• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITAS

B. Ketentuan Umum Perjanjian

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Suatu perjanjian dapat di batalkan demi hukum jika syarat objektif (hal tertentu dan causa yang halal) tidak terpenuhi dan dapat dimintakan pembatalan jika syarat subyektif (sepakat mengikatkan diri dan kecakapan para pihak) tidak terpenuhi di dalamnya. Dalam hal yang demikian (tidak terpenuhinya syarat objektif), secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal. Tak

dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.135

Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua/ walinya ataupun ia sendiri apabila sudah menjadi cakap) dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.

Tentang perjanjian yang tidak halal, teranglah perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah perjanjian-perjanjian itu harus dicegah.

Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Para pihak yang membuat suatu kesepakatan merupakan subyek hukum. Subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, sehingga dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu orang dan badan hukum. Orang sebagai manusia memiliki status sebagai subyek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam keadaan hidup (tidak

135

terlahir dalam keadaan meninggal) dan ada kepentingan yang menghendaki.136 Dalam perjanjian antara panti dengan orang tua/wali yang menjadi subyek hukumnya adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan pihak orang tua atau wali dari anak penyandang cacat tubuh.

Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian artinya telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.137 Kesepakatan disini adalah kesepakatan dan kesanggupan sebagaimana yang tercantum dalam pernyataan formulir P4 dari orang tua/wali kepada pihak panti selama anaknya mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada dasarnya orang tua/wali yang melakukan penandatanganan di formulir yang berisikan pernyataan tersebut, yang kemudian ditempelkan materai seharga Rp. 6000,- sebagai tanda lunas pajak, memiliki pengertian bahwa perjanjian tersebut telah dianggap disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pihak panti dan pihak orang tua/ wali dengan ketentuan saksi adalah kepala desa ataupun kepala kelurahan tempat anak penyandang cacat tubuh bermukim, sehingga sah lah perjanjian tersebut dan mengikat sebagai undang-undang bagi keduanya dan secara otomatis pihak panti juga beranggapan bahwa orang tua/wali sudah mengerti mengenai isi dari

136

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 21.

137

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu),

perjanjian sebelum melakukan penandatanganan.138 Penandatanganan suatu kontrak mengandung arti bahwa para pihak sudah setuju dengan adanya kontrak tersebut, termasuk sudah setuju dengan isinya. Ketentuan ini menyimpulkan bahwa sebelum menandatangani suatu kontrak para pihak mestilah terlebih dahulu membaca dan mengerti terhadap isi kontrak tersebut. Inilah yang disebut dengan “kewajiban membaca” (duty read ) terhadap suatu kontrak.139

Namun adanya kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan atau karena paksaan atau penipuan salah satu pihak dalam suatu perjanjian maka dapat menjadikan kesepakatan atau perjanjian tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1321 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Kesepakatan adalah persetujuan atas kehendak para pihak dalam perjanjian untuk menyamakan persepsi seia sekata mengenai pokok perjanjian apa yang dikehendaki dan apakah pokok perjanjian yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, para pihak akan mengadakan perundingan terlebih dahulu dan harus memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian beserta syarat-syaratnya. Pihak yang lainnya juga menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang mantap. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari

138

Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011

139

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Buku Ke 2, Citra Aditya Bhakti, Medan 2003, hal.89.

pihak manapun. Persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan.140

Mengenai persetujuan kehendak disini, pihak orang tua/wali tidak dapat mengutarakan kehendaknya dalam bentuk perjanjian secara tertulis karena perjanjian dalam bentuk sebuah pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk formulir yang di buat secara massal untuk semua penyandang cacat yang akan masuk ke dalam panti. Walaupun demikian orang tua/wali beranggapan hal tersebut adalah suatu hal yang biasa atau wajar, hanya saja sebelum melakukan penandatanganan, tetap secara lisan orang tua/wali menyatakan kehendaknya kepada pihak panti untuk menjaga dan mendidik anaknya sebaik mungkin.141 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Dalam sebuah perikatan atau perjanjian, kecakapan para pihak merupakan syarat subyektif kedua yang wajib terpenuhi agar terbentuknya suatu perjanjian yang sah. Kecakapan bertindak dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangangan bertindak. Dapat saja orang yang cakap bertindak dalam hukum namun tidak berwenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum dan juga sebaliknya dapat saja orang berwenang dalam melakukan suatu tindakan hukum namun tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.

Pasal 1329 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

140Ibid

, hal. 228-229.

141

Wawancara dengan salah satu orang tua dari anak penyandang cacat, Nyonya W. Pada tanggal 10 Januari 2011

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”

Pasal ini mengartikan bahwa selain dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan pembatasan orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap dalam bertindak secara hukum. Orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

a.Orang-orang yang belum dewasa;

b.Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c.Perempuan yang telah kawin.

Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin. Akibat hukum ketidakcakapan para pihak dalam membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dipungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.142 Dalam hal perjanjian pernyataan kesanggupan yang di buat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara untuk anak penyandang cacat

142

tubuh diwakili oleh orang tua/wali yang cakap dan berwenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, untuk bertindak menandatangani formulir form 4 tentang pernyataan dan kesanggupan selama mengikuti ketentuan program rehabilitasi yang dilakukan panti.

3. Suatu hal tertentu;

Perjanjian tanpa adanya “suatu hal tertentu” adalah batal demi hukum.143 Suatu hal tertentu merupakan pokok dari perjanjian. Objek yang diperjanjikan disebut prestasi. Objek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi dalam perjanjian haruslah jelas. Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.144 Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Prestasi yang terdapat dalam perjanjian adalah pernyataan kesanggupan dari orang tua:

a. Untuk menerima kembali anak tersebut setelah dinyatakan selesai dari pelatihan oleh panti atau terpaksa dipulangkan karena tidak menaati peraturan yang berlaku dan atau menderita sakit yang serius karena kelalaian anak itu sendiri;

b. Tidak menuntut apapun jika anak mereka mendapat halangan (melarikan diri, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti;

143

J. Satrio, Hukum Perikatan-perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku I, Cet. 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 32.

144

c. Sanggup bekerjasama mendukung dan memberi motivasi kepada anaknya selama mengikuti program rehabilitasi sosial di Panti.

Ketidakjelasan mengenai pokok perjanjian, objek perjanjian atau prestasi itu kabur, sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu dapat dibatalkan (nietig, void).145

4. Suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu :

a. Perjanjian harus mempunyai sebab, karena tanpa sebab maka perjanjian batal; b. Sebab harus halal, karena kalau tidak halal maka perjanjian batal.146

Isi perjanjian harus mengandung suatu sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini berdasarkan Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang bunyinya “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Apabila terjadi suatu perjanjian dengan suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian tersebut batal demi hukum sesuai Pasal 1335 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.

Suatu sebab yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam arti isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai

145Ibid. 146

oleh pihak-pihak. Undang undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang undang adalah isi perjanjian yang mengambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.147

Pada perjanjian dipanti, terdapat adanya klausula yang mengatakan bahwa orang tua/wali tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti ketika terjadi hal-hal yang di luar batas kemampuan panti, misalnya sakit keras, melarikan diri ataupun meninggal dunia, di sini letak permasalahan yang ada ketika anak penyandang cacat menjadi tidak memiliki perlindungan terhadap kepastian hukum yang ada selama ia berada dipanti dan orang tua/wali juga tidak dapat memperjuangkannya karena telah menyepakati formulir kesanggupan yang ada pada saat anaknya akan masuk pertama kali untuk direhabilitasi.

Jika terdapatnya klausula yang sangat berat sebelah dalam suatu kontrak (perjanjian) baku, apalagi jika pihak yang kepadanya disodorkan formulir kontrak tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya, seperti kecilnya kesempatan memilih untuk membuat kontrak dengan pihak lainnya, maka klausula tersebut dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan, prinsip mana yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu perjanjian. Menurut pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan prinsip umum. Jika ada klausula kontrak yang

147

sangat berat sebelah, apalagi jika kontrak tersebut dipergunakan secara massal atau kontrak yang sangat berat sebelah tersebut, sudah dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), sehingga klausula atau kontrak yang bersangkutan harus dianggap batal demi hukum.148

Yang dimaksud dengan perjanjian yang sangat “berat sebelah” adalah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan.149

Walaupun demikian suatu causa yang tidak halal juga tidaklah mudah ditemukan rumusannya dalam perjanjian. Setiap pihak yang mengadakan suatu perjanjian dapat saja menyebutkan suatu isi perjanjian sehingga walaupun sebenarnya perjanjian itu terbit dari suatu causa yang tidak halal atau dilarang oleh undang undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum, menjadi tampak sebagai suatu perjanjian yang diperkenankan oleh hukum.

Dalam hal ini, maka yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Hal yang menjadi tolak ukur konkrit disini adalah apakah pelaksanaan prestasi tersebut akan melanggar undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaaan baik atau ketertiban umum.

148

Munir fuady, Opcit, hal. 80.

149

Jika tidak, maka tentunya kita tidak dapat menduga-duga ada causa yang dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum dalam suatu perjanjian. Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata ayat 3 menyatakan “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Perjanjian yang dibuat dengan causa yang tidak halal akan hanya menerbitkan perikatan alamiah yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di hadapan hukum, karena pada dasarnya pihak panti selaku pemerintah yang berwenang juga memiliki itikad baik untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai mana petunjuk pelaksana yang ada dalam setiap programnya dan memang hanya kewajiban secara prosedural tertulis yang tidak mampu dilaksanakan oleh pihak panti.

Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan diatas rel yang benar.150

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum

150

kepada pihak-pihak yang membuatnya. Para pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian, maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum.

Dokumen terkait