelajaran, guru merupakan perantara dalam memberikan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dan khususnya anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, guru harus memiliki keterampilan dan pengetahuan. Pendidikan inklusi ini ditujukan untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus supaya anak dapat memeroleh kesempatan dalam menerima pendidikan yang bermutu sesuai dengan potensi dan kebutuhan yang dimiliki, selain itu juga dapat memerangi diskriminatif dalam pemerolehan pendidikan.
Layanan pendidikan yang dapat ditempuh anak berkebutuhan khusus adalah sekolah inklusi. Sekolah inklusi merupakan penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan bersama
2
dengan peserta didik pada umumnya. Dewasa ini, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus masih perlu perhatian agar dapat melakukan proses pembelajaran di sekolah reguler. Penyelenggaraan pendidikan inklusi telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa berhak mengikui pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengaan kebutuhan dan kemampuannya. Anak berkebutuhan khusus dapat menempuh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah inklusi.
Sekolah luar biasa merupakan lembaga yang menerima jenis anak berkebutuhan khusus yang sama sehingga terdapat SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sekolah inklusi ialah sekolah umum yang juga menerima anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar yang sama. Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal 4 menetapkan bahwa setiap kecamatan harus menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusi.
Sekolah inklusi dalam penyelenggaraannya harus memenuhi delapan aspek yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, kedelapan aspek tersebut adalah 1. Penerimaan Peserta Didik Baru; 2. Identifikasi; 3. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel); 4. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak; 5. Penataan Kelas yang Ramah Anak; 6. Asesmen; 7.
Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif; 8. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran. Penyelenggaraan sekolah inklusi tak lepas dari pentingnya adaptasi kurikulum yang diselenggarakan sekolah. Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengartikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan penegetahuan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum penting untuk menata arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikakn hak-haknya yang belum
3
terpenuhi. Setiap kurikulum yang dikembangkan hendaknya memahami karakteristik dan tingkat kebutuhan anak dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga tidak terkesan mendapatkan tekanan psikologis yang bisa memengaruhi mental mereka. Kurikulum merupakan bagian penting dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan. Arah dan tujuan pendidikan yang hendaknya dicapai tidak bisa terlaksana dengan sendirinya tanpa adanya perecanan yang matang dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka (Ilahi, 2013:168). Kustawan (2013:109) memaparkan penyusunan kurikulum fleksibel seyogyanya dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum di sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling (konseslor), guru pembimbing khusus, orang tua, dan ahli (profesional) lainnya sesuai kebutuhan misal psikolog dan terapis.
Sekolah penyelenggara inklusi harus mampu melaksanakan adaptasi kurikulum dalam penyelenggaraan sekolah inklusi. Adaptasi dilakukan dengan penyesuaian unsur-unsur dalam kurikulum nasional. Pihak sekolah juga harus mampu menyusun kurikulum fleksibel sehingga kurikulum yang disusun sesuai dengan kebutuhan dengan karakteristik dan kebutuhan anak.
Berdasarkan penelitian Suharsiwi (2016) mengenai adaptasi kurikulum menunjukkan hasil kurikulum yang diterapkan masih belum sepenuhnya menggunakan model pendidikan inklusi. Anak berkebutuhan khusus di SD Semut-semut rata-rata berada di kelas regular antara 50% sampai dengan 75%, sebagian waktu lainnya adalah di kelas LSD (Learning Support Department), dan belajar secara individual atau sekitar 3-4 anak. Adaptasi kurikulum dilihat dari kemampuan yang ada pada anak, itulah yang akan dikembangkan, meski kemampuan tersebut masih terbatas. Kata lain, penelitian yang dilakukan oleh Suharsiwi (2016) mengenai Adaptasi Kurikulum Pendidikan Inklusi Siswa dengan Hambatan Sosial Emosional di Sekolah Dasar Semu-semut menunjukkan bahwa sekolah masih mengalami kendala dalam menerapkan kurikulum yang sesuai dengan pendidikan inklusi.
4
Penelitian Suharsiwi (2016) di salah satu sekolah inklusi belum dapat menerapkan salah satu aspek penyelenggaraan sekolah inklusi, yaitu belum menggunakan model pendidikan inklusi dikarenakan faktor-faktor atau masalah tertentu yang dihadapi sekolah maupun guru. Latar belakang di atas sebagai salah satu alasan bagi peneliti melakukan penelitian mengenai salah satu aspek penyelenggaraan sekolah inklusi di salah satu sekolah dasar di wilayah Kota Yogyakarta. Peneliti akan mengangkat judul “Adaptasi Kurikulum di Sekolah Dasar Inklusi: Studi Deskriptif”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan pada latar belakang, rumusan masalah yang dibahas peneliti adalah “Bagaimana adaptasi kurikulum di sekolah dasar inklusi di wilayah Kota Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini yaitu mendeskrpsikan adaptasi kurikulum di sekolah dasar inklusi di wilayah Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik langsung dan secara tidak langsung. Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan untuk memberi kajian mengenai sekolah inkusi dan memberikan sumber informasi tentang adaptasi kurikulum di sekolah dasar inklusi di wilayah Kota Yogyakarta dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi.
