• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITAS

A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh

2. Hak Anak dan Penyandang Cacat

Menurut Konvensi Hak Anak yang diadopsi dari Majelis Umum PBB tahun 1989, setiap anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak- hak yang mencakup dalam empat bidang:

1. Hak atas kelangsungan hidup, mencakup hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

2. Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, serta hak anak cacat (berkebutuhan khusus) atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

3. Hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana.

4. Hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya. 71

Berkaitan dengan hak anak, maka pengertian tentang hak anak itu sendiri menurut Undang-Undang Perlindungan Anak adalah hak asasi anak yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 13 Undang Undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002, yaitu :

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

71

1. Diskriminasi;

Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental.

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.

3. Penelantaran;

Misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;

Misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

5. Ketidakadilan;

Misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

6. Perlakuan salah lainnya.

Misalnya berupa tindakan pelecehan atau perbuatan yang tidak senonoh kepada anak

Abu Huraerah merangkum hak-hak anak yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa :

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar. 72

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh pengasuhan negara atau orang atau badan dan anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.73

Dari berbagai ulasan mengenai hak anak tersebut, dapatlah diambil sebagai kesimpulan oleh Maulana Hassan Wadong dengan pendapatnya yakni: Pengertian- pengertian hak tersebut, sebagai suatu pengantar untuk memahami atau meletakkan makna dari yang sebenarnya tentang hak anak. Hak anak dapat dibangun dari pengertian hak secara umum ke dalam pengertian sebagai berikut : “Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum/tertib hukum kepada anak yang bersangkutan.” Disamping itu, masih menurut Maulana Hassan Wadong, hak apapun

72Ibid

, hal. 23.

73

yang diberikan oleh lingkungan sosial, baik terhadap seseorang anak maupun kepada manusia pada umumnya, hak itu memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Kepentingan seseorang yang terlindungi ( belangen theoritis ); 2. Kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan ( wilsmachts theoritis ); 3. Kumpulan kekuasaan yang mempunyai landasan hukum.74

b. Hak Penyandang Cacat

Hak penyandang cacat di Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat diantaranya, yaitu:

Pasal 5

“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.

Pasal 6

“Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :

a. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan;

b. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;

c. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil- hasilnya;

d. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;

e. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan

kehidupan sosialnya, terutama bagi anak penyandang cacat dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Didalam penjelasannya pada Pasal 5 yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga,

74

rekreasi dan informasi, jadi terlihat dengan jelas disini bahwa undang-undang telah memberikan upaya perlindungan dan persamaan hak yang berkesinambungan dengan seluruh cakupan kehidupan agar penyandang cacat memiliki kesejahteraan yang memadai.

Penjelasan pada Pasal 6 angka 6 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dimaksudkan agar setiap anak penyandang cacat berhak untuk memperoleh :

1. Hak untuk hidup dan menjalani kehidupan sepenuhnya kehidupan kanak- kanak, dalam suatu keadaan yang memungkinkan dirinya meningkatkan martabat dan kepercayaan diri, serta mampu berperan aktif dalam masyarakat; 2. Hak untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan secara wajar baik dalam

lingkungan keluarga maupun masyarakat;

3. Hak untuk sedini mungkin mendapatkan akses pendidikan, latihan, keterampilan, perawatan kesehatan, rehabilitasi dan rekreasi sehingga mampu mandiri dan menyatu dalam masyarakat.

Pasal 8

“Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat”.

Program rehabilitasi penyandang cacat tubuh yang dilakukan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan salah satu dari upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan persamaan hak terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan pemberian pelatihan pendidikan baik jasmani maupun rohani. Pemenuhan hak untuk memperoleh kesamaan kesempatan terdapat pada pasal 9,10,11,12,13 dan 14 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yaitu:

Pasal 9

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”

Pasal 10

(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.

(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.

(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Pasal 11

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.

Pasal 12

“Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya”.

Pasal 13

“Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.

Pasal 14

“Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada Pasal 11 dan 12 telah mengupas secara rinci mengenai kesamaan kesempatan untuk memperoleh sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jalur dan jenjang pendidikan walaupun tetap disesuaikan dengan kemampuan dan derajat kecacatan yang dimiliki oleh penyandang cacat.

Pasal 13 dan 14 Undang Undang Penyandang Cacat juga telah mengatur mengenai kesamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan tingkat derajat kecacatannya serta kemampuannya, begitu pula dengan perusahaan negara dan swasta, juga harus memberikan kesempatan yang sama pada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat sesuai dengan pendidikan dan kemampuannya. Ketentuan ini tentunya mempertegas hak dan kesempatan yang sama bagi penyandang cacat dalam hal sarana dan prasarana pendidikan maupun di bidang ketenagakerjaan.