2. Manfaat praktis a. Bagi Peneliti
Peneliti memperoleh pengalaman langsung mengenai adaptasi kurikulum dan memberikan data mengenai adaptasi kurikulum sekolah inklusi yang terjadi di sekolah dasar inklusi di wilayah Kota Yogyakarta.
b. Bagi Guru
Guru dapat mengetahui dan memberikan data mengenai adaptasi kurikulum yang dilaksanakan sekolah inklusi.
5 c. Bagi Sekolah Dasar Inkusi
Sekolah mendapatkan data mengenai adaptasi kurikulum yang terjadi di sekolah inklusi, selanjutnya sekolah dapat melakukan evaluasi dan tindak lanjut dalam adaptasi kurikulum untuk memperbaiki penerapan penyelengaraan sekolah inklusi.
E. Asumsi Penelitian
Salah satu aspek penyelenggaraan sekolah inklusi pada penelitian ini, adalah adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suharsiwi (2016) menunjukkan hasil adaptasi kurikulum yang diterapkan masih belum sepenuhnya menggunakan model pendidikan inklusi.
Adaptasi kurikulum dilihat dari kemampuan yang ada pada anak, kurikulum itulah yang akan dikembangkan sesuai dengan kemampuan setiap anak, meski kemampuan tersebut masih terbatas. Sementara kemampuan-kemampuan lain yang belum berkembang, guru tidak memaksakan anak untuk melakukannya.
Anak-anak yang memang belum dapat beradaptasi di kelas reguler, maka program yang diperuntukkan untuknya adalah mengembangkan aspek-aspek sosial dan pembekalan calistung untuk persiapan di kelas reguler. Peneliti berasumsi bahwa masih kurangnya penerapan salah satu prinsip penyelenggaraan sekolah inklusi yaitu adaptasi kurikulum.
F. Definisi Operasional
1. Pendidikan Inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tingalnya.
2. Sekolah Dasar Inklusi adalah sekolah yang dibuat untuk mendidik anak- anak pada umumnya namun menyediakan tempat juga bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu didik.
3. Anak Bekebutuhan Khusus adalah anak yang memiliki perbedaan karakteristik, secara fisik, emosi, dan mental dengan anak seusianya.
4. Adaptasi Kurikulum adalah salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan.
6 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus diartikan sebagai anak-anak yang memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara fisik, emosi, maupun mental dengan anak-anak yang seusianya (Murtie, 2014:8). Istilah anak berkebutuhan khusus merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya lebih sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya (Thompson, 2010:2).
Atmaja (2018:8) menyatakan anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan yang terkait, jika mereka menyadari akan potensi penuh kemanusiaan mereka. Seorang anak dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan yang berbeda dari rata- rata anak normal, dan untuk dapat belajar secara efektif memerlukan program, pelayanan, fasilitas, dan materi khusus.
Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik secara fisik, emosi dan mental berbeda dengan anak seusianya. Anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan belajar dan memerlukan pendidikan pelayanan khusus mengenai program, pelayanan, fasilitas, dan materi agar anak berkebutuhan khusus dapat belajar secara efektif.
b. Tipe Anak Berkebutuhan Khusus
Adapun tipe anak berekebutuhan khusus, sebagai berikut:
1) Tunanetra
Delphie (2006: 114) memaparkan tunanetra (partiallyseing and legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan untuk menggunakan indera penglihatannya. Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan. Anak yang memiliki gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak
7
penglihatannya, yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang bersangkutan.
Atmaja (2018:23) mengemukakan, klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, sebagai berikut: a) Tunanetra ringan (defective vision/low vision) yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan, tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan; b) Tunanetra setengah berat (partially sighted) yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar maupun mengikuti pendidikan biasa ataupun mampu membaca tulisan bercetak tebal; c) Tunanetra berat (totally blind) yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
2) Tunarungu Wicara
Anak tunarungu wicara (anak dengan hendaya pendengaran dan bicara) tidak pernah mendegar atau mempergunakan panca indera telinga dan mulut. Hendaya pendengaran ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebgian atau seluruh indera pendengaran.
(Delphie, 2006:102)
Atmaja (2018:61) mengemukakan tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar, dapat dimungkinkan kurang dengar atau tidak dengar sama sekali. Anak yang menyandang ketunarunguan dapat diketahui pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, anak tersebut hanya berisyarat. Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang, dan sangat berat yang dalam hal ini dapat dikelompokan menjadi dua golongan, yaitu kurang dengar dan tuli, yang menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat komunikasi.
8 3) Tunagrahita
Atmaja (2018: 97-98) mengatakan, tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidak cakapan dalam komunikasi sosial. seorang dikatakan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. Anak berkebutuhan khusus tunagrahita ini sukar untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa. Delphie (2006) menambahkan, tunagrahita (mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hendaya perkembangan (child with development impairment), memiliki kesulitan dalam belajar karena terhambat perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial, dan fisik.
Tunagrahita diklasifikasikan berdasarkan hasil tes kecerdasan atau tes IQ anak. Tunagrahita ringan (moron atau debil) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 52-68, menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 55-69; Tunagrahita sedang (imbesil) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 36-51, menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 40- 54; Tunagrahita Berat (severe) menurut Skala Binet memiliki IQ antara 20-32, menurut Skala Binet memiliki IQ antara 39-52; Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19-24.
4) Tunadaksa
Tunadaksa (physical disbility) anak memiliki kelaianan pada tulang, persendian, dan saraf yang mneggerakkan otot-otot tubuhnya. Kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu kelaianan pada sistem serebral (cerebral system) dan kelaianan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system). Kelainan pada sistem serebral menyebabkan adanya cerebral palsy. Cerebral palsy adalah kelaianan diakibatkan kesulitan gerak berasal dari disfugsi otak. Kelainan pada sistem otot dan rangka atau hendaya kondisi fisik merupakan
9
ketidakmampuan anak dengan adanya keterbatasan fisik nonsensori (fisik- motorik) (Delphie, 2006: 123-124).
Atmaja (2018: 127) memaparkan, tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal, sebagai akibat bawaan, luka penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
Atmaja (2018:129) menjelaskan, klasifikasi anak tunadaksa yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped).
Tunadaksa ortopedi yaitu anak yang mengalami kelainan pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian, baik itu yang dibawa sejak lahir atau yang diperoleh karena penyakit atau kecelakaan. Tunadaksa saraf yaitu anak yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf otak. Otak memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh, jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental. Salah satu bentuk kelainan pada fungsi otak dapat dilihat pada anak Cerebral Palsy.
5) Tunalaras
Tunalaras (emotional or behavior disorder) ialah anak yang memiliki hambatan sosial emosional atau kelaianan perilaku, karakteristik suka membuat keributan secara berlebihan dan berpotensi kearah perilaku kriminal (Delphie, 2006: 80).
Atmaja (2018:161) memaparkan, tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial.
Individu tunalaras menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitar. Anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud, seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Atmaja (2018:163) menambahkan, bahwa anak dengan hambatan emosional atau
10
kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut: tidak mampu belajar bukan disebabkan oleh faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik, seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Atmaja (2018:164) mengatakan anak tunalaras dapat diklasifikasikan berdasarkan penglihatan dari pemicu tumbuhnya perilaku yang menyimpang sebagai berikut: a) penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi; b) penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial. Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu senang-sedih, lambat cepat marah, dan rileks-tekanan. Secara umum, emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, merasa tertekan, dan merasa cemas.
6) Autisme
Anak autistik (autistic child) mengalami kelainan dalam berbicara, disamping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf. Kelainan lain yang dimiliki anak autistik yaitu perilaku yang ganjil.
Anak autistic mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan sangat terisolasi dari lingkungan hidupnya (Delphie, 2006: 121).
Atmaja (2018:196) menjelaskan, istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autisme adalah anak yang mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi.
Penyebabnya karena antara jaringan dan fungsi otak tidak sinkron.
Autisme mempunyai kelainan perkembangan sistem saraf yang dialami sejak lahir ataupun saat balita dengan gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar.
11
Klasifikasi anak autisme, berikut: a) klasifikasi autisme berdasarkan saat munculnya kelainan. Autisme infantil yang kelainannya sudah tampak sejak lahir dan autisme fikasi yang pada saat kelahiran dalam keadaan normal, lalu gejala autis muncul setelah beberapa waktu; b) klasifikasi berdasarkan intelektual; c) klasifikasi autisme berdasarkan interaksi sosial;
d) klasifikasi autisme berdasarkan prediksi kemandirian.
7) ADD/ ADHD
Hyperactive (Attention Defict Disorder with Hyperactive) memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka mengganggu teman, sulit berkonsesntrasi, sulit mengikuti perintah, dan bermasalah dalam belajar (Delphie, 2006:73).
Atmaja (2018:235) mengatakan, ADD adalah kependekan dari Attention Deficit Disorder dalam bahasa Indonesia berarti gangguan pemusatan perhatian dengan/ tanpa hiperaktif, lalu ada istilah lain ADHD yang memiliki kepanjangan Attention Deficit Hyperactivity Disorder yang berarti dalam bahasa Indonesia gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. ADHD merupakan suatu gangguan kronis (menahun) yang dapat dimulai pada masa bayi dan dapat berlanjut sampai dewasa. Anak bisa mengalami ADD (Attention Deficit Disorder) karena kurangnya perhatian pada anak sehingga menjadi pendiam dan pemurung sehingga melakukan perilaku aneh didalam kondisi diamnya. Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) terlihat menunjukkan sikap hiperaktif, dan sementara itu juga ada gejala lain yang datang dengan segala jenis macam sifat dan sikap gangguan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan ADD (Attention Deficit Disorder) pada umumnya anak sering tampak tidak teratur, sering melakukan tindakan diluar kepala tetapi mereka tidak menyadari telah melakukan hal yang diluar kepala.