Penjelasan pasal 14 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang berkaitan dengan ketenagakerjaan menyatakan Perusahaan negara meliputi badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD), serta perusahaan swasta termasuk di dalamnya koperasi harus mempekerjakan

sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan yang dimiliki. Sedangkan Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang. Sehingga disini terlihat keseriusan pemerintah di dalam melakukan kebijakan dalam rangka perlindungan terhadap penyandang cacat. Dengan kata lain pemerintah telah menjamin tentang kesamaan hak untuk memperoleh pekerjaan terhadap penyandang cacat tubuh yang memiliki keterampilan dan keahlian, walaupun dalam kenyataan yang ada sulit sekali hal tersebut untuk terlaksana.

Perlakuan yang sama diartikan sebagai perlakuan yang tidak diskriminatif termasuk di dalamnya kesamaan hak dan kewajiban berupa, pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama. Sanksi pidana dan sanksi administratif juga didapati oleh pihak pemerintah maupun swasta ketika tidak mendukung aktualisasi diri penyandang cacat dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan juga mempekerjakan penyandang cacat yang sesuai kuota yang ditetapkan dalam peraturan, seperti yang tercantum di dalam Pasal 28 dan 29 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997, yaitu:

Pasal 28

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda setinggi-tingginya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. Pasal 29

(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 atau tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administrasi.

(2) Bentuk, jenis dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tersebut menyatakan bahwa rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah dalam hal ini diselenggarakan oleh Kementerian Sosial.

Penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial antara lain dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat yang pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga dan juga penyandang cacat itu sendiri. Oleh karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan aktif untuk mewujudkannya. Dengan kesamaan kesempatan tersebut diharapkan para penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam arti

mampu berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi secara wajar dalam hidup bermasyarakat.75

Kesamaan kesempatan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap keberadaan penyandang cacat, yang merupakan unsur penting dalam rangka pemberdayaan penyandang cacat.76 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sudah terlihat jelas menyatakan bahwa penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Selain itu Undang-Undang tersebut juga mengangkat permasalahan mengenai aksesibilitas. Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, aksesibilitas adalah “kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan”.

Konvensi Internasional juga telah memberikan delapan hal pokok tentang hak-hak penyandang cacat, yaitu:

a. Penghargaan terhadap harkat dan martabat, kebebasan individual termasuk didalamnya kebebasan pribadi dan kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri; b. Non Diskriminasi;

c. Partisipan dan keterlibatan penuh dalam masyarakat;

d. Menghargai perbedaan dan penerimaan penyandang cacat sebagai bagian dari keragaman manusia;

e. Kesamaan dalam kesempatan; f. Aksesibilitas;

g. Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan;

75

Penjelasan Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

76

h. Penghargaan terhadap pengembangan kemampuan dan hak anak penyandang cacat.77

Relevannya pada pemenuhan segala unsur yang telah diatur dalam undang undang tersebut diatas terasa agak sulit penerapannya di masyarakat luas, hambatan yang paling berat adalah penyandang cacat tubuh masih di anggap sebagai kaum minoritas dan tersisih. Penerimaan dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar juga menjadi permasalahan tersendiri. Pengucilan yang terjadi terhadap anak penyandang cacat dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri yang berdampak pada psikologis bagi anak penyandang cacat itu sendiri, sehingga untuk pemenuhan jenjang pendidikan dan keahlian menjadi terganggu, padahal anak penyandang cacat tubuh memiliki kemampuan daya pikir selayaknya anak normal. Seterusnya ini akan berdampak terhadap kehidupannya kedepan menjadi tidak memiliki pendidikan yang layak, sehingga tidak memiliki keterampilan dan berdampak pada dunia pekerjaan dan mata pencaharian anak tersebut nantinya. Akibatnya kemandirian hidup menjadi tidak tercapai ketika dewasa. Disinilah peran keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat juga harus mulai memberikan perhatian khusus agar terpenuhinya setiap hak dari penyandang cacat serta kebutuhannya terhadap aksesibilitasnya tersebut.78

Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan bagi penyandang cacat tubuh hanya dapat terwujud jika tersedia aksesibilitas yang memadai. Ini berarti dengan

77

Buletin Peduli, Opcit, hal.67.

78

Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.

dibentuknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara oleh Pemerintah merupakan aksesibilitas untuk penyandang cacat, dengan adanya panti tersebut maka akan mempermudah penyandang cacat tubuh untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban. Karena Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tidak hanya memberikan pendidikan keterampilan dan keahlian namun juga diiringi dengan Pendidikan kerohanian dan kepribadian kepada peyandang cacat tubuh, sehingga pada akhirnya diharapkan anak penyandang cacat tubuh dapat berintegrasi secara total dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya serta meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat pada khususnya. Walaupun pada kenyataannya hanya sedikit hak-hak tersebut yang diterima. Paling tidak dengan adanya program rehabilitasi yang ada di panti ini, anak-anak tersebut beranggapan akan menjadi bekal untuk hidup selanjutnya.79

B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat

Dokumen terkait