Bentuk gangguan tersebut yang paling sulit untuk didiagnosis. Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) memiliki gejala terlihat seperti emosi yang tidak terkontrol, gerakan fisik, dan perhatian kemana- mana. Gangguan ini menyerang mental seseorang yang dipengaruhi banyak hal, diantaranya kurangnya asupan gizi pada saat kehamilan pada
12
ibu hamil, faktor radiasi yang menyerang anak pada saat balita dan sebagainya.
8) Kesulitan Belajar
Delphie (2006:24) memaparkan kesulitan belajar (learning disability) atau anak yang berprestasi rendah (specific learning disability), memiliki masalah daam perkembangan kognitif, emosi dan sosialnya. Anak memiliki prestasi yang rendah untuk bidang akademik tertentu atau keseluruhan bidang akademik. Kemampuan kognitif anak kurang mampu mengadopsi proses informasi. Perkembangan emosi dan sosialnya sangat memerlukan perhatian.
Atmaja (2018:258) memaparkan diagnosis kesulitan belajar menjadi tiga jenis, yaitu Diseleksia, Dysgraphia, dan Diskalkulia. Berikut penjelasan mengenai pengertian Diseleksia, Dysgraphia, dan Diskalkulia:
a) Pengertian Anak Diseleksia, kata diseleksia berasal dari bahasa Yunani, Dys yang artinya sulit, dan Lex yang berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Diseleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada anak yang disebabkan oleh kesulitan pada anak dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Anak yang mengalami diseleksia memiliki tanda, seperti tidak bisa membedakan huruf yang mirip, tidak bisa mengeja (membaca secara terbalik), dan tidak paham bacaan (tidak mampu menjelaskan apa yang dibaca).
b) Pengertian anak Dysgraphia adalah kesulitan dalam menuliskan atau mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk tulisan karena anak-anak tidak bisa menyusun kata dengan baik dan mengoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Biasanya anak sangat fasih berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tetapi mempunyai kesulitan menulis.
c) Pengeretian anak Diskalkulia, diskalkulia juga dikenal dengan “math difficulty” karena gangguan ini menyangkut pada kemampuan kalkulasi dan matematis. Kesulitan ini dapat terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak
13
yang bersangkutan akan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Masalah yang dihadapi anak diskalkulia, yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan.
9) Tunaganda
Tunaganda (multiple handicapped) merupkan kelainan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan kemampuan pada aspek intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi masyarakat. Kelainan perkembangan ganda juga mencakup kelainan perkembangan fungsi adaptif. Mereka umumnya memerlukan layanan- layanan pendidikan khusus dengan modifikasi metode secara khusus (Delphie, 2006:13).
10) Tunawicara
Sartika (2013:7) menytakan tunawicara atau hambatan bicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain.
11) Anak berbakat (giftedness and special talents)
Anak berbakat memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, fisik, dan perilaku sosial (Delphie, 2006:138). Anak dengan potensi dan kecerdasan atau bakat istimewa adalah anak yang memiliki skor intelegensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talend=ted) seperti musik, seni, olahraga, dan kepemimpinan (Triani, 2013:24).
12) Lamban Belajar (Slow learner)
Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Anak lamban belajar butuh waktu lama dan berulang- ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik (Triani, 2013:24).
14 2. Pendidikan Inklusi
a. Pengertian Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013:26) menjelaskan, pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tingalnya. Direktorat PSLB (2004) menambahkan, bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan maupun sistem pembelajaran yag disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Maka, sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membagun masyarakat yang inklusif dan mencapai “pendidikan bagi semua” (Ilahi, 2013: 27).
Beberapa pengertian pendidikan inklusi yang dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan, bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberi kesempatan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah regular dan mendapatkan fasilitas yang sama dengan anak lainnya.
b. Tujuan Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013: 380) memaparkan tujuan pendidikan inklusi untuk semua kelompok termarginalisasi, tetapi kebijakan dan praktik inklusi anak penyandang cacat telah menjadi katalisator utama untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan inklusi, yaitu:1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; 2) mewujudkan
15
penyelengaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Berdasarkan paparan tujuan pendidikan inklusi yang telah dijelaskan, tujuan inklusi adalah memberikan kesempatan untuk anak berkebutuhan khusus untuk memeroleh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya tanpa adanya diskriminatif dalam memeroleh pendidikan.
c. Karakteristik Pendidikan Inklusi
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 (dalam Ilahi, 2013: 42) menjelaskan, sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama- sama dengan peserta didik pada umumnya. Ilahi (2013: 43) memaparkan karakter pendidikan inklusif tentu saja sangat terbuka dan menerima tanpa syarat anak Indonesia yang berkeinginan kuat untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan mereka dalam satu wadah yang sudah direncanakan dengan matang.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013:44) menambahkan empat karakteristik pendidikan inklusi, antara lain: 1) proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespons keragaman individu;
2) mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar; 3) anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; 4) diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Berdasarkan pernyataan yang dijelaskan sebelumnya, karakteristik pendidikan inklusi yaitu memberi kesempatan untuk anak dalam mengembangkan kreativitas dan keterampilan tanpa batasan, hambatan, memberikan pembelajaran keberagaman dalam kelas, dan memeroleh kesan bermakna dalam hidup saat proses belajar.
16 d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi
Ilahi (2013: 48) menyatakan prinsip pendidikan inklusi berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memeroleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus. Jaminan akses dan peluang bagi semua anak yang dimaksud pada prinsip pendidikan inklusi adalah anak-anak Indonesia mendapatkan jaminan masuk ke sekolah umum atau jaminan bersekolah dan kesempatan bersekolah untuk memeroleh pendidikan.
Salamanca pada dokumen Kerangka Aksi tahun 1994 (dalam Ilahi, 2013:
49) menambahkan, prinsip dasar pendidikan inklusi pertama adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya. Bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya, yang dimaksud pernyataan di atas adalah setiap anak dapat berkesempatan bersekolah tanpa melihat perbedaan yang ada didalam diri anak, seperti kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki anak.
3. Sekolah Dasar Inklusi
Murtie (2014:225) memaparkan sekolah inklusi merupakan sekolah yang dibuat untuk mendidik anak-anak pada umumnya namun menyediakan tempat juga bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mampu didik. Sekolah ini sebagai sebuah pendidikan alternatif yang terintegrasi antar siswa reguler dengan siswa berkebutuhan khusus. Layanan yang diberikan dalam sekolah inklusi meliputi layanan sekolah reguler dengan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus yang didampingi oleh shadow teacher/ guru pendamping. Selain itu, sekolah inklusi juga mengembangkan pendidikan khusus bagi siswa reguler dan siswa khusus berkenaan dengan potensi masing-masing. Sehingga siswa reguler bisa mengembangkan bakat dan minat mereka, serta siswa khusus dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal.
17 4. Aspek Penyelenggaraan Sekolah Inklusi
Terdapat delapan aspek penyelenggaraan sekolah inklusi, sebagai berikut:
a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasi Semua Anak
Kustawan (2013: 90) memaparkan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SD/MI pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang memiliki sekolah. Sumber daya yang dimiliki sekolah antara lain: 1) sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, 2) sumber daya sarana dan prasarana, dan 3) sumber daya biaya. Satuan pendidikan harus mengalokasikan kursi peserta didik (quota) paling sedikit 1 (satu) peserta didik yang memiliki hambatan/ gangguan/ kelainan dalam satu rombongan belajar yang akan diterima.
Dalam pelaksaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidikan khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus.
Persyaratan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus, perlu adanya pedoman misalnya setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan / melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/ dokter spesialis untuk calon peserta didik yang memiliki hambatan/ gangguan penglihatan dan pendengaran. Anak yang memiliki hambatan kecerdasan atau anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa harus menyerahkan/ melampirkan hasil pemeriksaan tes IQ dari psikolog.
b. Identifikasi
Upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/ kelainan/
gangguan fisik, intelektual, mental, emosional, dan sosial. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013:93) Identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan
18
(phisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai.
Kustawan (2013:95) menyatakan, Identifikasi dilakukan untuk lima keperluan, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).
Tujuan dilaksanakan identifikasi adalah menghimpun informasi atau data seorang anak akan mengalami kelainana penyimpangan dalam pertumbuhan/ perkembangannya. Hasil identifikasi dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus dan untuk menyusun program pelaksanaan penanganan berkaitan dengan hambatan.
c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)
Kurikulum tidak sekedar dijabarkan sebagai serangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan sebagai serangkaian ilmu pengetahuan yang diajarkan anak didik oleh pendidiknya, tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut kependidikan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak dalam rnagka mencapai hakikat tujuan pendidikan sebenarnya (Ilahi, 2016: 169).
Kustawan dan Hermawan (2013:107-108) memaparkan kurikulum perlu fleksibel atau disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan yang dimiliki bervariasi. Sekolah regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusif ramah anak harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan, dan karakteristik anak agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill). Kurikulum yang disusun bersifat inklusif, proses belajar mengajar yang efektif, lingkungan sekolah yang mendukung, sumber daya yang barasas pemerataan dan standarisasi dalam hal-hal tertentu (monitoring, evaluasi, dan tes).
d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak Kustawan (2013: 111) Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksibel atau ramah anak secara garis besar
19
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diperlajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
20 e. Penataan Kelas Ramah Anak
Dalam penataan kelas ramah anak, kelas harus dirancang agar menyenangkan, nyaman, dan aman serta dapat menimbulkan gairah atau motivasi anak untuk giat belajar. Kustawan (2013: 115) memaparkan pengaturan ruang belajar, hal-hal yang harus diperhatikan: 1) ukuran dan bentuk kelas, 2) bentuk serta ukuran bangku dan meja anak didik, 3) jumlah anak didik dalam kelas, 4) jumlah anak didik dalam setiap kelompok, 5) jumlah kelompok kelas, dan 6) komposisi anak didik dalam kelompok (seperti anak didik pandai dengan anak didik kurang pandai, pria dengan wanita). Pengaturan ruang kelas bisa berdasarkan tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia dan kepentingan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM).
f. Asesmen
Kustawan (2013:97-98) menjelaskan, kegiatan asesmen mampu memberikan gambaran mengenai kondisi kelainan seseorang meskipun sifatnya sulit terlihat dengan jelas (Invisible condition). Seorang guru ketika melakukan asesmen harus memahami tentang hal-hal sebagai berikut: 1) menyadari kegiatan-kegiatan asesmen yang sedang dilakukannya, 2) memiliki bekal yang cukup tentang bagaimana melakukan asesmen, 3) memiliki alat atau instrument yang baik untuk melakukan penelaahan secara seksama dari data yang diperolehnya, 4) memiliki kemampuan untuk menganalisa dan menginterpretasi data yang sudah diperolehnya.
Langkah-langkah melakukan asesmen, yaitu:
1) Screening
Keputusan untuk menentukan jika porses kemajuan siswa dianggap cukup berbeda dengan teman sekelasnya lalu patut untuk menerima perubahan pengajaran. Screening dilakukan terhadap semua anak dikelas dengan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus.
2) Diagnosis
21
Diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, berdasarkan ketentuan hukum bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak.
3) Penempatan Program
Penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima siswa.
4) Penempatan Kurikulum
Keputusan mengenai level yang akan dipilih untuk memulai mengejar siswa.
5) Evaluasi Pengajaran
Meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada siswa.
6) Evaluasi Program
Keputusan untuk menghentikan, melanjutkan atau meadaptasi program pendidikan khusus seorang siswa.
g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajaran Adaptif
Media pembelajaran adalah segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa. Media pembelajaran memudahkan tugas guru dalam menyampaikan pesan-pesan atau materi pembelajaran kepada anak didiknya (Ilahi, 2013: 175).
Kustawan (2013:116-117) menambahkan, guru memahami bahwa tanpa bantuan media, maka materi pembelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh anak khususnya materi pembelajaran yang rumit dan komplek. Bagi anak berkebutuhan khusus media pembelajaran yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis hambatan, memenuhi kebutuhan anak, disesuaikan dengan tujuan, kebutuhan, materi, kemampuan, dan karakteristik anak.
h. Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran
Penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja anak berkebutuhan khusus setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Hasil penilaian yang diperoleh
22
digunakan sebagia bahan evaluasi terhadap ketuntasan belajar anak dengan cara membandingkannya dengan kriteria ketuntasan maksimal (KKM) yang telah ditetapkan untuk setiap KKM indikator, kompetensi dasar, standar kompetensi, dan mata pelajaran (Kustawan, 2013:122-123).
Ilahi (2013: 187) menyatakan, evaluasi pembelajaran bagi peserta didik berarti kegiatan menilai proses dan hasil belajar, baik yang berupa kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstrakulikuler. Kustawan (2013:124) menambahkan, karakteristik evaluasi adalah: 1) mengidentifikasi aspek-aspek yang akan dievaluasi, 2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan, 3) menyediakan informasi yang berguna (ilmiah, reliabel, valid dan tepat waktu), 4) melaporkan penyimpangan/
kelemahan unutk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga.
5. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)
Pendidikan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah sebagian dari perencanaan dan pelaksanaan sistem pendidikan negara. Anak dengan kebutuhan khusus diberi pendidikan menggunakan kurikulum yang sama dengan anak-anak pada umumnya dan penyesuaian kurikulum dibuat didalam kelas dan didukung dengan pendekatakan pengajaran dan pembelajaran yang terbaik agar anak-anak ini mampu meraih pencapaian optimal. Kebutuhan anak-anak luar biasa berbeda dari anak-anak yang sebayanya dengan mereka dalam beberapa aspek penting, bahkan mereka juga mempunyai perbedaan dalam pola perkembangan masing-masing. Adaptasi untuk pendidikan diberikan berdasarkan pada perbedaan-perbedaan yang ada pada mereka dalam kerangka muatan kurikulum, kemahiran, dan lingkungan mereka.
Perbedaan kebutuhan ini harus diberi status yang sesuai dan mereka yang terlibat dalam pendidikan khusus harus ditekankan untuk membuat perunntukkan khusus demi memenuhi kebutuhan tesebut dan bukanya malah mengkritik (Muhammad, 2008: 29).
Berdasarkan teori diatas pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan perencanaan dan pelaksanaan sistem pendidikan. Pendidikan yang diberikan menggunakan kurikulum umum dengan pendekatan dan pembelajaran terbaik.
23
Adaptasi untuk pendidikan dilakukan berdasarkan dengan kebutuhan setiap anak.
Ilahi (2013: 168) memaparkan, kurikulum merupakan salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan. Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi ramah anak pada dasarnya menggunakan kurikulum yang berlaku di sekolah regular, namun kurikulumnya perlu fleksibel atau disesuaikan dengan kebutuhan anak, karena hambatan dan kemampuan yang dimiliki variasi. Terdapat empat komponen utama yang harus ada didalam kurikulum, yaitu tujuan, isi atau materi, proses, dan evaluasi.
Teori diatas dapat ditarik kesimpulan, kurikulum merupakan salah astu komponen penting dalam pendidikan. Penggunaan kurikulum untuk penyelenggara pendidikan inklusi ialah kurikulum yang berlaku di sekolah reguler namun terdapat penyesuaian untuk anak berkebutuhan khusus.
Komponen utma dalam kurikulum adalah tujuan, isi, proses, dan evaluasi.
a. Pengertian Kurikulum
Kurikulum ialah semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi atau materi) yang telah disusun secara ilmiah, baik yang terjadi di dalam kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan (Arifin, 2011:4).
Siskandar (2012:5) menambahkan kurikulum sebagai urutan unit konten sedemikian rupa sehingga pembelajaran setiap unit dapat diselesaikan atau dikerjakan sebagai kegiatan tunggal, memberikan kemampuan sebagaimana dideskripikan dalam unit yang telah ditetapkan sebelumnya.
Berdasarkan teori dari kedua ahli diatas, kurikulum adalah urutan semua kegiatan dan isi atau materi yang disusun secara ilmiah yang terjadi di dalam kelas maupun luar kelas atau sekolah. Urutan kegiatan menjadi pembelajaran yang dapat diselesaikan sebagai kegiatan tunggal.
1) Adaptasi Kurikulum
24
Kurikulum adaptif membuat perubahan dengan menghilangkan atau mengadaptasi bagian dari kurikukulum seperti kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan peserta didik belajar dari kurikulum yang didesain sesuai untuk kelompok usia mereka dalam setting pendidikan inklusif (Mzizi, 2014:7). Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan inklusif adalah kurikkulum reguler yang berlaku di sekolah umum, akan tetapi dilakukan penyesuaian sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.
Teori diatas dapat ditarik kesimpulan kurikulum adaptif atau adaptasi kurikulum adalah kurikulum reguler yang dibuat dengan menghilangkan atau mengadaptasi (menyesuaikan) bagian kegiatan belajar dan didesain sesuai dengan usia anak maupun kebutuhan anak.
Melinda (2013:93) menyatakan model pengembangan kurikulum adaptif terbagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:
a) Model kurikulum umum (reguler)
Model kurikulum ini peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum umum, sama seperti peserta didik lainnya dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahakn kepada proses bimbingan belajar, motivasi, dan ketekunan belajarnya.
b) Model kurikulum umum dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini anak anak berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum umum denngan program pembelajaran individual (PPI). Operasional pengembangan kurikulum ini, dilakukan dengan cara memodifikasi kurikulum umum disesuaikan dengan potensi dan karakteristik anak berkebtuhan khusus.
Kurikulum modifikasi ini diharapkan anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti pembelajaran pada kelas umum secara klasikal bersama anak- anak umum.
c) Model kurikulum yang diindividualisasikan
Model ini, anak berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum yang diindividualisasikan, dengan format program pembelajaran individual (PPI). Kurikulum ini sering disebut dengan model kurikulum PPI yang
25
dikembangkan secara khusus oleh guru pendidikan khusus di sekolah inklusi. Model kurikulum PPI disiapkan untuk anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat mengikuti kurikulum umum maupun modifikasi.
b. Cara Adaptasi Kurikulum
Penyesuaian kurikulum hingga menjadi kurikulum yang fleksibel adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan, kemampuan peserta didik sesuai bakat, minat, dan potensinya. Melinda (2013:97) memaparkan adaptasi kurikulum dilakukan melalui lima cara, yaitu:
1) Ekshalasi, ialah melakukan pengayaan dan percepatan program bagi anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata;
2) Duplikasi, artinya mengambil seluruh materi dan strategi pembelajaran pada anak normal ke dalam pembelajaran pada anak berkbutuhan khusus tanpa melakukan perbahan, penambahan, dan pengurangan apapun;
3) Modifikasi terhadap materi, media dan strategi pembelajaran, yaitu sebagian atau keseluruhan materi, media, prosedur, dan strategi pembelajaran yang dipergunaan pada pembelajaran anak normal diadaptasi sedemikian rupa sehingga baik materi, media, dan strategi pembelajarannya sesuai dengan karakteristik anak;
4) Subsitusi dilakukkan dengan menganti materi, media, dan strategi pembelajaran yang berlaku pada anak normal;
5) Omisi, yaitu penghhilang materi tertentu yang berlaku pada pembelajaran anak normal.
c. Komponen Kurikulum
Ilahi (2013: 172-178) menyatakan komponen kurikulum yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan anak, antara lain:
1) Tujuan
Tujuan kurikulum dimaksudkan untuk perkembangan tuntutan, kondisi, dan kebutuhan masyarakat dan disadari oleh pemikiran- pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai filosofis.
2) Materi atau bahan Ajar
26
Anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat diperluas dan diperdalam dan/ atau ditambah materi baru yang tidak ada didalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi dibawah normal (anak lamban belajar/
tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3) Strategi Pembelajaran
Kurikulum harus disusun secara fleksibel sesuai kebutuhan anak (ABK) dan kondisi sekolah, dapat mendorong guru dan tenaga kependidikan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, mendorong pengawas untuk membina secara rutin dan kebebasan untuk berinovasi. Proses pembelajaran ditinjau sebagai berikut: a) perencanaan pembelajaran hendaknya dibuat berdasar hasil asesmen dan dibuat bersama antara guru kelas dan guru khusus dalam bentuk program pembelajaran individual (IEP); b) pelaksanaan pembelajaran lebih mengutamakan metode pembelajaran kooperatif dan partisipatif, memberi kesempatan yang sama dengan siswa lain, menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi antara guru khusus dan guru kelas, serta dengan menggunakan media, sumber daya, dan lingkungan yang beragam sesuai keadaan.
4) Media Pembelajaran
Pengunaan media sebagai perantara dalam proses pembelajaran memiliki nilai dan fungsi yang amat berharga bagi terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif. Melalui penggunaan media ini, anak didik dilatih untuk memeperkuat kepekaan dan keterampilan secara optimal dengan ditopang oleh motivasi guru.
5) Evaluasi Kurikulum
27
Evaluasi kurikulum dapat dijadikan umpan balik (feed back) apakah tujuan kurikulum sudah tercapai secara maksimal. Jika belum tercapai, dipandang perlu untuk melakukan evaluasi terhadap bahan ajar yang telah diberikan untuk mengetahui indikator keberhasilan peserta didik. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi adalah perlunya penyesuaian cara, waktu dan isi kurikulum, mengacu kepada hasil asesmen, mempertimbangkan penggunaan Penilaian Acuan Diri, dilaksanakan secara fleksibel, multimetode dan bekerlanjutan, secara rutin mengomunikasikan hasilnya kepada orangtua.
d. Karakter Kurikulum
Pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif.
Pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara aktif, baik mental dan fisik maupun sosialnya (Mulyasa, 2016: 127).
1) Prosedur pembentukan kompetensi dan karakter
Mulyasa (2016:128-129) menambahkan, pembentukan kompetensi dan karakter mencakup berbagai langkah yang perlu ditempuh oleh peserta didik dan guru untuk mewujudkan kompetensi dan karakter yang telah ditetapkan. Hal ini ditempuh melalui berbagai cara, bergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan serta kemampuan peserta didik. Prosedur yang ditempuh dalam pembentukan kompetensi dan karakter adalah sebagai berikut:
a) Berdasarkan kompetensi dasar dan materi standar yang telah dituangkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), guru menjelaskan kompetensi minimal yang harus dicapai peserta didik, dan cara belajar individual.
b) Guru menjelaskan materi standar secara logis dan sistematis, pokok bahasan dikemukakan dengan jelas atau ditulis di papan tulis. Memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya sampai materi standar tersebut benar- benar dapat dikuasai.
28
c) Membagikan materi standar atau sumber belajar berupa hand out dan fotokopi beberapa bahan yang akan dipelajari. Materi standar tersebut sebagaian terdapat di perpustakaan, maka guru memfotokopi dari sumber lain, seperti majalah, dan surat kabar.
d) Membagikan lembaran kegiatan untuk setiap peserta didik. Lembaran kegiatan berisi tugas tetang materi standar yang telah dijelaskan oleh guru dan dipelajari oleh peserta didik.
e) Guru memantau dan memeriksa kegiatan peserta didik dalam mengerjakan lembaran kegiatan, sekaligus memberikan bantuan, arahan bagi mereka yang memerlukan.
f) Setelah selesai diperiksa bersama-sama dengan cara menukar pekerjaan dengan teman lain, lalu guru menjelaskan setiap jawabannya.
g) Kekeliruan dan kesalahan jawaban diperbaiki oleh peserta didik, jika ada yang kurang jelas guru memberi kesempatan bertanya, tugas atau kegiatan mana ang perlu penjelasan lebih lanjut.
Pembentukan karakter dan kompetensi perlu diusahakan untuk melibatkan peserta didik adalah memberikan kesempatan dan mengikutsertakan mereka untuk turut ambil bagian dalam proses pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk saling bertukar informasi antarpeserta didik dan antarpeserta didik dengan guru mengenai topik yang dibahas, untuk mencapai kesepakatan, kesamaan, kecocokan, dan keselarasan pikiran mengenai apa yang akan dipelajri. Hal ini penting untuk menentukan persetujuan atau kesimpulan tentang gagasan yang bisa diambil atau tindakan yang akan dilakukan berkenaan dengan topik yang dibicarakan.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Mayasari (2016) yang berjudul Implementasi Kurikulum 2013 Pada Anak Berkbutuhan Khusus (ABK): Studi Kasus SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis, dimaksudkan untuk dapat mendeskripsikan gejala atau fenomena yang nampak sebagai mana adanya dari objek penelitian. Jenis kurikulum yang diterapkan di SD Muhammadiyah Sapen adalah kurikulum